Thursday, January 29, 2009

THE VERY BEST OF DEEP PURPLE

Ketika muncul di televisi...



Ini pada saat Deep Purple live tahun 1972 di Copenhagen, Denmark...






Ini saat Deep Purple live di California Jam tanggal 6 April 1974 Ontario Speedway Los Angeles. Tetapi vokalisnya sudah bukan Ian Gilan, tetapi David Coverdale. Lalu ada juga Glenn Hughes....



Ini saat live di Budokan, Tokyo, Jepang tahun 1975, dimana formasinya adalah Glenn Hughes, Tommy Bolin, Ian Paice, dan Jon Lord.

Wednesday, January 28, 2009

DON'T EVER LEAVE KAWASAN INDUSTRI WITHOUT EAT CHOLIL FIRST

Nothing is too delicious to be true. Soto Cholil is one kind of best Soto at Kawasan Industri. I know why. It because you will find hot and spicy Soto in different taste. Kira-kira begitu deh!

Actually, there are lot of Soto Ayam at Kawasan Industri. But People and I think, Soto Cholil masih tetap uenak tenan dibanding soto-soto lain. Maaf, gw bukan Public Realtions Officer yang dipekerjakan Soto Cholil buat melakukan aktivitas promosi. Gw pun nggak dibayar oleh Owner of Soto Cholil, termasuk diberikan makan gratis tiap mempromosikan produknya.

"This Ad is really from my heart," kata gw. "That's true!"

Tuesday, January 27, 2009

MENGHARGAI MAHKLUK CIPTAAN TUHAN

Membayangkan wajah orang Bule melihat cara makan orang Indonesia, sama aja melihat sosok manusia yang perutnya mual dan mau muntah. Begitulah orang Bule. Jenis manusia yang katanya modern dan tinggal di negeri Barat ini, memang pusing banget melihat banyak orang Indonesia doyan makan jeroan, kuping, tulang, dan aneka makanan berkolesterol lain.

“Indonesia masih primitif sekali ya?” kata Bule yang kebetulan teman lama gw yang kebetulan asalnya dari Jerman.

Pendapat Bule soal keprimitivan orang Indonesia, patut gw kaji lebih jauh. Kenapa butuh pengkajian? Sok ilmiah! Sebenarnya bukan sok ilmiah. Gw cuma mau cari bukti, Indonesia bukan negara primitif. Indonesia itu negara maju yang demokratis, dimana orang-orang berhak makan apa saja. Asal jangan makan daging orang aja, kayak Sumanto.




“Kalo bukan primitif lalu apa namanya?” kata Bule temen gw itu lagi dalam bahasa Jerman yang fasih.

“Apa ya?”

Maukah kita disebut primitif? Kalo gw sih enggak! Wong kita sehari-hari udah pake baju. Udah pake celana. Sebelum pake celana, kita juga udah pake kolor, supaya “barang” kita nggak gondal-gandul. Bahkan sebelum pake baju, kita nggak lupa memberikan deodoran di ketek kita, supaya nggak BB alias bau badan seperti temen gw di kantor yang nggak menyadari punya BB.

Lalu apa lagi indikasi kita nggak bisa dikategorikan primitif? Kalo kerja kita selalu pake sepatu. Ini bukan bermaksud menghina para Sendalers (sebutan buat para pemakai sandal) kayak Seniman atau anak-anak masjid. Gw juga nggak bermaksud memasukkan para Sendalers ke dalam kategori kaum primitif. Namun, manusia modern (non-primitif) ini katanya kudu pake sepatu. Selain kudu pake sepatu kalo kerja, nggak lupa gosok gigi. Aktivitas menggosok gigi jelas wajib. Ini kalo elo nggak pengen dikucilkan rekan-rekan kerja dan dianggap primitif itu. Memang orang primitif nggak gosok gigi? Setahu gw sih enggak. Lihat aja gigi-gigi manusia primitif kuning-kuning. Nggak mungkin kan gigi mereka dicat atau dipiloks warna kuning?




“Perang antarsuku?”

Jangankan perang suku, perang antarkampung masih sering terjadi di Indonesia. Bahkan di kota metropolitan kayak Jakarta ini, perang antarkampung masih sering terjadi. Gara-garanya biasanya “sepele”. Anak Kampung A kesenggol motor anak Kampung B. Gara-gara kesenggol, kakinya patah. Ternyata kakinya nggak bisa dioperasi atau digips. Bisanya diamputasi. Gara-gara diamputasi, kaki anak Kampung A tinggal satu. Kondisi itu membuat orangtua Kampung A nggak terima. Dengan semangat 45, beberapa warga Kampung A menyerang Kampung B. Terjadilah perang antarkampung.

Lain lagi di Kampung C. Gara-gara dicium cowok dari Kampung D, bibir cewek anak Kampung C jadi jontor. Gara-gara jontor, orangtua si cewek anak Kampung C mau minta pertanggungjawaban. Tapi orangtua Kampung D nggak terima. Masa gara-gara bibir jontor minta pertanggungjawaban. Harusnya bibir jontor bisa disembuhkan dengan cara mengempeskan bibir yang jontor itu. Gara-gara nggak terima, Kampung C menyerang Kampung D dengan strategi serangan fajar meyingsing.

Bukan cuma perang antarsuka atau perang antarkampung. Segenap civitas akademia yang merupakan calon intelektual muda ternyata juga masuk dalam golongan primitif. Suka berperang. Gemar mencari musuh. Timpuk-timpukan batu gara-gara sirik dengan Gedung Universitas Y yang keren mentereng dibanding Gedung Universitas U yang lebih pantas disebut kandang babi. Aktivitas rutin timpuk-timpukan batu ini, dilakukan Universitas U menyerang Universitas Y.

Merubuhkan tembok atau merusak fasilitas milik umum juga mengukir prestasi mahasiswa-mahasiswa Indonesia sehingga menempatkan mereka masuk kategori primitif. Kata Bule temen gw, mahasiswa-mahasiswa yang doyan merubuhkan tembok dan merusak itu niatnya bukan demonstrasi. Tapi frustrasi gara-gara IPK-nya jelek atau nggak lulus ujian atau terancam DO. Dengan melakukan aksi brutal dan vandal, mereka berharap bisa di-hire menjadi Pegawai kasar atau kuli-kuli pelabuhan yang kerjaannya dorong-dorong gerobak.

Namun gw tetap ngotot, nggak semua hal yang ada di Indonesia dibilang prmitif. Ketika Bule ngomong lagi soal makanan di Indonesia, gw kembali ragu-ragu. Kenapa ragu-ragu? Bule itu antara benar dan salah. Benarnya, di Barat sana yang (sekali lagi) menjadi contoh modernisasi, nggak ada makanan kayak kuping kambing, mulut sapi, kaki sapi, terpedo kambing, mata sapi, tulang kambing, kulit sapi, dan aneka jeroan lain. Semua item ini menjadi makanan orang Indonesia.

“Di negara saya, makanan itu khusus buat Anjing. You know Anjing?”

“Anjing is Dog bukan?”

“Yes! Benar! Yang bunyinya gug-gug!”

“Kalo orang makan-makanan Anjing, sama saja orang itu adalah Anjing. Apakah kamu ekstrimis-ekstrimis mau disebut Anjing?”

“....”

Gw coba menjelaskan, orang Indonesia bukan primitif. Tapi menghargai mahkluk ciptaan Tuhan. Bentuk penghargaan itu dengan memakan apapun yang ada di sekujur tubuh mahkluk itu. Misalnya sapi. Binatang lincah ini begitu bermanfaat bagi insan manusia. Mulai dari susunya, iganya, kupingnya, mulutnya, sampai matanya, semua itu bisa dimanfaatkan. Kambing juga demikian. Mulai dari kulitnya, dagingnya, sampai terpedonya menjadi sasaran yang asyik buat dinikmati manusia. Hayo apa lagi?

Nggak cuma binatang, tumbuh-tumbuhan juga begitu. Kok tumbuh-tumbuhan? Yaiyalah! Tumbuh-tumbuhan juga mahkluk hidup dan ciptaan Tuhan. Pohon kelapa contohnya. Semua yang ada di pohon kelapa begitu bermanfaat. Daunnya buat bikin bungkus ketupat. Tangkai yang ada di tengah daun difungsikan buat sapu lidi. Buah kelapa juga dimanfaatkan luar dalam. Yang didalam, airnya, buat diminum. Daging kelapa buat santan. Batangnya buat bangun rumah atau buat ngegebukin maling kalo malingnya belum kapok-kapok mencuri.



“Jadi jangan sembarangan bilang Indonesia primitif ya?”

Si Bule nggak menjawab. Gengsi rupanya merespon pertanyaan gw. Tanpa terasa, kami tiba di sebuah warung di dekat Terminal Rawamangun. Gw langsung memesankan makanan. Bule yang masih diam-diam nggak penting, gw pesankan makanan juga. Dan kami pun makan.

Beberapa menit kemudian.

“Ini makanan apa? Enak sekali?”

“Udah nggak usah banyak tanya. Makan aja. Mau tambah nasi?”

“Memang boleh?”

“Ya bolehlah...”



Dari sepiring nasi, Bule nambah lagi sepiring nasi lagi. Maklum, kuah yang ada di mangkuk belum habis. Kata si Bule sayang kalo kuahnya nggak dihabiskan. Apalagi, si Bule tergila-gila sama Kuah-nya. Katanya sueger buanget!

Beberapa menit berlalu. Setelah membayar, gw dan Bule meninggalkan warung itu. Kalo sebelumnya si Bule diam, kini doi berubah jadi cerewet. Doi cerita tentang makanan yang baru dimakan olehnya nikmat sekali. Next time doi ingin diantarkan kembali ke warung itu. Gw cuma “yes-yes” aja.

“Om, loe tahu nggak apa yang elo makan tadi?”

“Enggak! Tapi enak banget!”

“Yang elo makan tadi itu adalah sop...”

“Cop? Polisi?”

“Bukan! Sop. Sop yang isinya kaki sapi, lidah sapi, mata sapi, dan terpedo kambing...”

“What?!”

Si Bule langsung mau muntah. Doi membuka kaca jendela mobil gw. Mulutnya dipaksa untuk mengeluarkan makanan-makanan yang tadi dimakan olehnya. Namun usahanya nggak berhasil. Gw cuma tersenyum melihat kelakuan si Bule. Sok ngejek bangsa primitif, tapi doi suka juga. Pake sok mau memuntah diri pula. Sutralaaaah!

KAYAKNYA NGGAK GITU-GITU AMAT DEH!

Bukan main bahagianya hati gw. Barack Obama (47) akhirnya terpilih juga jadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44. Hari ini, gw bersama teman-teman seangkatan gw melakukan sholat gaib menyambut rasa suka cita ini.

“Kenapa pake sholat-sholat ghaib segala sih?” kata temen gw.

“Buat menyambut keberhasilan Obama jadi Presiden Amrik kalee. Masa menyambut keberhasilan Dicky Chandra jadi Wakil Bupati Tasik?,” jawab gw seenaknya, yang agak sok tahu soal maksud dan tujuan sholat gaib.

Temen gw geleng-geleng kepala. Nggak tahu doi geleng karena gw hebat atau malah sebaliknya gw rada tolol melakukan sholat gaib. Gw pernah baca sih, sholat gaib buat mensholatkan seseorang yang mayatnya nggak ada di depan mata kita. Selebihnya gw nggak tahu. Karena gw nggak tahu, makanya gw sok tahu. Jadi gw anggap, kemenangan Obama boleh disholatkan. Apalagi doi nggak ada di depan mata kita.

Nan jauh di Menteng sana, ratusan SDN Menteng 01, Jakarta Pusat juga melakukan acara syukuran. Mereka yang hadir adalah rekan-rekan Obama seangkatan di sekolah tersebut, yakni dari tahun 1973-1974. Nggak ketinggalan, Kepala Sekolah tahun dimana Barry (sebutan buat Barack Obama) sekolah, Tine Hahijari (80) hadir. Sama kayak gw, syukuran ini dalam rangka menyambut pelantikan Obama pada Rabu (21/01) di National Mall.


Obama membawa kalungan bunga dalam Hall of Remembrance, Yad Vashem Holocaust Memorial di Jerusalem, pada hari Rabu, 23 Juli 2008


“Kami berharap kenyataan ini akan menginspirasi para siswa kami,” ujar Kepala Sekolah SDN Menteng 01 Hasimah.

Dalam rangka syukuran yang menghabiskan dana sekitar 100 jutaan tersebut, siswa-siswi sekolah menampilkan gambang keromong, menyanyi, pembacaan puisi, dan menari. Sebelumnya, ada potong tumpeng yang disaksikan Duta Besar AS untuk Indonesia, Cameron Hume. Pokoknya seru banget. Bahkan gw sempat menyumbangkan baju-baju bekas, buku-buku bekas, dan kolor-kolor bekasnya. Itu buat menyumbangkan dana syukuran.

“Maklumlah gw kan orang kaya,” kata gw sok kaya. Padahal masih Pegawai kelas rendahan. “Orang kaya biasanya kan selalu ditodong jadi donatur. Mumpung di rumah gw banyak barang-barang bekas, ya gw sumbanglah.”

Gw dan manusia-manusia lain memang lagi deman Obama. Sebenarnya kalo udah dibilang deman, berarti udah masuk kategori sakit. Artinya, kami -para demamers atau manusia-manusia yang deman- adalah manusia sakit. Kalo sakit, harusnya dibawa ke dokter. Terserah nantinya dokter mau ngasih obat atau suntik. Yang pasti demam kudu dibasmi supaya nggak mati. Jangan main-main lho sama deman? Meski dibilang sakit, gw tetap aja akan melakukan sholat gaib.

The demamers Obama juga berlangsung di toko-toko kaos dan souvenir. Di Outlet Rockets di Senayan City, seperti yang dikutip dari Warta Kota (21/01), produk-produk yang ada Obama-nya laris manis bak kacang goreng. Anehnya, menurut Supri, penjaga toko itu, yang beli kebanyakan orang Indonesia. Bule-bule malah nggak banyak yang beli.



“Aneh ya?” kata teman gw.

“Aneh kenapa?” tanya gw.

“Kenapa orang Indonesia gokil-gokil banget. Sampe segitunya sama Obama...”

“Menurut gw sih nggak gokil lah,” kata gw. “Kenapa orang Indonesia tergila-gila sama Obama, karena masih ada ikatan bathin. Maksudnya, kesuksesan Obama ini baru pertama kali daam sejarah Indonesia, bahwa ada bekas anak Menteng yang bisa jadi Presiden negara super power kayak Amrik”.

“Emang loe pikir Obama peduli sama Menteng? Emang loe kira doi care sama SD tempat doi berguru?”

“Hmmm...nggak tahu deh kalo itu..”

Pertanyaan temen gw ada benarnya juga. Obama memang sempat empat tahun tinggal di negara kita yang tercinta ini. Tapi apa doi peduli sama Indonesia? We don’t know for sure. So, ngapain juga sampai syukuran segala yang konon kabarnya menghabiskan dana sekitar 100 jutaan itu? Bukankah lebih baik uang segitu disumbangkan ke mereka yang nggak mampu? Ah, gw rasa sih uang segitu buat anak-anak Menteng cuma recehan kali ya? Wong pajak rumah di Menteng setahun bisa buat beli satu mobil. Tapi tumben-tumbenan temen gw rada pintar pertanyaannya. Sebelumnya, doi rada tolol juga. Entah kenapa pas ngobrolin soal Obama, doi rada jenius.


Obama sedang melakukan ritual Yahudi pada dinding Monument Jew (Perbuatan ini dilakukan oleh orang Yahudi untuk menyampaikan mesej rahasia sesama orang Yahudi saja).



“Elo tahu nggak kalo dalam pidatonya, Obama tetap akan membela Israel?”

“Enggak..”

“Elo tahu nggak kalo dalam pidatonya, Obama akan menjamin keamanan di Israel?”

“Enggak..”

“Elo tahu juga nggak kalo dalam pidatonya, Obama nggak mau berdialog dengan pejuang Hamas?”

“Enggak..”

Pertanyaan-pertanyaan temen gw soal pidato Obama, selalu gw jawab enggak. Gw memang jujur. Kebetulan gw memang nggak tahu isi pidatonya, karena pada saat pelantikan, gw nggak nonton, bo! Pantes kan? Itulah yang menurut temen gw, gw terlalu naik ikut-ikutan demam Obama.

Temen gw nambahin, nggak ada sepotong kalimat pun dari pidato Obama, yang menyinggung soal keadilan dan penegakan hukum dalam krisis antara Israel dan pejuang Hamas di Jalur Gaza. Jadi, kata temen gw, AS di bawah Obama, sami mawon dengan Presiden sebelumnya. Bahkan dari beberapa sumber, komitmen Obama buat menganakemaskan Israel, sangat kuat.


Obama sedang melakukan ritual Yahudi

Sebenarnya soal latar belakang Barack kenapa sampai dekat banget sama Israel pernah gw denger. Sayangnya gw nggak percaya. Gw memang pernah denger, nama Barack adalah nama Yahudi. Asalnya dari ayat "baruch". Kebanyakan ahli ibadat Yahudi menggunakan nama "baruch"sebagai nama pertama mereka. Bekas perdana menteri Israel, Ehud Barak, juga ngambil nama "baruch". Sementara nama kedua Obama, juga mirip sama kata "Ahabah". Bent Ahabah adalah nama buat synagogue (satu upacara multilation untuk bayi-bayi Yahudi).

“Intinya, Obama membeckingi semua kebejatan zionis Israel,” papar temen gw.

Gw bengong dengan paparan teman gw. Kok bisa-bisanya doi ngerti soal Obama? Kok doi ngerti komitmen Obama dengan negara Israel? Antara percaya nggak percaya, temen gw bisa cerita panjang lebar soal Presiden kulit hitam ini. Nggak cuma soal komitmen dengan Israel, doi juga fasih menjelaskan soal mobil kepresidenan yang ditumpangi Obama mirip tank seharga Rp 4,8 milyar itu. Doi juga tahu pelantikan Obama di National Mall itu menghabiskan dana sekitar 150 juta dolar US dan menjadi upacara pelantikan termahal sepanjang sejarah.

“Gw sangat mengerti, temen-temen elo yang anak Menteng itu bangga mereka pernah satu kelas dengan Obama di SD Menteng,” jelas temen gw. “Siapa sih nggak bangga punya teman sekelas yang tiba-tiba jadi Presiden AS?”



“Nah, elo ngerti tuh?!”

“Iya! Tapi kayaknya nggak gitu-gitu amat deh!”

“Maksud loe?!”

“Nggak perlu sampai tumpengan segala dengan menghabiskan dana 100 jutaan itu. Membangga-banggakan Presiden yang punya komitmen gokil dengan Israel. Siap membeckingi Israel. Apa elo nggak sedih ngeliat pembantaian yang dilakukan Israel terhadap Palestina?”

“Sedih juga sih. Bahkan gw sebel banget saudara-saudara gw dibunuh..”

“Nah! Elo baru sadar tuh...”

Tiba-tiba gw sadar. Propaganda temen gw berhasil.

“Sekarang gw mau tanya sama elo. Kalo alumni angkatan 1973-1974 SDN Menteng itu kan gara-gara mereka memang satu angkatan dengan Obama. Jadi masih nyambung kenapa mereka melakukan syukuran. Nah, kalo elo ini bagian dari siapanya Obama? Temen satu RT kah?”


Obama dinasihati Rahm Emanuel, orang Yahudi pas kampanye Presiden bulan November 2008. Waktu itu Rahm Emanuel ditawarkan Obama jabatan menjadi White House Chief Of Staff. Lebih mengagetkan lagi, Mentor Obama: Abner Mikva bilang: "Obama will be the first Jewish President Of USA" (ditulis di Jerusalem Post pada 5 November 2008.


“Bukan..”

“Satu RW kah?”

“Bukan juga...”

“Jadi elo apanya Obama?”

“Gw dulu pernah dikentutin Obama. Jadi gw merasa bangga, orang yang pernah ngentutin gw jadi Presiden Amrik. Makanya gw bikin sholat ghaib...”

“Dasar! Bocah gendeng!”

Monday, January 26, 2009

DEMI UANG, MARI MENYIKSA ANAK...

Kemiskinan memang selalu menjadi sumber kekerasan. Tanpa sadar, manusia-manusia miskin selalu melakukan berbagai cara agar mereka bisa survive. Berbagai cara ini lebih banyak menggunakan anak sebagai sumber pendapatan mereka. Lebih tepatnya, mudah mendapatkan uang.

"Habis mau gimana lagi?" kata salah seorang miskin yang udah puluhan tahun miskin. "Dengan memakai anak, kami jadi bisa cepat mendapatkan uang".

"Memangnya nggak bisa yang mencari uang orangtua? Bukankah anak-anak di bawah umur dilarang bekerja?"

"Orang-orang sekarang udah nggak punya jiwa sosial kalo yang ngamen atau ngemis orangtua seperti kita. Sekarang trend udah beda. Orang-orang kaya masih punya rasa sosial pada anak-anak.."



Mari kita lihat di jalan. Betapa kita menyaksikan sendiri anak-anak dieksploitasi sedemikian rupa. Kalo nggak menjadi Pengamen, Penjual Koran, maupun Pengemis. Sementara orangtua si Anak, enak-enakkan duduk sambil bersandar di sebuah tiang di bawah jalan tol. Di perempatan Coca-Cola, Cempaka Putih, nggak terhitung jumlah anak-anak yang beredar di jalan.

Miris sekali melihat pemandangan itu.

"Siapa yang mau bertanggungjawab kalo kami lapar?" kata si Ibu dari golongan miskin lagi, yang anaknya sedang bersusah payah meminta uang dari satu mobil ke mobil lain. Dimana tangan mereka mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil, berharap seseorang rela memberikan recehan seratus atau lembaran seribuan.

Di tanya soal siapa yang bertanggungjawab, gw rada bingung juga. Gw nggak mungkin menanggung biaya puluhan bahkan ratusan anak-anak yang tiap hari beredar di perempatan lampu merah atau di terminal-terminal bus. Gw terlalu kere buat mengeluarkan uang, kecuali nanti kalo gw dah dibaptis jadi konglomerat. Gw nggak akan beli mobil seharga puluhan miliar. Pasti gw akan berikan puluhan miliar buat mereka yang benar-benar butuh.



Pemandangan lain bagaimana anak menjadi sumber uang, terjadi ketika kami melakukan wisata ke gedung-gedung tua di daerah kota. Anak-anak menjadi tontonan banyak orang sore itu di pelataran depan gedung Fattahillah. Sebuah pertunjukan model-model kuda lumping, berlangsung cukup seru, dimana yang menjadi pemain utamanya anak-anak.

"Ayo kerja!" Itu kata seorang Bapak berpakaian kaos warna merah. Gw nggak tahu siapa dan nggak mau tahu. Cuma bisa menerka, doi mungkin Bapak dari anak-anak itu, yang selain menjadi pemukul gong, juga menjadi motor penggerak kesenian ini.

Seorang anak terpaksa mematuhi sang Bapak. Anak yang usianya kira-kira 11 tahun itu memamerkan skillnya, yakni mampu memasukkan tubuhnya ke dalam sebuah lingkaran kayu. Selama usaha, anak kecil itu "dikerjain" oleh anak kecil juga. Masih mending kalo "dikerjain"-nya cuma dikelitikin. Anak kecil itu sempat disabetin dan didorong pakai kaki hingga jatuh. Kasihan, tapi anehnya kejadian tersebut malah membuat para penonton tertawa.

Selama pertunjukan, ada seorang Ibu menggendong bayi yang sedang tidur. Ibu yang usianya kira-kira 50 tahunan ini berkeliling sambil membawa sebuah kotak. Kotak ini nggak lain adalah kotak sumbangan, dimana para penonton yang menyaksikan akrobat ini ikhlas memberikan sebagian uang.

"Sebenarnya aku nggak mau nyumbang," kata Istri gw. "Aku nggak tega melihat anak kecil disabetin. Kalo aku menyumbang, sama saja mengizinkan anak kecil disiksa begitu. Tapi kalo aku nggak menyumbang, keluarga itu jadi nggak bisa makan..."

Serba salah bukan?

Seharusnya anak-anak ini bukan untuk ditonton. Anak-anak ini nggak punya kewajiban menjadi sumber uang keluarga. Memang keluarga butuh makan, tapi anak punya hak untuk menolak. Apalagi sampai disabetin segala. Ini sama saja kekerasan terhadap anak. Apakah pertunjukan ini tidak masuk hitungan sebagai suatu kekerasan terhadap anak? Entahlah! Namun inilah dunia kemiskinan. Nggak ada yang nggak mungkin. Semua harus kerja, semua harus membantu.



Ternyata kalo kita telusuri sejarah. Menjual anak sebagai sumber uang bukan dari dunia miskin saja. Mereka-mereka dari keluarga yang otaknya masih layak pakai, kaum intelektual, seringkali tanpa sadar udah mengekpolitasi anak. Exploitation softly, istilah gw. Anak dijadikan Penyanyi atau Bintang Sinetron. Orangtua ngotot mengajak anak casting ke sana ke sini. Berharap anak mereka sukses. Konteks sukses di sini, sukses secara finansial, bukan dari akademis atau people skill yang seharusnya lebih dulu ditumbuhkan pada diri anak.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga seringkali memanfaatkan anak. Tujuannya nggak lain nggak bukan, supaya menimbulkan dampak "kasihan" pada orang-orang yang melihat. Pada saat demo, manusia-manusia miskin diwajibkan mengerahkan anak-anak mereka. LSM via oknum, menuntut agar kebijakan Pemerintah lebih pro ke manusia miskin. Begitu tujuan udah tercapai (baca: mendapatkan "jatah preman"), oknum LSM tadi biasanya nggak galak lagi. Diam seribu bahasa.

Entah apa namanya kalo anak dipaksa orangtua atau LSM. Mengekploitasi? Atau mungkin lebih tepat disebut menyiksa? Apapun namanya, mayoritas orang tahu, anak-anak yang muncul ke permukaan lebih banyak untuk kepentingan orang tua mereka. Kepentingan LSM. Ironisnya, "perjuangan" mereka lebih banyak untuk kepentingan uang. Uangnya untuk kepentingan pribadi pula. Kloplah sudah!

Saturday, January 24, 2009

LICIK TO INSTITUT PARA SENIMAN

Tahun 80-an, ada daerah di Melawai yang ngetop banget. Saking ngetopnya, Presiden kala itu kalah populer. Nama bekennya Lintas Melawai. Biasa disingkat LM. Please akronim itu jangan dibolak-balik. LM is LM. Kalo LM dibalik ML, konotasinya jadi beda. Pasti elo udah ngerti dong akronim LM?

Di LM, anak-anak muda dari segala jenis kelamin biasa memamerkan segala macam yang mereka punya. Kalo kebetulan fisiknya yang yahud (misalnya tampangnya kece, trus pake kecemete), pasti langsung disuit-suitin (baca: bersiul). Syukur-syukur langsung diajak kenalan sama yang bertanggung jawab mensuit-suitin itu.



"Hai cewek! Kenalan dong," kata seorang cowok yang biasanya bareng teman-teman segengnya.

"Boleh kao berani," jawab si cewek yang memang kece, mirip Yoko Ono itu.

Kalo mujur, cewek yang diajak kenalan berjenis kelamin beda. Cewek diajak kenal sama cowok. Kalo nggak apes, cowok diajak kenalan sama cowok juga. Atau cewek diajak kenalan sama cewek juga. Buat mereka yang masih normal, tentu hal itu sangat-sangat ironis.

"Masa gw yang ganteng dan macho gini ditaksir cowok sih?" ungkap salah seorang peserta mejeng asal Bekasi.

"Mungkin wardrobe elo menyangsikan jenis kelamin elo, Bro!"

"Oh iya, bener juga sih. Mungkin pas mejeng next week, gw nggak perlu pake long dress kali ya? Pake rok gimana menurut loe?"

"Sama aja kaleee..."

Di LM, selain manusia-manusia yang merasa dirinya paling keren, kece, ganteng, cantik, bulukan, ubanan, ada juga manusia-manusia yang sok paling kaya. Mereka yang sok kaya ini memamerkan aneka jenis kendaraan mereka. Mulai dari mobil-mobil yang sedikit sekali di Indonesia (baca: cuma orang-orang tertentu yang mampu membeli), mobil CBU (completly build up), dan juga motor-motor gede (moge). Mereka ini bolak-balik di jalan LM. Berharap ada yang nawar, kalo nggak orangnya ditawar, ya mobil mereka. At least ada yang kagum lah dengan kendaraan mereka.



"Wih, hebring ya warna mobilnya..." kata seorang cewek berlesung pipit sebelah.

"Iya. Nggak nyangka, cowok suka juga warna-warna klasik Dalmations," kata teman si cewek lesung pipit sebelah itu.

Memang nggak ada kerjaan orang-orang pemilik kendaraan mahal itu. Bolak-balik, ngabisin bensin. Terkadang juga ngabisin suara. Ya, teriak-teriak sambil mengikuti penyanyi yang lagunya sedang diputar via tape di mobil mereka, yang suaran terdengar sampai Bogor itu.



Buat yang nggak punya kendaraan, sok-sok nyebrang jalan. Ini sebenarnya strategi cari perhatian. Yaiyalah! Gimana lagi cari perhatian kalo nggak nyebrang? Nongkrong aja di suatu tempat, nggak menghasilkan seorang yang bisa diajak kenalan. Dengan menyebrang, berharap mata manusia-manusia yang berada di situ tertuju pada orang yang menyebrang. Meski udah menjalankan strategi menyebrang itu, kadang manusia-manusia penyebrang ini apes juga. Artinya, nggak dapat hasilnya. Nggak ada yang mau kenalan. Kalo masih belum mendapatkan hasil, sebaiknya lakukan sesering mungkin.

Ada dari mereka yang baru dapat kenalan setelah 10 kali menyeberang. Banyak pula yang mengikuti strategi ini tertabrak kendaraan. Gara-garanya, ada yang suit-suitin, mata meleng, ada mobil, si Penyeberang nggak lihat, si Pembawa mobil juga nggak lihat. Tertabraklah si Penyebrang itu. Doi dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi berdarah-darah. Begitu sampai di Rumah Sakit di Unit Gawat Darurat, darahnya habis, nyawanya juga habis. Apes banget kan kalo kejadiannya begitu? Tapi selama tahun 80-an, belum pernah dengar sih kejadian apes begitu.



Di daarah lain ada sebuah tempat, yang nggak kalah ngetop. Namanya Lintas Cikini atau biasa disingkat LICIK. Kalo di LM yang mejeng anak-anak muda dan orangtua-orangtua yang merasa berjiwa muda, di LICIK yang ngeceng adalah seniman-seniman. Mereka ini terdiri dari bebagai macam seniman. Ada seniman musik, seniman teater, seniman tari, seniman sinematografi, seniman lukis, dan yang nggak ketinggalan seniman demonstrasi (seniman ini kerjaannya jadi Provokator mahasiswa-mahasiswa buat demonstrasi).

"Kenapa sih banyak Seniman di situ?" kata teman gw yang asalnya dari Kutub Utara yang nggak tahu sejarah Cikini.

"Karena di LICIK ada kebon binatang..."

"Apa hubungannya Kebon Binatang?"

"Ya ada dong! Biasanya kan di Kebon Binatang banyak pohon, banyak binatang. Nah, Seniman bisa mengekspresikan diri mereka. Bagi Seniman lukis, mereka bisa melukis pohon atau binatang. Bagi Seniman tari, mereka bisa mencontoh gaya Monyet melakukan aksi Tari Panjat yang beda sama Tari pendet. Terus buat Seniman musik, mereka bisa mendapatkan inspirasi dari suara-suara burung sehingga bisa menghasilkan aransemen yang gemilang..."



"Kalo Seniman Teater ngapain di Kebon Binatang?"

"Bisa berdialog dengan mahkluk-mahkluk yang ada di situ. Anggap aja latihan membaca naskah dengan ditemani binatang. Atau adu kuat-kuatan teriak sama gajah. Bukankah Seniman Teater sering teriak-teriak buat latihan vokal?"

Dahulu Taman Ismail Marzuki (TIM) memang Kebon Binatang. Kemudian berubah fungsi menjadi markas kereta-kereta buat konsumsi masyarakat kota atau biasa dikenal dengan sebutan trem.

Di LICIK, banyak sekali toko-toko bahuela yang masih manggal di situ. Struktur bangunan di situ juga mengingatkan kita pada zaman Belanda. Kalo gw melintas di LICIK, serasa barada di kota tua, sebagaimana kalo gw berada di kota. Mulai dari gedung kantor pos yang ada di pojokan Gondangdia sampai ke gerbang TIM, nuansa bahuela-nya masih terasa.



Terus terang gw salut dengan gedung-gedung sepanjang Kantor Pos menuju ke TIM yang masih dilestarikan. Kalo elo jalan, lihatlah struktur bangunan plus jendela-jendelanya, tembok-temboknya, bahkan pintu-pintu ala Belanda, masih difungsikan. Maaf, gw nggak bisa memotret dengan detail. Cukup gw ceritakan aja ya? Terus di situ ada sebuah tempat ngopi yang suasananya dibuat se-bahuela mungkin, agar mereka yang mau nongkrong di situ benar-benar dibawa ke alam masa lalu. Ada bangku kuno, foto-foto hitam putih, dan aksesoris yang kelihatannya asli jadul. Gw nggak tahu sampai kapan ini bakal bertahan. Bukan cuma tempat ngopi itu, tapi seluruh bangunannya. Doakan supaya jangan dipugar. Oh iya, yang nggak boleh diremehkan, masih ada pabrik roti jadul di situ. Namanya Tan Ek Tjoan. Sayang, gw nggak boleh masuk, tanya-tanya, dan foto-foto. Takut mencuri resep turun temurun cara membuat rotinya kali ya?

Setelah LICIK, pastinya TIM yang tersohor sebagai gudangnya Seniman yang tadi gw udah ceritakan di atas. Seniman-Seniman ini kalo nggak belajar, yang jalan-jalan ke Kantor Pos atau window shopping di sepanjang LICIK. Maklum, dahulu nggak ada Mal. Jadi, jalan-jalan ke kantor pos udah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.



"Elo tadi sempat ke kantor pos?"

"Iya! Masa elo nggak percaya?"

"Ah, yang bener?"

"Bener..."

"Wah, hebat loe ya bisa ke kantor pos. Nggak semua orang bisa ke kantor pos. Cuma orang-orang tertentu aja yang bisa ke situ. Salah satunya elo. Elo memang spesial deh.."

"Ah, bisa aja Abang ini," agak ge'er dipuji begitu.

"Di situ elo beli apa?"

"Beli perangko.."

"Elo beli perangko?! Setengah nggak percaya lagi.

"Iya! Masa elo nggak percaya sih?"

"Hanya orang-orang hebat yang bisa beli perangko," puji lagi.

"Ah, bisa aja Abang ini," lagi-lagi ge'er.



Seniman-seniman ini kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dahulu namanya Lembaga Pendidikan Keseninan Jakarta (LPKJ). Berdirinya Lembaga ini pada tanggal 25 Juni 1976 atas prakarsa Presiden Suharto. Awalnya, bertujuan untuk mendirikan sebuah pendidikan khusus seni buat mengembangkan kebudayaan Jakarta. Juga sebagai wadah bagi seniman lokal yang ingin berkembang. LPKJ dulu cuma jadi bagian kompleks seni di Taman Ismail Marzuki. Sejalan dengan perkembangan zaman, LPKJ semakin banyak menghasilkan seniman-seniman yang mulai diakui dan mengembangkan banyak studi. Maklumlah, di Lembaga ini, calon-calon Seniman digodok aneka rupa supaya jadi Seniman handal. Ya Seniman Tari mungkin, Seniman Musik, Seniman Teater, Seniman Lukis, atau Seniman Film.

Masuk ke gerbang IKJ, kita bakal melihat tembok-tembok digambar. Ada gambar Ali Sadikin, gambar seniman-seniman lulusan IKJ yang sangat terhormat, lukisan abstrak, dan lukisan-lukisan lain. Ini kata Pengamat masalah IKJ, lukisan tembok atau dikenal dengan istilah mural ini, merupakan sebuah cermin ekspresi Seniman dalam menyalurkan karya. Karena diperbolehkan mahasiwa mencoret-coret tembok, maka beberapa tembok yang seharusnya nggak dilukis tetap dijadikan media lukis.

Buat yang nggak suka melukis di tembok, melukis di badan mereka. Badan mereka yang terlahir bersih, indah, dan berwibawa, jadi dikotori oleh gambar-gambar tato. Mereka anggap, tato menjadi bagian dari ekspresi diri.

"Nggak afdol kalo Seniman nggak ada tatonya..." kata anak IKJ yang nggak mau disebutkan namanya, nggak mau digambarkan ciri khasnya, nggak mau dihutangin duitnya, dan nggak mau diajak berdamai.




"Ah, masa sih? Memangnya ekspresi cuma lewat tato?"

"Ya, enggak sih. Tapi tato lambang ekspresi!"

"Oh begitu ya?"

"Jadi nggak bisa sholat dong?"

"Bisa lah yau?"

"Gimana caranya?"

"Dihapus..."

"Mana bisa dihapus? Itu kan tato permanen?"

"Ini cuma tato-tatoan tolol! Ini tato yang dibuat pake spidol! Tinggal kasih spirtus dan bakar pake korek api, hilang kan?"

"...."


Tato di tubuh mereka lucu-lucu. Nggak cuma gambar yang menyeramkan. Tapi ada tato Doraemon. Tato wajah guru SD mereka yang mengajar mata pelajaran Matematika. Ada tato nilai raport mereka pada saat mereka berhasil mendapat rangking pertama. Ada pula tato

Sebagai alumnus IKJ, gw bangga bisa sekolah di sini. Bukan cuma punya teman yang badannya bertato. Bukan pula bangga punya teman yang tiap kuliah sampai kerja selalu pakai sandal jepit. Jadi kenapa dong? Karena gw masih sempat ketemu yang namanya Badrun. Hah?! Badrun?! Siapakah gerangang mahluk bernama Badrun itu? Beliau adalah orang yang dicari-cari kalo perut kita sedang melakukan atraksi keroncong alias lapar. Badrun adalah sosok Bapak yang memiliki enterpreunership yang cukup tinggi. Dia tahu kapan mahasiswa lapar, kapan mahasiswa kenyang, kapan mahasiswa ngantuk, dan kapan mahasiswa melek.



"Ngapain juga lulus IKJ bangganya cuma Badrun doang?"

"Jangan sembarangan ngomong ya! Tanpa Badrun, perut kita yang kita cintai ini nggak akan pernah protes," jawab gw yang sedikit filosofi. "Coba bayangankan, kalo perut kita kelaparan dan protes, sementara nggak ada Badrun, kemana kita akan melakukan makan?"

"Kan ada kantin di kampus? Ada dua pula. Kantin di FFTV dan kantin seni rupa?"

"Iya sih. Tapi nggak seindah kalo kita nongkrong di Badrun," kata gw.

"Masa sih?"

"Seniman-Seniman beraneka rupa ada di situ. Nggak cuma dari kalangan C-D, tapi segmentasi A-B juga nongkrong di situ. Kenapa mereka di situ? Biasanya mereka merintis job-job mereka. Ada teman yang lagi nganggur, ada teman yang punya kerjaan. Mereka chit-chat, begitu ketemu harga, mereka lanjut ke jenjang pernikahan, eh maksudnya ke job yang akan mereka lakukan. Jobnya bukan cuma bikin film. Tapi kadang bikin video klip, company profile, nge-disain kaset, disain tembok tetangga, dan masih banyak lagi".

Sebenarnya makan di Badrun STD alias standar-standar aja. Dibilang enak, biasa. Dibilang biasa, ya enak-enak aja. Apalagi kalo pas perut kita lapar. Apalagi pas kanton kita lagi boke dan siap ngutang.



Harga makanan di Badrung juga STD. Kayak warteg-warteg tetangga sebelah lah. Makan pakai nasi, cumi, sayur, tempe, tahu, perkedel, ayam bakar, kerupuk, dan es teh manis cuma 15 ribu. Tapi syaratnya siap ditampar. Begitu ngasih duit 15 ribu, Badrun langsung menampar wajah kita, karena kita bayarnya kurang. Ah, enggak kok. Badrun nggak jahat kayak begitu. Nggak pernah nampar-nampar Mahasiswa atau Pelanggannya. Memutilasi barangkali pernah.

"Badrun itu orangnya kayak gimana sih? Kok gw lupa ya?"

"Pokoknya kalo elo lihat gajah, nah, itu hampir mirip Badrun. Gendut. Perutnya buncit. Jarang mandi. Bedanya cuma tipis. Badrun nggak punya belalai".

"Ekor punya dong?"

"Nggak tahu deh. Kalo ekor di depan sih ada..."

"Itu mah semua cowok punya.."

Sayang, warung nasih yang hampir sebagian besar rangkanya terbuat dari kayu dan bambu ini udah nggak eksis. Warung Badrun kini tinggal kenangan. Warung yang bisa dihutangin itu udah lenyap. Warung yang sering dibohongin oleh sejumlah mahasiswa, karena kadang mereka bayar nggak sesuai dengan apa yang dimakan itu nggak ada lagi. Yang menjadi saksi cuma beberapa pohon yang masih eksis di situ. Juga tanah-tanah yang sempat diinjak-injak para mahasiswa yang mau makan di situ.

"Sedih nggak sih?"

"Ah, biasa aja?" kata temen gw. "Ngapain juga menyedih-nyedihkan diri cuma buat sebuah warung? Memangnya warung yang elo sedihkan itu sedih ngeliat elo sedih kayak begini? Kan enggak?!"

"Iya sih..."

"Sutralah! Life goes on..."

"Artinya..."

"Hidup terus berjalan. Badrun mungkin sekarang malah justru senang dengan hidupnya sekarang. Barangkali doi sekarang dagang perhiasan berlian di Hong Kong. Atau mungkin jualan mobil bekas di New York. Bisa juga sekarang jadi penjual ayam di Jepang. Nobody knows?!"




"Gw nggak peduli Badrun jadi apa sekarang..."

"Lantas kenapa elo sedih begitu? Sampai mau nangis segala..."

"Sekarang ini gw nggak punya ongkos buat nonton di TIM 21. Nonton bareng pacar gw.."

"Terus..."

"Kira-kira Badrun inget gw nggak ya kalo doi masih punya hutang ke 75 ribu? Waktu itu gw cuma bayarin makan temen gw 25 ribu. Jadi doi harusnya kembaliin gw 75 ribu. Eh, begitu gw back to IKJ, Badrun udah lenyap. Warungnya udah rata dengan tanah dan jadi tempat parkir. Gimana dong menurut loe?"

"Please deh!"

Thursday, January 22, 2009

TITISAN BANG HAJI OMA

Tuhan itu maha adil. Gw kembali disadarkan soal keadilan Tuhan, setelah menjalani kontemplasi sepanjang perjalanan Pancoran ke Kawasan Industri Pulogadung via bus Mayasari Bakti 57. Kalo saja gw terlahir sebagai anak orkay alias orang kaya, mungkin gw nggak akan melihat realitas yang ada di depan mata gw.

Kalo nggak perlu-perlu amat naik mobil, gw selalu memutuskan buat naik mobil. Sebenarnya keputusan nggak pake mobil juga dalam rangka pengiritan. Kalo boleh ngeles: bukankah kita dianjurkan untuk irit bensin kendaraan pribadi dan mengganti naik kendaraan umum? Tapi bener kok, gw adalah manusia yang paling malas nyupir. Gw lebih suka disupirin. Sayang, gw nggak tega bayar supir. Buat gw, mending gw nabung atau ngasih infak ke masjid daripada mengeluarkan 700 ribu sampai 1 juta untuk sebuah kenikmatan disupirin.



Balik lagi ke soal keadilan Tuhan dan kebiasaan gw naik bus. Kalo saja Tuhan melahirkan gw di tengah keluarga kaya, yang punya mobil duapuluh biji, yang punya rumah gedong, yang uang jajannya sehari minimal 1 juta, mungkin gw nggak akan pernah menginjakkan kaki di bus Mayasari 57. Gw pasti akan keluar-masuk mobil mewah yang bodynya licin, yang setiap gw mau keluar mobil selalu dibukakan oleh sang Driver. Kaki gw nggak akan pernah menyentuh beceknya tanah, tapi semuanya aspal, ubin, karpet, yang paling mewah mungkin marmer.

Kalo gw terlahir dari keluarga konglomerat, mungkin gw nggak akan mendengar seorang Ibu muda yang berteriak-teriak kala berkomunikasi dengan temannya via handphone. Padahal dia tengah berada di bus yang penuh dengan orang, dimana pastinya seluruh pasang mata akan melihat wajah si Ibu yang dengan cueknya tetap berkacak-cakap.

”Nanti ajah deh ngomongin beli cabenya!” pinta si Ibu pada temannya.

”Apa?! Harga cabe naik lagi?! Padahal kemarin saya baru beli pempers…”

”Pempers buat suami Ibu?”

”Lho, kok situ tahu suami saya masih pakai pampers?”

”Ya tahu lah yau. Kan tahu dari lamaran Mama Laurent...”

Sebenarnya apa yang Ibu lakukan bisa dimaklumi. Suara bising bus, memaksa dirinya bersikap seperti itu. Di luar jendela bus, suara bising kendaraan pun membuat obrolan si Ibu terdengar ke seluruh penjuru kuping penumpang.

Setiap kali, ada saja realitas yang gw saksikan di atas bus. Kalo soal eksistensi copet, itu mah sudah bukan rahasia lagi. Mayasari Bakti 57 itu memang gudangnya copet. Yang paling sering adalah pengamen. Ini yang gw temukan pagi yang ceria ini. Pagi yang sempat diguyur hujan, dimana tetes-tetasan bekas air hujan masih tersisa di kaca jendela bus yang gw tumpangi.

”Selamat berjumpa para penumpang. Selamat ketemu lagi dengan saya Pimpinan Orkes Bahenol yang akan menemani Anda selama perjalanan menuju tempat kerja ...”

Pria tua itu begitu semangat menyapa para penumpang. Melihat usia, sepertinya kita harusnya bisa mencontoh Pengamen ini. Kenapa begitu? Sekarang ini jiwa-jiwa muda sudah ”mati”. Semangat untuk berjuang pada bangsa, pada keluarga, bahkan pada diri sendiri sudah banyak pupus. Entah kenapa, mungkin lebih banyak apriori ketimbang positif thingking, lebih besar pesimis daripada optimis. Dan Pengamen itu nggak seperti itu.

”Pagi yang berbahagia ini saya akan membawakan lagu-lagu dari tiga dedengkot dangdut yang umurnya sudah menua. Mereka adalah maestro negeri ini: Bang Haji Rhoma Irama, Bang Meggy Z, dan Bang Mansyur S....”

Buat mereka yang nggak suka dangdut kayak gw, tentu menyebalkan sekali ada orang yang mau nyanyi lagu bukan kesukaan kita. Masa lagu dangdut? Rasanya pengen ngomong begitu. Tapi nggak mungkin dong? Jadi ngomongnya dalam hati aja, seperti beberapa mahasiswa-mahasiswa lain yang dari tampangnya nggak suka dangdut.

”Padahal dangdut kan is music of my country, Bro,” kata temen gw yang nggak sempat naik bus 57, tapi sok memberi komentar.

“Itu kan kata Project Pop,” timpal gw.

”Buat gw metal is music of my country...”

“Metal itu yang sering dinyanyikan Rinto Harahap ya, Bro?” Sebuah pertanyaan tolol dari teman yang sok tahu. Nggak ngerti musik.

”Bukan stuppid! Lagu metal itu biasa dinyanyikan Teti Kadi..”

”...”

Pengamen itu nggak peduli dengan apa kata Penumpang. Khususnya Penumpang yang nggak suka lagu dangdut. Terlebih lagi nggak suka sama Bang Hajji Rhoma Irama. Musisi dangdut yang digelari Raja Dangdut dan juga digelari selebritis yang doyan kawin. Hush! Jangan ngomong sembarangan, ah! Itu gosip! Gosip apa gosip?

”Nanti elo diadukan Angel Lelga Komnas Infotainment?”

”Emang ada?”

”Ada lagi! Emang elo nggak tahu?”

”Kerjaannya apa?”

”Mengevaluasi gosip-gosip yang nggak sip. Maksudnya gosip yang sebenarnya benar-benar terjadi, tapi diberitakan ke masyarakat jadi simpang siur..”

”Trus Angel itu maksudnya ngapain ke Komnas Infotainment?”

”Ya barangkali mau mengaku apa adanya. Terhadap hubungan dirinya dengan penyanyi dangdut di bus Mayasari 57 itu...”

”Angel Lelga ada main sama Pengamen 57 yang bawain lagunya Rhoma Irama?”

”Whatever you said, I don’t care!” Itu bukan kata-kata yang dilontarkan Angel Lelga. Bukan pula Pengamen. Karena jarang banget Pengamen yang bisa bahasa Inggris. Kalo bahasa Perancis mungkin masih bisa. Maksudnya, bahasa perapatan Ciamis.

Pengaman tahu, bahwa sikap malu akan menghambat hidupnya. Kalo saja malu lebih besar daripada keberanian, dia nggak akan pernah mendapatkan cukup uang untuk makan, dan cukup uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Karena nggak ada satu pun orang yang memberinya makan. Nggak ada satu Departemen pun yang peduli anak-anaknya sekolah atau tidak, even Pemerintah yang menjanjikan ”Free Education for All” pun nggak dirasakan Pengamen ini. Meski begitu, suaranya lumayan. Maksudnya lumayan maksa. Mungkin dia ingin dianggap sebagai titian Bang Haji Rhoma Irama.

Namun, sikap malu seringkali di salah artikan oleh manusia. Untuk melakukan hal yang positif, hal yang halal, yang nggak mengganggu orang lain, yang nggak menyalahi kondrat, kita malah bersikap malu. Sebaliknya, ketika kita mencoba menyogok polisi karena ditilang, orangtua atau salah satu anggota keluarga kita korupsi, Bos kita tukang bunuh orang, kita malah nggak merasa malu. Aneh!

Lihatlah koruptor-koruptor di media masa. Dengan peci dan baju koko, mereka seolah nggak ada dosa melangkah masuk ke pengadilan. Padahal mereka udah merugikan negara bertriliun-trilun. Padahal mereka punya gelar akademis maupun gelar Haji yang selalu dibangga-banggakan mereka maupun orang lain. Lihat juga poster-poster para Caleg, para Capres yang terpampang di segala penjuru jalan raya. Mereka seolah nggak punya rasa malu lagi untuk mengakui diri: jujur, adil, cerdas, merakyat, rela berkorban, dan positioning positif lain. Lucu! Benar-benar nggak tahu malu!

”Sebagai lagu selanjutnya dari Abang kita Meggy Z yang selalu menyukai sakit gigi daripada sakit hati. Moga-maga lagu ini bisa menentramkan hati Anda yang sedang sakit hati..”

Pengamen ini luar biasa. Gw belum tentu setegar dia. Belum tentu gw bisa menahan rasa malu bernyanyi di hadapan orang-orang di bus ini. Dia luar biasa! Gw yakin hidupnya juga jauh lebih melarat dari gw. Inilah yang selalu gw ambil hikmah bahwa ”di atas langit masih ada langit”. Tuhan maha adil. Moga-moga biar gw udah kaya, jadi konglomerat, jadi orang terkaya seperti Sukanto Tanoto, gw masih punya kepekaan sosial seperti sekarang. I hope so!

SIAPA SURUH MAKAN TONGSENG DI SINI?



Udah 15 tahunan, warung ini berdiri dengan gagah perkasa. Meski di samping warung ini, laju kendaraan berseliweran dan menimbulkan bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, tongseng ini tetap eksis. Memang nggak ada hubungannya sih. Sing arep mangan tongseng, monggo mangan. Sing naik kendaraan, yo monggo.

Udah 3 generasi yang melayani warung tongseng ini. Dari yang namanya mas Min, berubah menjadi mas Plus (ini pasti gara-gara lawan dari tanda "-" ya "+") di genarsi kedua. Kini di genarasi ketiga namanya penjualnya Pak Bagyo. Lho kok Pelawak jadi Pedagang Tongseng? Itu bukan Pelawak. Kalo yang dimaksud Bagyo si Pelawak yang temannya Darto Helm, itu sih udah meninggal lama, Bro!

Meski udah tiga generasi, kelezatan tongseng yang berlokasi di jalan DI Panjaitan no 3 ini asoy geboy banget. Keasoygeboian ini menyebabkan di Pelanggan banyak yang nambah nasi dan kekenyangan. Harganya pun relatif murah: Rp 16.000 per porsi. Ini bukti! Bahwa jajanan yang nggak punya lisensi buat di-frenchise-in masih tetap bisa menjaga kualitas makanannya. Dalam hal ini soal kelezatannya.

"Aduh, perut gw kenyang banget, Bo!"

"Siapa suruh makan tongseng di sini?!"

"Iya-ya. Tahu tongsengnya enak, pasti gw nggak akan pernah makan di sini deh! Nggak akan pernah nambah nasinya..."

"Sekarang baru nyesel kan?"

"Iya gw nyesel. Oh Tuhan, maafkan aku udah makan di sini. Harusnya makan di sana."

"Manusia memang begitu. Menyesalnya terlambat begitu udah kejadian..."

Wednesday, January 21, 2009

KOK JAKARTA SEPI KAYAK DI KAMPUNG KITA YA BANG?

Kalo dihitung-hitung, udah hampir satu tahun lebih, gw jadi pelanggan tetap Youndri. Hairtylist gw ini memang jempolan. Two tumbs! Nggak ada Hairstylist yang bisa ngalahin doi. Nobody! Itu menurut versi gw, Bro. Kenapa begitu? Si Youndri udah kenal kepala gw. Ingat! Cuma struktur kepala gw, bukan isi kepala gw.

Sebagai Hairstylist, selain jago potong rambut, doi kudu kenal lebih dekat dengan kepala orang yang mau dipotong. Tentu rambutnya yang mau dipotong, bukan kepalanya. Kalo yang dipotong kepala, itu sama aja doi sebangsa Ryan. Tahu dong sopo Ryan itu? Cowok berdarah dingin penggemar mutilasi. Youndri isn’t Ryan.



“Lho, bukannya Youndri klemer-klemer kayak Ryan?”

“Kalo klemer-klemer iya, tapi doi nggak ngefans sama tubuh manusia. Doi cuma suka rambut manusia. Tapi rambut yang ada di kepala, lho,”

“Rambut yang ada di bawah puser juga nggak apa-apa, kok. Asal halal!”

Tak kenal, maka tak sayang. Pepatah itu cocok sama profesinya Youndri. Doi memang kudu tahu struktur kepala. Kalo udah tahu bentuk kepala, maka jenis rambut yang cocok sama kepala Customer akan mudah dipilih. Jangan sampe kepala kotak, rmbutnya dibotak. Yang ada si pemilik kepala kotak akan kelihatan jelek. Atau udah tahu kepala si Customer segitiga, model rambut yang diberikan Hairstylist model polem.

Pada saat Natal sampai Tahun Baru 2009 kemarin, Youndri pulang kampung. Kepulangannya ke kampung, membuat gw heboh. Panik. Nggak ada peganggan. Kenapa? Rambut gw udah mulai panjang. Panjanganya nggak terarah pula, terutama di sisi kanan dan kiri kepala. Jadi tebal. Suka-suka rambut gw aja panjangnya.

“Menyebalkan!” Itu kata gw begitu sedang melihat rambut di kaca. Sehingga kacanya hampir pecah.

Gw sebel ngeliat rambut gw. Serba salah juga, mau potong, Youndri nggak ada. Mau potong di tempat lain, takut nggak sesuai sama keinginan gw. Sebab, chemistry si Tukang Potong Rambut non Youndri belum tentu tahu keinginan gw. Terlebih lagi gw nggak percaya. Masih ingat dong cerita gw sebelumnya, yang gonta-ganti Tukang Potong gara-gara nggak puas. Susah kan?

“Elo terlau percaya satu Tukang Potong Rambut sih. Coba percaya sama beberapa Tukang Potong Rambut, pasti nasib loe nggak sepanik ini,” jelas teman gw sok menasehati dengan bijaksini.

Teman gw itu memang kerjaannya menasehati. Boleh sih kita saling menasehati. Kata agama gw, menasehati buat sesuatu kebaikan itu dapat pahala. Menasehati sama aja mengingatkan. Biasanya kalo mengingatkan, orang yang diingatkan itu biasanya lupa. Nggak inget kenapa berbuat begitu, padahal harusnya begini. Sama aja dengan menasehati. Itu pasti gara-gara kita belum mengerti atau telah melakukan hal yang seharusnya bisa lurus, tapi jadi belok. Sayangnya, teman gw ini sama kayak kebanyakan orang. Lebih doyan menasehati orang lain daripada menasehati diri sendiri.

“Terus gimana solusinya kalo Youndri belum pulang, sementara rambut loe udah mirip alang-alang di rumah kosong?”

“Ya tunggu Youndri sampai pulang kota. Atau....”

“Atau apa?” Teman gw ini antusias menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut gw yang kecil mungil centil itu. Sayangnya, gw nggak mau melanjutkan kata lanjutan setelah kata “atau” tadi itu. Biar teman gw agak-agak penasaran. Biar teman gw agak-agak keki. Biasanya kalo keki, doi marah-marah. Biarin aja marah. Kalo marah yang rugi teman gw ini, ya nggak? Puasanya jadi batal. Lho, memangnya lagi musim puasa?

Akhirnya gw minta tolong istri gw buat mencukuri rambut gw. Tapi mencukurinya nggak usah banyak-banyak. Cukup rambut yang berada di sisi kiri dan sisi kanan, agar nggak terlihat tebal. Poni yang ada di depan juga dicukur sedikit.

“Aduh! Aku nggak berani potong rambut kamu sayang...”

“Kenapa sayang?”

“Potongan rambut kamu itu spesial banget. Spesial pake telor. Maksudnya nggak sembarangan yang bisa potong rambut model kamu itu. Harus Youndri,”

“Jadi harus tunggu Youndri pulang dari Medan?”

“Yaiyalah. Masa tunggu Youndri di kuburan?”

“Waduh! Kalo Youndri-nya nggak balik ke Jakarta gimana? Gara-gara doi bikin salon sendiri di Medan atau nggak punya duit buat balik ke Jakarta? Atau kalo Youndri mau balik ke Jakarta tapi pesawatnya kecebur ke laut dan Youndri kelelep gimana? Atau Youndri sampai di bandara Soekarno-Hatta tapi diculik sama perampok yang minta tebusan 2 milyar? Gimana dong sayang?”

“Ya gimana dong? Kamu mau rambut kamu nantinya jadi pitak sebelah?”

“Ya enggak lah! Mending kalo mau bikin pitak jangan sebelah-sebelah, tapi dua-duanya dipitak-pitakin.”

“Makanya dari itu, aku nggak berani potong rambut kamu sayang...”

“Please darling. Love me tender...”

“Kok kayak lagunya Elvis Presley?”

“Bukan. Itu lagunya New Kids on The Block,” kata gw agak kesal. “Ayolah sayang. Pleaseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.”

Istri gw akhirnya terpaksa mencukur rambut gw. Elo tahu apa hasil dari cukuran istri gw? Alhamdulillah, agak-agak rusak. Bukan salah bunda mengandung, eh maksudnya bukan salah istri gw. Wong yang memaksa Istri gw buat potong rambut gw, ya gw. So, apapun hasilnya, apapun makananya, ya teh botol minumannya.

Dua minggu berlalu, gw hidup dan bekerja dengan rambut baru hasil potongan istri tercinta. Awalnya cuek dengan kondisi rambut gw. Tapi lama-kelamaan gerah juga. Sampai keajaiban tiba. Apakah keajaiban yang dimaksud itu? Youndri udah mulai bekerja di salon. Berita bahagia ini gw dapat setelah SMS gw direspon oleh Youndri.

“Aku udah di salon kok”. Itu tulisan di layar handphone gw. Tulisan itu adalah SMS-nya Youndri. SMS yang dikirim Youndri itu lewat handphone Nokia-nya. Seri Nokia-nya 1508 yang sekarang kalo beli gratis dapat Starter Pack Flexi dengan total nilai Rp 55.000, termasuk: gratis pulsa Rp 10.000; gratis SMS 20 SMS ke semua operator; gratis 1 lagu FlexiTONE selama 30 hari; gratis tambahan pulsa Rp 10.000 per bulan selama 3 bulan untuk isi ulang minimal Rp 20.000. Kok jadi iklan gitu seh?

Keesokan harinya, gw tiba di salon sesuai janji, pukul 10:15 wib. Gw memakai pakaian terbaik yang pernah ada. Nggak lupa minyak wangi berbagai rupa. Lipstik juga. Tapi bukan gw yang pakai, istri gw yang pakai. Emang gw bencong? Sayang, Youndri belum tiba. Tapi tiba-tiba Youndri pun tiba.

“Hai Youndri!” Itu gw yang menyambut.

“Hai juga! Maaf ya terlambat. Habis keretanya macet,” kata Youndri. Kok kereta macet? Pasti gara-gara Komo lewat deh. “Aku habis cuci foto...”

“Oh aku kira habis cuci baju. Cuci foto apa?”

“Cuci foto-foto married...”

Awalnya gw biasa-biasa aja mendengar, Youndri mencuci foto married. Pasti ada temannya yang married, trus Youndri disuruh mencuci foto-foto married sampai bersih. Gara-gara mencuci foto, menyebabkan Youndri jadi terlambat. Gara-gara terlambat, waktu gw menunggu habis sekitar 10 menit lewat 25 detik. Tapi mari kita lupakan keterlambatan dan cuci foto. Tahukah elo siapa yang ada di foto-foto itu? Alias siapakah pasangan yang married yang wajah-wajah mereka itu difoto-foto yang fotonya dicuciin sama Youndri?

“Aku yang married...”

Hah?! Youndri married. Is this only a dream? Is this a joke? Is is a bird? Is is fly? No, it’s Superman! Lho, kok?! Gw memang bingung tujuh keliling. Kok bisa Youndri married. Berarti selama ini gw salah duga. Gw udah melakukan tendensi negatif. Gw bersalah. Oh Tuhan maafkan aku. Oh Pak Hakim dan Pak Jaksa jangan paksa saya masuk ke bui. Aku cuma salah duga dengan Youndri. Gw pikir Youndri itu banci. Homo. Yang suka laki-laki. Padahal Youndri wujudnya lelaki. Yang namanya lelaki harusnya nggak suka sama lelaki. Bukan cuma nggak suka, tapi dilarang sama agama kalo lelaki suka sama lelaki. Haram! Tapi Youndri?

“Aku married pake adat Batak. Jadi cape banget. Maklum, harus seharian menjalankan upacara setelah diberkati di geraja,” ujar Youndri.



Sambil rambut gw dicukur, gw melakukan sejumlah interview prihal pernikahannya. Istri Youndri bernama Ida. Bukan Ida Iasa atau Ida Royani atau Ida Farida atau Ida Amin (harusnya Idi Amin ya?) atau Ida Ida saja (ini maksudnya ada-ada saja. Cukup Ida. Nah, si Ida istrinya Youndri ini adalah keponakan jauh dari Paman-Pamannya Youndri. Sepupu lebih tepatnya.

“Aku dipesan oleh Nenekku agar segera menikah dengan sepupu agar bisa meneruskan keturunan,” kata Youndri sambil meneteskan air mata (sebenarnya nggak sampai nangis sih, tapi nada bicaranya agak rendah). “Sebelum married, hatiku memang nggak tenang sebelum melaksanakan anjuran Nenekku sebelum meninggal itu. Sekarang setelah married, rasanya plong banget”.

Youndri menikah dengan menggunakan adat Pariban. Yang mulai start dari gereja sampai upacara adat, menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Mulai dari jam 9 pagi, sampai jam 9 malam. Youndri sendiri, bangunnya udah dari jam 3 pagi. Hah?

"Iya, karena aku harus merias keluargaku," akuinya. "Kan nggak enak, akunya bisa merias, tapi masa keluargaku sendiri nggak aku rias?" Iya juga sih.

Menurut Youndri, anak ke4 dari 10 bersaudara ini, dana yang dihabiskan buat perkawinannya sekitar Rp 75 juta. Meski menghabiskan dana yang nggak sedikit, doi dan keluarganya senang banget. Apalagi orangtuanya. Kenapa? Pertama, Youndri ternyata baru pulang ke kampung halamannya setelah 15 tahun di Jakarta. Kedua, adat Pariban yang dilakukan orangtuanya (keluarga pria), udah lama nggak dilakukan. Terakhir dirayakan 25 tahun lalu. Itu yang membuatnya senang, bisa menyenangkan orangtua.

Syukurlah Yound. Gw juga ikut bahagia dengan cerita-cerita Youndri pas married. Wajah gw dengan Youndri, sama senangnya. Tapi strukturnya tetap beda lah yaou. Gw tentu lebih keren. Lebih jantan, sejantan ayam jago.

“Sekarang istri kamu ditaro dimana?” kata gw. Sengaja gw memakai kata “taro” buat menggantikan kata “ada”. Kenapa? Kata “taro” itu ternyata lebih cocok digunakan buat Manusia yang sering pindah-pindah, mirip dengan barang. Memangnya Youndri sering pindah-pindah? Enggak! Lha, kok pakai kata “taro”? Suka-suka gw kaleeee!


“Istriku ada di Bogor,” ucap Youndri. Pria Batak ini memang tinggal di Bogor.

“Gimana kesan-kesannya tinggal di Bogor?”

Menurut Youndri, sejak lahir sampai menikah, Istrinya belum pernah meninggalkan kampung halaman. Lebih tepatnya kampung di dekat Berastagi. Sebuah tempat yang kabarnya sebagai tempat rekreasi. Kalo saja nggak ketemu Youndri, pasti hidup Istrinya akan ditagih-tagih sama beras, maksudnya tinggal di Berastagi. Nah, begitu married, Istrinya pertama kali naik pesawat dan pertama kali keluar kampung halaman.

“Kok Jakarta sepi kayak di kampung kita ya, Bang?” Itu kata Ida, istrinya Youndri, yang gw kutip dari ucapan Youndri.

“Ini bukan Jakarta, Dik. Ini Bogor,” kata Youndri.

“Lalu Monas-nya dimana, Bang?”

“Monas itu nggak ada di Bogor, Dik. Di Bogor adanya cuma Tales Bogor. Kecuali kalo Tales Bogor berubah jadi Monas, kita nggak perlu ke Jakarta buat liat Monas. Sabar ya, Dik! Kita pasti pergi ke Monas, kok.”

Istrinya Youndri memang lugu. Naif. Maklum, wong udik asli. Cita-citanya sekarang, pergi ke Jakarta dan mampir ke Monas. Trus foto-foto di sana. Soalnya, selama ini, istrinya Youndri cuma bisa lihat Monas di televisi. Sayang, ketika tulisan ini diproduksi, Youndri masih belum punya waktu. Terlalu sibuk memotong rambut orang.

MANUSIA PINDAH-PINDAH

Percaya nggak percaya, sejak zaman primitive sampai zaman modern sekarang ini, manusia punya sifat tukang pindah. Sudah banyak bukti yang menunjukan manusia sifat manusia itu.

Manusia berpindah udah ada sejak 2000 SM. Ini ditandai dengan imigarsi bangsa Austronesia melakukan kepulauan Indonesia melalui Malaya ke Jawa. Juga ke pulau Formosa, Filipina ke sebagian pulau Kalimantan. Konon, bangsa Austronesia ini yang kelak menjadi nenek moyang langsung Indonesia.




Cara hidup bangsa Austronesia adalah berburu dan berladang. Alat yang mereka gunakan anak panah dan tombak. Mereka hidup di gua-gua untuk sementara dengan mengembara berpindah-pindah tempat. Pada masa ini dikenal dengan sebutan zaman batu muda atau Neolitikum.

Perpindahan manusia gelombang kedua terjadi tahun 500 SM. Perpindahan kali ini udah membawa kebudayaan Dongson melalui jalan barat lewat Malaysia barat. Kebudayaan Dongson, yakni kebudayaan yang telah memakai logam sebagai alat bantu kehidupan dikenal dengan sebutan zaman perunggu.

Nah, di abad 20-an, manusia masih aja punya sifat tukang pindah-pindah. Namun, alasan perpindahannya nggak cuma soal pindah tempat tinggal aja. Lalu pindah apa? Please see these note!

1. Pindah Sekolah

Motivasi orang pindah sekolah ada bermacam-macam. Ini juga tergantung orang yang pindahan itu. Kalo orangnya dari keluarga baik-baik dan kebetulan anak orang kaya, pindah sekolah gara-gara nantinya pengen kuliah di luar negeri. Daripada pas kuliah bahasa Inggris-nya belum bisa cas-cis-cus, so mulai dari SMP sampai SMA, sekolahnya pindah, dari sekolah negeri pinggir kali ke sekolah di luar negeri.

Sodara gw melakukan hal ini pada anak-anaknya. Sejak SMP, anak-anaknya disekolahan di luar negeri, lebih tepatnya di Santa Monica, Amerika Serikat. Bertahun-tahun sekolah si sana sampai kuliah. Begitu selesai kuliah, mereka tetap aja bahasa Inggris-nya pasif. Kasihan banget deh! Seilidik punya selidik, ternyata bukan karena sodara gw itu males conversation dengan native speaker, tapi memang gagu alias tuna wicara.

Buat orang dari keluarga nggak bener, pindah sekolah gara-gara nggak naik kelas. Daripada menanggung malu keluarga, mending anak dipindahin. Makanya kalo ada anak yang wajahnya lebih tua di kelas, langsung tanya umurnya. Kalo udah ketahuan umurnya lebih tua beberapa tahun dan nggak masuk akal dengan umur rata-rata anak di kelas, bisa dipastikan anak itu nggak naik kelas.

Nggak naik kelas nggak selalu anak itu goblok atau tolol. Bisa jadi, faktor kenapa anak itu nggak naik kelas karena anak itu memang malas belajar, malas ujian, sering bolos, otaknya sinting, gila, miring, atau punya otak mirip keledai.

Lain halnya nggak naik kelas karena terlambat bayar uang sekolah. Maklum, kudu ngumpulin seperak dua perak recehan. Pas begitu mau bayaran, kurang limaratus perak, ditolak sama Administrasi Sekolah. Lain waktu lain, uang ribuannya robek. Persoalan-persoalan ini biasanya datang dari keluarga miskin.

2. Pindah Kuliah

Seringkali kita kuliah bukan karena kemauan hati. Kuliah cuma gara-gara menyenangkan hati orangtua. Supaya nggak dianggap sebagai “anak durhaka”, “anak setan”, atau “anak tak bertuan” kita terpaksa kuliah.

“Masa Bapak dan Ibumu Sarjana kamu cuma lulusan SMA? Malu dong!” kata seorang Ayah pada seorang anak yang ogah kuliah.

“Emang gini hari gelar masih berlaku ya?” tanya anak itu.

“Ya masih lah! Buktinya banyak hal-hal yang harus pake gelar...”

“Contohnya?”

“Gelar tinju profesional, gelar akbar, dan gelar tiker...”

Kalo kondisinya udah nggak tertarik kuliah, biasanya akan putus kuliah. Baru semester 2 atau 3, udah nggak kuliah-kuliah lagi. Namun kalo anak ini punya prinsip, beda keputusannya. Di awal-awal dipaksa kuliah oleh orangtua, tapi anak ini tertarik kalo jurusannya sesuai pilihan hati. Orangtua boleh mendaftarkan ke sekolah kedokteran, karena berharap anaknya jadi Insinyur. Tapi begitu udah keterima di kedokteran, anak itu pindah jurusan, yakni jurusan Kampung Melayu-Pologadung, eh salah jurusan Administrasi Negara.

“Kenapa kamu ngambil jurusan itu?” kata orangtua Y, menanyakan alasan anaknya pindah jurusan ke jurusan Administrasi Negara.

“Karena saya ingin jadi Arsitek dan membangun gedung-gedung bertingkat,” jawab sang anak.

“Bagus-bagus-bagus,” sambut orangtua seperti menirukan gaya Pak Tino Sidin. Sambil mengangguk-anggukan kepala.

3. Pindah Kerja

Orang yang selalu pindah kerja disebut kutu loncat. Gw nggak tahu kenapa kutu yang jadi sasaran untuk sebutan manusia pindah kerja. Kenapa bukan kambing loncat? Kenapa bukan bajing loncat? Atau gajah loncat? Untuk kambing, barangali karena kambing najis tralala baunya. Kalo bajing loncat, nggak mungkin. Sebab, bajing loncat udah dibuatkan lagu. Begini lagunya: bajing luncat ceuceu... kelapa muda...Nah, kalo gajah loncat, ini berbahaya. Ya tahu sendiri badan gajah segede tembok, begitu loncat, yang ada temboknya ambrol.

Barangkali kutu adalah binatang kecil yang tubuhnya mungil. Gara-gara kemungilan tubuhnya kutu, jadi mudah loncat kesana-kemari kali ya. Inilah makanya si kutu yang jadi sasaran dipersonifikasikan buat manusia pindah-pindah. Padahal seharusnya sebutan kutu loncat cuma buat manusia yang tubuhnya kayak kutu (kecil dan mungil). Kalo yang pindah itu manusia dengan bobot 5 karung beras, seharusnya lebih cocok gajah loncat.

Biasanya manusia pindah kerja lebih banyak karena faktor jabatan dan uang. Semakin tinggi jabatan, semakin gede gaji yang didapat. Nggak mungkin dong jabatan Chief Executive Officer (CEO) gajinya setara dengan Office Boy (OB)? Meski begitu, ukuran gaji CEO di perusahaan A dengan perusahaan B nggak sama.

“Apa betul ini Bapak X?” tanya seorang Headhunter yang kebetulan sedang mencari CEO perusahaan sandal jepit.

“Iya betul. Ini siapa ya?” tanya Bapak X yang saat itu masih menjabat sebagai CEO di perusahaan pengolahan kardus.

“Hayo tebak ini siapa?”

“Ini pasti Adnan Buyung deh?”

“Bukan!”

“Kusni Kasdut?”

“Kan udah mati!”

“Kalo begitu ini siapa dong?”

“Ini Headhunter! You are under arrested! Eh, bukan! Maksudnya kami ingin membajak Bapak untuk jadi CEO perusahaan sandal jepit. Bapak mau nggak?”

“Mau! Mau! Gajinya berapa?”

“Emang gaji Bapak sekarang berapa?”

“Enampuluh juta!”

“Nah, karena Bapak punya pengalaman, maka di perusahaan yang baru nanti, kami menawarkan gaji 40 juta. Tertarik pindah?”

“Hayo! Siapa takut!”

Selain jabatan dan salery, faktor lain kenapa orang pindah kerja adalah faktor lingkungan. Ketika lingkungan kerja udah nggak asyik lagi, Bos-nya nggak mem-back up, teman-teman udah memusuhi, nggak ada jalan lain ya pindah kerja. Ngapain juga mempertahankan diri kalo suasana kayak neraka? Ini bisa mempengaruhi produktivitas kerja serta performance si karyawan itu.

4. Pindah Jurusan

Kalo ini terjadi pada Penumpang kendaraan umum, ada dua kemungkinan. Pertama, tujuan utamanya memang jauh, sehingga kudu pindah dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Ada temen gw, buat mencapai kantor, kudu naik kendaraan umum sampai 4 kali. So, dia kudu pindah-pindah kendaraan yang jurusannya berbeda-beda.

“Emang rumah loe dimana kok sampai 4 kali pindah kendaraan?”

“Rumah gw sih dekat di Cempaka Putih...”

“Lah, kalo dekat, kenapa pindah sampai 4 kali?”

“Pertama kan gw nebeng Bos gw sampai jalan Pemuda. Nah, di jalan Pemuda, gw ambil mobil. Berarti gw pindah dong? Pindah dari mobil Bos gw ke mobil gw. Setelah gw ambil mobil, gw pergi jemput istri di kantornya di Gatot Subroto. Mobil gw tinggal di kantor istri gw, dan gw naik Mayasari Bakti 57. Itu pindah lagi dong?! Dari mobil gw ke Mayasari Bakti. Tarkhir, setelah naik Mayasari Bakti, gw turun lagi dan pindah lagi ke ojek. Jadi, kalo dihitung-hitung gw 4 kali turun naik kan?

Kemungkinan kedua, pindah jurusan karena Penumpang itu linglung. Nggak tahu alasan dia linglung. Bisa karena banyak pikiran, banyak anak, banyak rezeki, atau banyak masalah di kantor. Yang seharusnya mau ke Blok M, orang linglung ini naik jurusan Bandung. Begitu sampai di stasiun Kota, mau pergi ke Semarang. Karena salah jurusan kendaraan, dia terpaksa pindah jurusan.

Beda kasus kalo tiba-tiba kita disuruh pindah ke kendaraan lain oleh Kondektur. Ini memang sering terjadi nih. Mentang-mentang Metromini yang kita naiki kosong, si Kondektur langsung mengoper (maksudnya menurunkan dan menaikkan dengan paksa ke Metromini lain) kita. Biasanya dengan Metromini nomor yang sama. Tapi ada juga sih yang nggak sama, tapi masih satu tujuan.

5. Pindah Rekening Bank

Dalam dunia perbankan, pindah-memindahkan rekening udah menjadi hal biasa. Dari rekening kita ke rekening orangtua kita. Ini anak berbakti namanya. Si anak transfer uang ke ibunya yang kebetulan lagi nggak punya uang. Atau dari rekening Bapak atau Ibu ke rekening anaknya yang lagi kuliah. Ini memang kewajiban.

Pindah rekening jadi nggak wajar kalo yang transfer atau yang ditransfer itu orang yang bukan muhrimnya. Misalnya, Pengusaha Perkayuan ke anggota DPR/ MPR, politisi sebuah partai ke calo WTS gang Doli, atau Calon Presiden yang ditransfer uang dari negara Yordania gara-gara niat banget jadi Presiden.

Rekening yang ditransfer dengan cara nggak wajar, itu namanya korupsi. Banyak kasus-kasus yang membongkar rekening fiktif. Sebenarnya nggak fiktif, karena rekening itu pasti ada yang punya. Kebetulan daripada ketahuan korupsi, namanya dibuat bukan nama asli. Misalnya namanya Totok di rekening diubah menjadi Titik. Atau ada yang nama aslinya Tol diubah menjdi Til.

“Maaf nomor rekening Bapak berapa ya? Saya mau transfer nih,” tanya seorang Pengusaha yang mau transfer sekian miliard ke salah seorang Politikus.

“Ke DVD aja deh Pak,” kata si Politikus yang kumisnya jarang itu, mirip kayak tikus.

“Maksudnya Pak?”

“Bapak jangan transfer ke VCD, karena kualitasnya nggak bagus. Kalo DVD, kualitasnya lumayan. Tapi terserah Bapak deh, mau transfer ke Betacam, miniDV, atau seloloid juga nggak masalah...”

Pindah-pindah di atas tadi memang nggak berdosa. Kalo kata agama gw, hukumnya masih makruh: kalo dikerjakan nggak dapat pahala, nggak dikerjakan nggak berdosa. Nah, ada pindah-pindah yang sebaiknya jangan dilakukan, karena berdosa, yakni pindah orangtua, pindah pasangan, pindah kelamin, apalagi pindah agama.

Kita akan dikutuk seperti Malin Kundang kalo nggak mengakui orangtua kandung kita dan pindah orangtua. Memang elo mau jadi batu? Kalo gw mah mau, asal batunya batu es, karena batu es bisa mencair. Nggak ding! Gw nggk mau kayak Malin Kundang. Biar orangtua kita jelek, pesek, kepalanya botak, badannya kurus kering, kakinya korengan, mereka tetap orangtua kita. Apalagi dengan Ibu. Jangan pernah pindah ke lain Ibu. Bisa durhaka! Masuk neraka!

Pindah pasangan terjadi kalo hubungan kita mentok. Komunikasi antarasuami istri nggak bisa berjalan lagi. Elo bisa pindah ke lain hati. Ini kalo elo memang udah resmi jadi suami istri. Tapi kalo masih bujangan, pindah-pindah pasangan, bisa berakibat vital. Bisa kena visrus HIV atau virus Brontok.

Gw adalah orang yang nggak setuju kampanye AIDS dengan menggunakan kondom. Lho kok kondom? Ini bukan sama aja menganjurkan orang melakukan seks bebas tapi sopan (maksudnya aman). Menganjurkan seks bebas demi menghindari AIDS, sama aja menghancurkan nilai-nilai agama. Gawat! Kalo suami istri nggak mungkin dong takut HIV? Kecuali sejak awal married, istrinya udah tahu suaminya HIV atau sebaliknya. Lagipula jarang suami-istri pake kondom. Nggak nikmat katanya. Mending langsung-langsung aja tanpa “dibatasi” oleh karet. Makanya pake spiral atau suntik atau obat atau kalender (Lho! Kok ini jadi kampanye Keluarga Berencana seh?!).

Pindah jenis kelamin juga perbuatan dosa. Biar Dorce Gamalama udah mengkalim diri sebagai wanita, udah pergi haji dan bergelar Hajjah, tetap aja dia adalah lelaki. Nggak ada yang bisa mengelak status kelaminnya itu. Dia tetap bernama Ahmad Ashadi. Biar Titit-nya udah diganti jadi Vagina, payudaranya udah disumpal dengan silikon, tetap aja Dorce adalah lelaki. Jangan-jangan Titit-nya memang masih ada?

“Tapi kan dia udah punya suami?”

“Suaminya aja yang bego! Masa cowok kawinin cowok?! Kalo perkawinan itu tercatat di KUA, gw bisa bilang Kepala KUA-nya iku wong edan!”

“Tapi kan orang-orang panggil dia ‘Ibu’ bukan ‘Bapak’?”

“Orang-orang aja yang pada tolol. Harusnya panggil dia Abang!”

“Abang becak?”

“Kalo si Dorce punya Becak ya sok aja panggil Abang Becak!”

Friends, kalo elo saat ini berniat pindah kelamin, mending nggak usah deh. Tobat! Balik ke jalan yang benar. Udah nggak zaman lelaki jadi perempuan, atau perempuan jadi lelaki. Sekarang zamannya, lelaki kewanita-wanitaan. Tapi begitu kenal Perempuan, si laki-laki ini ereksi. Ujung-ujungnya, masih normalah. Atau wanita agak kelelaki-lelakian. Ini namanya Tomboy. Temennya Tomboy adalah Tom Riders atau Tom Tam Group. Apapun namanya, tetap wanita harus jadi wanita. Hanya orang-orang tolol yang suka dengan sesama pasangan jenis.

Yang terakhir dan nggak boleh terjadi adalah pindah-pindah agama. Bro, please deh jangan pernah pindah agama gara-gara tergoda dengan harta, tahta, dan wanita. Dijanjikan mobil mewah, asal mau pindah agama. Idih! Najis! Ditawari jabatan terhormat di sebuah perusahaan, asal pindah agama. Ya, amplop! Ngapain sih? Yang paling sering, gara-gara wanita cantik atau pria ganteng, kita jadi pindah agama.

Biar Sophia Latjuba suka sama gw dan mau married sama gw, nggak akan sudi gw pindah agama. Emang sih itu nggak mungkin terjadi. Begitu juga kalo Tamara Bleszynsky atau Luna Maya ngajakin gw kawin, tapi dengan syarat pindah agama. Wah, ke laut ajah mereka. Emang wanita cantik cuma Sophia, Tamara, atau Luna aja? Si Yati juga cantik. Kebetulan aja hidungnya pesek, jadi namanya Yati Pesek. Coba kalo Yati hidungnya mancung, pasti panggilannya Yati Mancung (ini apa hubungannya ya?). Trus, gara-gara Tora Sudiro ganteng dan macho, gw jadi bela-belain pindah agama. Wah, mohon maaf deh! Mending gw selingkuh sama monyet!

Agama tuh bukan untuk dibuat main-main, Bro! Agama bukan kayak bola, yang bisa pindah sana, pindah sini, digocek sana digocek sini, ditendang sana dan sini. Begitu elo lahir dan mengucapkan kalimat yang menyatakkan komitmen loe pada agama itu, seumur hidup kudu komit. Kalo sebelumnya elo biasa nyembah batu, ya jangan nyembah petromak lah. Petromak itu cuma khusus buat cari kodok atau cari belut. Kecuali.... (silahkan persepsikan sendiri!)

Supaya nggak jadi manusia pindah-pindah, makanya sering-seringlah menyanyi lagu Kla Project, supaya nggak pindah orangtua, pasangan, kelamin, maupun pindah agama.

Aku tak bisa pindah...pindah ke lain hati...

Tuesday, January 20, 2009

MEMBUNUH BAKAT SYIRIK

Dimanakah tempat paling asyik berjumpa dengan setan? Buat penggemar Ziarah, kuburan menjadi tempat nongkrong yang paling asyik. Di kuburan, mereka akan bersuka cita dengan setan-setan yang katanya akan memberikan rezeki, kesehatan, umur panjang, jodoh, dan aneka permintaan manusia lainnya.

Kenapa Ziarah bisa ketemu setan? Kalo perkara cuma Nyekar ke kuburan orangtua, mungkin persoalan akan lain. Nyekar biasanya setahun sekali. Ya, sekedar kangen-kangenan sama orangtua. Sebenarnya dalam kamus agama gw, nggak diwajibkan Nyekar. Kalo mau mendoakan orangtua, nggak harus ke kuburan segala. Cukup selesai sholat, baca deh doa buat orangtua. Dijamin sampe ke Tuhan. Soalnya nggak ada yang korupsi doa. Lebih praktis dan ekonomis kan daripada harus ke kuburan?



Beda Nyekar sama Ziarah (ini menurut versi gw ya, Bro!), Ziarah lebih “dahsyat”. Yang didatangi ke kuburan bukan orangtuanya, tapi orang lain. Orang yang katanya semasa masih hidup punya ilmu tinggi. Yang kalo dipukul nggak bisa benjol. Yang kalo dibacok nggak bisa mengeluarkan darah, tapi mengeluarkan kentut. Yang kudu disucikan, daripada dikotori. Orang yang udah terkubur ini disembah-sembah sama para Peziarah (orang yang melakukan Ziarah). Mereka sok baca-baca cuplikan dari kitab suci Al-Qur’an sambil memegang tasbih. Kalo orang tolol melihat, pasti akan berkata: “Wow! Mereka ini luar biasa ya. Pasti orangnya sangat alim dan sangat bertakwa sama Tuhan yang Maha Esa”. Yang mereka lakukan itu namanya syirik! Ayo sama-sama kita teriak: “SYIRIIIIIIK!”

Beruntunglah Emak dan Babe gw nggak pernah ngajarin how to Ziarah. Beruntung juga istri keluarga gw nggak diwariskan nilai-nilai ancur dengan melakukan Ziarah. Kalo diwariskan, udah pasti gw akan mengajarkan ke anak-anak gw atau anak-anak gw mengajarkan ke anak-anaknya lagi tentang menyebah kuburan, berdoa di depan kuburan dengan mengucapkan doa-doa plus membawa tasbih. Yang lebih goblok lagi, gw bisa jadi diajarkan sholat di depan kuburan dan ditutup dengan doa minta apa pun via orang yang dikubur itu. Memang sih tergantung niat sih. Tapi kalo Nyekar ke kuburan orang lain, kira-kira niatnya apa ya kalo bukan karena melakukan sebuah kesyirikan?

Gw juga berpesan ke istri dan anak-anak gw, kalo nanti gw udah mati, nggak ditengokin di kuburan juga nggak masalah. Gw nggak merasa terhina atau minta dihormati dengan tidak hadirnya keluarga gw ke kuburan. Gw udah cukup senang, istri dan anak-anak gw mendoakan gw setelah sholat. Kalo mau sekedar melepas rindu, membersihkan makan gw supaya nggak kotor, ya silahkan aja sih. Prinsipnya, gw memang nggak mau menyusahkan keluarga gw. Mau datang ke kuburan silahkan, nggak datang nggak apa-apa. Better not lah! And please don't minta yang macam-macem dari kuburan gw, karena gw nggak akan ngasih apa-apa. Yang ngasih kita ya Tuhan kita.



“Oh Tuanku, tolonglah hambamu ini agar mendapatkan jodoh wanita yang cantik, seksi, kaya raya, rumahnya di Pondok Indah, mobilnya Hammer, dan punya bisnis berlian...” Itu kata-kata seorang Peziarah.

“Maruk amat,” itu kata salah seorang Peziarah lain yang berada di samping Peziarah yang tadi banyak mintanya. Sebut saja Peziarah A. Gara-gara dikomentari seperti itu, Peziarah A langsung ngomel ke Peziarah yang komentar itu (kita sebut Peziarah B).

“Syikirk, loe!”

“Lah, bukannya elo sekarang sedang melakukan hal syirik? Berdoa-doa di kuburan?” protes Peziarah B.

“Iya-ya,” Peziarah A baru sadar. “Jadi kita sama-sama syirik ya?”

“Ya-iyalah! Masa ya-iya dong?”

Mereka akhirnya berteman. Nggak saling syirik-syirikan lagi. Mereka sepakat lebih baik mensyiriki orang lain daripada mensyiriki diri mereka sendiri.
\
Di kuburan, kita memang bisa melakukan kesyirikan. Sebenarnya alam jiwa dan raga semua manusia (termasuk gw), memiliki bakat syirik. Nah, kalo kita ditanya lagi dimana tempat paling asyik berjumpa dengan setan, ya di dalam diri kita ini. Kita yang mengaku sebagai manusia beradab nan keren, memiliki potensi yang luar biasa buat berjumpa dengan setan. Ada hati yang berfungsi sebagai tombol yang setiap waktu akan mempertemukan sama setan.

“Jeng, tahu nggak si Ibu Anu? Dia itu baru beli kulkas 4 pintu, lho?” kata si Ibu A membuka pergosipan dengan Ibu B.

“Kok kayak mobil ya 4 pintu?” jawab Ibu B.

“Iya-ya kayak mobil,” pikir Ibu A ragu-ragu dengan gosip yang sebelumnya udah terlanjur dihembuskan. “Jangan-jangan saya salah lihat? Jangan-jangan memang mobil? Iya, mobil kali ya?”

Hati-hati dengan hati kita. Setiap kali mata kita melihat, setiap kali kuping kita mendengar, dan kemudian masuk ke hati kita, maka hati kita akan mempertanyakan ke arah mana elo akan memilih? Apakah hati elo akan ke arah syirik? Atau hati loe cuek bebek?

Kalo ke arah syirik, udah dipastikan hati loe akan langsung men-switch ke tombol negatif. Hati loe jadi nggak terima dengan tetangga yang beli kulkas 4 pintu. Nggak terima teman loe beli blackbarry rasa strawbarry. Nggak terima saudara loe bisa beli mobil BMW padahal kerjanya cuma di kantor LSM. Nggak terima melihat kenyataan Bos loe yang wajahnya jelek rupawan itu dapat istri cantik secantik Tamara Blezensky. Nggak terima orang di satu busway lagi chatting-chatting-an dengan menggunakan laptop mini buatan Kerawang. Dan nggak terima-nggak terima lainnya.



Melakukan kesyirikan bukan cuma soal siapa menyembah apa. Maksudnya, kalo di agama gw, menyembah selain Allah, itu namanya syirik. Menyama-nyamakan Tuhan dengan manusia apalagi binatang, itu syirik. Tuhan is Tuhan. Batu bukanlah Tuhan. Kayu juga bukan Tuhan. Gajah bukan Tuhan juga. Masa Tuhan ada belalainya? Gendut pula. Gw mah ogah punya Tuhan kayak gajah.

Kata orang syirik tanda nggak mampu. Statement ini bergulir ketika ada orang nggak mampu, melihat orang mampu membeli sesuatu yang lebih, yang harganya mahal. Oleh karena nggak punya uang dan nggak mampu punya sesuatu yang mahal itu, orang yang nggak mampu itu bergunjing, bergosip ria, membahas orang kaya itu. Misalnya orang kaya yang baru operasi plastik.

“Lihat deh hidung si Kokom mancung banget. Pasti doi dioperasi plastik di Haji Tjeje yang ada di Mangarai itu,” komentar si B yang nggak lain nggak bukan teman kantor si Kokom.

“Ah, masa Haji Tjeje mancungnya begitu?” kata si D.

“Memangnya mancungnya Haji Tjeje gimana?”

“Mancungnya Haji Tjeje ya kayak hidungnya Haji Tjeje lah yau...”

“Iya juga sih...”

Syirik memang sulit dilupakan oleh hati kita. Seringkali kita berharap dan berdoa agar syirik-syirik yang ada di hati segera meninggalkan diri. Namun sebagai manusia yang keturunan Monyet, kita seringkali lupa. Monyet aja lupa masa manusia nggak bisa lupa? Oleh karena itu, membunuh syirik yang udah menjadi bakat alami dalam diri kita ini, perlu nyali tersendiri. Nyali bahwa kita bisa membunuh. Kita bisa meneriakkan genderang perang.

“Hai pasukan syirik! Enyahlah kau dari hatiku dan hati-hati manusia! Please don’t come back again! If you come back, I’ll fight you! Till dead do us part!”