Monday, January 19, 2009

WAJAH KOTA REZEKI KAMPUNG

Dahulu kala, saya seringkali menilai status sosial seseorang cuma dengan melihat tampang. Kalo tampangnya keren, hidungnya mancung, matanya tajam, dan kulitnya nggak kasar, pasti orang itu orang kaya. Sebaliknya kalo tampangnya dekil, hidungnya pesek nggak mancung nggak, rambutnya berminyak, kulitnya ditumbuhi beberapa jerawat, ketiaknya ditumbuhi rambut tapi nggak dipotong, itu pasti dari golongan orang kere alias miskin.

Begitulah manusia, selalu cepat menilai dari pandangan pertama. Sebenarnya kebiasaan nilai menilai orang itu seringkali akibat dari generasi sebelumnya. Maksudnya, ortu kita, Mbah buyut kita, dan buyut-buyut yang lain dan buyut-buyutnya tetangga mengajarkan soal penilaian ini.





”Agus iku orange apik yo,” kata Mbahnya tetangga dengan bahasa Jawa campursari ini. ”Aku yakin, Agus iku pasti anak’e wong akeh,” tambah Mbak yang kupingnya sudah budeg tapi kalau mendengar ada wanita merintih masih bisa mendengar ini.

Mbahnya tetangga itu mengajarkan pada saya, orang yang rapi, bersih, dan tampan termasuk golongan kaya, ningkrat, punya uang, anak Menteri, anak penjabat, anak angota DPR, masih saudara dengan Presiden, atau keturunan konglomerat. Waktu kecil, saya jelas mengamini, mengangguk: ”Iya, pasti dia anak orkay (baca: orang kaya),” pikir saya sambil terbengong-bengong melihat ketampanan orang kaya yang dimaksud.

Terkadang, waktu kecil saya juga banyak diajari soal status sosial ini. Kali ini bukan cuma fisik, tapi soal attitute. Manusia-manusia yang punya attitute lemah lembut, baik budi, sopan, itu pasti anak orang kaya. Dia pasti tinggal di rumah gedong, bertingkat, yang pembantunya ada dua sampai tiga. Yang tiap pagi breakfastnya pakai omlet, telur rebus, dan segelas susu.

Lain halnya dengan manusia yang sering mencuri, merampok, membunuh, pasti dari golongan nggak mampu. Yang pendidikannya cuma sampai Sekolah Dasar (SD). Yang rumahnya di rumah kumuh yang ukurannya 2x3, dimana kalo hujan pasti tetesan airnya harus ditadahkan oleh sebuah baskom. Yang selalu makan dari sisa-sisa hotel murahan, syukur-syukur bisa makan tiga kali sehari, makan sehari saja sudah Alhamdulillah. Yang selalu pakai celana dalam side A side B.

Begitulah pendidikan ”menilai orang”. Kata orang pendidikan itu lahir dari keluarga, sebuah ”kerajaan kecil”, dimana segala attitute, perintah, kebijakan, pengetahuan, dan life skill lain diajarkan. Tinggal masalahnya ”pelajaran” itu bisa lurus atau malah bengkok. Kalo lurus output-nya jadi positif, kalo bengkok output-nya jadi negatif.

Ternyata setelah saya sudah nggak goblok lagi, otak saya mulai berfungsi normal. Penilaian-penilaian itu tidak absolute. Standar penilaian bukan lagi pada masalah tampang, ato bukan lagi pada masalah attitude. Ini semua berdasarkan pengalaman dan juga berdasarkan survey yang bukan dari Survey Research Indonesia (SRI).
Bahwa saya menemukan seorang pria gagah seperti Ariel Peter Pan, tinggi, berbulu dada, kulitnya nggak berminyak, ternyata dia adalah tukang ojek di Mampang Prapatan. Di sebuah Mal kelas CD yang berada di bilangan Senen, saya juga menjumpai wanita seksi berbodi mirip Sarah Azhari, dengan pakaian branded, hidung mancung, kuping caplang, rambut dicat, eh begitu kenalan dia adalah seorang pembantu di Cempaka Putih.




Belum cukup contoh di atas, saya sempat berkenalan dengan anak muda pada saat saya kesasar di sebuah jalan. Anak muda itu rambutnya dipotong dan diberi gel ala spike, sepatunya adidas, celana jins branded, wajahnya perpaduan antara Rano Karno dan Nazar Amir, eh nyatanya begitu saya ikuti rumahnya di gang sempit MHT. Yang kalo makan cuma pake celana pendek plus kaos singlet dekil.

Mereka ternyata berwajah kota, namun sayang rezekinya rezeki kampung. Padahal kalo saja mengikuti penilaian ortu-ortu kita, mereka sudah dikategorikan manusia-manusia kaya. Dengan fisik yang nyaris sempurna, dengan penampilan yang luar biasa, mereka sepatutnya bisa disandangkan dengan orkay-orkay lain. Namun nyatanya?

But dear friends, mereka memang punya wajah kota dan rezeki kampung. Namun attitude mereka sometimes nggak ada relevansinya dengan penilaian kampungan ato nggak kampungan. Attitute mereka terkadang jauh melebihi orkay-orkay yang masih bergentayangan di negara kita. Orkay-orkay yang korup, nggak sopan, suka membunuh, atau merampok hak orang.






Belum lama ini, saya pergi ke Tasimalaya. Di Tasik, ada sebuah pembuat kerajinan anyaman yang hasil anyamannya ini diskspor ke Amerika dan Eropa. Mereka membuat tas, tempat baju, tikar, maupun sandal. Dengan menggunakan bahan dari batang pohon kelapa, mereka mampu mengembangkan usahanya di tengah krisis sekarang ini. Luar biasa bukan? Mereka telah berhasil menjalankan ekonomi kreatif yang sedang didengung-dengungkan belakangan ini sebagai gelombang ekonomi keempat.

Sekarang, dengan otak saya yang sebagian masih ada sisa di dengkul, saya pilih-pilih menilai orang. Kelihatannya baik, tapi perlu penelitian lebih dalam soal kebaikannya. Jangan-jangan dia bagi-bagi duit supaya menghilangkan jejak korupsinya (baca: money laundry). Kelihatannya kaya, ternyata sok kaya. Pakai mobil X-Trail ternyata X-Trail hasil sogokan. Kelihatan tampangnya kaya, eh ternyata tukang bajaj. Hidungnya mancung, eh ternyata mancungnya palsu, mancungnya gara-gara dipencet-pencet sama Haji Jeje Manggarai. Man! Don’t judge a book by it’s cover!

No comments: