Monday, January 26, 2009

DEMI UANG, MARI MENYIKSA ANAK...

Kemiskinan memang selalu menjadi sumber kekerasan. Tanpa sadar, manusia-manusia miskin selalu melakukan berbagai cara agar mereka bisa survive. Berbagai cara ini lebih banyak menggunakan anak sebagai sumber pendapatan mereka. Lebih tepatnya, mudah mendapatkan uang.

"Habis mau gimana lagi?" kata salah seorang miskin yang udah puluhan tahun miskin. "Dengan memakai anak, kami jadi bisa cepat mendapatkan uang".

"Memangnya nggak bisa yang mencari uang orangtua? Bukankah anak-anak di bawah umur dilarang bekerja?"

"Orang-orang sekarang udah nggak punya jiwa sosial kalo yang ngamen atau ngemis orangtua seperti kita. Sekarang trend udah beda. Orang-orang kaya masih punya rasa sosial pada anak-anak.."



Mari kita lihat di jalan. Betapa kita menyaksikan sendiri anak-anak dieksploitasi sedemikian rupa. Kalo nggak menjadi Pengamen, Penjual Koran, maupun Pengemis. Sementara orangtua si Anak, enak-enakkan duduk sambil bersandar di sebuah tiang di bawah jalan tol. Di perempatan Coca-Cola, Cempaka Putih, nggak terhitung jumlah anak-anak yang beredar di jalan.

Miris sekali melihat pemandangan itu.

"Siapa yang mau bertanggungjawab kalo kami lapar?" kata si Ibu dari golongan miskin lagi, yang anaknya sedang bersusah payah meminta uang dari satu mobil ke mobil lain. Dimana tangan mereka mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil, berharap seseorang rela memberikan recehan seratus atau lembaran seribuan.

Di tanya soal siapa yang bertanggungjawab, gw rada bingung juga. Gw nggak mungkin menanggung biaya puluhan bahkan ratusan anak-anak yang tiap hari beredar di perempatan lampu merah atau di terminal-terminal bus. Gw terlalu kere buat mengeluarkan uang, kecuali nanti kalo gw dah dibaptis jadi konglomerat. Gw nggak akan beli mobil seharga puluhan miliar. Pasti gw akan berikan puluhan miliar buat mereka yang benar-benar butuh.



Pemandangan lain bagaimana anak menjadi sumber uang, terjadi ketika kami melakukan wisata ke gedung-gedung tua di daerah kota. Anak-anak menjadi tontonan banyak orang sore itu di pelataran depan gedung Fattahillah. Sebuah pertunjukan model-model kuda lumping, berlangsung cukup seru, dimana yang menjadi pemain utamanya anak-anak.

"Ayo kerja!" Itu kata seorang Bapak berpakaian kaos warna merah. Gw nggak tahu siapa dan nggak mau tahu. Cuma bisa menerka, doi mungkin Bapak dari anak-anak itu, yang selain menjadi pemukul gong, juga menjadi motor penggerak kesenian ini.

Seorang anak terpaksa mematuhi sang Bapak. Anak yang usianya kira-kira 11 tahun itu memamerkan skillnya, yakni mampu memasukkan tubuhnya ke dalam sebuah lingkaran kayu. Selama usaha, anak kecil itu "dikerjain" oleh anak kecil juga. Masih mending kalo "dikerjain"-nya cuma dikelitikin. Anak kecil itu sempat disabetin dan didorong pakai kaki hingga jatuh. Kasihan, tapi anehnya kejadian tersebut malah membuat para penonton tertawa.

Selama pertunjukan, ada seorang Ibu menggendong bayi yang sedang tidur. Ibu yang usianya kira-kira 50 tahunan ini berkeliling sambil membawa sebuah kotak. Kotak ini nggak lain adalah kotak sumbangan, dimana para penonton yang menyaksikan akrobat ini ikhlas memberikan sebagian uang.

"Sebenarnya aku nggak mau nyumbang," kata Istri gw. "Aku nggak tega melihat anak kecil disabetin. Kalo aku menyumbang, sama saja mengizinkan anak kecil disiksa begitu. Tapi kalo aku nggak menyumbang, keluarga itu jadi nggak bisa makan..."

Serba salah bukan?

Seharusnya anak-anak ini bukan untuk ditonton. Anak-anak ini nggak punya kewajiban menjadi sumber uang keluarga. Memang keluarga butuh makan, tapi anak punya hak untuk menolak. Apalagi sampai disabetin segala. Ini sama saja kekerasan terhadap anak. Apakah pertunjukan ini tidak masuk hitungan sebagai suatu kekerasan terhadap anak? Entahlah! Namun inilah dunia kemiskinan. Nggak ada yang nggak mungkin. Semua harus kerja, semua harus membantu.



Ternyata kalo kita telusuri sejarah. Menjual anak sebagai sumber uang bukan dari dunia miskin saja. Mereka-mereka dari keluarga yang otaknya masih layak pakai, kaum intelektual, seringkali tanpa sadar udah mengekpolitasi anak. Exploitation softly, istilah gw. Anak dijadikan Penyanyi atau Bintang Sinetron. Orangtua ngotot mengajak anak casting ke sana ke sini. Berharap anak mereka sukses. Konteks sukses di sini, sukses secara finansial, bukan dari akademis atau people skill yang seharusnya lebih dulu ditumbuhkan pada diri anak.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga seringkali memanfaatkan anak. Tujuannya nggak lain nggak bukan, supaya menimbulkan dampak "kasihan" pada orang-orang yang melihat. Pada saat demo, manusia-manusia miskin diwajibkan mengerahkan anak-anak mereka. LSM via oknum, menuntut agar kebijakan Pemerintah lebih pro ke manusia miskin. Begitu tujuan udah tercapai (baca: mendapatkan "jatah preman"), oknum LSM tadi biasanya nggak galak lagi. Diam seribu bahasa.

Entah apa namanya kalo anak dipaksa orangtua atau LSM. Mengekploitasi? Atau mungkin lebih tepat disebut menyiksa? Apapun namanya, mayoritas orang tahu, anak-anak yang muncul ke permukaan lebih banyak untuk kepentingan orang tua mereka. Kepentingan LSM. Ironisnya, "perjuangan" mereka lebih banyak untuk kepentingan uang. Uangnya untuk kepentingan pribadi pula. Kloplah sudah!

2 comments:

andreas iswinarto said...

Merenungkan dampak kekerasan, praktek dan lingkungan yang penuh kekerasan terhadap anak-anak melalui karya perupa Haris Purnomo dan budayawan Sindhunata

Menunggu Aba-aba : Bayi Bertato, Kepompong dan Pisau Sangkur

Bagi saya karya-karya Haris Purnomo dalam pameran Kaum Bayi : Alegori Tubuh-tubuh yang Patuh ini merupakan kritik atas peradaban, kekerasan dunia orang dewasa, kekerasan tatanan masyarakat baik di lapangan politik, ekonomi, budaya, teknologi terhadap alam dan sesama manusia. Bumi air tanah tumbuh bayi-bayi mungil dengan tato sekujur tubuh, dalam bedong ber-pisau sangkur. Hangat kepompong dalam proses metamorfosis menjadi bentuk lain, kepribadian lain.

Mereka Menunggu Aba-aba!!!!

grekgrek, grekgrek, grengkek, grekgek atau seperti bunyi orang mengasah sangkur

grek grek suara motor penggerak pisau sangkur menghipnotis ruang bentara budaya yang temaram mencabik kenyamanan, membuat ngeri, seperti dengkur pasukan perang, tentara pembunuh ...... alien, mutan, monster...

atau seperti bunyi orang mengasah sangkur

Mereka Menunggu Aba-aba!!!

bayi-bayi lelap dan jaga yang menimbulkan sayang dan haru itu, menyembul harap dan bahagia dan kengerian di sekitarnya, kontradiksi pedih, kemanusiaan abad ini....

silah kunjung ….

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/menunggu-aba-aba-bayi-bertato-kepompong.html

diary si tukang gowes said...

Thx atas tanggapannya bung Andreas Iswinarto. Salam kenal dan permisi utk mengunjungi blog Anda: http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/menunggu-aba-aba-bayi-bertato-kepompong.html