Thursday, January 22, 2009

TITISAN BANG HAJI OMA

Tuhan itu maha adil. Gw kembali disadarkan soal keadilan Tuhan, setelah menjalani kontemplasi sepanjang perjalanan Pancoran ke Kawasan Industri Pulogadung via bus Mayasari Bakti 57. Kalo saja gw terlahir sebagai anak orkay alias orang kaya, mungkin gw nggak akan melihat realitas yang ada di depan mata gw.

Kalo nggak perlu-perlu amat naik mobil, gw selalu memutuskan buat naik mobil. Sebenarnya keputusan nggak pake mobil juga dalam rangka pengiritan. Kalo boleh ngeles: bukankah kita dianjurkan untuk irit bensin kendaraan pribadi dan mengganti naik kendaraan umum? Tapi bener kok, gw adalah manusia yang paling malas nyupir. Gw lebih suka disupirin. Sayang, gw nggak tega bayar supir. Buat gw, mending gw nabung atau ngasih infak ke masjid daripada mengeluarkan 700 ribu sampai 1 juta untuk sebuah kenikmatan disupirin.



Balik lagi ke soal keadilan Tuhan dan kebiasaan gw naik bus. Kalo saja Tuhan melahirkan gw di tengah keluarga kaya, yang punya mobil duapuluh biji, yang punya rumah gedong, yang uang jajannya sehari minimal 1 juta, mungkin gw nggak akan pernah menginjakkan kaki di bus Mayasari 57. Gw pasti akan keluar-masuk mobil mewah yang bodynya licin, yang setiap gw mau keluar mobil selalu dibukakan oleh sang Driver. Kaki gw nggak akan pernah menyentuh beceknya tanah, tapi semuanya aspal, ubin, karpet, yang paling mewah mungkin marmer.

Kalo gw terlahir dari keluarga konglomerat, mungkin gw nggak akan mendengar seorang Ibu muda yang berteriak-teriak kala berkomunikasi dengan temannya via handphone. Padahal dia tengah berada di bus yang penuh dengan orang, dimana pastinya seluruh pasang mata akan melihat wajah si Ibu yang dengan cueknya tetap berkacak-cakap.

”Nanti ajah deh ngomongin beli cabenya!” pinta si Ibu pada temannya.

”Apa?! Harga cabe naik lagi?! Padahal kemarin saya baru beli pempers…”

”Pempers buat suami Ibu?”

”Lho, kok situ tahu suami saya masih pakai pampers?”

”Ya tahu lah yau. Kan tahu dari lamaran Mama Laurent...”

Sebenarnya apa yang Ibu lakukan bisa dimaklumi. Suara bising bus, memaksa dirinya bersikap seperti itu. Di luar jendela bus, suara bising kendaraan pun membuat obrolan si Ibu terdengar ke seluruh penjuru kuping penumpang.

Setiap kali, ada saja realitas yang gw saksikan di atas bus. Kalo soal eksistensi copet, itu mah sudah bukan rahasia lagi. Mayasari Bakti 57 itu memang gudangnya copet. Yang paling sering adalah pengamen. Ini yang gw temukan pagi yang ceria ini. Pagi yang sempat diguyur hujan, dimana tetes-tetasan bekas air hujan masih tersisa di kaca jendela bus yang gw tumpangi.

”Selamat berjumpa para penumpang. Selamat ketemu lagi dengan saya Pimpinan Orkes Bahenol yang akan menemani Anda selama perjalanan menuju tempat kerja ...”

Pria tua itu begitu semangat menyapa para penumpang. Melihat usia, sepertinya kita harusnya bisa mencontoh Pengamen ini. Kenapa begitu? Sekarang ini jiwa-jiwa muda sudah ”mati”. Semangat untuk berjuang pada bangsa, pada keluarga, bahkan pada diri sendiri sudah banyak pupus. Entah kenapa, mungkin lebih banyak apriori ketimbang positif thingking, lebih besar pesimis daripada optimis. Dan Pengamen itu nggak seperti itu.

”Pagi yang berbahagia ini saya akan membawakan lagu-lagu dari tiga dedengkot dangdut yang umurnya sudah menua. Mereka adalah maestro negeri ini: Bang Haji Rhoma Irama, Bang Meggy Z, dan Bang Mansyur S....”

Buat mereka yang nggak suka dangdut kayak gw, tentu menyebalkan sekali ada orang yang mau nyanyi lagu bukan kesukaan kita. Masa lagu dangdut? Rasanya pengen ngomong begitu. Tapi nggak mungkin dong? Jadi ngomongnya dalam hati aja, seperti beberapa mahasiswa-mahasiswa lain yang dari tampangnya nggak suka dangdut.

”Padahal dangdut kan is music of my country, Bro,” kata temen gw yang nggak sempat naik bus 57, tapi sok memberi komentar.

“Itu kan kata Project Pop,” timpal gw.

”Buat gw metal is music of my country...”

“Metal itu yang sering dinyanyikan Rinto Harahap ya, Bro?” Sebuah pertanyaan tolol dari teman yang sok tahu. Nggak ngerti musik.

”Bukan stuppid! Lagu metal itu biasa dinyanyikan Teti Kadi..”

”...”

Pengamen itu nggak peduli dengan apa kata Penumpang. Khususnya Penumpang yang nggak suka lagu dangdut. Terlebih lagi nggak suka sama Bang Hajji Rhoma Irama. Musisi dangdut yang digelari Raja Dangdut dan juga digelari selebritis yang doyan kawin. Hush! Jangan ngomong sembarangan, ah! Itu gosip! Gosip apa gosip?

”Nanti elo diadukan Angel Lelga Komnas Infotainment?”

”Emang ada?”

”Ada lagi! Emang elo nggak tahu?”

”Kerjaannya apa?”

”Mengevaluasi gosip-gosip yang nggak sip. Maksudnya gosip yang sebenarnya benar-benar terjadi, tapi diberitakan ke masyarakat jadi simpang siur..”

”Trus Angel itu maksudnya ngapain ke Komnas Infotainment?”

”Ya barangkali mau mengaku apa adanya. Terhadap hubungan dirinya dengan penyanyi dangdut di bus Mayasari 57 itu...”

”Angel Lelga ada main sama Pengamen 57 yang bawain lagunya Rhoma Irama?”

”Whatever you said, I don’t care!” Itu bukan kata-kata yang dilontarkan Angel Lelga. Bukan pula Pengamen. Karena jarang banget Pengamen yang bisa bahasa Inggris. Kalo bahasa Perancis mungkin masih bisa. Maksudnya, bahasa perapatan Ciamis.

Pengaman tahu, bahwa sikap malu akan menghambat hidupnya. Kalo saja malu lebih besar daripada keberanian, dia nggak akan pernah mendapatkan cukup uang untuk makan, dan cukup uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Karena nggak ada satu pun orang yang memberinya makan. Nggak ada satu Departemen pun yang peduli anak-anaknya sekolah atau tidak, even Pemerintah yang menjanjikan ”Free Education for All” pun nggak dirasakan Pengamen ini. Meski begitu, suaranya lumayan. Maksudnya lumayan maksa. Mungkin dia ingin dianggap sebagai titian Bang Haji Rhoma Irama.

Namun, sikap malu seringkali di salah artikan oleh manusia. Untuk melakukan hal yang positif, hal yang halal, yang nggak mengganggu orang lain, yang nggak menyalahi kondrat, kita malah bersikap malu. Sebaliknya, ketika kita mencoba menyogok polisi karena ditilang, orangtua atau salah satu anggota keluarga kita korupsi, Bos kita tukang bunuh orang, kita malah nggak merasa malu. Aneh!

Lihatlah koruptor-koruptor di media masa. Dengan peci dan baju koko, mereka seolah nggak ada dosa melangkah masuk ke pengadilan. Padahal mereka udah merugikan negara bertriliun-trilun. Padahal mereka punya gelar akademis maupun gelar Haji yang selalu dibangga-banggakan mereka maupun orang lain. Lihat juga poster-poster para Caleg, para Capres yang terpampang di segala penjuru jalan raya. Mereka seolah nggak punya rasa malu lagi untuk mengakui diri: jujur, adil, cerdas, merakyat, rela berkorban, dan positioning positif lain. Lucu! Benar-benar nggak tahu malu!

”Sebagai lagu selanjutnya dari Abang kita Meggy Z yang selalu menyukai sakit gigi daripada sakit hati. Moga-maga lagu ini bisa menentramkan hati Anda yang sedang sakit hati..”

Pengamen ini luar biasa. Gw belum tentu setegar dia. Belum tentu gw bisa menahan rasa malu bernyanyi di hadapan orang-orang di bus ini. Dia luar biasa! Gw yakin hidupnya juga jauh lebih melarat dari gw. Inilah yang selalu gw ambil hikmah bahwa ”di atas langit masih ada langit”. Tuhan maha adil. Moga-moga biar gw udah kaya, jadi konglomerat, jadi orang terkaya seperti Sukanto Tanoto, gw masih punya kepekaan sosial seperti sekarang. I hope so!

No comments: