Sunday, January 18, 2009

THE REAL HARLEY DAVIDSON MAN



Terus terang gue nggak habis pikir, sampe setua ini bokap gue ngefans berat sama mogenya. Padahal banyak bokap-bokap lain yang seumuran bokap gue ngefans sama Rhoma Irama dan Ikang Fauzi. Namun sebuah Harley Davidson toku yang umurnya mungkin sepadan dengan Gajah Mada adalah idola bokap. Harley yang koplingnya masih di samping tangki bensin (bukan di stang yang kebanyakan motor Harley keluaran sekarang), dan menggunakan engkol kaki kalo mau menghidupkan mesinnya.

Boleh jadi gue terlahir sebagai anak Harley. Makanya nama gue Samsul Bachri bin Aditjondro (nggak ada hubungannya dengan Harley ya?). Dulu gue pernah punya foto di rumah gue zaman bahuela, dimana posenya bokap gue lagi menggendong gue di jok belakang Harley. Cantik sekali gue waktu itu. Pake jepitan, kalung, dan anting (sebenarnya gue cewek apa cowok sih?). Sampe sekarang, foto hitam putih itu masih gue cari-cari eksistensinya. Foto itu menandakan, sebelum gue lahir, Harley bokap gue sudah lahir duluan. Gue bahkan curiga, Harley bokap gue barangkali bekas peninggalan tentara Jerman zaman Hitler yang ditinggalkan pasukan saat Jerman menyerang Asia di Perang Dunia ke-II.

Gue nggak tahu sudah berapa kali Harley bokap gue ini berganti warna. Yang gue inget, Harley ini pernah berwarna hijau army, trus pernah berwarna hitam. Entah gue waktu itu lagi buta warna apa nggak, Harley ini pernah juga diwarnai pink. Gue yakin, warna itu dibuat gara-gara menyambut hari Valentine. Eh ternyata bener, warna Harley sesuai dengan musim. Ketika musim kurban, Harley-nya diwarnai putih, supaya mirip dengan kambing ato domba. Sekarang ini Harley bokap gue diwarnai kuning. Gue bingung kenapa diwarnai kuning?




”Supaya disamain sama Partai yang warnanya mirip kotoran manusia,” ungkap Bokap. Gue masih bingung, emang ada Partai yang mirip kotoran manusia? Setahu gue adanya partai yang warnanya mirip tokai deh.

Begitu sayangnya bokap sama Harley ini. Buat bokap, lebih baik naik Harley ketimbang nggak naik Harley. Prinsipnya memang sederhana, tapi mengena setiap umat manusia. Harley dijadikan simbolisasi diri Bokap gue yang keras dan tegas. Gara-gara simbolisasi itu, Bokap jadi dikenal sebagai pemilik Harley di kampung halaman kami di Marunda, dimana Pitung sempat tinggal. Nggak ada yang nggak kenal dengan Bokap. Nama boleh nggak dikenal, tapi ciri khas Bokap sebagai pemilik Harley sudah dikenal seantero kampung, bahkan sudah terdengar sampai ke angkasa raya. Selain Harley, ciri khas Bokap gue ada di kumis yang hitam lebat nan merdu merayu.

”Oh rumah bapak yang punya Harley-nya? Itu-tuh dekat sungai. Kamu belok kiri aja, trus mentok belok ke kanan. Setelah belok kanan lurus trus. Nyebrangnya naik perahu ya. Ingat! kalo jalan jangan nenggok ya,” begitu kata penduduk setempat ketika ditanya lokasi rumah gue.




Meski gue terlahir dengan Harley, tapi yang menurunkan hobi main Harley adalah adik gue. Kenapa? Gue nggak begitu suka dengan motor, termasuk Harley. Buat gue, motor bikin senewen, bikin naik darah. Coba lihat aja ke jalan. Perhatikan! Motor menyalip seenak udel. Begitu kita kena senggol, mereka cuek. Sebaliknya begitu kita yang nyengol, teman-temannya seperjuangan motor pada ngerubung kayak laron. Siap-siap membantu kalo pengendara motor dikalahkan oleh pengendara mobil.

Belum cukup itu bukti motor bikin gue kesel. Lihat lagi ulah pengendara motor yang seenak udel juga melewati jalan verboden. Trus benar-benar nggak melihat tanda ”motor dilarang berada di jalur besar”, para pengendara malah jalan santai di jalur utama. Pokoknya aneka kebegoan bikin gue nggak suka naik motor, termasuk satu paket dengan para pengendara motornya.

Motor juga lebih banyak celakanya daripada menyenangkannya. Ini pasti gara-gara mereka juga ugal-ugalan, plus kalo naas jatuh pada saat nggak pake helm. Coba deh riset, berapa jumlah kendaraan roda dua sekarang ini. Kalo nggak salah, pertambahan motor per bulannya mencapai 20%. Ini artinya, motor laku keras kayak kacang goreng dan akan mengalahkan mobil. Ini artinya pula, motor akan menghiasi setiap sudut-sudut jalan, mulai dari jalan tikus, maupun jalan gajah.

Gara-gara nggak tertarik naik motor dan Harley, maka tahta mahkota diberikan ke adik gue nomor dua. Benar dugaan gue, adik gue tergila-gila pada Harley Davidson. Saking tergila-gila, adik gue jadi gila beneran. Untung setelah diamputasi, dia normal kembali. Namun kecintaan pada Harley, tetap ada. Nggak heran pada saat adik gue married, kendaraan pengantin bukannya Mercy, BMW, ato Alphard, tapi motor Harley milik bokap gue. Walah!

Kalo loe tahu bunyi Harley, itu nyaring tujuh turunan. Kedengarannya dari Pulogadung sampe Monas. Nah, bayangin rumah gue yang berdekatan dengan tetangga. Begitu Bokap gue membunyikan Harley, semua tetangga terbangun serempak. Habis bangun, mereka langsung ambil bantal dan menutup kepala mereka dengan bantal itu. Nggak Cuma manusia yang merasa terganggu, seluruh binatang peliharaan para tetangga juga terganggu. Anjing salah satunya. Begitu Harley bokap gue melewati rumah yang ada anjingnya, semua anjing menggonggong dengan dahsyatnya. Anjing baru diam ketika asap knalpot mengenai hidung sang anjing. Anjing mulai batuk dan lama kelamaan tewas.




Boleh jadi Bokap bangga ada anaknya yang bisa mewariskan kecintaan pada Harley. Ini bisa diibaratkan seperti seorang Raja yang bangga memiliki Putra Mahkota yang akan menggantikannya sebagai Raja. Contohnya: Pangeran Charles ke Charles Hutagalung dari Inggris. Ato Pangeran Kimigayo ke Pangeran Doraemon dari Jepang. Tapi bedanya, yang satu dianugerahi mahkota berlapis emas dan berlian, kalo Bokap gue ke adik gue cuma menganugerahkan seperangkat kunci pas dan obeng supaya bisa ngutak-ngatik Harley kalo rusak.

Bokap juga mungkin bangga dengan adik kedua gue yang kerja di toko bahan bangunan, yang kebetulan jualan motor Harley. ”Nggak apa-apa lah nggak punya Harley baru, yang penting ada perwakilan (maksudnya anak) yang bisa liat-liat Harley model muktahir. Moga-moga kalo sering dielus-elus motor barunya itu bisa jinak dan akhirnya jadi milik pribadi,” harap Bokap gue, meski harapannya nggak mungkin terjadi. Diharap-harap begitu adik gue kedua cuma cenggegesan.




Karena kecintaannya pada Harley, Bokap punya prinsip ”aneh”. Lebih baik miskin daripada Harley ini dijual ke tangan orang lain. Nggak punya uang no problem, yang penting Harley masih ada di nongkrong di rumah. Padahal Harley bokap gue pernah ditawar 100 juta pada tahun 1999. Pernah juga ada yang mo barter dengan burung perkutut. Tapi burung perkututnya sudah pandai berbunyi lah yau, dimana harga burung itu sempat ditaksir senilai 90 jutaan. Yang bokap nggak mau ketika ada yang mo tukar guling antara Harley dengan beras 1 ton. Tapi bokap gue keukeh mempertahankan Harley tuanya. ”Harley adalah kebanggaan milik bangsa,” kata Bokap mirip dengan slogan salah satu televisi swasta. ”Harley-ku memang beda,” tambah Bokap lagi-lagi mirip dengan slogan televisi news yang saat ini lagi naik daun kayak uler keket itu. Nah, kalo ada penobatan The Real Harley Davidson Man saat ini, pasti Bokap gue bisa masuk nominasi.

No comments: