Sunday, September 27, 2009

KITA ADALAH MEREK

Belum lama ini saya ditawari minum Jack Daniels. Entah apa yang membuat seorang teman mengajak saya menemani minum alkohol yang berkadar 50% sehabis shooting malam itu. Padahal dia tahu kalo saya nggak pernah mengajak atau memperlihatkan diri minum alkohol di depannya, even merokok. Jangan-jangan dia tahu masa lalu saya.

Ketika zaman kegelapan, Jack Daniels ibarat dewa. Ketika melihat botol berstiker hitam dengan tulisan warna putih berukuran 50 ml itu, apalagi botolnya berembun karena dingin, nafsu birahi saya langsung memuncak. Saya tak kuasa untuk mengucurkan tetesan alkoholnya ke sebuah gelas kaca kecil yang sudah diisi batu-batu es. Kalo saya boleh analogikan, ketika alkohol itu masuk ke kerongkongan saya, perjalanan sepanjang 80 km menyusuri Padang Pasir sekejap sirna. Nikmat sekali!

Namun masa-masa jahiliyah sudah nggak ada dalam kamus hidup saya. Biar Jack Daniels masih hidup dari 1875 sampai 2009 ini, saya nggak akan birahi lagi melihatnya. Nggak heran kalo tawaran itu saya langsung tolak. Cara menolaknya tentu nggak sekasar kita menolak Peminta sumbangan yang tiba-tiba muncul di pagar depan rumah kita. Saya perlahan-lahan mundur, meninggalkan teman saya yang niat banget memesan Jack Daniels sebanyak dua botol malam itu.

Saya adalah saya. Saya dan Anda pasti punya integritas yang kuat. Maksudnya, ada komitmen-komitmen yang kita pegang teguh yang kudu kita pertahankan sekuat tenaga, kalo perlu sampai titik darah penghabisan. Integritas dan komitmen itu merupakan bagian dari apa yang disebut oleh David McNally dan Karl D. Speak sebagai personal brand atau ‘merek diri’.


Zaman edan dahulu kala, saya begitu birahi memandangi botol ini dan dengan bangga bisa minum sampai muntah. Namun sekarang, boro-boro niat minum, melihat saja udah pengen muntah.


Dalam buku Be Your Own Brand (Gramedia Pustaka Utama, 2004) karya Nally dan Speak itu, kita semua adalah merek. Kita masing-masing memiliki merek yang ditunjukan dengan integritas kita. Mereka mencontohkan soal integritas ini lewat film adaptasi novel John Grisham berjudul The Firm. Di film itu Tom Cruise yang berperan sebagai Pengacara muda terjerumus ke dalam hal yang sebenarnya tidak diinginkan, karena mitra-mitranya yang tidak jujur dan gaya hidup mewah (lihat buku Be Your Own Brand, hal 147). Gara-gara sikap hidupnya, sang istri meninggalkannya. Namun di ending film itu, sang istri kembali kepadanya, karena di tengah semua kericuhan yang direncanakan oleh para mitranya yang tidak jujur tersebut, Cruise telah kembali pada kehidupan sesuai janji mereknya, yakni integritas dan menghormati hukum.

Apakah Anda punya integritas? Punya komitmen pada ‘merek diri’ Anda? Ketika banyak mobil berseliweran di bahu jalan di jalan tol, Anda menetapkan diri untuk tetap berada pada jalur yang benar bersama mobil-mobil yang lain. Anda nggak ikut serta menghancurkan integritas Anda sebagai orang yang ingin disiplin dalam berlalu lintas. Apakah Anda akan dikatakan tolol oleh mereka yang melajukan kendaraan di bahu jalan? No way! Tenang aja, mereka yang tolol, kok! Mereka yang nggak displin. Memang yang mau ke kerja mereka yang nggak disiplin itu aja? Memangnya yang mau cepat sampai ke kantor orang-orang tolol itu?

Ketika teman Anda punya gadget baru, integritas Anda mulai tergoda untuk ‘berselingkuh’. Anda yang sebelumnya hidup sederhana, bisa menabung uang buat sekolah anak-anak atau buat married, eh jadi ngiler melihat teman-teman Anda nampak keren menggunakan sebuah gadget canggih yang sebentulnya nggak penting-penting amat Anda miliki. Kita nggak sadar, antara perlu dan nafsu.

“Rasanya kalo udah punya gadget canggih ‘dunia seperti ada dalam satu genggaman’ gitu, bo!”

So what kalo ‘dunia ada di dalam satu genggaman’? Memangnya bisa jadi orang kaya gitu? Bisa membuat perubahan bagi banyak manusia di dunia ini, ya at least orang-orang di sekitar kita? Come on baby!”

Anda punya hak buat melakukan ini-itu. Tapi Anda juga punya hak buat memiliki integritas. Komitmen untuk menjadi diri Anda sendiri, tanpa melihat ‘rumput tetangga’. Ingat: the grass is always greener on the other side of fance. Merek Anda bukanlah merek orang lain. Kita adalah merek diri kita sendiri. Kalo nggak mampu membeli gadget mahal, sebaiknya Anda nggak memaksa diri, karena sungguh sangat berbahaya kalo ‘besar pasak daripada tiang’ atau gaji Anda sebenarnya belum mampu buat membeli (atau mencicil) apa yang Anda inginkan.

Ketika seorang suami sadar telah berselingkuh, ia sungguh menyesal. Integritasnya hancur. Komitmen cinta pada pasangannya rusak berkeping-keping. Padahal ketika married dahulu, mereka sang suami pernah berjanji for better and worst till dead do us part. Nyatanya, hanya karena godaan janda beranak satu, sang suami tega mengkhianati janji suci di kala married itu.

Dalam perkawinan ‘merek diri’ akan menjadi contoh bagi anak-anak kita. Ketika kita nggak punya integritas, dalam konteks nggak disiplin, maka anak kita pasti akan ikut-ikutan nggak disiplin. Kalo dalam contoh di atas soal melajukan mobil kita di bahu jalan. Ketika kita berkomitmen dengan ajaran agama, dimana terdapat perintah-perintah maupun larangan-larangan-Nya tapi Anda nggak melakukan semua itu, otomatis anak Anda akan mencontoh ‘merek diri’ Anda itu. Ketika teman mengajak ikutan pijat plus-plus, iman Anda jangan goyah. Ketika seluruh teman Anda menggunakan Blackbarry, Anda nggak tahan ingin membeli gadget lain dan Anda pun membeli iPhone. Ketika seorang janda seksi menggoda Anda dalam sebuah shooting sinetron, sebagai Sutradara Anda terpikat untuk menselingkuhi dirinya, padahal anak-anak Anda menanti di rumah bersama istri Anda.

‘Merek diri’ bisa dibentuk. Segala godaan yang membuat integritas Anda hancur, bisa dibendung asal kita punya komitmen buat bekerjasama dengan hati dan pikiran kita, begitu yang dikatakan Nally dan Speak. So, ingin seperti apa Anda membangun ‘merek diri’ Anda? It’s all up to you honey!

Saturday, September 26, 2009

TEAMWORK ALA SANTIGA

Malam sudah menunjukan pukul 23:45 WIB. Entah kenapa dalam perjalanan pulang, saya dan istri lapar berat. “Orang sehat” bilang, tidak bagus makan malam, apalagi makam berat di tengah malam. Pasti akan menyebabkan kegemukkan. Tapi malam itu kami tak peduli. Kami "melanggar" anjuran soal kesehatan itu. Kami lebih peduli pada perut kami yang keroncongan menagih makan ketimbang omongan “orang sehat” itu.

Akhirnya kami memilih makan seafood. Pilihan seafood bukan spontan, tapi memang sudah kami rindukan beberapa hari ini, dimana setiap sebelum tidur membayangkan kepiting saus Padang atau udang saus tiram. Kerinduan kami bagai orang hamil yang sedang menginginkan sesuatu alias ngidam. Dan kami sengaja memilih tempat seafood yang berada di daerah Bandungan Hilir, Jakarta Barat, yang konon katanya enak dan terkenal itu.

Ternyata menurut kami rasa kepitingnya biasa aja. Kalo terlalu sadis menyebut rasa kepiting itu dengan kata "biasa", ya baiklah saya ganti dengan kalimat: rasanya sedikit lebih baik dari penjual seafood tenda-tenda lain. Rasa "biasa" dan rasa "luar biasa" ini kalo kita bandingkan dengan seafood yang pernah kami makan di Cak Gundul, Kelapa Gading atau warung tenda seafood di Tebet Utara, depan Dunkin Donnuts. Di dua tempat itu, sebuah kepiting rasanya yahud punya! Porsi kepitingnya pun gokils! Besar, bos! Soal harga, relatif sama dengan kepiting di Bendungan Hilir yang tengah malam ini kami makan.


Ini salah satu sudut warung tenda seafood Santiga yang ada di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.


Meski kepitingnya "biasa", namun tengah malam itu kami belajar banyak di warung tenda seafood bernama Santiga ini, yakni soal teamwork. Bahwa teamwork ala Santiga ini mengajarkan tentang kebersamaan dalam sebuah usaha. Baik para pegawai, pengamen yang mangkal di situ, maupun juru parkir adalah team. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Pemilik bermata sipit itu memperlakukan seluruh pegawainya dengan penuh hormat. Bukan cuma itu, si pemilik juga sangat menghormati para anggota pengamen dan juga juru parkir yang sehari-hari bekerja di situ.

Beberapa saat sebelum pemilik hendak pulang, -setelah menghitung omsetnya malam ini dengan cara menghitung uangnya yang diletakkan dalam laci- beberapa pegawai yang bertugas sebagai juru masak memasak makanan dalam porsi besar. Ada satu orang yang meletakkan piring-piring berisi nasi di sebuah meja pajang yang kebetulan kosong, tak ada pelanggan. Awalnya kami pikir, ada pelanggan yang sudah reserve seat dan akan membawa gerombolan untuk makan seafood malam itu. Nyatanya makanan yang dimasak juru masak serta piring-piring nasi yang diletakkan di meja itu untuk seluruh pegawai seafood Santiga ini, termasuk untuk anggota pengamen dan juru parkir.

Ketika kami menikmati kepiting yang tubuhnya sudah terpotong-potong itu dengan menyeruput dagingnya, kami melihat seluruh pegawainya menikmati makanan di dalam tenda yang sama di tempat kami makan. Anggota pengamen juga menikmati makanan yang sudah dibuat juru masak, begitu pula juru parkir yang terlihat menambah nasi.

Terus terang kami tak tahu apakah tradisi teamwork seperti ini terjadi dengan warung-warung seafood lainnya. Kami pun tidak pernah tahu apakah di warung seafood lain, Anda pernah menemukan seseorang membagi-bagikan uang pada seluruh pegawainya, dimana uang tersebut adalah deviden atau keuntungan harian. Meski setiap pegawai diberikan uang berbeda-beda, deviden antara juru masak dan pelayan berbeda, namun semua pegawai kebagian. Pernahkan Anda merasakan bagi-bagi keuntungan di kantor Anda sebagaimana seafood Santiga ini? Jangan-jangan kantor Anda tak peduli, meski tahun lalu dan tahun ini meraih keuntungan. Kalo saya Alhamdulillah sudah pernah merasakan hal itu. Moga-moga hal tersebut menjadi tradisi.

Kami mengira, pemilik lah yang membuat semua teamwork di warung seafood-nya berjalan dengan baik. Pemilik tentu berlaku sebagai pemimpin. Dialah yang mengambil inisiatif merangkul para pengamen dan juru parkir untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warung seafood-nya. Tanpa kepemimpinan yang mengedepankan nilai-nilai sosial dan agama, impossible pemimpin akan membawa team-nya menjadi work alias berhasil. Impossible pula kalo si pemilik warung tenda seafood ini dihormati dengan tulus oleh pegawainya, pengamen, dan juru parkir, kalo saja si pemilik tidak berlaku adil dan memiliki jiwa sosial tinggi. Ah, barangkali dua hal itulah menjadikan resep keberhasilannya, meski rasa seafood-nya biasa-biasa saja.

KOTA KECIL AJA BISA, MASA JAKARTA NGGAK BISA?! MALU-MALUIN AJAH!!

Judul di atas buat mengejek sekaligus mengkritisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Ternyata kota metropolitan sebesar Jakarta kalah canggih dengan salah satu kota di Bali, yakni Jembrana. Bukan cuma kecanggihan dalam menghilangkan angka kemiskinan dari 15,25% menjadi 8,39% cuma dalam tempo 2 tahun (2001-2003), tetapi menerapkan kebijakan good govermence dan clean govermence (baca: menghilangkan KKN di birokrasi).

Adalah Bupati Prof. DR.drg. I Gede Winarsa, yang berhasil menjadikan Jembrana maju pesat dalam hal administrasi kota. Daerah-daerah Bali lain yang lebih ngetop kayak Denpasar, Gianyar, atau Tabanan, justru kalah caggih. Jembrana meroket dari kota kecil dan miskin, menjadi kota maju.



Dahulu Jembrana adalah kota kecil dan miskin. Belakangan menjadi kota tercanggih dan sangat serius memberantas korupsi, karena pelayanan masyarakatnya sangat efektif. Jembrana menerapkan sistem sehingga sekolah benar-benar gratis dan kesehatan gratis buat seluruh warga. Angka kemiskinan pun bisa ditekan, dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003).

E-voting adalah satu keunggulan Jembrana dalam pemilihan langsung. Pemanfaatan informasi teknologi (IT) ini membuat Duta Besar (Diubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Ted Osius harus mengakui kehebatan Jembrana. Pasalnya, di Amerika saja masih menggunakan dua cara, yakni e-voting maupun sistem pencoblosan ala Pemilu nasional di negara kita.

“Amerika perlu 200 tahun untuk melakukan e-voting, tapi Jembrana hanya perlu sembilan tahun saja. Luar biasa. Sepertinya Amerika perlu belajar ke Jembrana,” ujar Osius.

Selain e-voting, Ted juga mengaku “kalah” dengan inovasi Jembrana mengasuransikan kesehatan seluruh penduduknya, yakni Jaminan Kesehatan Jembrana JKJ). Menurut Osius, di Amerika Serikat nggak semua penduduk menerima asuransi.

“Negara saya perlu belajar ke Jembrana,” kata pak Dubes.



Ambulan ini sangat canggih dan cuma dimiliki oleh Pemkab Jembrana. Nggak seperti ambulan yang ada di Indonesia ini, termasuk di Jakarta, ambulan milik Jembrana ini bisa sekaligus buat ruang operasi. Bukan cuma pamer kecanggihan, tetapi sistem kesehatan di Jembrana ok banget, karena seluruh warga mendapat pelayanan kesehatan gratis dengan sistem Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ).

Menurut Winarsa, ada rumus penanganan korupsi yang ia terapkan di Jembrana. Bahwa korupsi itu bukan cuma mengambil uang negara secara ilegal. Namun inefisiensi juga termasuk korupsi. Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan menerapkan berbagai standar, baik biaya, prosedur maupun waktu. Yakni bagaimana kita bisa menutup celah korupsi dengan membuat berbagai macam standar itu tadi.

Sistem pelayanan perizinan yang dilakukan Jembrana memang efektif dan efisien. Gara-gara hal itu, nggak ada celah pegawai pemerintah daerah di Jembrana, melakukan korupsi. Itulah yang menyebabkan sistem pelayanan di Jembrana berstandar internasional yang bersertifikat ISO 9001. Bandingkan dengan Jakarta dan kota-kota besar lain. Dari tahun ke tahun nggak ada peningkatan soal sistem pelayanan. Nggak heran kalo korupsi masih tumbuh subur.




Sistem e-voting inilah yang membuat kagum Dubes Amerika Serikat. Pada pemilihan kepala desa (foto di atas adalah 4 kades), menggunakan sistem canggih dengan memanfaatkan teknologi informatika (IT). Pemilih cukup menempelkan KTP yang sudah ada chip ke e-voting, mereka tercatat sebagai pemilih. Hal ini membuat nggak ada lagi pemilih yang mencoba curang (memilih dua kali atau lebih) dan nggak perlu lagi menunggu penghitungan melalui quick count. Warga yang nggak bisa baca pun bisa memilih.

Menurut KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, pola pelayanan publik satu loket yang terstandar dan transparan di Jembrana, berdampak pada peningkatan iklim ivestasi daerah. Maklum, dengan sistem yang terstandar dan transparan, nggak ada pungli. Kondisi ini membuat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan KPPOD memberikan anugerah Investment Award kepada Pemkab Jembrana di akhir tahun 2009 lalu.

Selain Investment Award, Pemkab Jembrana juga sempat memperoleh Bung Hatta Award, karena dinilai telah berhasil dalam memperjuangkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam bidang Pendidikan, kesehatan, perekonomian dan pelayanan publik. Soal pendidikan, di bawah kepemimpinan Bupati Winarsa, Jembrana yang dahulu menjadi kota termiskin di Bali ini berhasil membebaskan biaya sekolah. Nggak cuma dari SD, tetapi sampai di SMA. Hebatnya lagi, Pemkab juga memberikan beasiswa kepada lulusan SMA terbaik ke perguruan tinggi.




Salah satu sekolah di Jembrana. Selain gratis dari SD sampai SMA, Pemkab Jembrana juga memberikan makan siang gratis pada beberapa sekolah negeri. Hebatnya, siswa-siswa di Jembrana tidak mengizinkan anak sekolah menggunakan kendaraan pribadi, termasuk motor. Semua siswa di Jembrana menggunakan bus sekolah, dimana bus ini berhenti di tiap halte. Oh iya, mana ada SMA negeri di Jakarta punya kolam renang kayak SMA di Jembrana ini?

Kalo kota kecil kayak Jembrana aja bisa, masa kota segede Jakarta dan pemerintah pusat di Indonesia ini nggak bisa sih? Ah, jangan-jangan Jakarta dan pemerintah pusat memang nggak serius menangani korupsi. Mereka lebih suka membuat lembaga-lembaga yang judulnya memang buat memberantas korupsi atau mafia peradilan. Ujung-ujungnya cuma lyp service aja.

BELAJAR BISA DIMANA SAJA

Seorang anak terlihat serius mencoret-coret sesuatu di sebuah tembok. Tembok itu bukan tembok sebarang tembok, tetapi tembok yang merupakan salah satu tiang yang dahulu sempat mau dijadikan tiang rel kereta sebagai salah satu transportasi di kota Jakarta ini.

Di sekeliling anak itu, mobil-mobil sedang antri lampu merah, di sebuah perempatan di Palmerah. Saya yakin, banyak mereka yang nggak peduli dengan anak kecil yang sehari-harinya mangkal dan menjadi pengamen di jalan itu.

Ketika melihat apa yang ditulis, saya tersenyum. Rupanya ia sedang belajar menulis. Meski tulisannya jelek, apalagi menggunakan media tulis dari batu, namun saya yakin dia sedang berusaha belajar menulis.


Seorang anak yang saya temukan di dekat lampu merah jalan Palmerah.

Dear friends, apa yang saya lihat pada anak itu sesungguhnya mengajarkan kita, bahwa belajar bisa dimana saja. Lepas dari ketidaktahuan anak itu bahwa mencoret-coret di fasilitas umum itu dilarang dan kebetulan tiang itu memang tidak sedang dipakai, namun soal aktivitas belajar dimana saja memang kudu menjadi perhatian kita.

Bahwa belajar ternyata juga bisa dilakukan di lingkungan tempat kita, entah di rumah, kantor, ketika naik sepeda menuju kantor, atau ketika naik busway.

Di tempat-tempat kayak begitu, kita bisa belajar apa saja. Belajar melihat penderitaan orang lain, melatih kepekaan sosial, belajar jangan melakukan tindakan korupsi, belajar sehat dengan melakukan aktivitas yang ramah lingkungan, dan belajar menghormati orangtua. So, belajar bisa dimana saja, bukan?

Namun saya sarankan, jangan belajar pada sinetron. Believe me, Anda nggak akan banyak dapat pelajaran positif dari sinetron. Kalo pun ada, sedikit banget. Kecuali sinetron model Para Pencari Tuhan. Kalo Anda belajar dari sinetron, bisa dipastikan Anda dan seluruh keluarga Anda muntah-muntah, terkentut-kentut, atau mungkin langsung mendapatkan serangan jantung.

Saturday, September 19, 2009

FANATISME KEBABLASAN

Itulah kenapa gw nggak pernah mengidolakan sesuatu atau seseorang. Soalnya buat gw, ngabis-ngabisan waktu aja. Mending bisa membuat kita kaya raya. Mending menambah pahala. Menambah teman? Ah, enggak juga. Apalagi menambah wajah kita semakin ganteng dan kinclong, wah nggak mungkinlah.

Gw herman, eh heran, ada orang yang fanatik banget sama klab sepakbola. Bela-belain nggak makan, nggak tidur, cuma buat nonton kesebelasan favoritnya itu. Nggak peduli putus sama pacar, kolor udah side A side B, mulut udah jigongan gara-gara nggak gosok gigi 10 hari, sing penting hadir di lapangan buat melihat langsung Pemain A, B, C, D, dan seterusnya, menggocek bola. Syukur-syukur bisa menang.

“Kalo menang bikin pesta tujuh hari tujuh malam. Sementara kalo kalah, ngajak tawuran dan bikin keributan.”

“Yang terakhir ada kasus sebuah film nggak berani diputar di kota B gara-gara dianggap menghina sebuah budaya dan klab sepakbola. Aneh!”

Gw bingung, orang yang fanatik ini juga rela mempertaruhkan nyawanya demi klab sepakbola itu. Naik ke atas kereta api, dimana naiknya di atap kereta, yang mengantarkan mereka dari kota S ke kota J. Boleh jadi karena mereka nggak punya duit buat bayar kereta api. Aneh kan? Mau jadi fans fanatik tapi kere. Tapi ya begitulah kalo udah fanatik, rela melakukan apa saja demi sang Pujaan hati.


Kalo cinta mati main sepeda bukan berarti fanatisme berlebihan dan dianggap orang tolol dong? Justru malah orang-orang penggemar sepeda membantu mengurasi polisi, eh polusi udara yang kian hati kian menyayat hati, ya nggak?

Soal kerelaan, ada juga yang rela menjual nyawanya ketika terjadi perkelahian di dalam stadion. Mereka yang sok Pahlawan ini pasang badan. Timpuk-timpukan. Hasilnya? Kepala bocor dan mengeluarkan darah. Kaki patah. Di luar negeri ada yang sampai bunuh diri segala. Yang paling ringan, paling cuma badan pegel-pegel. Semua dilakukan gara-gara fanatisme yang kebablasan. Kok kayak gitu mau jadi orang kaya? Kok kayak gitu mau jadi Pemimpin? Ngomong-ngomong Pemimpin, jangan-jangan mereka yang sering berkelahi di dalam gedung DPR termasuk fans fanatik klab sepakbola kali ya?

“Apa untungnya sih memuja-muja Manusia?”

“Namanya juga Manusia, cong!”

"Apa untungnya mengidolakan Ariel? Memangnya kalo Ariel jadi idola kita bisa punya mobil Hammer gitu?"

"Ya enggak lah!"

"Apa bedanya Ariel sama gw sih?"

"Ya jelas bedalah! Ariel ganteng, nah elo jelek. Ariel punya Luna Maya, nah elo Bencong aja nggak ada yang suka..."

"Tapi ada Homo yang suka sama gw, cong!"

"Ah, masa sih? Kenalin dong?"

"Najis!"

Fanatisme kebablasan bukan cuma terjadi di lapangan olahraga. Dalam agama juga begitu. Gw berani taruhan, sikap manusia yang sok beragama sebenarnya nggak lebih kayak para Penggemar klab sepakbola.

Ketika ada kafe yang dianggap menjual minuman keras, sekelompok yang mengatasnamakan agama langsung mengacak-acak, bahkan sampai membakar. Padahal perkara jual-menjual minuman keras nggak cuma di kafe, di hotel bukannya banyak? Kenapa nggak diacak-acak hotelnya? Lagipula, kenapa kemarin mengacak-acak kafe, sekarang-sekarang ini kok nggak diacak-acak lagi? Aneh!
Konteks aktivitas anggota organisasi agama dengan fans fanatik klab sepakbola memang beda. Yang satu soal duit, maksudnya kalo setorannya nggak ada atau jatah remannya kurang, organisasi ini siap melakukan aktivitas penggrebekan. Yaiyalah! Kalo bukan masalah duit apa lagi coba? Nggak konsisten soalnya. Nah, yang satu lagi, memang murni fans fanatik. Nggak selalu dibayar jadi fans karena duit. Ada dan nggak ada duit, tetap fanatik.

Namun sekali lagi, kedua Manusia itu – manusia sok suci dan manusia fanatik klab bola – masuk dalam kategori golongan fanatisme yang kebablasan. Sebab, seumur-umur gw belum pernah diajarkan oleh Kiai atau Ustadz soal menjalankan perintah Tuhan dengan menggunakan kekerasan, kebrutalan, atau menjadi vandalis sejati. Yang gw tahu, kalo kita diserang, baru balik menyerang. Yang gw tahu juga, kalo lawan udah menyerah, kita nggak boleh menyerang.

“Terminologi serang menyerang ini akan beda kalo diterapkan oleh manusia yang lagi penuh nafsu birahi....”

“Lho kok begitu?”

“Tanpa diserang, kita boleh menyerang si lawan jenis kalo emang udah nafsu. Pasti lawan itu akan nafsu juga....”

“Oh begitu ya?”

“Begitu juga kalo lawan udah lelah karena diserang terus, itu bukan jaminan si lawan jenis akan mengakhiri pertarungan di atas ranjang dong? Kalo masih nafsu gimana?”

“Oh iya-ya. Lawan yang udah kelelahan itu harus diberikan A-Cong tuh!”

“Apaan tuh A-Cong?”

“Obat kuat!”

Tentu orang-orang yang mengaku punya agama lebih beradab daripada fans fanatik sepakbola. Lebih intelek gitu, cong! Soalnya pasti udah diajarkan mana yang baik dan mana yang nggak baik. Udah diajarkan mana yang dosa dan mana yang bakal mendapatkan pahala kalo kita melakukan sesuatu.

Kalo orang-orang beragama ini ngerti soal agama, gw yakin seyakin-yakinnya, nggak akan ada lagi kekerasan dalam menuntaskan kebiadaban atau kemaksiatan. Ada cara-cara elegan yang lebih terhormat. Nggak akan ada lagi pengkultusan individu seorang Kiai atau Ustadz. Dimana sang murid kudu mencium tangan, cipika-cipiki, gokilnya sampai meminum air bekas cuci kaki si Guru. Kiai dan Ustadz itu Manusia, bo! Nggak ada aturan yang mengajarkan menghormati guru kudu mengkultuskan individu tersebut. Kecuali agama yang kita anut cuma simbol status, sementara dalam diri kita sebenarnya adalah seorang atheis.

Friday, September 18, 2009

GOD BLESS SEKARANG KURANG GIMANA GITU

Ucapan Teddy Sujaya yang menjadi note saya ini menjadi point utama dalam percakapan saya dengan mantan drummer God Bless ini, dua minggu sebelum manggung di Backstage, Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) dalam rangka shooting program Malam Minggu-ONE yang ditayangkan di tvOne.

Baginya, kemunculan God Bless di tahun 2009 ini bukan memperlihatkan ketangguhan jago-jago tua di tengah belantika musik Indonesia yang saat ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Reuninya God Bless malah justru membuat Teddy berpikir terbalik. Bahwa sangat disayangkan, mereka kembali, karena formasi sekarang sudah nggak ada power-nya.



Bukan gosip, bukan bermaksud mengadu domba, tapi pernyataan ini asli diungkapkan drummer kelahiran Jakarta tahun 1954 ini pada saya. Drummer formasi God Bless tahun 1975 ini tidak sedang sirik dengan kemunculan rekan-rekannya, pada saat ia "tenggelam" menjadi seorang Produser atau Pencipta lagu. Namun buat Teddy, "power" yang dahulu pernah ada, tidak nampak lagi pada aura para pemainnya, pun pada lagu-lagu mereka.

Betulkah?

Itu kata Teddy. Terlepas benar atau salah, ketika berhubungan dengan pria yang sudah sejak usia 10 tahun main drum ini, saya seperti menemukan kembali gairah tua yang nggak termakan usia. Kenapa begitu? Power seorang berusia 55 tahun seperti Teddy ini luar biasa hebatnya. Bahkan saya boleh mengatakan, belum ada drummer band-band generasi 90-an yang memiliki power sedahsyat Teddy.

Ia sanggup membawakan 12 lagu dengan tempo yang sama. Padahal keringatnya terus menerus mengucur dari kening wajah maupun tubuhnya. Namun, pukulan stick drum-nya konstan.

Lagu Black Dog-nya Led Zeppelin "dihajar" habis dan disambung dengan lagu Immigrant Song. Belum cukup itu, lagu Raksasa-nya God Bless yang diambil dari album berjudul sama di tahun 1989 dimainkan, lalu lanjut dengan lagu Srigala Jalanan dari album Apa Kabar? (1997). Di luar lagu-lagu itu, Teddy juga memainkan lagu single milik Achmad Albar (Bis Kota) dan dua lagu Anggun C. Sasmi (Mimpi dan Bayang-Bayang Ilusi). Power yang konstan itulah yang barangkali membuat ayah penyanyi rock bernama Kathy ini berani "mengejek" God Bless sekarang kurang punya "power".

Haruskah ku hidup dalam angan - angan
Merengkuh ribuan impian
Haruskah ku lari dan terus berlari
Mengejar bayang - bayang ilusi



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

BELAJAR DARI SD NEGERI KOMPLEKS IKIP MAKASSAR

Terus terang saya belum sempat inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa sekolah negeri, apalagi swasta di Makassar. Ketika berkunjung ke Makassar saat ini, saya cuma mampu berkunjung ke salah satu sekolah, yakni SD Negeri Kompleks IKIP yang berada di jalan AP. Pattarani, Makassar, Sulawesi Selatan.

Entah saya beruntung atau memang dituntun Tuhan untuk dipertemukan dengan sekolah ini. Kenapa begitu? Sebab, sekolah ini mengingatkan saya pada SDN RSBI 12 Rawamangun, Jakarta Timur yang selalu saja “bermasalah”. Terakhir, masalah yang digulirkan oleh Kepala Seksi (Kassie) Dinas Pendidikan Dasar Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, H Usman. Ia meminta Gubernur DKI Fawzi Bowo mencabut KTP DKI dari empat orangtua murid yang bersekolah SDN RSBI 12 Rawamangun, Jakarta Timur. Sebelumnya, sang Kepala Sekolah (Kepsek) melalui suratnya melarang Aria Bismark Adhe (saat itu masih tercatat sebagai siswa kelas VI di sekolah itu) mengikuti ujian akhir sekolah (UAS).


Pintu masuk SD Negeri Kompleks IKIP, Makassar.





Dulu saya ingat sekali, sekolah yang bermarkas di kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ, dulu IKIP Jakarta) ini cuma memiliki status sekolah percontohan. Namun, entah siapa yang kemudian “menaikkan derajat” menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) tanpa melewati Sekolah Standar Nasional (SSN). Nah, SD Negeri Kompleks IKIP ini sama-sama berada di kompleks IKIP, namun hebatnya SD Negeri Kompleks IKIP ini benar-benar gratis-tis!

Bu Erna, orangtua murid, mengatakan, anaknya tinggal masuk ke SD Negeri Kompleks IKIP ini. Tidak ada dana sepersen pun yang ditarik dari pihak sekolah atau Komite Sekolah. Padahal menurutnya, sekolah ini termasuk salah satu sekolah dasar terbaik di Makassar.


Halaman dalam SD Negeri Kompleks IKIP. Untuk sekolah gratis nggak malu-maluin, kan? Beda banget dengan SD-SD di Jakarta yang menaikkan status jadi RSBI agar fasilitasnya ok. Tapi kalo fasilitasnya sudah ok, tetapi nggak punya prestasi, sama juga bohong.

Beda banget dengan apa yang terjadi di SDN RSBI 12 Rawamangun yang dahulu dikenal sebagai SD Negeri Percontohan ini. Cuma gara-gara banyak yang terkesima dengan nama besar Lab School, sehingga orangtua murid dari luar berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah ini, eh SD Negeri Percontohan ini pasang strategi, yakni mengganti menjadi status RSBI. Dengan begitu, Komite Sekolah bisa menarik dana dari para orangtua murid baru.

“Murid-murid di sini tidak membayar apa-apa. Tinggal masuk ke kelas,” jelas bu Erna lagi. “Murid-murid juga tidak perlu membeli buku. Pihak sekolah telah membuat sistem, dimana murid-murid bisa pinjam buku ke perpustakaan. Jika sudah naik kelas, buku dikembalikan ke perpustakaan. Begitu seterusnya,” tambah bu Erna panjang lebar.


Ini salah satu fasilitas di SMP Negeri Jembrana, Bali. Meski ada kolam renang, SMP ini tetap tidak memungut biaya dari orangtua murid. Kabupaten Jembrana yang kecil aja bisa, masa kota-kota besar nggak bisa?

Saya beruntung sekali bisa berkenalan dengan SD Negeri Kompleks IKIP dan bu Erna. Kenapa? Saya jadi bertemu lagi dengan sekolah negeri yang benar-benar gratis. Sebelumnya, saya sempat berkunjung ke salah satu SMA Negeri 2 Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Meski menjadi sekolah favorit, SMA 2 ini tidak memungut biaya sepersen pun dari orangtua murid. Menurut sang Bupati Prof. DR.drg. I Gede Winarsa, hal tersebut berkat pengelolaan dana Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikelola dengan baik dan minus korupsi. Luar biasa bukan?


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tuesday, September 15, 2009

PERATURAN TINGGAL PERATURAN, NGEBUL JALAN TERUS

Selepas jam makan siang, di depan pintu liftpenuh orang. Seperti biasa, mereka antre untuk kembali ke ruang kerja mereka masing-masing sehabis lunch. Di tempat itu ada dua lift yang saling berhadapan. Sebenarnya ada dua liftlagi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari situ.

Barangkali pemandangan orang-orang mengantre menunggu di depan liftpada saat masuk kerja atau selepas makan siang itu sudah biasa. Namun pemandangan yang belum lama ini saya jumpai berada di gedung tempat “orang-orang terhormat”, yakni gedung wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Ada empat orang yang dengan cuek mengepulkan asap rokok mereka. Padahal di situ ada tanda larangan merokok.

href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC2hYb_T1h7w3T90dubLlOs3IexF2gErFghFrsZW51-BPnMkCzJo531CrOzRy4Agpu-w9I3QPKRr0wfAgc8sffx58GrEltcsxXPFExpsjBPmFSTLLKmOJPBk0mHGsS5ZI1HMGJn97_VNDm/s1600/orang+ngerokok1.jpg">
Foto atas yang saya abadikan via kamera handphone ini terjadi di lantai dasar gedung Nusantara I DPR. Ada 4 orang yang dengan cuek merokok persis di depan lift. Padahal saat itu penuh orang dan ada tanda larangan dilarang merokok. Yang merokok di gedung ini bukan cuma office boy, tetapi juga tenaga ahli dan anggota DPR-nya juga.


Di lain waktu, saya kembali berkunjung ke gadung yang sama di lantai 13. Tidak beda ketika saya berada di depan lift, dimana empat orang merokok. Namun kali ini yang merokok di depan lift adalah seorang pria berkumis tebal. Ia dengan cuek mengisap dan mengepulkan asap rokok sambil membaca koran. Ironisnya, ia membaca di depan Satpam DPR yang kebetulan sedang bertugas di situ. Gokilnya lagi, ketika ada tamu terhormat muncul, pria berkumis tebal ini tetap cuek membiarkan asap rokok berhamburan ke seisi ruang berpenyejuk udara itu.

Terakhir, saya diizinkan masuk ke ruang seorang anggota DPR. Ketika menuju ke ruang, saya harus melewati koridor yang terdiri dari beberapa ruang-ruang tempat para anggota DPR “mangkal”. Anda tahu? Hampir seluruh ruang tersebut terdapat smokers. Tidak heran kalo Anda jalan, hidung Anda akan menghirup aroma nikotin.

Welcome to passive smokers. Yes! Begitulah yang terjadi di gedung Nusantara di kompleks MPR/ DPR. Anda yang bukan perokok, akan merasakan akibat dari para perokok itu. Menyedihkan bukan? Ada sebagian orang yang “merusak diri”, ada sebagian orang yang sebenarnya ingin sehat, tetapi terpaksa ikut-ikutan “dirusak diri” mereka lewat asap nikotin itu.


Perokok ini berada di lantai 13. Pria ini dengan cuek merokok di ruang ber-AC dan ada tamu pula. Kalo anggota yang terhormat saja mencontoh prilaku yang melanggar peraturan, bagaimana rakyat mau mengikuti aturan?

Tentu Anda tahu ada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok dan juga Pergub No 88 Tahun 2010 tentang pelarang merokok di dalam gedung, restoran, tempat hiburan, mal, dan sarana umum lainnya di DKI Jakarta ini. Saya yakin, orang-orang yang merokok di dalam gedung itu juga tahu, bahwa di dalam gedung yang berpenyejuk udara dilarang merokok, apalagi di dalam gedung itu terdapat stiker bertulisan DILARANG MEROKOK dan ada Pergub-nya.

Kebetulan saya sering ke gedung MPR/ DPR, jadi saya perhatikan mereka yang merokok. Ternyata bukan cuma office boy yang barangkali (maaf) pendidikannya rendah. Namun mereka yang jabatannya sebagai Tenaga Ahli (TA) bahkan anggota DPR sendiri –saya tahu, karena di jas mereka terpasang lambang burung Garuda Pancasila sebagai tanda anggota-, juga ikut-ikutan merokok.

Sekarang ada 21 dari 50 negara bagian yang mempunyai aturan daerah bebas rokok. Di Amerika Serikat (AS) sendiri, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Publik AS sudah lama mengeluarkan peraturan larangan merokok di tempat umum. Hal tersebut terjadi, karena kesadaran hidup sehat semakin meningkat di kalangan masyarakat Amerika Serikat (AS), termasuk tentang bahaya rokok.


Papan peraturan dilarang merokok di Amerika Serikat. (Sumber: dok. google)

“Di New York tidak bisa merokok sembarangan. Anda tidak bisa merokok di mana saja kecuali di rumah pribadi,” jelas pakar komunikasi risiko Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Departemen Kesehatan dan Pelayanan Publik AS Barbara Reynolds, PhD.

Di Indonesia, peraturan tinggal peraturan. Kelakuan mereka yang berkantor di gedung, seperti di gedung DPR Nusantara I itu, dengan sopir metromini, sama aja. Nggak yang berpendidikan S3 atau mereka yang nggak tamat SD, ya sami mawon. Orang lain yang nggak ngerokok masa bodoh, yang ngebul ya jalan terus.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sunday, September 13, 2009

SOAL RASA DAN HARGA, BOLEH DIADU!

Selain baju baru, kue adalah salah satu hal yang ‘wajib’ dimiliki oleh mereka yang merayakan lebaran. Nggak heran, beberapa hari menjelang lebaran seperti sekarang ini, di beberapa tempat sudah memajang kue lebaran aneka rupa, mulai dari nastar, putri salju, kaastengels, maupun lidah kucing.

Kue-kue kering yang dijual dengan kemasan toples plastik itu harganya bervariasi. Ada yang harga sekotaknya 35 ribu, ada pula yang sampai 100 ribu perak. Mahal? Tergantung bahan bakunya dan dimana membelinya. Tapi mayoritas mereka yang hendak membeli mengatakan: mahal! Namun, meski protes dengan harga yang mahal, mereka tetap aja beli.

Memang ada kue kering yang murah, yang harganya 20 ribuan. Tapi bahan-bahannya juga ‘murahan’. Kaastengels harga 20 ribu bahan bakunya terdiri dari keju kraft, royco, dan garam. Sementara kue Kaastengels harga 100 ribu bahan bakunya terdiri dari keju edam dan parmesan. Lebih dari itu, Kaastengels 30 ribuan nggak pake butter, pakenya margarine.


Mulai lebaran 2009 ini, istri ogut menseriuskan bisnis kue ala home industry. Selain berkat pujian teman-temannya yang mengatakan kuenya enak dan murah, juga berkat motivasi dari pendiri Natural Cooking Club, Bu Fatmah.

Beruntunglah ogut punya istri yang jago bikin kue. Meski istri ogut seringkali masih merendahkan diri dan bilang: “ah, masih belajar, kok!”, namun kue-kue buatan istri ogut luar biasa enak. Pujian ‘enak’ itu nggak subjektif, lho. Mentang-mentang ogut adalah suami sahnya, istri sendiri dipuji habis-habisan. Ah, bukan begitu my friends. Pujian ‘enak’ itu objektif, kok. Banyak teman-teman istri ogut yang juga mengatakan, kue buatannya enak. Nah, gara-gara itulah sudah lima tahun ini, kami nggak pernah lagi beli kue-kue kering yang dibilang ‘mahal’ itu.

Bermodal puja dan puji dari beberapa orang teman, istri ogut ‘nekat’ (bukan singkatan dari ‘nenek-nenek angkatan darat, lho!) mencoba mencari peruntungan berbisnis kue. Mulai lebaran tahun 2009 ini, istri ogut serius menggarap bisnis kue. Nama usahanya: BAKI Cakes & Cookies. Kue-kue yang tersedia nggak cuma kue kering, tapi kue basah pun boleh dicoba kelezatannya, mulai dari cup cake, cake ulangtahun, brownies kukus, dan cake lain.

Kenekatan istri ogut sebenarnya bukan tanpa pemikiran yang matang. Sebelumnya, beberapa tahun lebaran, istri ogut sudah membuat kue sendiri. Lalu ada beberapa temannya yang order dan mengatakan ‘mak nyos’ pada kue-kue buatan istri ogut. Lebih dari itu, ia ikut beberapa kali training yang dilakukan oleh milis Natural Cooking Club (NCC) yang dimonitori oleh Fatmah Bahalwan dan suaminya Ali Martono. Kata istri ogut, Bu Fatmah pernah bilang, meski bisnis cake sudah banyak, namun toko-toko yang menjual cake tidak serta merta bisa meladeni 220 juta orang di tanah air ini. Pasti ada rezeki sendiri-sendiri. So, go for it!

Saat ini memang belum ada toko atau tempat buat arena memajang kue-kue buatan istri ogut. Ya, kayak toko-toko kue yang sekarang ini sudah ada gitu deh. Nggak heran kalo selama ini, istri ogut membuat kuenya cuma berdasarkan pesanan. Alhamdulillah, meski cuma bermodal pesanan, target penjualan kue istri ogut terlampau, bahkan sedikit melampaui. Awalnya, target cuma 100 toples, eh rupanya Allah memberi rezeki lebih sehingga toples yang harus disediakan lagi sebanyak 50 buah.

Bukan cuma rasanya yang enak, karena menggunakan bahan-bahan yang berkualitas. Tapi kue hasil olahan istri ogut dianggap murmer alias murah merah oleh sebagian teman-temannya. Bayangkan, kalo kita bandingkan apple to apple kue keju yang di luar seharga 100 ribu perak, istri ogut bisa menjual dengan harga 45 ribu. Padahal bahan bakunya sama, yakni menggunakan keju edam dan parmesan. Gara-gara dijual dengan harga murah, istri ogut beberapa kali diomelin oleh teman-temannya.


Gara-gara didesak oleh putri ogut yang kedua untuk bikin kue ulang tahun, istri ogut pun 'bereksperimen', eh ternyata ia bisa pula bikin kue ulang tahun dan nggak kalah cantiknya dengan kue-kue buatan toko-toko kue. Rasanya pun enak pula. Mantabs!

Terus terang (sebenarnya ini rahasia dapur!), dengan harga yang relatif murah itu, istri ogut tetap mengantongi keuntungan. Bukan cuma keuntungan sedikit, tapi 100%, bo! Jadi kalo Anda beli kue-kue di toko dengan harga selanjit, itu tandanya si penjual sudah menaikkan harga kuenya ditambah dengan sewa toko, pajak ini-itu, dan menggaji pelayan toko, yang total-total naik 200% kali ya. Nah, dengan bahan baku yang sama atau kompetitif, harga kue istri ogut dan tentu saja rasanya, boleh diadu dengan toko-toko kue sebelah.

Nih, ada price list kue kering produksi usaha istri ogut yang bernama BAKI cakes dan cookies yang bisa Anda bandingkan dengan penjual kue lain. Semua ini harga per toples ya, bo! Bukan per baskom:

Nastar : Rp 35.000
Kaastengels : Rp 45.000
Sweet Cheese : Rp 45.000
Cornflake Ganache : Rp 35.000
Choco Mede : Rp 45.000
Kukis Hias Vanila : Rp 35.000
Kukis Hias Cokelat : Rp 35.000

Nah, kalo Anda tertarik mau order, silahkan saja ketik SMS Anda ke nomor: 0817-724112 atau 021-92856095. Ketiknya tentu saja orderan kue ya, bukan ketik memilih siapa penyanyi atau pesulap yang dijagokan menang di program acara reality show di televisi.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

KUBURAN PUNYA KEBIASAAN

Tahukah Anda apa yang akan dilakukan band Kuburan setelah manggung di suatu tempat? Bukan menghapus make up mereka yang tebal minta amplop itu, melainkan pergi ke toko kaset. Ngapain, bo? Memangnya mereka nggak pernah ke toko kaset?

Dear friends, mereka itu bukan orang udik atau mahkluk ruang angkasa yang turun ke bumi dan nggak pernah menginjakkan kaki ke toko kasih. Bukan! Mereka ke toko kaset buat ngecek ke petugas penjaga kaset, berapa jumlah kaset atau CD yang sudah terjual. Tentu saja kaset atau CD mereka, dimana terdapat lagu Lupa-Lupa Ingat yang ngetop abis sehingga penampilan mereka jadi nyampah. Maksudnya ada dimana-mana.



Di toko kaset, mereka ngecek jumlah copy, kalo perlu membeli CD mereka sendiri supaya jumlah yang terjual bertambah. Maklum, sejak lagu Lupa-Lupa Ingat ngetop, CD bajakan lebih banyak terjual dari CD originalnya. Lah, bukannya memang biasanya begitu?

Anyway, kebiasaan band Kuburan ini cukup unik juga. Sebagai band, mereka sangat concern dengan peredaran album mereka di pasaran. Lebih dari itu, ini salah satu usaha mereka 'berperang' melawan CD bajakan, meski 'perang' tetap akan dimenangkan oleh para pembajak. Sia-siakah mereka? Tergantung! Yang penting konsisten aja. Don't give up!

Thursday, September 10, 2009

NIAT MELINDUNGI, JUSTRU MALAH MENGONTROL

Usmar Ismail geram luar biasa. Produksi film Indonesia tahun 1948-1952 jauh dibanding film-film impor dari Eropa maupun Negara Asia di luar Indonesia. Memang ada peningkatan, namun tidak signifikan dibanding film impor.

Data dari buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia karya Johan Tjasmadi, film Indonesia tahun 1948 cuma 3 judul. Padahal di tahun yang sama, film Amerika berjumlah 302 judul, Tingkok (sebelum disebut sebagai negara Cina) berjumlah 115 judul, Inggris ‘menyumbang’ 93 judul, India dan Malaysia berjumlah 3 judul. Sementara Filipina sama seperti produksi film Indonesia tahun 1948, yakni 3 judul.

Itu baru tahun 1948, bagaimana tahun 1949, 1950, 1951, dan 1952. Produksi film Indonesia masih berada di urutan buncit. Tahun 1949 ada 8 judul, 1950 (23 judul), 1951 (40 judul), dan 1952 (50 judul). Bandingkan dengan film-film Hollywood pada tahun 1949 (296 judul), 1950 (660 judul), 1951 (660 judul), dan 1952 (844 judul). Angka-angka inilah yang membuat Usmar geram, apalagi melihat jumlah penonton yang di tahun-tahun itu, dimana film Amerika dan Eropa berhasil menyedot penonton sebanyak 270 juta orang dalam dasawarsa 9 tahun (1952-1960) dengan menyaksikan 6.000 judul film. Sementara dalam kurun waktu yang sama, 1952-1960, Indonesia cuma ditonton 45 juta orang atau rata-rata 12.000 orang.


Ini bukan shooting film, tapi pada saat shooting program Pariwara dengan Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo.

Masa itu memang belum muncul jaringan bioskop 21. Artinya belum ada monopoli yang didukung oleh pemerintah seperti di era Orde Baru. Namun beberapa bioskop kelas A punya komitmen kuat memasok film-film produksi Hollywood maupun Eropa. Apalagi ternyata Presiden RI kita yang pertama Ir. Soekarno punya hubungan mesra dengan American Motion Pictures Exporters Associates (AMPEA).

Menurut buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia (baca hal 32), suatu ketika Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Jones mengatantar utusan AMPEA menghadap Soekarno. Saat itu Jones memang dikenal sangat dekat dengan Presiden pertama ini. Dari pertemuan tersebut AMPEA mendapatkan kesempatan untuk menambah jumlah ekspor film Holywwod ke Indonesia. Alasannya, bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan film AS. Di luar dugaan sama sekali, Presiden Soekarno menyetujui import film Hollywood ke Indonesia dilanjutkan.

Silahkan saja Anda mengekspor sebanyak judul yang Anda inginkan ke Indonesia, tetapi pergunakan 10-15% saja dari hasil pengumpulan share film Anda dari bioskop untuk ongkos-ongkos kantor perwakilan Anda di Indonesia. Selebihnya Anda titipkan uang tersebut di BI atas nama account khusus titipan Anda atau sebagai pinjaman Pemerintah Indonesia kepada Anda –tanpa bunga- pada waktunya nanti, Anda bisa menerima uang tersebut setelah Pemerintah Indonesia memiliki devisa yang cukup...”

Momentum pertemuan Presiden Soekarno dengan perwakilan AMPEA dan Duta Besar AS tersebut jelas memukul insan perfilman nasional. Itulah sejarah mengapa film Hollywood dijadikan ‘anak emas’ dan selanjutnya memonopoli supply film impor ke seluruh bioskop di seluruh wilayah. Sejak itu pula, masyarakat Indonesia sudah ‘terkontaminasi’ dengan American way of thinking dan way of life. Dominasi film-film Hollywood semakin mengila ketika pada tahun 1992, Amerika Serikat mengeluarkan SuperAct 301.

Apakah itu SuperAct 301?

Pada tahun 1992, Amerika Serikat menaikkan kuota ekspor tekstil Republik Indonesia sebesar 35% dari tahun sebelumnya (HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia, hal 91). Penambahan kuota ini meningkatkan jumlah devisa senilai US$ 950 juta dibanding tahun 1991 senilai US$ 700 juta. Sementara devisi RI untuk membeli film Amerika Serikat sekitar US$ 100 juta. Meski nilai devisa yang dikeluarkan untuk film kecil, namun menurut Garin Nugroho, pemerintah sangat ‘pilih kasih’, karena lebih memenangkan tekstil daripada film yang bisa mengendalikan gaya hidup Amerika Serikat melalui film itu.

Jika pemerintah hanya menghitung nominal devisa saja, film nggak usah dianggap,” ujar Garin. “Lebih baik film matikan saja!”

Sebelum insan perfilman protes beberapa tahun ini, di tahun 1992 Garin sudah mengancam ke pemerintah seperti itu. Namun ancaman Garin tetap dianggap angin lalu. Tidak dianggap oleh pemerintah, bahkan pemerintah via Presiden Soeharto memberikan keleluasaan Subentra Group (Sudwikatmono-Benny Suherman) menjadi importir tunggal film-film Hollywood. Keleluasaan itu makin memperburuk kondisi perfilman nasional. Apalagi setelah Subentra Group dalam tempo relatif singkat tumbuh pesat. Hanya dalam waktu lima tahun sudah menguasai 25% dari 3045 layar di seluruh Indonesia, bahkan data tahun 2007 sudah mencapai 65% dari 473 bioskop di Indonesia.


Ini scene blue screen di kantor ogut untuk program acara Negeri Impian.

Bagi AS, film memang termasuk salah satu komoditi ekspor utama. Tidak heran demi membela kepentingan ekspor mereka, Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang bernama Super Act 301. Undang-undang bertujuan ‘menekan’ negera-negara yang mempersulit film-film Hollywood masuk ke negara importir. Sebagai balasan dipersulitnya Amerika Serikat oleh negara-negara itu, maka kuota ekspor ke Amerika Serikat akan dipersulit pula. Namun jika negara-negara importir tidak macam-macam, Amerika Serikat akan terus memberikan kuota, bahkan kuotanya ditambah seperti Indonesia. Hal ini membuat Indonesia serba salah dan terjepit.

Sebagai insan film yang punya komitmen terhadap perfilman nasional, kondisi tersebut bisa dilihat dalam perspektif berbeda. Maksudnya, mereka tidak cengeng dan cuma menangisi nasib gara-gara film nasional ‘terjepit’ di antara film-film Hollywood. Mereka justru berpikir positif dan melihat apa yang menyebabkan penonton bioskop menyukai film-film Holywood. Ini juga dialami oleh Usmar Ismail tahun 1960-an, dimana ia berjuang agar film nasional juga bisa bersanding dengan film Hollywood di sinepleks dan meraih banyak penonton.

Usmar mencoba melakukan kompromi pasar. Ia mencoba membuat film yang disesuaikan dengan selera pasar. Meski ikut pasar, namun bukan berarti film Usmar jadi film ‘ecek-ecek’ alias ‘kacangan’. Ia tetap berprinsip, filmnya harus mencerdaskan masyarakat. Maka lahirlah film Krisis.

Ketika Krisis diproduksi, film nasional juga krisis. Maklum, bioskop-bioskop sudah dipenuhi film-film impor. Meski begitu, Usmar tidak putus asa. Ia mendekati para pemilik bioskop. Tidak tanggung-tanggung, ia mendekati pemilik Capitol Theater sebagai lambang bioskop eksklusif dan khusus kaum intelek kala itu. Namun sayang, Weskin –pemilik Capitol Theater yang keturunan Yahudi- menolak film Krisis. Alasannya, film Indonesia masih berada di level C secara kualitas. Lebih dari itu, penonton Indonesia dianggap masih norak dan kampungan. Seringkali berteriak ketika di dalam bioskop. Tidak bisa mengendalikan diri, karena larut saat menyaksikan adegan-adegan film. Beruntunglah, General Manager Metropole Theater Lie Khik Hwie tertarik memutar film Krisis. Padahal saat itu pewakilan MGM di Indonesia keberatan atas keputusan Lie Khik Hwie yang mau memutar film Krisis.

MGM tidak memiliki saham sesenpun di Metropole Theater Indonesia,” kata Hwie dengan lantang. “Kalau memang Anda berkeberatan tidak ada salahnya saya merobek kontrak dengan MGM”.

Perjuangan Usmar ini terjadi beberapa puluh tahun kemudian. Tepatnya tahun 2000, Mira Lesmana dan Riri Riza via Miles Production berhasil membuka mata Subentra Group, bahwa film Indonesia sangat berkualitas. Tidak kalah dengan Hollywood. Terbukti, film Petualangan Sherina sukses secara komersial. Lebih dari itu, film ini mendorong semangat insan-insan perfilman nasional yang sebelumnya sudah lesu dengan masalah monopoli, untuk produktif membuat film.

Film Petualangan Sherina menjadi momentum kebangkitan film nasional. Film yang dibintangi oleh Sherina Moenaf ini sekaligus menghapus mitos sebelumnya, yang mengatakan film Fattahillah yang menjadi tonggak kebangkitan perfilman nasional. Film produksi Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu dianggap film berbiaya tinggi tersebut tetap saja belum mampu mendorong produktivitas insan perfilman.

Sejak tahun 2000 sampai Juni 2008, produksi film nasional terus meningkat. Data terakhir produksi film nasional yang diambil dari Direktorat Jenderal Seni dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Debudpar), tahun 2006 mencapai 33 judul. Lalu pada tahun 2007 (53 judul), 2008 (87 judul), terakhir bulan Juni 2009 (35 judul). Tentu 35 judul film di tahun 2009 ini akan terus meningkat, mengingat insan-insan perfilman masih produktif dan bioskop Subentra Group sudah lebih ‘reformis’.

Namun persoalan tidak sampai di situ. Pemerintah tetap dianggap ‘memusuhi’ film. Dalam UU Perfilman yang baru disahkan Selasa, 8 September 2009, Slamet Rahardjo mengatakan spirit pemerintah bukan memberdayakan, tapi malah menjadi regulator dengan banyak aturan-aturan yang mengekang insan perfilman. Tambah Slamet, kalo niatnya kebijakan pemberdayaan, seharusnya regulasi yang ada pada UU Perfilman nggak seperti sekarang ini.

UU Perfilman masih mengatur perfilman dengan semangat mengontrol bukan membangun dan mengembangkan film,” tambah Mira Lesmana dalam acara dengar pendapat RUU dengan Komisi X DPR pada 31 Agustus 2009 lalu.

Apa yang disebut Mira sebagai semangat mengontrol terrangkum Pasal-Pasal di UU Perfilman ini. Ada 21 pasal UU mengatur masalah usaha dan perdagangan. Ada 20 pasal mengatur larangan dan pidana. Sementara hampir 50% di UU tidak membicarakan pengembangan film Indonesia.

UU ini banyak mengandung pasal2 kontrol dan regulasi yang berlebihan terhadap industri,” tambah Mira. “Hal ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan saat ini karena akan menghambat industri yang sedang tumbuh, tidak sesuai dengan tujuan pemerintah memajukan industri kreatif kita. Paradigma yang benar dalam perumusan kebijakan film adalah mengembangkan, bukan regulasi.”

Tambah Mira, dalam UU Perfilman cuma menyebutkan, tujuan perfilman mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan dan melestarikan nilai budaya bangsa, dan memperkenalkan budaya bangsa ke dunia international. Namun di point-point itu tidak menyebutkan tentang peran peran pemerintah yang seharusnya bisa memfasilitasi kreativitas dan kepiawaian insan perfilman agar lebih profesional atau menjadi fasilitator bagi warga negara untuk menikmati keragaman pengalaman intelektual dan budaya yg seluas-luasnya.

Terdapat Pasal yang dianggap Pasal ‘karet’. Kenapa karet? Karena intepretasinya bisa dianggap macam-macam dan bisa membuka ‘lubang-lubang’ untuk melakukan pengontrolan terhadap film yang akan diproduksi. Tito Imanda dari Masyarakat Film Indonesia mengkritisi Bab III Pasal 6 yang dimuat di milis NaratamaTV. Pasal 6 ini menyinggung soal isi film nggak boleh (1) mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain; (2) menonjolkan pornografi; (3) memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/ atau antargolongan; (4) menistakan, melecehkan, dan/ atau mnodai nilai-nilai agama; (5) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, dan/ atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Padahal di Pasal sebelumnya, yakni Pasal 5 tertulis: "kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya". Aneh nggak sih? Bebas berkarya, tapi nggak boleh ini-itu sebagaimana Pasal 6.

Menurut Tito, kita terpaksa pasrah saja kalo bikin film soal penganiayaan di IPDN dan dituduh merendahkan harkat dan martabat manusia. Atau memproduksi film antinarkoba, tapi karena ada scene penggunaan narkoba yang dilakukan pemain, Sutradara dituduh mendorong orang menyalahgunakan narkoba. Atau membuat film berlatarbelakang agama, peristiwa Poso misalnya, sang Sutradara dituduh memprovokasi terjadinya pertentangan antaragama.

Ada Pasal yang menyinggung soal standar kompetensi di Pasal 74 Bab IX. Ini juga menjadi Pasal ‘karet’. Kenapa? Sebab, siapa yang menentukan seseorang tidak punya kapibilitas menjadi seorang Sutradara? Apakah mereka yang tidak punya latar belakang sekolah film dilarang keras membuat film? Sebaliknya apakah seorang yang lulusan sekolah film seperti di FFTV IKJ dijamin mampu membuat film berkualitas? Sungguh aneh kalo cuma orang-orang tertentu diizinkan membuat film.

Terakhir yang menjadi kekawatiran Mira soal pembatasan film non-Indonesia sebagai upaya pengkerdilan dan akan mengembalikan perfilman Indonesia ke tingkat kompetisi yang lebih rendah serta membatasi keragaman budaya yang seharusnya bisa dinikmati penonton (Pasal 32). Seharusnya kata Mira, penonton yang mendapatkan pembanding dari karya-karya lain akan dapat mengapresiasi film Indonesia dengan lebih kritis. Penonton yang kritis akan menghasilkan pembuat film yang sadar kualitas. Melakukan perlindungan tidak harus membatasi jumlah film lain.

Toh saat ini peningkatan film Indonesia sudah terjadi secara alamiah, karena kualitas film dan pilihan penonton,” jelas Mira. “Saat ini film Indonesia sudah mengambil alih 60% dari market share”.

Namun UU sudah disahkan. Insan perfilman merasa UU pengganti UU Nomor 8 Tahun 1992 ini kurang akomodatif. Sebagai senior di dunia perfilman, Christine Hakim cuma mengingatkan pada anggota Komisi X DPR: “Kalau yang dilahirkan hanya akan menghambat kemajuan, maka sebuah catatan kerja yang buruklah yang akan dilahirkan oleh kita”.

Apakah UU Perfilman ini akan menjadi catatan buruk kinerja anggota DPR Komisi X periode 2004-2009? Mari kita saksikan bersama reality show di tahun-tahun selanjutnya...

PASAL-PASAL 'KONTROVERSI' UU PERFILMAN

Tak ada gading ya tak retak. Pepatah tersebut barangkali cocok buat Undang-Undang (UU) Perfilman 2009 yang baru saja disahkan pada Selasa, 8 September 2009 lalu. Ketika pemerintah dan DPR merasa ingin ‘menghapus’ monopoli perbioskopkan nasional yang selama ini dijalankan oleh Subentra Group 21, beberapa insan perfilman justru menganggap inisiatif itu justru malah membelenggu mereka. Ini terlihat dari Pasal-Pasal yang ada di UU ini.

Nah, berikut ini, saya menampilkan cuplikan dari beberapa Pasal yang dianggap ‘kontroversial’ oleh sejumlah insan perfilman. Silahkan Anda menafsirkan sendiri, sehingga setelah membaca Anda bisa tahu pro atau kontra. Sengaja saya tidak menampilkan UU komplet. Sebab, kalo komplet dari Bab I yang berisi Ketentuan Umum, bisa-bisa tulisan soal Pasal-Pasal ‘kontroversi’ di blog ini jadi terlalu panjang.

Yuk, kita tafsir sama-sama!

Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 5 dan Pasal 6 ini dianggap oleh Riri Riza dan rekan-rekannya sebagai bentuk pengekangan. Kalimat ‘kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi’ di Pasal 5, menurut mereka tidak serta merta membebaskan insan perfilman memproduksi sebuah film.

Tambah mereka, ketidakbebasan berkreasi jelas-jelas tercantum dalam Pasal 6, dimana insan perfilman tidak dengan mudah memproduksi film sembarangan. Lihatlah item-item di Pasal 6. Menurut Riri, dia nggak akan pernah bisa membuat film tentang konflik Poso atau Irian Jaya. Kenapa? Sebab bisa memprovokasi terjadinya pertentangan antarsuka sebagaimana yang tercantum di Pasal 6 huruf “c”.

Aneh ya? Di satu sisi kita dibebaskan melakukan kreasi, inovasi, dan karya (Pasal 5), eh di Pasal 6 justru dibatasi. Dua Pasal ini dianggap ‘kontroversi’, karena saling bertentangan.

Oleh Enison Sinaro seperti yang penulis kutip dari milis Alumni FFTV IKJ, Pasal 6 ini ditafsirkan berbeda (baca: diplesetkan):

a. Film boleh mengandung kekerasan, perjudian , penyalah gunaan psikotropika ... dst .... asal tidak mendorong khalayak umum untuk melakukannya. Apalagi setelah melihat adegan tsb, penonton benci melakukannya. Maka, bikinlah !

b. boleh kok memperlihatkan pornografi , asal tidak menonjol.

c. boleh memperlihatkan terjadinya pertentangan antar kelompok ... dst ... asal jangan sampai penonton terprovokasi/ selama penonton tidak terprovokasi oleh adegan tsb , oke-oke aja.

d. kalo point ini memang tidak boleh sama sekali : menistakan, melecehkan ... dst

e. selama tidak mendorong khalayak umum melakukannya , boleh memperlihatkan adegan melawan hukum ...dst.... Kalo yang terpengaruh cuma 2-3 orang masih boleh, buatlah adegan tsb. Apalagi kalo komersil.

f. kira-kira thema atau adegan apa ya yang bisa dikategorikan merendahkan harkat dan martabat manusia?




Bebas berkreasi, asal mengikuti aturan-aturan yang ada di Pasal 6. Sebenarnya boleh berkreasi atau enggak sih?

Pasal 12
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Niat pemerintah maupun DPR membuat Pasal 12 ini barangkali ingin menghapus praktek monopoli yang selama ini terjadi. Pasal ini menjelaskan, kalo ada bioskop yang selama enam bulan berturut-turut menampilkan film impor di layar-layar melebihi 50%, bioskop itu dianggap monopoli.

Menurut insan perfilman Pasal 12 ini bukan melindungi, justru malah mengkerdilkan mereka. Dengan pembatasan impor film, maka mereka nggak punya film pembanding atau referensi. Menurut mereka, biarlah film tumbuh dengan ‘alamiah’. Artinya apa? Artinya, biarlah penonton menentukan film-film yang layak ditonton, bukan membatasi jumlah film impor via UU. Dengan konsep ‘membiarkan’ ini, pasar akan berbicara dan film Indonesia akan menjadi dewasa. Secara alamiah akan ‘mati’ kalo memang nggak berkualitas atau layak tonton.


Kata Mira, biar film Indonesia tumbuh dengan alamiah. Untuk memproteksi film nasional agar tidak dikalahkan oleh film luar nggak usah diundang-undangkan. Ini bisa mendidik penonton agar dewasa memilih tontonan. Kalo memang mereka pikir nggak bagus, norak, udik, dan kampungan, mereka pasti nggak akan mau nonton.

Pasal 17

(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja.

(3) Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film yang tercatat.

(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.

(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4), pemberitahuannya dinyatakan batal.

Seluruh Ayat di Pasal 17 menjadi bahan olok-olok insan perfilman. Tafir dari Pasal 17 ini adalah kalo mau buat film kudu mendaftar ke Menteri. Entah apa bentuk pendaftarannya, apakah ada form tertulis atau si pembuat kudu membuat proposal. Yang pasti, dalam pendaftaran itu, si pembuat kudu memberitahukan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.

Meski dalam Ayat 2 (dua) disebutkan tanpa dipunggut biaya, namun Ayat 1 (satu) jelas-jelas menunjukkan pemerintah sebagai pengontrol, regulator, dan ini nggak beda kayak zaman Orde Baru. Kalo ada film yang dianggap nggak sejalan dengan pemerintah, maka film tersebut bisa ditolak. Memang sih pemerintah ingin negara kita yang multietnis dan multikultur ini ingin diproteksi, namun menurut insan perfilman Ayat ini sebagai (sekali lagi) bentuk ketidakbebasan berkreasi.


Judul film yang menggunakan Pocong itu jumlahnya udah puluhan, apalagi judul Kuntilanak. Menurut insan film yang protes, mempersoalkan judul yang sama itu nggak esensial, nggak penting. Ngapain juga dimasukkan menjadi Pasal. Inisiatif pemerintah mempersoalkan supaya judul nggak sama cuma cari-cari kerjaan dan dianggap membelenggu.

Lucunya, di Ayat 3 (tiga) disebutkan, Menteri melindungi pembuat film agar nggak ada judul dan isi cerita yang sama. Lha kok aneh? Memangnya kalo ada judul sama kenapa? Sejujurnya sih saya ngerti ketakutan pemerintah terhadap ‘judul yang sama’ (bukan isi cerita yang sama). Ini adalah bentuk antisipasi. Jangan sampai ada konflik, sehingga menimbulkan perang antarinsan perfilman gara-gara ada dua Sutradara menggunakan ‘judul yang sama’.

Berbeda dengan kasus penolakan Mira Lesmana, Riri Reza, Hanung Bramantyo dan Rudi Soejarwo terhadap keputusan juri Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2006 yang memenangkan film Eskul. Kalo dalam kasus ini, mereka menilai film garapan sutradara Nayato Fio Nuala ini tidak orisinil dan melanggar hak cipta karena menggunakan ilustasi musik dalam film Hollywood yaitu Gladiator dan Munich. Bukan persoalan judul yang sama, juga bukan persoalan isi cerita yang sama. Tapi penjiplakan musik atau musik yang dijiplak dari film luar. Nah, kalo ada perkara kayak begini, apakah Nayato bisa dijerat hukuman?

Masalah orisinalitas terkadang memang ukurannya bisa absurd. Apakah film-film Kuntilanak dianggap orisinil atau adaptasi atau terinspirasi oleh film-film sebelumnya? Itu perlu diperdebatkan. Saya yakin, seluruh pembuat film adalah penikmat film. Artinya, mereka banyak menonton film-film referensi. Jadi seluruh film-film yang mereka tonton pasti ada scene yang mereka ‘colong’ dan dimasukkan ke dalam film mereka. Apakah ini dianggap tidak orisinil atau terinspirasi? Namun saya setuju kalo musik film Eskul sama persis dengan film aslinya.

Back to Pasal 17! Di Pasal ini Ayat 4 (empat) tertulis ‘wajib melaksanakan pembuatan film paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film’. Tafsir saya di Pasal ini, mereka yang sudah menyampaikan pemberitahuan sebagaimana Ayat 1 (satu) di Pasal 17 ini cuma punya waktu tiga bulan untuk segera berproduksi. Lebih dari tiga bulan, pemberitahuan tersebut dinyatakan batal sebagaimana tercantum di Ayat 5 (lima). Kalo batal dan mau memproduksi kembali, si pembuat film mengajukan permohonan lagi. Batal lagi, ajukan lagi. Batal lagi, ajukan lagi. Pokoknya waktu harus melakukan produksi dibatasi sampai tiga bulan.

Selama ini, insan perfilman nggak pernah mendaftarkan film mereka ke pemerintah dan nggak pernah merasa dikejar-kejar oleh waktu produksi meski skenario sudah selesai. Nah, kalo sekarang, ada ketakutan untuk segera berproduksi begitu berani mendaftarkan diri filmnya ke pemerintah.


Pasal 32
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.

Pasal 33
(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.

(2) Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.

Pasal 32 ini mirip seperti Pasal 12. Kalo Pasal 12 untuk melindungi insan perfilman dari praktek monopoli dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film yang selama 6 bulan berturut-turut sebanyak 50% cuma menayangkan film-film hasil produksinya. Nah, kalo Pasal 32 dimaksudkan untuk memproteksi film dengan cara memberikan kuota film nasional. Bahwa selama 6 bulan berturut-turut bioskop kudu mempertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan. Kalo nggak mencapai angka itu, sebuah bioskop dianggap monopoli.

Menggelikan di Ayat 1 (satu) Pasal 33 yang menyebutkan pelaku usaha pertunjukan –dalam hal ini pemilik bioskop- wajib memberitahukan ke Menteri jumlah penonton setiap judul film. Ada yang menafsirkan, Menteri ini pasti kurang kerjaan. Ngapain juga minta laporkan soal penonton? Bukankah selama ini ada lembaga yang membuat laporan sebagaimana pernah dilakukan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN)?

Memang menggelikan, tapi saya barangkali mengerti maksud pemerintah. Pasti ini ada hubungannya dengan soal pajak. Apalagi kalo bukan pajak tontonan yang sebesar 5% itu. Nah, barangkali para pemilik bioskop saat ini melakukan ‘kecurangan’ dalam hal pelaporan jumlah penonton. ‘Kecurangan’ ini menyebabkan pajak tontonan yang seharusnya diperoleh pemerintah nggak terlalu signifikan. Padahal pemerintah melihat film bisa menjadi penghasil pajak terbesar juga, mengingat perfilman nasional saat ini sedang produktif-produktifnya.

Pasal 32 di atas tadi kembali ditafsirkan oleh Enison Sinaro sebagai berikut:

Film Indonesia dapat jatah pemutaran di bioskop sekurang-kurangnya 60 % dari total jam pertunjukan yang ada di bioskop. Pihak bioskop harus menyediakan jumlah waktu tsb. Dengan kata lain juga berarti, pihak bioskop tidak bisa dipaksa memutar film Indonesia (lagi) kalau dia sudah memutar 60% dari jam pertunjukannya untuk film Indonesia.


Menurut Enison yang penulis kutip dari milis FFTV IKJ, Pasal 32 ini mengarah ke peredaran copy film secara merata ke para pengusaha pertunjukan film, dst. Maksudnya, untuk memenuhi jumlah jam pertunjukan yang 60%, Produser bisa kelimpungan. Kenapa? Para produser harus menyediakan film atau copy film mereka, agar memenuhi masa putar film Indonesia di bioskop yang harus 60% itu. Itu berarti, Produser-Produser itu harus menyediakan copy film mereka untuk diedarkan ke seluruh Indonesia secara serentak. Kalo dihitung-hitung, copy yang harus mereka siapkan sebanyak 180 copy. Jelas saja mereka berteriak. Wong film Laskar Pelangi yang laris manis tanjung kimpul itu cuma 75 copy (ralat dari saya bung Enison: bukan 75 copy tapi 80 copy! Angka copy tersebut menurut data di supplementary Laskar Pelangi dari Jive Collection).


Pasal 74
(1) Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi.

(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.

(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi.

(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 74 yang masuk di Bab IX tentang pendidikan, kompetensi, dan sertifikasi ini menjelaskan soal sumber daya manusia (SDM) yang memproduksi sebuah film. Sekali lagi, di Pasal ini pemerintah mencoba memproteksi kualitas film. Ini tafsir saya, lho! Pemerintah ingin film-film yang muncul di layar bioskop benar-benar berkualitas, nggak ecek-ecek. Oleh karena itu, insan perfilman kudu memenuhi standar kompetensi (Ayat 1) dan memiliki sertifikat (Ayat 2) yang dilakukan oleh organisasi profesi (Ayat 3).

Namun organisasi profesi yang menguji standar kompetensi insan perfilman yang dimaksud Ayat 3 (tiga) nggak jelas. Selama ini ada sebuah badan yang menguji sertifikasi profesi. Namanya Badan Nasional Strandarisasi Profesi (BNSP). Tapi badan ini nggak ‘terbuka’ atau diketahui secara umum oleh orang per orang atau perusahaan-perusahaan. Padahal tujuan badan yang baru dibentuk di pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono ini sangat mulia, yakni supaya profesi kita bisa berstandar internasional.

Apakah pembuat film yang bukan lulusan seklah film tidak diizinkan memproduksi film? Apakah film-film yang diproduksi mereka yang lulusan IKJ menjamin berkualitas? Kayaknya belum tentu, deh! Ya nggak? Jadi sebenarnya bukan masalah pernah sekolah film atau tidak pernah mengikuti pendidikan perfilman, tapi masalah kreativitas. Kalo lulusan sekolah film tapi nggak pernah buat film atau omong doang, ya kualitasnya bisa dipertanyakan. Itulah mengapa Pasal 74 ini masih ‘kontroversi’ dan masih dianggap ‘Pasal karet’, karena nggak jelas siapa yang menentukan dan teknis mendapatkan sertifikasi tersebut.

Pasal 80
Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 81
(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Kalo Pasal 80 dan Pasal 81 yang terdapat di Bab XII ini benar-benar diterapkan, pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli akan kelojotan alias jatuh miskin. Sebenarnya bagus juga sih. Pemerintah benar-benar melindungi praktik-praktik monopoli bioskop yang dahulu pernah terjadi dan membuat film nasional terpuruk. Namun tetap saja Ayat 1 (satu) dianggap ‘menganggu’, karena insan perfilman jadi tidak punya film pembanding dan film Indonesia tidak secara alamiah ditonton oleh penonton lokal.

Nah, dari Pasal demi Pasal yang sudah saya utaran di atas apa pendapat Anda? Apakah pemerintah dan DPR terlalu terburu-buru mensahkan UU ini sehingga menimbulkan kontroversi? Atau sesungguhnya pemerintah sangat baik mencoba memproteksi film nasional, hanya UU ini belum cukup sempurna untuk diundang-undangkan? Butuh waktu untuk membuktikan UU ini mujarab atau tidak mujarab bagi kelangsungan perfilman nasional.