Wednesday, December 24, 2008

DALAM RANGKA BALAS BUDI, TAPI NGGAK SOPAN

Udah lama gw nggak hadir di pesta pernikahan kalangan borjuis. Sebenarnya antara males dan nggak enak, datang ke pasta kaum the have. Malesnya, karena gw kudu mempersiapkan diri tampil se-eksklusif mungkin supaya levelnya setara dengan para undangan yang hadir. Malu lah yau, datang ala kadarnya di pesta yang nilainya mungkin minimal bisa 500 juta sendiri.

Supaya performance gw seimbang, kalo hadir di pesta elit, gw selalu menambah value pada diri gw. Jam tangan yang biasanya dipake sehari-hari, gw ganti dengan jam yang relatif sedikit mahal: Rolex. Gelang dan kalung emas yang nggak pernah gw pakai weekdays, kali ini terpaksa gw kenakan. Parfum pun nggak kalah sengit. Turut memeriahkan nilai gw, yang biasanya cuma pake AXE kali ini pakai Aigner. Untuk wardrobe, gw pilih kemaja plus jas buat menggantikan batik.

Jam boleh Rolex, kalung boleh emas, parfum boleh Aigner, tapi sepatunya tetap dari Bata. Lucu sih, tapi ya gw belum ada duit untuk beli sepatu lagi, yang merek-nya lebih elit lah. Supaya performance gw intregrated, benar-benar level kalangan jetset. Buat memaafkan kekurangan soal sepatu ini, gw biasa menghibur diri.

”Ah, sepatu kan letaknya ada di bawah. Pasti nggak ada yang liat. Toh kalo disemir mengkilat pakai Kiwi, orang akan melihat sepatu gw masih oke-oke aja,” begitu gw berbicara dalam hati untuk menenangkan otak gw yang gundah-gulana, karena ada yang miss dalam performance gw.

Tentu saja dengan penampilan yang luar biasa ok, gw nggak akan naik bajaj, apalagi naik ojek. Bunyi bajaj yang bikin budeg kuping, bisa bikin naik darah juga. Masa datang ke pesta orang kaya dalam keadaan naik darah? Harusnya happy-happy kan? Kalo ojek, masalahnya pada wajah dan rambut. Memang cepat naik ojek, tapi wajah kita akan berlapis asap plus debu. Wajah nggak terlihat segar.

”Kenapa wajah loe jadi belang begitu?” tanya seorang teman ketika melihat wajah kita yang terdapat dua warna: coklat dan hitam gara-gara naik ojek.

Rambut yang sudah disisir rapi, sudah dipastikan akan berantakan. Tahu sendiri, kecepatan ojek menjelajah jalan raya nggak mungkin 20 km/jam. Paling pelan, ojek jalan dengan kecepatan 40 km/ jam. Selain masalah kecepatan, masalah bau juga berpengaruh. Jarang banget ada Ojek Biker jaket atau wardrobe-nya wangi. Mayoritas jaket Ojek Biker menyebarkan aroma yang bisa memuntahkan aneka jenis makanan dari mulut kita. Mereka nggak salah, nggak ada budget untuk jaket mereka untuk masuk laundry. So, biar udah bau gara-gara kehujanan dan kepanasan, Ojek Biker tetap ready on the road.

Kalo kejadiannya naik bajaj atau naik ojek, biasanya sebelum masuk ke ruang utama resepsi, kita mampir dulu ke kamar mandi. Nyisir dulu. Cuci muka dulu. Pokoknya rambutnya biar terlihat rapi dan wajahnya nggak belang-belang. Habis nyisir dan cuci muka, kencing dulu juga nggak apa-apa sih. Tapi kalo nggak naik mobil, dipastikan naik taksi. Kebetulan, kemarin malam gw bawa mobil. Jadi, gw nggak mengalami masalah dengan rambut atau wajah. Tetap tampil wangi dan ganteng.

Memasuki area resepsi, udah tercium aroma wangi para undangan. Begitu pula dengan aneka pakaian yang luar biasa bagusnya. Nggak ada satu pun yang jelek, baik itu wardrobe maupun dandanan. Semua mirip Prince dan Princess. Buat gw bisa dimaklumi. Yang nggak terbiasa lagi buat gw hadir di pesta kaum jetset, soal pemberian amplop. Nggak tahu gw kampungan atau norak atau manusia tolol, pada saat gw mau memasukkan amplop berisi uang, seorang petugas langsung mengambil amplop (baca: angpau) itu dan menempelkan stiker bertuliskan nomor.

How do you think Friends?

Buat gw, pemberian nomor di angpau adalah sebuah perbuatan yang nggak sopan. Mungkin buat elo nggak. Udah biasa. But let’s discuss! Gw ngerti, pemberian nomor ini bertujuan mulia, yakni “balas dendam”. Kalo hadir di resepsi si A dan kita ngasih uang Rp 1.000.000, maka pada saat kita married ato ada keluarga kita married, si A akan memberikan angpao paling kecil Rp 1000.000 juga.

“Malu lah, Mas. Masa waktu kawinan kita dia ngasih 500 ribu, kita cuma ngasih 1 juta?” kata istri gw coba mengingatkan.

“Harusnya ngasih berapa?” tanya gw.

“Kasih kunci apartemen atau kunci mobil beserta STNK-nya kek,” jawab istri gw enteng.

“Hmm. Begitu ya?” kata gw meyakinkan diri dengan pendapat istri.

Buat gw, nomor yang ditulis si Penjaga Tamu merupakan sebuah pemerkosaan hak azasi. Gw ngeri banget, penulisan nomor itu dimaksudkan supaya nggak ada undangan nyasar. Undangan gelap, dimana undangan ini nggak diundang, eh sok-sok nulis buku tamu dan makan gratis di resepsi itu. Namun sebenarnya bukan begitu cara mendeteksi undangan gelap kok. Mereka pasti ketahuan. Lagipula kalo pun ada, ya relakan aja sepasang atau dua pasang undang gelap masuk. Toh, pasti makanan buffee akan ada sisa kok. Ikhlas aja, Bro!

Alhamdulillah, di dalam keluarga kecil maupun besar gw, nggak ditanamkan kebiasaan memberikan nomor di angpau. Yang ada memberikan nomor buntut ke para Penjudi supaya mereka dapat uang dan kaya. Eh, itu nggak juga, Bos! Dosa! Kebetulan, keluarga gw lebih suka iklas dengan apa yang diterima. Mo ngasih cuma 20 ribuan kek (kadang lecek pula), no problem! Mo ngasih cuma amplop kosong kek (ini juga seringkali terjadi), ya Alhamdulillah. Atau cuma bawa diri aja? Ora opo-opo! Sing penting, mereka datang dan mendoakan mempelai.

Soal balas-membalas budi, itu terlalu pamrih. Kalo memang niat mau balas budi, ya nggak perlu hitung-hitungan kan? Meski seorang Jendral bintang empat datang di pesta perkawinan gw, gw nggak akan pernah pengen tahu berapa si Jenderal ngasih uang? Jangan-jangan si Jenderal bukan ngasih uang, tapi malah ngasih pistol yang satu paket dengan peluru. Atau si Jenderal ngasih paket granat beserta penjinaknya. Who knows? Nobody’s know! Biasanya, orang-orang terhormat, seperti Jenderal itu tadi atau Menteri, atau Dirjen, selalu akan memberi angpau langsung ke si Pengantin. Kalo pun nggak langsung, di amplop yang dimasukkan ke dalam kotak selalu ada kartu nama atau di amplopnya ada nama dan alamat si orang terhormat itu. Ini udah gw alami sendiri Friends di beberapa perkawinan gw.

Pengantin mana yang tahu kalo gw selalu membudgetkan minimal sekian ratus ribu setiap kali hadir di resepsi? Entah kawinan di kampung atau di resepsi di tempat elit seperti kemarin malam itu. Kenapa gw musti memamerkan diri dalam soal angpau? Apa perlu gw berteriak: “Hi Pengantin! Gw ngasih sekian ratus ribu lho! Besok kalo elo datang ke pesta gw, gantian ya ngasih! Paling kecil ya sama separti gw ngasih sama elo!”

“Itu kan tradisi biasa! Kenapa elo persoalkan sih?” kata teman gw yang sempat kuliah tentang Kanguru di negeri Kanguru juga.

“Tradisi dari mana Om? Jawa? Sunda? Manado? Please tell me! Jangan-jangan itu tradisi adaptasi dari Cina? Eropa? Amrik?”

“Hmmm...darimana ya? Ya, pokoknya tradisi lah. Persis tagline-nya iklan biskuit Roma: sudah tradisi!”

“Dasar!”

Malam itu gw jadi sebel dengan Pengantin. Padahal belum tentu mereka yang membuat ulah menomerkan angpau. Bisa jadi desakan keluarga besarnya. Bisa jadi tradisi itu udah turun temurun. Maklum, Pengantin yang gw datangi malam itu berasal dari keluarga Cina kaya. Meski sebal, mulut gw tetap aja ngunyah makanan yang tersedia. Ada sushi. Ada shasimi. Ada sup asparagus. Semua gw hajar! Maklum lapar, Bro!

Monday, December 22, 2008

SUKSES DALAM PERSPEKTIF GW - Episode Number I


Dahulu kala, gw kira ukuran sukses terlihat dari penampilannya. Tiap melihat ada pria berkulit putih dengan pakaian rapi, gw menduga dia pasti sukses. Ketika melihat wanita memakai make up menor (lipstick tebal, bedak tebal, dan muka tebal) plus pakaian yang kinclong, gw yakin banget dia pasti sukses. Ternyata, gw salah besar!

Maklumlah, gw masih tolol. Memang sih, pria dengan kulit putih mulus tanpa jerawat itu masuk kategori sukses. Tapi sukses sebatas merawat kulit. Pasti sehabis naik bemo, dia langsung keramas eh maksudnya cuci muka. Tiap ada jerawat, pria model begini langsung memberikan decolgin supaya jerawatnya langsung pecah. Pria-pria yang doyan merawat seperti ini masuk kategori metroseksual.

Pria-pria metroseksual memang rajin merawat diri. Mereka harus tampil segar, dandy, dan wangi. Uang mereka banyak dihabiskan untuk merawat diri dan gaul. Kalo nggak ke Starbuck, ya Coffe Bean. Begitu akhir bulan, gesek sana-sini dengan Credit Card-nya. Tapi kalo udah over limit, ngopi-nya cukup di warteg. Yap, mereka memang belum tentu sukses yang gw maksud. Psudo sukses!

Nggak beda dengan para wanita yang berpenampilan menor. Gw kira mereka sukses. Dengan wardrobe yang trandy, product branded, dandanan bencong ala taman lawang, trus turun-naik mobil kantor, gw kira wanita-wanita ini sukses. Jadi role model gw supaya gw ikut-ikut sukses, ternyata belum tentu. Banyak wanita-wanita yang seperti ini, yang kerja di perusahaan bonafit, gajinya nggak beda sama office boy Bank Indonesia (BI).

”Yang penting penampilan Bro,” aku seorang wanita di salah satu kantor majalah terkemuka.

Lalu apa ukuran sukses gw?

Ukuran sukses gw simple, yakni dasi. Inget! Ukuran sukses gw ini terpikirkan pada saat gw masih tolol. Artinya waktu zaman dahulu kala. Kenapa dasi? Menurut gw, dasi itu mencerminkan kesuksesan. Seseorang yang pakai dasi, orang itu pasti sukses lahir maupun batin.

Mata gw pasti akan berbinar-binar begitu melihat pria-pria muda yang pakai dasi. Mereka pasti sukses. Uang mereka pasti banyak. Mobil mereka mengkilap dengan velg yang harganya sampai puluhan juta itu. ”Mereka ini mungkin yang disebut sebagai Executive Muda,” pikir gw waktu itu.

Selama masih tolol, gw selalu iri dengan pria-pria berdasi yang hilir mudik di depan gw. Setiap kali memandang mereka, gw selalu punya harapan. Sebuah harapan yang ujung-ujungnya membentuk sebuah cita-cita. Apakah gerangan? Gw harus pake dasi supaya gw sukses. Gw nggak peduli pola pikir yang terbalik seperti itu. Yang penting, gw harus pake dasi.

Dalam pikiran gw, nggak ada sedikit pun terpikir, mereka yang pakai dasi nggak 100% sukses. Pikiran gw waktu itu memang terlalu polos, naif, ya tolol lah. Gw nggak tahu kalo pada akhirnya banyak pria-pria berdasi adalah koruptor, orang yang merugikan uang negara, penerima maupun pemberi suap, dan menggelapkan jabatan.

Dasi cuma sebagai simbol orang itu beradab, nggak masuk kategori primitif. Ya, kalo dianalogikan mirip seperti gelar Haji atau Hajjah. Supaya terlihat alim, mau merubah image, dihormti warga kampung, cukup pergi ke Mekkah, pulang pasti langsung dipanggil: ”Pak Haji!” Sebuah gelar terhormat bukan?

Memang sih diakui, nggak semua pria-pria berdasi koruptor atau punya attittuted negatif. Banyak pula yang hidupnya berada di jalan yang benar. Nggak menyeleweng terlalu extreem. Masih balance lah antara dunia dan akhirat. Ini bisa kita lihat lewat dasi-nya. Kalo dasinya nggak branded, agak lusuh, warnanya itu-itu aja, motifnya ngga pernah gonta-ganti, itu pasti pria berdasi yang hidupnya pas-pasan. Dimana mereka memakai dasi cuma karena terpaksa harus pake.

Sampai dengan lulus kuliah, ukuran kesuksesan masih tercurah pada dasi. Nggak heran pada saat cari kerja, gw picky alias milih-milih. Gw mau kerja kalo kantornya mengharuskan gw pake dasi. Kalo nggak pake dasi, mohon maaf, gw akan tolak dengan halus.

”Jadi bisa nggak Mas interview besok Senin?” tanya salah seorang staff HRD di sebuah perusahaan terkemuka.

”Nanti kalo kerja pakai dasi kan?”

”Ya terserah Mas mau pake dasi boleh, nggak pake juga nggak apa-apa...”

”Memang kerjaan saya nantinya apa sih, Pak?”

”Dempulin mobil plus ngecat mobil di bengkel...”

Beberapa lamaran terpaksa gw tolak. Memang gw kelihatan sok banget waktu itu. Padahal cari kerjaan susah banget. Nggak tahu kenapa Tuhan baik banget sama gw. Ini terlihat dari lamaran-lamaran yang gw kirim, banyak yang diterima tapi gw tolak. Alasannya ya itu tadi: gw harus pake dasi selama kerja.

Alhamdullialah akhirnya gw dapat juga kerja yang memaksa gw setiap haru harus pake dasi. Begitu HRD mengetuk palu sebagai tanda diterima kerja di kantor itu, gw langsung jejingkrakkan. Pekerjaan gw memang berat. Gw jadi Marketing. Tapi gw optimis dari kantor ini gw pasti bisa memiliki kesempatan sukses.

Sehari, seminggu, dan sampai sebulan, gw kerja di situ. Nafas gw ngos-ngosan. Apa yang gw bayangkan nggak seindah aslinya. Gw benar-benar kehabisan energi dan kesabaran. Ternyata sukses itu nggak mudah, nggak cuma pake dasi.

”Wah, elo benar-benar hebat!” kata teman gw.

”Hebat dari Hongkong?!”

”Oh, elo dari Hongkong?” tanya temen gw tolol.

”Dengkul loe dari Hongkong!”

”Elo pasti udah jadi General Manager, at least Manager deh,” kata temen gw lagi sok menebak.

”Jangan menghina lo! Nggak tahu dagangan gw seharian nggak laku?!”

”Kok menghina? Buktinya elo pake dasi dan bawa tas yang pasti isinya uang. Elo pasti pengusaha...”

”Gw ini pedagang dasi tahu?! Tas ini semuanya isinya dasi. Nih makan tuh dasi!” Gw langsung melempar puluhan dasi ke wajah temen gw.

PARKIR NGGAK PERLU MIKIR


Boleh dibilang, gw cukup beruntung kerja di kantor sekarang. Ini terlepas dari environment kerja, siapa bos kita, maupun salary. Ada aspek mikronya yang berhubungan dengan kantong kita. Apakah itu? Soal parkir!

Buat elo yang berada di kelas menengah seperti gw, pasti rewel soal parkir. Dalam otak kita (maaf! gw coba mengikutsertakan elo dalam konteks ini, sehingga pake kata: ”kita”), kalo bisa cari parkir yang aman, tapi gretong alias gratis. Lebih baik ngirit untuk urusan parkir, daripada pelit untuk urusan perut. Ya, nggak?! Ngaku aja deh?!

Milih tempat parkir biasanya tergantung dari tanggal muda ato tanggal tua. Kalo kebetulan tanggal 1-10 (baca: habis gajian), karyawan cenderung nggak perlu banyak mikir: masuk gedung, ambil tiket, cari parkir deh. Ada juga sih karyawan yang agak sok alias gengsinya tinggi. Begitu turun di lobi gedung, mobil langsung di-valet-in. Padahal mobilnya mobil butut, Corolla tahun 1825, yang pintu mobilnya lepas sebelah, yang setirnya tiba-tiba bisa copot sendiri, yang klaksonnya bunyinya lagu dangdut.

”Yang penting valet, Bos!”

Begitu tanggal sudah berganti menjadi tanggal 11-20, mulai deh si karyawan mikir-mikir untuk parkir di dalam gedung. Biasanya di tanggal ini, begitu dekat kantor ato lokasi yang kita tuju, wajah si karyawan langsung celingak-celinguk ke kiri-kanan. Bukan mo nyolong, tapi cari tempat parkir di luar gedung. Syukur-syukur yang nggak ada Tukang Parkirnya. Ini dialami kalo nggak begitu ngejar waktu, misalnya nggak telat masuk kantor ato nggak telat hadir di miting dengan klien. Tapi kalo si karyawan telat, terpaksa parkir di gedung-gedung juga.

Yang parah, kalo sudah tanggal 21-31. Karyawan sudah mulai cari-cari inspirasi untuk parkir di luar gedung. Pokoknya cari tempat parkir yang murah, yang bisa seharian tapi bayarnya tetap 2000 perak. Ada juga sih yang mau irit banget, cari parkir yang nggak perlu bayar. Padahal mobil yang diparkir kelas A-B, sebangsa Toyota Harrier, Alvard, atau paling murah Honda Accord.

”Nggak apa-apa jauh, yang penting gratis!”

Kalo yang diterapkan metode cari parkir gratis, terkadang kita harus siap dengan jantung ekstra. Ektra jantung pertama untuk jalan kaki lebih jauh dari mobil ke gedung ato kantor kita. Extra jantung kedua, selama ngantor, pasti kita akan was-was, mikirin terus eksistensi mobil kita. Meski udah dikunci pake segala macam kunci, tetap aja nggak menjamin mobil akan aman dan tentram.

Sekarang ini maling mobil udah jago-jago Bos! Suara alarm di mobil loe bisa dibikin budek. Kunci pengaman yang elo kaitkan di stang bisa dibuka. Apalagi kalo elo cuma pake rante anjing yang dikaitkan di ban mobil loe, wah itu mah enteng dicolongnya. Teknologi pengaman saat ini belum menjamin keamanan mobil. Sarang gw pilih yang tradisional. Di sekeliling mobil elo ditumpukin karung-karung beriisi pasir. Bikin lebih tinggi melebihi mobil. Nanti jadinya mirip seperti tembok China. Nah, kalo elo melakukan metode itu, dijamin si Perampok akan kapok. Yang ada bukannya nyolong mobil, si Perampok bakal jualan pasir.

Jangan senang dulu dapat parkir yang elo anggap gratisan itu. Kenapa? Gw pernah ngalamin cerita mengondokkan. Pagi hari, gw dah menemukan spot parkir yang aman dan enak, karena di bawah pohon beringin yang rindang, gratisan pula. Ini gw udah pastikan aman dan gratisan, setelah celingak-celinguk ke sekeliling area. Eh, begitu pulang kerja, seorang bertampang sangar bertato berbulu domba langsung mendekati mobil gw.

”Limabelas ribu, Bos..,” pria berlesung pipit itu tanpa basa-basi minta uang parkir ke gw.

”Hah?! Mahal amat Mas?”

”Emang situ maunya berapa?”

”Duaribu gitu,” tawar gw.

”Duh, gini hari nggak laku dua ribu Mas. Udah, sepuluh ribu aja. Itu dah saya diskon lima ribu, lho. Lagian tadi saya juga sempat buangin tahi ayam di ban mobil situ...”

Terus terang sebel kalo punya kejadian kayak begitu. Niat mo irit, eh malah ngeluarin uang juga. Yang bikin sebelnya juga, nilainya sama kalo kita parkir di dalam gedung. ”Tahu gitu, gw parkir di dalam gedung kali yee!”.

Untuk urusan parkir, bukan cuma kita mencari celah untuk cari parkir yang murah dan gratisan. Pemerintah Daerah (Pemda) juga cari celah, supaya harga parkir di naikkan, entah tarif parkir off street (baca: di jalanan) maupun di gedung. Soalnya, dengan menaikkan tarif parkir, Pemda akan menabung banyak untuk kas pendapatan daerah.

Sebenarnya kalo diurus dengan benar, tanpa dinaikkan, kas pendapatan daerah dari parkir, itu gede banget. Pemda bisa kayak raya. Gw yakin itu! Soalnya, sekarang ini dimana-mana ada Petugas berseragam biru muda alias Tukang Parkir. Nggak cuma di tempat-tempat yang resmi parkir off street, tapi di tempat-tempat yang sebenarnya nggak perlu dipalakin parkir, ada aja Petugas Seragam Biru itu.

Nggak cuma Petugas Seragam biru yang minta uang parkir, Petugas berseragam lain pun ikut-ikutan minta. Kalo elo biasa mangkal di Parkir Timur, banyak sekali preman-preman Ambon ato Irian (ini gw denger dari logat mereka yang rada-rada medok) yang minta uang parkir. Mending mintanya setelah kita selesai melakukan aktivitas, ini mah uang dimuka. Nilainya pun bukan kerelaan kita, tapi berdasarkan tarif mereka sendiri. Terakhir gw ke parkir timur, tarifnya 3000 perak. Padahal masuk ke Parkir Timur kita kudu bayar parkir resmi. Gw nggak tahu sejak kapan dan kenapa mereka dibiarkan tumbuh ilegal di situ.

Back to my office! Di kantor gw sekarang ini, tanpa perlu mikir bisa langsung parkir. Nggak perlu ambil tiket parkir, nggak perlu ngasih preman, gw langsung bisa parkir. Masuk ato keluar parkir, cukup hormat grak dengan Security. Mo parkir yang ada atapnya biar nggak kena hujan, ato mo parkir di ruang terbuka bekas reruntuhan gedung, terserah kita.

Meski nggak dikenakan tarif parkir, tetap aja ada karyawan di kator gw yang parkir di luar kantor. Biasanya, karyawan yang nggak markirin mobil di dalam punya dua alasan. Pertama, pasti karyawan ini masuk kantornya telat. Maklum, spot parkir terbatas. Mereka yang mendapatkan spot-spot yang enak, biasanya datang ke kantor sebelum jam 9. Lebih dari jam 9, biasanya mulai parkir di reruntuhan bekas gedung dirubuhin. Lebih dari 10, udah pasti kudu parkir di luar. Beda dong sama para Direksi yang sudah di-reserve spot parkirnya. Mo datangnya kesiangan kek, mo nggak masuk kek, spot itu nggak ada yang boleh berani-berani menempati. Kalo ada yang berani, Surat Peringatan (SP) jawabannya.

Alasan kedua, karyawan itu pasti pengen buru-buru pulang. Biar datang pagi dan masih ada spot parkir kosong, si karyawan lebih milih parkir di luar, misalnya dekat Soto Cholil (soto yang rasanya top banget di Kawasan Industri Pulogadung ini). Soalnya, kalo parkir di luar, takut ketahuan Bos. Elo pasti pernah melancarkan strategi ini kan? Begitu Bos nggak liat, langsung kabur. Begitu mo kabur tiba-tiba ada Bos, elo langsung freeze. Setelah Bos berlalu, baru kabur lagi. Kelakuan! Padahal kalo elo tahu, si Soto Cholil udah dipasang CCTV sama para Direksi. Bego aja kalo loe nggak liat.

Sekarang ini, beberapa karyawan di kantor agak resah. Mereka akan dipindah kerja di sebuah gedung. Kalo kejadian, mereka bakal ngeluarin uang ekstra parkir. It’s mean ekonomi biaya tinggi deh. Dalam hati, ternyata ada untung dan ruginya kerja di Pulogadung. Biar lokasinya di ujung, dikelilingi pabrik-pabrik, trus kalo hujan deras banjir, berada di lingkungan kelas CD, toh kalo bicara parkir, wah hemat banget. Paling nggak kalo ditabung setahun, bisa kredit mobil APV ato beli jam tangan Cartier.

MY BEST HANGOUT


Boleh jadi gw temasuk seniman konvensional yang ada di jagat bumi ini. Ketika teman-teman seprofesi gw mencari ide di gunung, tepi hutan, ato mojok di tembok, tempat gw mencari ide malah justru beda. Nongrong di kakus.

Kakus beda sama Kaskus. Kalo Kaskus dulu jadi website para pria pencari video maupun foto-foto porno. Gw salah satu pelanggan tetapnya. Sejak pemerintah mengkampanyekan antipornografi, website-website porno lokal mulai berguguran, termasuk Kaskus ini. Nah, balik lagi ke kakus. Kata kakus sebenarnya merupakan bahasa asli negeri kita tercinta ini. Namun, istilah ini dianggap terlalu tradisional (agak-agak Jawa gitu) dan terlalu vulgar.

”Noh! Di sono mas kakus-nya!”

Kalo dengar ada Office Boy menginfokan seorang yang mau ke toilet dengan kata kakus seperti itu memang nggak sopan ya, terlalu vulgar. Makanya diganti kata ”toilet” yang lebih halus atau paling rendah istilah ”WC”. Padahal kata ”WC” itu dari bahasa asing: Water Closet. Di tengah era (sok) modern, orang-orang udah nggak lagi memakai istilah kakus. Kasihan juga nasib si kakus ini...

Anyway, whatever you’ll say, gw menyebut toilet atau WC dengan kata kakus. Di kakus inilah gw biasa mencari dan mendapatkan ide. Sejak gw kecil sampe masih kecil seperti sekarang ini, kakus menjadi tempat favorit gw melakukan perenungan. Bahasa Jawa-nya kontemplasi. Dengan kontemplasi, banyak hal yang bisa gw lakukan. Gw bisa sedikit flashback hari-hari kemarin yang gw udah lalui. Ada nggak jalan yang melenceng nggak sesuai rel. Ada nggak sikap gw yang bikin orang sakit hati. Ada nggak rezeki gw yang kabur.

Selain kontemplasi flashback, di kakus gw juga bisa merencanakan masa depan. Nggak usah berpikir terlalu jauh masa depan sampai 1000 tahun ke depan, Bro! Masa depan hitungannya bisa besok, besok lusa, minggu depan, atau bulan depan. Ingat! Pas kita belajar bahasa Inggris, ada istilah ”Future Tenses” yang dilambangkan dengan kata ”will”. Masa depan yang gw pikirkan mulai dari kapan gw bisa berhenti kerja dan jadi konglomerat, trus menyusun strategi kencan dengan pacar gw next week, atau juga mikirin kapan dolar bisa mentok ke angka 25 ribu lagi supaya gw bisa dapat untung gede kayak thun 1998 lalu.

Kakus memang sudah jadi media ampuh buat gw untuk do something, either something good, bad, or funny. Melalui kakus, segala daya upaya dan pikiran tercurah di situ. Jangan heran, kalo suatu ketika elo ke rumah gw dan mengetahui gw berada bejam-jam di kakus, itu tandanya gw lagi cari inspirasi. Tentu selain cari inspirasi gw juga lagi ngeden lah yau. Ngeden apa? Ya ngeden untuk mengeluarkan pasukan berkuda berwarna kuning dong ah! Kadang-kadang warnanya nggak cuma kuning sih, ada yang berwarna cokelat kehitam-hitaman seperti es krim Walls, ada pula yang kuning muda seperti pisang yang di situ ada sedikit daun cabe-nya. Hmmmm..nyami!

Makanya gw herman (baca:heran) bin bingung dengan teman-teman gw yang mengaku seniman atau sok seniman. Kenapa sih mereka mencari ide pake di gunung atau di tepi hutan? Atau mencari ide di pojokan tembok sambil nyuntik? Persis waktu gw kuliah dulu, ada satu spot dimana menjadi tempat mahasiswa-mahasiswa nyuntik. Katanya supaya mereka dapat ide. Katanya supaya mereka bisa dapat teman seperjuangan. Buat gw, mereka totol melakukan itu. Stuppid kuadrat! Mending ikut gw nongkrong di kakus. Tapi bisa jadi, gara-gara mereka udah ketagihan dengan suntik-menyuntik, meski gw ajak ke kakus, tetap aja di kakus mereka nyuntik. Sami mawon!

Ada banyak orang yang pilih-pilih kakus. Mereka ini biasanya disebut ”kaum najis”. Kenapa? Gara-gara lihat kakus yang kotor, langsung teriak: ”Ih, najis!”. Padahal kotornya nggak kotor-kotor amat. Kakus-nya cuma terlihat tua. Tembok samping kiri-kanannya banyak yang sudah gompal. Catnya sudah mengelupas. Namun sebenarnya kondisi kakusnya masih relatif bersih. Perhatikan foto di atas itu. Menurut elo kotor apa nggak? Itu adalah my favorite kakus di kantor. Itu adalah my best hang out kalo di kantor, pas perut gw udah mules-mules pengen pup.

Seperti juga dalam mencari pasangan, kalo kita terlalu pilih-pilih, pasti cepat kabur. Momentum untuk mendapatkan pasangan bisa hilang. Sok nggak mau sama A, karena A tangannya pendek sebelah, sang pria coba pilih wanita lain: si B. Giliran dah ketemu B, si pria juga belum puas, langsung memutuskan cari wanita lain lagi. Pria bilang, si B matanya berat sebelah. Hal tersebut berlangsung terus menerus sampai bertahun-tahun. Setelah beberapa tahun, si A dan B udah punya anak lima, eh si pria itu masih sibuk cari-cari pasangan. Tapi kali ini pasangan sesama jenis. Maklum, si pria udah frustasi.

Sibuk memilih kakus, akibatnya bisa berabe. Ini pernah dialami sama temen SMA gw. Padahal jelas-jelas temen gw ini rajin sholat, eh maaf rajin berak. Gara-gara ia tipe pemilih, khususnya dalam memilih kakus, teman gw jadi rajin ”bercel”. Bercel kepanjangannya ”berak di celana”. Gw nggak akan menyebut nama asli temen gw ini. Soalnya itu sama saja mengungkap aib masa lalu. Tapi elo boleh sebut namanya si Oki. Bukan temennya Nirmala, lho!

Si Oki ini memang dikenal pria pemilih. Dia bilang, kakus di sekolah kita nggak layak tayang. Perlu disensor di Lembaga Sensor Film (LSF). Padahal kakus di sekolah kita nggak terlalu jorok. Masih layak nongkrong. Baunya aja yang memang nggak sedap. Bau karbol. Tempatnya aja yang agak gerah. Maklum, size-nya cuma 1X1. Jendelanya kecil banget, yakni satu kotak batu bata. Kebayang dong kalo kita lagi nongkrong dan ngeden, gerahnya minta amplop! Kebayang juga dong, dengan kondisi badan Oki yang segede-gede gambreng (beratnya waktu itu udah mencapai 1,5 karung beras), keringatnya pasti akan mengucur deras.

Suatu hari ketika kami praktek kimia di ruang laboratorium, wajah Oki nampak gundah gulana. Dia nggak konsen dengan percobaan yang sedang dilakukannya bersama kelompoknya. Karena nggak satu kelompok, gw ngeliat dari kejauhan kondisi Oki sambil cekakak-cekikik dalam hati. Apalagi pas ngeliat pantatnya geal-geol.
”Crooooottt!” tiba-tiba terdengar bunyi aneh bin ajaib.

Bunyi aneh itu menyebabkan terjadi ledakan tiba-tiba dari botol percobaan. Maklum, bunyi itu ternyata juga menyebarkan gas beracun yang senyawa. Negatif ketemu negatif. Gw sebenarnya udah tahu darimana bunyi itu berasal. Bunyi aneh itu nggak lain nggak bukan dari pantat si Oki yang superbahenol jental-jentul itu. Oki kentut!

Teman-teman gw masih celingak-celinguk mencari siapa gerangan si pemilik bunyi itu. Beberapa detik kemudian, si Oki bunyi lagi. Botol percobaan meledak lagi. Bunyi kedua ini bukan sembarang bunyi. Bunyi kali ini lebih parah, kayak celana bahan disobek. Gw udah yakin, Oki mencret! Dan Oki kembali melakukan sebuah gerakan berak di celana. Dalam hati gw, ya begini nih kalo orang nahan sakit perut gara-gara sok milih-milih kakus.

Kakus di kantor gw, memang terlihat konvensional. Pake kakus model jongkok. Ada bak berukuran 1 X 1 meter. Sebagian temboknya dibalut keramik warna putih. Gw memang suka tipe kakus model konvensional begitu. Meski di rumah gw pake kakus model duduk, gw tetap aja nekad jongkok di kakus model itu.

Di tempat-tempat yang memiliki kakus duduk, seperti hotel, bioskop, dan tempat-tempat lain gw pasti akan jongkok dengan cerai. Aneh menurut loe? Ah, nggak juga! Konon kata dokter senior gw, kalo kita berak, posisi yang dianjurkan adalah jongkok, bukan duduk. Sebab, kalo duduk, aliran darah yang ada di paha elo gak lancar karena tertekan. Selain itu, kalo kita jongkok, rangsangan untuk mengeluarkan tai akan lebih cepat. Tanpa perlu ngeden terlalu keras. Kecuali elo nggak pernah atau jarang makan buah, biasanya susah mengeluarkan tai-nya.

Berkat kakus, gw jadi lebih produktif. Ide tumbuh dengan gokil. Berkat kakus, semangat untuk menggapai hari ini dan esok sangat optimis. Soalnya setelah pup, rasanya keluar semua beban dan mata jadi berbinar-binar. Sekadar info, gw kudu memaksakan diri nongkrong di kakus tiap pagi, nggak boleh absen. Soalnya, kalo ditahan sampe dua hari atau tiga hari, gw ngeri tai-nya bisa keluar dari mulut. Nggak enak kan kalo kejadiannya begitu?

MY AVANZA: BENCI TAPI RINDU


Memang sulit kalo Anda pakai logika untuk membayangkan seorang tiba-tiba rindu pada sebuah mobil. Kalo Anda baca tulisan ini, mohon singkirkan logika jauh-jauh-jauh. Yang diizinkan di sini cuma pakai perasaan.

Sebagaimana cinta, hari-hari belakangan ini aku rindu sekali dengan Avanza. Bak orang tolol, kerinduanku sama bangganya seperti aku melihat mobilku saat ini. Aneh! Iya, memang. Tapi itu kenyataan.

Aku bukan orang kaya yang punya melimpah uang. Aku juga bukan orang yang born in the silver spoon, terlahir kaya. Terlahir dengan segalanya serba ada. Mau mobil tipe apa saja ada. Tinggal jalan ke showroom tunjuk tangan ke sebuah mobil impian, beres. Aku bukan seperti itu.

Aku juga tidak terlahir dengan modahnya menikmati empuknya sebuah mobil yang sudah dipasangi pendingin ruang. Sound system musik yang bisa menembus jalan, dimana seorang pengamen tak perlu lagi menyanyi di samping kaca. Cukup dengankan dentuman speaker dari tape, dia sudah bisa menerka, oh sound systemnya pasti oke. Atau sengaja volumenya dikeraskan, seolah-olah sedang menyanyi, padahal memang terlalu pelit untuk memberi recehan ke para pengemen jalan.

Aku benar-benar rindu kamu Avanza. Ini mobil pertamaku yang aku beli dengan keringatku. Tak ada bantuan orangtua. Tak ada bantuan suami atau istri. Tapi 100% aku beli dengan keringatku. Tak apa orang bilang murah. Tak apa orang bilang tak sehebat X-Trail, Honda Jazz, Escudo, atau bahkan Torrano.

Aku masih ingat ketika mencari side job dengan mobil pinjaman orangtua, sebuah sedan tua: Toyota 81. Tak ada penyejuk udara. Tak ada sound system berkuatan kuda. Jika matahari ada di tengah, sudah pasti sekujur tubuhku penuh dengan peluh. Punggungku akan berkeringat, menembus kemeja atau t-shirtku.
Suatu hari di jalan tol, malam hari. Ban kanan belakang Toyota itu lepas. Menggelinding di jalan. Untung saat itu tak banyak mobil berseliweran di jalan tol. Kalo tidak, sudah dipastikan akan ada mobil yang mendadak stop untuk menghindari ban. Worst case-nya lagi, rem yang mendadak itu bisa menyebabkan kecelakaan beruntun seperti yang juga pernah aku alami.

Aku tak akan pernah lupa, bagaimana aku harus mendorong Toyota itu di tengah matahari yang sedang terik-teriknya. Aku pikir, saat itu matahari yang sedang muncul tak cuma satu, tapi ada tiga. Maklum, panasnya luar biasa!
Seperak dua perak, aku sisihkan uang untuk sebuah impian. Mobil baru. Tak perlu jaguar. Tak perlu Honda CRV. Tak perlu Land Cruiser. Karena memang aku tak mampu saat itu. Aku hanya ingin mobil baru. Bersyukur sih, masih ada "gerobak" sekuat Toyota. Masih bisa berucap Alhamdulillah, sebuah Toyota gigi 4 warna biru tua metalik akhirnya bisa mambantuku "menumpukkan" uang dan sekaligus mewujudkan impianku. Sebuah Avanza champagne keluaran tahun 2004.

Dan saat ini aku benar-benar rindu. Melihat Avanza berjalan lagi dengaku. Berkeliling Jakarta. Menembus hutan Jawa. “Berlari” secepat-cepatnya di jalan bebas hambatan di waktu malam. Atau menikmati musik sekeras-kerasnya ketika hatiku lagi tak karuan. Ditabrak motor beberapa kali hingga membuat "hidungmu" penyok. Menabrak tiang sehingga membuat "pantatmu" bengkok. Ah, sebuah kerinduan yang aneh.


Kira-kira sedang apa ya kamu? Sekarang ini kamu sedang dengan siapa ya? Please call me if you really miss me too. Sekali-kali aku harap kamu mampir lagi di pohon kelapa, tempat dimana kamu biasa istirahat. Sekali-kali aku ingin mendengar lagi musik yang kamu alunkan dari subwofer mu itu. Kalau tidak salah lagu terakhir aku kehilanganmu itu lagu Krispatih ya? Judulnya apa ya?

MAYASARI BAKTI 57: PUAS SAMPAI NGILER

Boleh jadi, umur bus Mayasari no 57 ini sebanding dengan usia Dinosaurus Pitekantropus Elektus. Kebenaran soal ini bisa elo-elo baca di buku PMP jilid 2 terbitan tahun 1876, dimana bus ini sudah beroperasi sejak Perang Majapahit. Gw bangga banget masih bisa ngerasain naik bus berwarna hijau kemerah-merahan ini.

Barangkali ada yang belum tahu kenapa bus ini disebut bus Mayasari dan kenapa pula bus ini nomornya 57. Begini, Bro, ceritanya si pemilik punya anak namanya Maya. Anaknya cantik jelita bak putri Raja. Maya ini kebetulan dijodohin sama pria bernama Bram.

Nama boleh sangar, tapi ternyata Bram berkepribadian feminin, bacaannya aja Femina. Bram lebih ngerti cara duduk yang baik, cara makan yang baik pake sendok dan garpu, dan cara mem-blow ketek yang baik. Sebagai seorang wanita baik-baik, Maya nggak terima dengan perjodohan itu. ”Masa cewek macho kayak gue dikasih cowok klemar-klemer? Harusnya jodohin gw dengan Bratt Pitt kek ato Adlof Pusumah kek, masa dengan dia? Huh?! Nggak sudi daku!” Walhasil, Maya kabur dari rumah sambil bawa baju 3 stel pakaian.

Orangtua Maya nangis tujuh hari tujuh malam. Tiba-tiba di tengah kegundahan itu datang sosok wanita muda nan ceria. Namanya Sari. Dia bukan sodara Sarinila ato Sarimin. Dia nggak lain adalah keponakan dari abang iparnya kekek ayahnya Maya. Eng...ing...eng!!!

Kehadiran Sari membawa angin segar. Kenapa? Sari diamanatkan untuk mencari Maya yang hilang entah kemana. Singkatnya, Maya berjumpa dengan Sari. Setelah curhat-curhatan sejenak, Maya memeluk Sari sambil meneteskan air mata. Crot! Namun sayang seribu kali sayang, pada saat mereka berpelukan, datang Bram sambil membawa pistol kaliber 9. Dengan berang, Bram menembaki Maya dan Sari tanpa rasa kemanusiaan dan prikeadilan.

Tewasnya Maya dan Sari membuat duka yang mendalam bagi keluarga besar mereka. Sebagai rasa belasungkawa yang besar dan rasa cinta mereka, keluarga besar membuat prasasti berupa bus yang mereka namai bus Mayasari. Sementara nomor 57 merupakan angka keberuntungan keluarga mereka, karena bertepatan dengan tahlilan, nomor buntut yang mereka pasang berhasil meraih hadiah senilai 6 milion dolar. Nilai itu mengingatkan kita pada film The Six Million Dollar Man.

Gw mengenal bus 57 sejak SMP, bahkan mungkin SD kali ya. Kisah pertemua itu nggak sengaja, ketika bus itu sering hilir mudik lewat sekolah gw yang lokasinya kebetulan di depan jalan Pemuda, Jakarta Timur. Namun pada masa itu gw nggak care dg bus ini. Sebab, emang gw belum butuh, kok. Trayeknya nggak lewat rumah gw yang di Cempaka Putih. Bus ini rutenya Pulogadung ke Blok M, lewat Cawang, MT. Haryono, dan TB Simatupang. Jauh juga ya, Bo?!

Bus ini benar-benar berjasa buat gw dan umat manusia lain yang kebetulan rumahnya dilintasi oleh bus ini. Banyak sekali kejadian yang gw alami di bus ini dan itu memberikan pelajaran yang berharga, juga kisah menarik buat anak, cucu, dan cicik gw kelak.

Gw masih ingat jelas bagaimana para pencopet beraksi dari MT Haryono sampai akhirnya turun di daerah Cawang. Copet yang berjumlah sepuluh orang itu pura-pura makan kuaci, trus nawarin Ibu-Ibu yang kebetulan bawa Blackbery. Dengan semangat ibu-ibu itu senang dong. Kebetulan lagi chatting-chattingan, eh ada orang yang nawarin kuaci. Ketika Ibu itu lengah, seorang teman copet langsung beraksi untuk mengambil dompet yang ada di tas Ibu-Ibu itu. Wush!! Begitu dapat apa yang dimaui, para copet langsung turun.

”Kok ngambilnya cuma dompet sih? Kenapa bukan blackbarry ya?” tanya Ibu keheranan. ”Padahal dompet itu isinya kan cuma celana dalem saya yang belum dicuci...”

Gw juga masih ingat betapa baunya ketek-ketek para penumpang pada saat tangan mereka menggantung di sebuah tiang bus. Ada di antara mereka tetasan keringatnya menetes mengenai wajah penumpang. Sampai-sampai penumpang itu ketagihan menjilati tetesan keringat itu. Ada pula penumpang yang berusaha mencabuti bulu keteknya dengan semangat, sampe-sampe sikutnya menyikut kepala penumpang sebelah.

Buat gw yang paling seru naik Mayasari 57 ini adalah bisa tidur dengan pulas sampe ngorok dan ngiler. Maklum, gw termasuk manusia yang mudah sekali tidur. Dimana pun gw berusaha untuk tidur. Maklum Bro, gw penganut faham: ”bisa tidur adalah sebuah kenikmatan tiada tara”. Maklum juga, jarak tempuh gw dari naik pertama menuju ke kantor cukup jauh, ya sekitar 2 hari lah. Dengan durasi cukup berbobot seperti itu, gw sempat bisa punya waktu makan, tidur, ganti baju, tidur lagi, ngorok, ngiler, kawin, punya anak, dan ngiler. Hmmm... betapa nikmatnya naik 57, euy!

REUNI: KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN


Sedikitnya ada tiga undangan reuni yang bakal gue jalanin di bulan Desember dan Januari ini. Yang pertama reuni SMA. Kedua, reuni dengan teman-teman semasa kuliah. Terakhir, reuni kantor lama.

Sebenarnya, reuni dengan teman-teman SMA sebenarnya nggak terlalu ”menarik” lagi. Kenapa? Tahun lalu gue dan teman-teman sudah pernah berreunian. Udah saling ketemu satu sama lain setelah 19 tahun nggak ketmu. Kalo pun ada yang ketemu, biasanya ketemu karena satu profesi, satu geng waktu SMA dulu, atau satu hati dan sepenanggungan (mungkin ada pria gendut curhat dengan pria gendut yang sudah bisa menguruskan diri, nah si gendut ini ingin kurus).

Reuni dengan teman-teman SMA nggak terlalu ”menarik” lagi, karena kita jadi intens (baca: sering ketemu) setelah big reuni yang 19 tahun itu. Entah itu ketemu karena ada momentum buka puasa, nonton bareng, atau bakti sosial. Namun, yang ”menarik” dari reuni SMA kali ini mungkin lebih karena kali ini lebih akbar, berjumpa dengan senior-senior lain yang jauh lebih tua sampai junior-junior yang jauh lebih muda. Dimana dalam perjumpaan di reuni itu, sebuah angkatan akan menunjukan eksistensinya apakah kompak atau terpecah belah.

Lain lagi dengan reuni dengan teman-teman semasa kuliah. Ini sebenarnya geregetnya lebih ”terasa” ketimbang SMA. Kenapa? Pertama, reuni ini adalah reuni pertama sejak zaman Majapahit, eh salah sejak sepuluh tahun lalu. Kedua, ketemu teman-teman yang dulu satu kost-kosatan, yang sempat melarat bersama, yang pernah nggak makan nasi selama dua hari tapi makan Indomie. Ketiga, preparingnya reuni pun lebih ”murah”, yakni di Facebook. Mulai dari pencarian peserta reuni yang berbagai angkatan, meeting kordinasi, ide-ide acara, sampai berapa dana yang layak dikeluarkan untuk reuni, semua langsung bisa update via Facebook. Beda banget dengan preparing reuni lain yang kudu harus kopi darat, datang ke resto, foto-foto, besok datang lagi cafe, foto-foto lagi. Cape d! Meski udah dua kali (ato tiga kali?) sih ngobrolin reuni di luar kotak Facebook.

Beda lagi dengan reuni dengan kantor lama. Ini juga rada-rada ”unik”. Kenapa? Gue nggak nyangka kalo begitu gue keluar dari kantor lama, nggak berhubungan dengan kantor lama lagi. Bukannya gue mo memutuskan tali silaturahmi, bukan. Kalo pikiran loe begitu, ya salah besar. Maksud gue, ternyata kantor lama gue ternyata juga satu grub dengan kantor baru gue. Walah! Persis dengan pepatah: tak akan lari gunung kukejar. Mo pindah kemana pun kalo profesinya masih itu-itu juga ya bakal ketemuan. Ya itulah begonya gue.

Reuni, betapa pun menarik ato ”tidak menarik” atau ”unik” tetaplah relatif. Gue bilang menarik buat orang belum tentu. Sebaliknya buat gue momentumnya sudah nggak greget lagi, eh ternyata justru buat orang lain keren, mo bilang apa hayo? Atau gue bilang ”unik” tapi ternyata ngeselin. Jadi relatif kan? Terlepas dari teori relativitas itu, ada sisi lain di balik kita berreuni ini. Sisi ini gue sebut sebagai: kesempatan dalam kesempitan.

Kenapa gue sebut ”kesempatan dalam kesempitan”? Sedikitnya ada tiga point kesempatan dalam sebuah waktu reuni yang sempit. Pertama, reuni sebagai ajang pamer. Reuni sebagai ajang cari kerjaan dalam konteks sesungguhnya. Terakhir, reuni cuma sebagai networking.

Reuni buat sebagian orang menjadi tempat eksistensi diri. Bahwa dalam satu hari reuni, kita bisa memperlihatkan fisik kita, kekayaan kita, profesi kita, keberhasilan kita, dan hal-hal yang sifatnya narsis maupun riya bercampur jadi satu.

Tiba-tiba si A terlihat sangat tampan, beda banget pada saat di SMA dulu. Wajahnya jelek, hitam enggak, putih juga nggak. Rambutnya yang dulu keriting, sekarang keribo. Perubahan wajah itu membuat A bangga. Dengan bangga si A bilang: ”Alhamdulillah, gue sempat memutihkan wajah gue dengan kapur tulis, dan mengkritingkan rambut gue keribokan gue gara-gara dicangkok”.

Tiba-tiba si B datang dengan kalung, gelang, dan anting bertahta berlian. Datang ke reuni pun sudah nggak naik Kopaja 66 lagi, tapi sudah naik CRV keluaran terbaru. Seluruh teman-teman kampusnya tajub dengan perbedaan itu: wow!!!. Si B dengan enteng menjawab: ”Ah, ini karena bisnis martabak gue sudah di-franchise-kan sampai ke Arab”. Sok-sok rendah hati, tapi menyebalkan.

Berbeda dengan anggota reuni yang datang untuk cari kerjaan. Begitu masuk ke tempat reuni, orang model begini langsung pasang aksi mencari ”korban”. ”Korban” di sini adalah teman-temannya yang terlihat sudah berhasil, sudah sukses, dimana secara kasat mata terlihat dengan pakaian yang branded, sepatu mengkilat, wajah licin, jidat licin, parfum mahal, rambut model terbaru, dan identitas fisik lain. Padahal manusia seperti itu belum tentu sukses. Ingat: don’t judge a book by its cover. Sekarang ini orang sukses kadang sok-sok “dimiskin-miskinkan”: pakai t-shirt aja, celana pendek, rambut nggak disisir, nggak sampo-an, nggak pake parfum, bahkan nggak pake celana dalam.

Para pencari kerja di reuni biasanya akan langsung menuju sasaran teman yang sukses. Pertama basa-basi, kedua basa-basi lagi, ketiga basa-basi, lama kelamaan jadi basi. Belum sempat minta kerjaan, temannya yang dibilang sukses, yang katanya General Manager, yang katanya Producer, yang katanya Creative Director, langsung cabut meninggalkan kita, yang lagi nyari kerja, tanpa kesan.

”Wah, kok si C kabur sih? Padahal kan gue lagi butuh dikerjain...”

Nggak beda dengan orang yang reuni cari kerja, orang yang datang cuma cari networking juga sama. Maksudnya, begitu tiba di tempat reuni, Network Builder (istilah untuk mereka yang ingin membangun ”jaringan”), langsung pasang aksi dengan tuker-tukeran kartu nama. Dari satu teman ke teman lain, tuker-tukeran kartu nama. Kenapa kartu nama? Biasanya otak si Network Builder akan langsung berputar, begitu di kartu nama temannya tertulis sebuah profesi. Dia langsung merelevansikan dengan profesinya saat ini. ”Ya, sapa tahu bisa kerjasama antarjenis kelamin”.

Sebenarnya ada satu niat mulia yang dimanfaatkan pas reuni, yakni ajang cari jodoh. Nah, kalo niatnya cari jodoh, pasti treatment-nya beda. Orang yang mo cari jodoh preparingnya kudu perfect! Kalo biasanya pergi cuma pake sarung, kali ini dia harus pakai pakaian komplet, pake jas, termasuk celana kolor. Kalo biasanya si wanita pencari jodoh nggak pernah pakai diodoran, agar menarik calon suami pas di reuni pake minyak cap nyong-nyong. Intinya, baik pria atao wanita yang punya niat cari jodoh di ajang reuni, kudu menjual diri setinggi-tingginya.

Anyway, apapun pilihan reuni yang elo mo ambil, kesempatan reuni adalah momen manis yang kudu elo hadiri. Ini seperti yang gue hadiri pas pelepasan teman senior gue di kantor lama yang mau pensiun: mas Wedha, mas Kailan, dan mas Q-bro (lihat foto di atas, coba tebak mana pria yang sempat pacaran sama Achmad Albar?). Gue anggap, perjumpaan Selasa lalu itu adalah sebuah ”reuni kecil”. Maklum, sejak keluar dari kantor lama itu, gue belum pernah ketemu tiga mahkluk yang mau pensiun itu. Di situ gue cuma pasang aksi sebagai Network Builder. Sementara sudah gue duga, ada beberapa senior yang juga mencuri-curi ”kesempatan dalam kesempitan” ini. Siapa dia? Au ah, gelap!

Wednesday, December 3, 2008

WARUNG PADANG: "KENCING AJA BAYAR!"

Sekarang ini saya harus hati-hati makan di restoran Padang. Yang saya maksud di sini bukan tempat makan di belakang gedung-gedung perkantoran yang kebetulan menjual masakan Padang. Bukan, bukan itu. Namun restoran Padang di sini yang kebetulan sudah di-franchise-kan namanya. Sebut saja Sari Bundo.

Kenapa saya harus hati-hati, atau bahkan sekarang ini saya jadi kapok makan di Sari Bundo? Latar belakangnya barangkali karena kebodohan saya sendiri. Bahwa saya nggak ngerti apa-apa yang disajikan di restoran itu dan kemudian kita makan atau diminum itu semua dihargai. Pasti jawaban Anda: ”Ya, iyalah!”

Siang itu saya dan istri lapar sekali. Perut kami sudah mendendangan irama keroncon yang aduhai. Kami kebetulan lagi ngidam masakan Padang. Sudah dua bulan ini, kami nggak makan masakan Padang. Bukan karena uang, lho, tapi lebih kepada masalah kesehatan. Buat yang ngerti, pasti akur menjawab, makan di warung Padang nggak boleh sering-sering. Santannya itu lho, nggak ”tahan”, euy! Nah, karena dalam posisi lapar dan kebetulan melihat ada warung Padang Sari Bundo, kami langsung membelokkan mobil.

Siang itu restoran nampak sepi. Saya nggak tahu kenapa sepi, padahal waktunya makan siang. Kami duduk di sebuah meja, dimana persis di samping meja yang kelihatannya baru ditinggalkan pelanggannya yang baru makan. Itu terlihat dari piring kotor, gelas kosong yang berisi sisa jus, dan mangkuk-mangkuk kosong yang di tengahnya masih terlihat sedikit sisa kuah. Yang menarik perhatian kami, ada mangkuk berisi aneka buah yang masih utuh. Ada potongan buah pepaya, semangka, dan melon.

Seperti biasa, pelayan warung itu meletakkan mangkuk-mangkuk berisi lauk dan sayuran di atas meja kami. Selain makanan, tak lupa segelas teh tawar. Dari dulu, resep mengapa bisnis warung Padang nggak ada matinya. Tipsnya, sediakan sebanyak mungkin aneka lauk di mangkuk. Mulai dari ayam pop, otak, ikan kembung bakar, sampai telor balado. Tak lupa nasi putih tambahan. Secara psikologis, jika aneka lauk sudah tersedia di depan mata orang lapar, bukan tak mungkin akan berpengaruh pada nafsu. Ujung-ujungnya, orang lapar akan menggambil lauk lebih dari satu dan nasi pun ditambah. Ini terjadi pada saya yang secara emosional akhirnya menggambil tiga lauk.

Begitu lahapnya saya. Maklum lapar. Keringat yang mengucur deras. Padahal di warung itu terdapat ruang penyejuk udara. Sambil terus melahap, sesekali saya menyerup teh hangat yang sudah disediakan bersama kobokan. Begitu nikmat. Sampai-sampai saya tak sadar sudah menghabiskan beberapa lauk dan sepiring nasi lagi. Kelar makan, saya masih sempat menikmati beberapa potong buah di mangkuk.

Saya dan istri cukup kaget begitu terima bon. Bukan kami tak bawa uang dan harga di warung Padang itu mahal. Kami sudah sadar, warung Padang franchise model Sari Bundo pasti harganya di atas rata-rata. Yang bikin kaget sebenarnya justru hal yang menurut kami sepele. Air teh hangat dan potongan buah itu ternyata dihargai juga. Segelas teh dihargai duaribu rupiah, sementara potongan-potongan buah dihargai limaribu rupiah.

Mohon maaf kalo saya dianggap terlalu berhitung, terlalu pelit untuk mengeluarkan tujuhribu rupiah untuk segelas teh tawar dan semangkuk potongan buah. Bukan, bukan itu masalahnya. Saya cuma protes, perlakukan warung Sari Bundo itu ke pelanggan. Bahwa saya mengira sebuah teh tawar dan buah adalah sebuah bentuk complementary, sebagaimana saya makan di sebuah restoran yang selalu memberikan complementary puding atau es krim setelah makan. Ternyata di Sari Bundo, dua item itu nggak gratis. Kejadian itu menyadarkan saya dan saya jadi mengerti, kenapa orang yang makan sebelumnya, yang di samping saya tadi, tidak makan buah sama sekali. Pasti mereka sudah tahu kalo apa yang disediakan di meja, nggak gratis.

Pengalaman di atas itulah yang membuat saya harus hati-hati makan di warung Padang. Selain teh tawar dan semangkuk buah, jangan-jangan nantinya tusuk gigi dan tisu akan dihargai juga. Tapi memang inilah wajah Indonesia, khususnya Jakarta. Semua hal harus diukur dengan uang. Makanya jangan heran kalo ada idom: “Ini Jakarta, Bang! Kencing aja bayar, kok!”

Buat saya, apa yang dilakukan di warung Padang Sari Bundo, bisa menjadi cermin buat para pengusaha makanan. Nggak usah pelit-pelit lah memberikan complementary ke customer, karena bukan masalah nilai uang yang harus dikeluarkan Costomer. Tapi caranya aja yang (kalo bahasa politiknya) kurang elegan. Ini untuk kepentingan si warung itu juga kan? Ingat, kesan pertama akan berpengaruh pada keinginan untuk makan di tempat itu lagi. Apalagi sistem promosi untuk sebuah tempat makan itu via MLM alias mulut lewat mulut.

KUBURAN SAMPAH



Nggak cuma manusia yang butuh kuburan. Sebagai mahkluk yang nggak hidup, sampah juga butuh tempat buat menguburkan diri. Lebih tepatnya bersama teman-teman sesama sampah lainnya.

Kuburan sampah lebih dikenal sebagai lubang sampah kompos. Maksudnya, sampah-sampah organik, semisal potongan sayur mayur, buah-buahan, ikan, daging ayam, dan lain-lain daripada diplastikin, mending dibuang ke lubang itu. Dengan begitu, sampah-sampah jenis begitu akan mengurai dengan tanah. Ingat! lubang itu khusus buat sampah organik. So, jangan sekali-kali membuang sampah non-organik kayak plastik, sterofoam, dan teman-temannya.

Sampah-sampah yang dibuang ke lubang pasti akan penuh. Kalo udah penuh, Anda bisa ikut-ikutan nyemplung di lubang itu buat dikubur. Ngetes sebelum dapat siksa kubur, disiksa dulu bareng sampah-sampah yang mau ditutup dengan tanah lagi itu. Tapi sebaiknya nggak usah ikut-ikutan dikubur, karena barangkali sepak terjang Anda masih dibutuhkan buat orang banyak. Asal, sepak terjang Anda itu nggak seperti sampah atau jangan-jangan Anda benar-benar menjadi sampah masyarakat? Please don't!

IF YOU DON’T CHANGE DIRECTION YOU WILL END UP WHERE YOU HEADED

Ketika ngebaca headline Kompas Minggu pagi ini soal raksasa otomotif General Motor (GM) yg mo bangrut, gw lngsung inget statement pengusaha terkenal kelas dunia: "If You don't change direction You will end up where you headed!"

Ngeri juga ngebayangin tahun dpn yg semakin berat. Krisis yg skrng ini dibilang blm krisis beneran, krn br akan berasa tahun dpn. Nah, persiapan elo2 pade apa? Udah blm? Elo jgan ketwa2, Bro! Jgn elo pikir elo aman dg perusahaan elo, kerjaan elo, jabatan elo. Baca deh kisah GM.

GM itu baru ngerayain ultah 100 thn pd bln September lalu. Gokil gak?! Sebuah perusahaan umurnya bs nembus 100 tahun itu gokil abis. Trus smp skrng, GM tercatat pny karyawan sbanyak 266 rb orang di dunia, yg memproduksi mobil2 kelas dunia kayak Chevrolet, Pontiac, Cadillac, Opel, dll. Sejak tahun 2007, GM sdh membukukan kerugian smp 38,7 miliar dolar AS. Widih!!!

Nah, balik ke kita. Coba deh kita tny2 lg sama diri kita. Perusahaan kita sdh 100 thn blm? Kira2 bs gak smp 100 thn spt GM? Trus suasana di ktr loe gmn? Ada gak gosip2 soal PHK, pensiun dini, jatah budget dikurangi, pengetatan ikan pinggang, dll. Kalo ada, coba deh pikir dua kali utk trus duduk di bangku yg elo dudukin skrng ini. Emang sih msh empuk. Ya, kena comfort zone sih, ya gak?

Elo mngkin kudu brpikir buat sesuatu yg nantinya bs utk elo nikmati sama keluarga loe, bkn dinikmati sam keluarga orang lain. Ngapain juga, ya gak? Rugi kan? Kalo gw malah berpikir jd mandor gorengan, ato juragan perahu tarik yg fotonya elo liat ini.

Knp gorengan? Pertama, gorengan kagak ada matinya. Saban jam 3 sore, hampir 99% karyawan nyari yg namanya gorengan. Sebab, gorengan berada di tengah2, antara sdh mulai lapar setelah lunch, dan nanggung utk dinner.

Gorengan jg pny pesona sendiri, krn jenisnya macem2. Kalo elo gak suka yg manis2 kayak pisgor, elo bisa santap yg namanya combo ato misro ato ubi. Kalo elo gak suka yg bs bikin kentut kayak ubi, elo bs cicipi yg namanya bakwan ato tempe.

Kalo perahu tarik, ini lain lg tantangannye. Ketika gw nanya2 ke tukan perahu tarik di daerah Daan Mogot sana, hidupnya boleh jadi agak2 freedom gitu. Gak perlu mikir saham jatoh, gak perlu minta2 pemerntah ngebantuin agar usaha tetap eksis, tp tukang penarik perahu ttp bs dpt uang halal. Gak nyusahin orang, malah disukai orang. Orang bisa disebrangi dari satu pulau ke pulau yg lain, meski hrs melewati puluhan sampah yg bau itu.

Hidup sbg tukang perahu tarik jg ckp indah. Pagi2 kerja, trus setelah dngr azhan dzuhur sholat dulu. Setelah mkn siang, nunggu pelanggan yg msh mo disbrangin. Kalo gak ada, ya santai ajah di dalam perahu yg terbuat dari papan dan beratapkan seng itu.

Kata abang2nya, setiap orang yg mo disebrangin byrnya 1000 perak. Dlm sehari, doi bis ngantogin 200 rb setelah dipotong pajak sana-sini. Pendapatan segitu mungkin buat kite2 gak cukup kali ya. Tp tlong dipertimbangkan kalo kita jd juragan yg pny 50 perahu. Bknkah kita jg jd konglomerat? Hehehehe.

Kalo loe gak mau jd tukang perahu tarik, ya cari lah bisnis yg loe sukai. Buka toko kek, jd tukang cukur keliling kek, jd tukang benerin kompor meleduk kek. Pokoknya jgn smp elo kayak 266 rb pekerja GM yg was2 mo di-PHK. Elo hrs mengubah arah, Bo! Kecuali elo emang lbh suka nunggu nasib..... kayak gw (dasar!)

ALWAYS SEE THE BRIGHT SIDE

Setiap kali inget masa kecil, setiap kali pula gue teringat dengan berjuta kebodohan gue. Namun aneka kebodohan itu justru membukukan pengalaman yang gak akan pernah gue lupakan. Seperti pengalaman gue kali ini, soal kemampuan gue bicara sama ikan, sebagaimana Deni Manusia Ikan.

Kalo elo pernah berlangganan majalah anak Bobo era 70-an, atau pernah pinjam majalah itu dari teman yang umurnya sekarang sekitar 38-an, atau seapes-apesnya pernah ngeliat di kios majalah ada yang namanya majalah Bobo, pasti ingat ada komik berjudul ”Deni Manusia Ikan”. Kalo gak salah ceritanya begini: Deni itu adalah anak manusia yg sejak kecil dirawat sama ikan. Sejak kecil Deni berpisah dengan ortunya. Karena musibah di laut, Deni terdampar di sebuah pulau yang gak berpenghuni.

Sementara itu Deni tumbuh jadi manusia ikan.Dengan kepandaiannya berenang dan didorong pergaulannya dengen penghuni laut, Deni tumbuh besar menjadi anak laut sejati. Dia bisa bergaul dengan penghuni laut siapa saja. Gak heran kalo dia bisa berbicara dengan bahasa ikan. Tentunya ia bisa berenang, luar biasanya berenang secepat ikan cucut. Pada akhir cerita, ortunya Deni berhasil menemukan kembali anak tunggalnya itu.

Percaya gak percaya, gue adalah perwujudan Deni. Begitu selesai baca Deni, gue langsung lihat di antara jari jemari gue, ada selaput apa gak. Ternyata ada, Bo, tapi gak sebesar punya Deni. Selain selaput, gue juga perhatiin kulit-kulit gue, ada sisik gak. Nah, ternyata kalo sisik gak ada. Yang kelihatan sih, gue agak busik. Tahu kan apa itu busik? Yang pasti bukan istrinya pasik, lah. Mentang-mentang ada kata ”bu” di depan sik, otomatis pasangannya ”pa” sik. Busik itu sejenis ganguan kulit, dimana kalo tangan elo digoreskan sama kuku akan memperlihatkan tanda putih indah bersemi.

Selain selaput dan sisik, yang gue juga perhatikan dari kemiripan gue dengan Deni adalah kemampuan bercakap-cakap dengan ikan. Soal berbicara dengan ikan, terus terang gue masih agak ragu-ragu apa benar gue bisa. Apa benar ikan-ikan itu mengerti apa yang gue bicarakan?

Suatu ketika, gue mempraktekkan dialog-dialog yang Deni ucapkan ke para ikan. Sebelumnya, gue sempat latihan di depan kaca. Dengan memanjatkan doa, kepala gue langsung gue masukkan ke bak mandi. Oh iya, kebetulan waktu itu, rumah gue punya bak mandi yang gede, dimana di bak mandi itu ada beberapa jenis ikan. Ada ikan mas, ada ikan badut, dan ada ikan mas koki. Sambil tetap memegang komik Deni yang ada di majalah Bobo, gue berbicara bahasa ikan persis dialog Deni dengan ikan-ikan di laut.


”Blebek...blebek...blebek...blebek...blebek...,” begitulah bunyi tiap gue ngomong dengan ikan-ikan di dalam air.

Ceburan pertama, gue gak gak berhasil berdialog. Yang ada begitu kepala gue menyelam masuk ke dalam bak mandi, ikan-ikan itu langsung kabur. Sementara gue terus berusaha membuka omongan dengan mereka, ya dengan kalimat sesuai dengan dialog Deni.

”Blebek...blebek...blebek...blebek....,” gue berbicara dg ikan bagian kedua. Ternyata gak berhasil juga. Padahal niat gue baik, cuma mo kenalan. Kenapa sih it’ doesn’t work? Padahal bahasa gue persis dengan dialog Deni...

Gue penasaran, mungkin dialog itu nggak cocok dengan ikan mas. Ikan berikutnya yang gue ajak bercakap-cakap adalah ikan lele. Dengan lele, gue sebenarnya berharap banyak ada progres. At least sang lele mengerti apa mau gue. Dasar blo’on, bukannya hubungan komunikasi gue dengan lele terbina, eh malah jidat gue kepatil. Padahal gue belum sempat omong banyak.

Kegilaan akan Deni untung gak berlangsung lama. Otak bloon gue bisa disembuhkan gara-gara teman gue ngasih wejangan. Bahwa segala sesuatu kudu dilihat dengan sisi yang indah. Always see the bright side. Mungkin elo bertanya apa hubungannya ”bright side” sama kegilaan gue pada Deni manusia ikan?

Mungkin gue gak bisa seperti nabi Sulaiman yang jago bahasa-bahasa bintang, karena emang gue kan bukan nabi. Tapi dengan fleksibelenya gue berkomunikasi dengan berbagai macam orang dari strata yang berbeda tentu merupakan sisi yang gak bisa dimiliki orang lain, ya gak? Tapi gak ada yang ngelarang juga kalo gue tetap nekad belajar bahasa yang lain selain bahasa ikan, ya misalnya bahasa monyet, kus-kus, anjing pelacak, atau bahasa tikus got. Toh, kemampuan bahasa gak ada matinya kalo terus kita pelajarai dan gali. Siapa tahu kalo sukses bisa bahasa anjing pelacak, gue bisa menggantikan anjing mengendus-endus.

Begitu pula dengan sisik. Gue sebenarnya juga gak berharap punya sisik. Memang aneh sekali kalo orang setampan gue punya sisik, karena begitu pacar gue ngeliat pasti akan berteriak. Mending seperti sekarang gak punya sisik, tapi punya bulu dada yang hitam lebat, karena gak pernah dicukur. Itu bright side-nya kan?

Dan yang utama, yang gue syukuri, sampai saat ini gue masih menjadi manusia normal. Yang punya dua mata, dua telinga, dua kaki, dua kepala (ups! Salah! Satu kepala), dan jari-jemari yang masih komplet. Dengan kesempuraan fisik itu, gue jelas akan bisa membandingkan dengan orang lain yang kurang beruntung dari gue. Yang gak punya tangan, tapi punya kaki. Yang punya kaki, tapi masih punya kepala.

So, gak ada salahnya setiap hal selalu kita lihat dari “bright side”. Mungkin elo gak bisa begitu, tapi pasti elo bisa begini. Mungkin gue gak bisa seperti Deni, pasti Deni gak bisa seperti gue. Seperti gue itu seperti apa? Gue punya banyak teman, mulai dari manusia sampai bintang. Gua masih punya orangtua yang utuh dan sehat wal afiat. Sekarang tentunya gue bersyukur punya keluarga: istri yang cantik, anak-anak yang lucu, yang komplet fisiknya. Sedang Deny, ketemunya cuma air dan ikan-ikan. Kalo beruntung, ketemu sama putri duyung. Kalo gak beruntung, ketemunya comberan yang butek, yang banyak sampah. Always see the bright side!

Tuesday, November 25, 2008

CUCI TANGAN, CUCI UANG

Sejak kecil nenek moyang kita mengajarkan segala hal positif. Tujuan mereka tak lain agar hidup kita bersih. Dengan pola hidup bersih, maka kita akan sehat. Jika sehat, ujung2nya kita punya kesempatan berumur panjang. Dengan catatan Sang Kuasa memberikan kesempatan kita hidup. Kebiasaan yang sederhana yang dimaksud adalah cuci tangan.

Cuci tangan wajib hukumnya bila kita hendak makan. Mo makan pekai sendok, apalagi pakai tangan, kita pasti akan mencuci tangan kita. Buat yang punya anak, biasanya ortu akan rewel jika anak mereka belum berangkat ke wastafel untuk mencuci tangan.

Kmrn, tepatnya tgl 15 Oktober 2008 kmrn, sebuah agency besar juga merayakan Hand Washing Day alias hari cuci tangan dunia. Sebuah statiun televisi meng-cover event tersebut yang diselenggarakan di Wisma Aldiron Dirgantara MBU, Pancoran. Di event itu, ratusan pelajar SD melakukan ritual cuci tangan bersama.

Cuci tangan memang positif, tp ada makna ganda yang membuat cuci tangan jadi menyebalkan, memuakkan. Ini terjadi sudah sejak dahulu kala. Entah di kantor, di kalangan usahawan, bahkan politisi seringkali melakukan cuci tangan. Tentu cuci tangan satu ini punya makna negatif. Dan tentu saja bukan nenek moyang kita yang mengajarkan.

Seorang politisi yg sdh kenyang dengan uang sogokan ke majelis Hakim terhormat akan melakukan aksi cuci tangan di saat ia terpojok dianggap melakukan usaha suap. Seorang atasan yg sok bijaksana cuci tangan dg nasib anak buahnya yg melakukan kesalahan, padahal kesalahan itu dilakukan atas perintah atasan itu sendiri. Seorang pengusaha, cuci tangan melihat kondisi Sidoardjo, dimana lumpur tak juga berhasil ditanggulangi dan kondisi tersebut dianggap bencana nasional, padahal sebuah karma.

Cuci tangan sudah menjadi tradisi. Sebab, buat mereka yang sdh tdk memiliki kemaluan, cuci tangan dianggap angin setan. Bagi mereka yg sdh biasa cuci tangan, hal2 yang akan dicuci tangankan jd bukan luar biasa lagi. Tak ada lagi ketakutan, kemaluan, keringat yang mengucur sebagaimana seorang pencuri amatir yg baru mencuri ayam.

Bahkan belakangan, bukan cuma tangan yang dicuci, tapi juga uang. Istilah kerennya: money laundry. Memang laundry khusus untuk uang tidak di outlet-outlet laundry keren yang menjamur di mal atau di pinggir jalan. Laundry untuk uang hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia siluman yang memang ingin mencuci tangannya. Jangan heran kalau sekarang tumbuh Mal dimana-mana. Itu sebenar salah satu bentuk konkret dari mereka yang mencuci uangnya. Daripada ditaro di bank ditanya-tanya KPK, mending bangun Mal.

Kebersihan adalah pangkal kesehatan. Tentu nenek moyang kita cuma ingin tradisi cuci tangan tetap dilakukan. Namun ritualnya cuma menggunakan air dan sabun, bukan menggunakan pelicin seperti uang, kekuasan, dan kebenaran yang diplintirkan menjadi sebuah dusta.

Wednesday, November 12, 2008

PANTESAN DIA BEGITU, WONG KELAKUAN ORANGTUANYA JUGA BEGITU



Kapan terakhir Anda memberi contoh positif pada anak Anda? Ketika merokok, Anda berada di depan anak-anak Anda; ketika ada sampah di dalam mobil, Anda seenaknya membuangnya lewat jendela mobil; ketika naik motor, Anda tidak menggunakan helm; atau ketika dalam sebuah antrian, Anda tanpa bersalah menyerobot orang di depan Anda agar bisa lebih cepat dilayani.


Saya sedih sekali karena minggu lalu memperlihatkan contoh buruk di depan anak-anak. Potret saya saat masih SMA, diketahui kedua anak saya. Tentu kalo potret biasa, mungkin saya gak terlalu kawatir. Namun di potret itu saya dalam kondisi setengah telanjang, rambut saya masih gondrong, dan sambil memegang sebatang rokok. Nampak di foto itu saya menikmati sekali rokok. Sisa asap rokok yang dikeluarkan dari mulut saya sempat tergambar di foto itu.

Contoh, buat sebagian orang dianggap tak punya arti. Padahal contoh adalah sebuah bentuk aktivitas yang akan membentuk kita maupun anak-anak kita di masa depan. Seperti rokok itu tadi. Buat Anda, kekawatiran saya berlebihan. “Cuma rokok! So what gitu, lho!” Enak memang terdengarnya, “cuma rokok”, tapi apa akibat yang akan ditimbulkan?


Terus terang saya ngeri melihat anak-anak saya merokok. Sudah beberapa tahun lalu, sebelum anak saya lahir, saya sudah punya komitmen tidak akan merokok lagi. Kalo pun tergoda merokok, tak akan pernah memperlihatkan di depan anak-anak saya kalo saya sedang merokok. Untuk hal yang terakhir, ini dilakukan kalo benar-benar terpaksa, saat saya benar-benar stres dalam pekerjaan. Anyway, saya berusaha untuk memberi contoh untuk tidak merokok agar anak-anak saya juga tidak akan merokok. Ya, namanya juga usaha. Makanya minggu lalu begitu saya memperlihatkan kembali foto-foto jadul ke anak-anak, saat saya masih merokok, saya merasa berdosa besar.

Buku yang pernah saya baca mengajarkan, contoh positif cuma diserap 20% saja, sedang contoh negatif malah ditiru sampai 200%. Angka tersebut menunjukan bahwa begitu hebatnya contoh negatif, langsung mengalir seperti darah menuju otak. Jika otak manusia yang melihat contoh negatif itu masih waras, mungkin tak akan tergoda. Namun kalo otaknya otak udang ato otak-otak, ya sudah dipastikan prilaku manusia itu akan juga ikut-ikutan negatif.

Begitulah sebuah contoh. Makanya jangan saya gak mau main-main dengan contoh, apalagi anak-anak sekarang begitu cepat menyerap. Sekali Anda memperlihatkan hal-hal yang menyimpang, anak Anda hampir dipastikan akan ikut-ikutan menyimpang. Makanya saya sedih sekali kalau lupa memberikan contoh negatif akibat kebohonan saya.


Anda pasti pernah mendengar ada kalimat yang mengatakan begini: “Pantesan dia begitu, wong orangtuanya kelakukannya juga begitu”. Aneh, tapi karma. Perhatikan anak yang melakukan hal negatif, biasanya cermin dari keluarga yang memberikan contoh negatif. Narkoba, kawin-cerai, seks bebas, dll. Barangkali Anda punya contoh seperti itu.

Anak-anak adalah cermin kita. Apa yang anak-anak kita lakukan adalah buah kita masa lalu. Apa yang anak-anak kita lihat pada kita sekarang akan mereka tiru sampai masa depan. Ini juga berlaku di kantor kita. Bagaimana bawahan kita mau nurut kalo Anda sebagai Pimpinan tidak memberikan contoh baik?

Anda memerintahkan datang jangan telat ke kantor pada bawahan, sementara Anda sendiri datang jam sebelas siang. Atau ada tanda larangan merokok di dalam kantor, sementara Anda dengan cuek merokok. Padahal di ruang itu banyak perokok pasif, ada pula wanita hamil. Saya yakin, sang perokok sadar kalo di ruang berpenyejuk udara, asap rokok akan menjalar ke seluruh sudut ruang, dan dihirup oleh wanita hamil itu. Betapa egois bukan?

Yang paling menyebalkan kalo aparat, baik pemerintah maupun tentara, yang notabene figur yang harusnya memberikan contoh positif namun memperlihatkan hal sebaliknya. Mentang-mentang punya plat mobil tentara, berbintang pula, berwarna hijau, seenaknya menyerobot dari bahu jalan. Mentang-mentang di kaca spion tergantung pangkat tentara, atau topi dinas berbintang tiga, cuek menyerobot antrean. Gimana prilaku masyarakat mo berubah kalo aparat-aparatnya seperti itu? Barangkali mereka lebih suka menyanyikan lagu Duo Mia: “Emang Gue Pikirin!”

APA KABAR?


Ali Wardhana

Friday, August 15, 2008

MEMORABILIA: MELACAK JEJAK SI DOEL

Ketika sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) diputar kembali, saya jadi mengenang masa-masa indah bersama Rano Karno dan kru SDAS. Saya dan mereka memang kayak saudara. Kenapa begitu? Sebab, hampir tiap minggu, saya pasti hadir di acara-acara yang dibuat oleh Karnos Film, entah itu pada saat shooting, maupun pada saat pembukaan kafe Si Doel di Kemang (sekarang sudah tutup), maupun pada saat acara ulangtahun Rano Karno.


Novel Si Dul Anak Jakarta karya Aman Datuk Modjoindo yang diterbitkan Balai Pustaka.

Saya nggak cuma dekat dengan Rano Karno, tetapi juga dengan adik-adiknya, kayak Nurly Karno dan Suty Karno. Bahkan kalo dibilang, dibanding dengan Rano Karno, saya lebih dekat dengan kakaknya Rano, yakni (alm.) Tino Karno.

Beberapa kali saya juga menyempatkan diri main ke rumah Nurly, juga Suty. Saya berkenalan dengan keluarga mereka. Kalo Nurly dulu tinggalnya di Pangkalan Jati, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sedangkan Suty tinggal di Desa Limo, Cinere, Jakarta Selatan. Saya nggak tahu apakah mereka masih kenal saya, karena sudah beberapa tahun ini, saya kehilangan kontak dengan mereka.

Dalam Memorabilia edisi kali ini, saya akan mengajak Anda flashback dulu pada tokoh Si Doel itu. Bahwa Si Doel bukan ujug-ujug lahir di sinetron SDAS, tetapi Rano terilhami oleh buku karya H. Aman Datuk Mojoindo berjudul Si Dul Anak Jakarta terbitan Balai Pustaka.

Memorabilia tentang sinetron SDAS ini sengaja saya buat bersambung dalam beberapa bagian. Maklumlah, khusus sinetron ini, saya sempat menulis beberapa artikel di Majalah HAI. Bukan sekadar karena saya menganggap diri saudara sehingga sinetron ini muncul terus di Majalah HAI. Tetapi kebetulan di tahun 90-an, sinetron ini menjadi fenomena. Nggak ada sinetron sedahsyat SDAS, baik dari perolehan rating maupun efek terhadap sinetron-sinetron sesudahnya. Nggak heran kalo Rano Karno sempat membawa hampir seluruh kru SDAS naik haji. Luar biasa bukan?

Sesudah kesuksesan SDAS, bukan rahasia lagi banyak produser yang meniru cerita sinetron dengan latar belakang cerita Betawi. Ada yang berhasil, ada yang terpuruk. Namun semua sinetron ala SDAS itu belum bisi mengalahkan perolehan rating, share, maupun pendapatan RCTI tahun 90-an.




















HAI 41/XVIII 18 Oktober 1994

MEMANG SATU-SATUNYA LUAR BIASA...

Begitulah tugas yang harus dipikul. Menjadi seorang unit yang harus mencari hotel untuk para kru, karena kamar dirasa kurang layak. Begitu dah dapat, mengatur nomor-nomor kamar. Membrief teman-teman SMA yg mau perform.Yang paling sering, menjadi ”keranjang sampah” untuk semua orang yang minta solusi.Begitulah tugas seorang ”decision maker”. Kordinasi pusat memang perlu, namun keputusan cepat hitungannya detik, bukan jam, apalagi hari. Soal genset yang butuh tantangan untuk mendapatkannya. Soal hotel yang gak layak tinggal untuk artis. Semua hal, butuh waktu cepat.

Yang gak akan pernah lupa di Padang, dalam rangka mengurus equiptment, soal genset. Ternyata tugas yang dipikul juga cari-mencari masalah yang harusnya diemban purchasing. Ada genset, tapi wattnya kecil, atau wattnya kebesaran untuk ukuran program Satu-Satunya ini. Genset favorit yang layak dan Lucunya, ”pemain” genset itu ternyata gak cuma satu. Yg banyak justru orang yang mau ambil keuntungan dari 1Satunya genset. Gak heran kalo harganya bervariasi, mulai dari 2,9 jt/ 8 jam sampai 2,5 jt/ 8 jam. Begitu ditelusuri siapa pemilik genset, tak ada seorang pun mau memberitahu. Ya iyalah! Siapa juga yang mau gak dapat untung?! Begitu sang pemilik tahu, sudah pasti harga yang ”selangit” (dari budget yang dianggarkan cuma 1,5 jt itu) akan turun drastis...tis!...tis!

Melihat antusiasme teman-teman SMA mempersiapkan diri untuk program roadshow ini, sedikit banyak menyuntikan semangat. Kenapa? Mereka gak dibayar. Sukarela. Kostum untuk tari daerah. Konsumsi selama latihan. Luar biasa!!! Salut!!!

Alhamdulillah, sinergi off air dan on air berlangsung dengan lancar. Memang terlalu lama opening segmen: pemandangan kota Padang dan kemudian masuk ke establish SMA yang menjadi tujuan live. Belakangan memang dipotong. Untuk off air yang di-on air-kan secara live juga dipotong. Penonton memang tak ”terbiasa” dengan local content, apalagi pendengar radio Gen-FM. Kebayang dong mendengar irama Melayu yang bersenandung di radio Gen-FM? Bisa jadi pendengar akan kabur ke radio lain...(moga-moga gak!)
Dengan semangat teman-teman tim roadshow, gak tega juga mengabarkan soal rating dan share yang kurang baik. Kasian. Mereka sudah berusaha maksimal, baik teknis maupun kreatif. Sudah ”berdarah-darah”. Buat mereka, spirit dan pujian adalah kebutuhan yang paling ”mendesak” ketimbang cacian ato makian yang gak jelas (baca: demotivasi). Thanks for all! Khususnya untuk tim Mbak Ai yang dikomandoi Deni. Mungkin bisa melakukan tugas itu: lobi Kepsek, ngatur aktivitas siswa-siswa di off air, dll. Namun, ada hal-hal yang kudu dibagi: on air & off air. Terlalu "rakus" kalo dimakan sendiri. Once again, salut untuk mbak Ai, thx 4 Deni.

Meski butuh ”decision maker”, toh Jakarta ternyata juga butuh tanggungjawab lebih. Ada Lomba Cipta Lagu Muslim yang begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Ada program lain, yang kelihatannya mudah, ternyata butuh perhatian juga. Itulah yang membuat ”ayah” harus meninggalkan ”anak-anaknya”. Maaf, bukan maksud hati meninggalkan tanggungjawab. Ternyata ada yang lebih membutuhkan dibanding harus tinggal berlama-lama di kota Padang dan Pekanbaru.

PADANG...TERNYATA

Daun pohon kelapa itu melambai perlahan-lahan. Angin yang menampar batang serta daun pohon itu sepertinya sudah terbiasa bergoyang-goyang, ke kiri dan ke kanan. Padahal tiupan sang angin, lumayan bisa bikin badan masuk angin.

Matahari yang sedari siang tadi membakar seluruh sudut-sudut jalan dan manusia-manusia yang lalu lalang, perlahan-lahan mulai mengumpat ke ujung laut. Sinar oranye di awan yang keras mulai melunak, berbaur dengan awan hitam. Sebuah tanda bergantian untuk bergaja jagat ini.

Beberapa orang masih setia berada di pingir pantai. Ada yang duduk di atas batu, melihat sunset. Terlihat sepasang ABG sedang berfoto-foto ria. Sebagian lagi sedang bermesraan: berpegangan tangan, atau bermanja-manja, atau sekadar saling menyatakan cinta. Sementara para penjual makanan sibuk meladeni mereka yang sedang kelaparan maupun kehausan. Di jalan, terdengar hiruk pikuk suara mobil dan motor. Ada yang sekadar lewat dan menikmati saat-saat sore. Sementara mereka yang kaya, memarkirkan kendaraan dan memamerkan kecangihan sound system yang ada di dalam mobil mereka.

Allahu Akbar...Allahu Akbar....

Suara adzan itu seolah memecah percakapan beberapa orang yang berada di pingir pantai. Memecah dentuman musik dari sound system anak-anak orang kaya. Menginfokan mereka, khususnya manusia-manusia di pingir pantai agar mengingat sang kuasa. Namun apa realitanya...

Padang ternyata tak seregius yang aku kira...meski tiap anak perempuan wajib memakai jilbab mulai dari SD sampai SMA...

Thursday, July 31, 2008

MEMORABILIA: INTERVIEW ANANDA MIKOLA

Dahulu kala, setelah kelar dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) jurusan Bahasa Jerman, saya langsung diterima di redaksi Majalah HAI. Prosesnya memang cukup singkat, seminggu setelah melamar, saya langsung diinterview HRD dan dikontrak menjadi karyawan PT Gramedia, deh.

Yang membuat saya mudah masuk ke Majalah HAI, karena sebelumnya saya sempat menjadi freelance atau penulis lepas majalah ini. Saya mengirimkan tulisan setiap minggu. Sebenarnya nggak cuma di Majalah HAI, tetapi saya juga mengirim ke beberapa media lain. Menjadi freelance ini saya lakukan pada saat masih mahasiswa di FSUI dan Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) jurusan Jurnalistik.

Nah, beberapa hari ini, saya membuka-buka file lama saya. Ternyata ada beberapa artikel di beberapa majalah yang masih tersimpan, termasuk tulisan saya saat di Majalah HAI. Ya, buat mengenang artikel-artikel tersebut, saya buat kolom di blog ini dengan nama MEMORABILIA.

Memorabilia edisi perdana ini mengenai interview saya dengan Ananda Mikola. Ternyata saya baru ingat, dulu sebelum putra Tinton Soeprapto ini berlaga di Formula 3, saya sempat menginterview. Saya masih ingat, interview berlangsung di paddock di Sentul, Jawa Barat. Saya nggak langsung berjumpa Ananda, tetapi harus menunggu beberapa saat setelah dia latihan di arena balap. Apa isi interviewnya? Silahkan klik foto repro hasil interview saya dengan Ananda Mikola berikut ini.


HAI 20/XIX 23 Mei 1995.

Tuesday, July 22, 2008

INI MEDAN BUNG!


Buat kekasihku Medan bukan surga. Gelar kota metropolis yang disandang Medan, mungkin diukur dari tingkat kemacetan dan disiplin berlalu lintas yang semerawut. Untuk hal yang satu itu, kekasihku sangat sebal dan menganggap bulan madu keduanya ini gatot alias gagal total. Bulan madu di Medan, kota kedua setelah kami mengisi awal-awal pernikahan kami dengan tinggal di Bali selama sepuluh hari.


"Pokoknya aku mau pindah kota!"

Begitu sebalnya istriku pada Medan. Sangat sebal. Baginya, Medan tak ada bagus-bagusnya. Tak ada indah-indahnya. Keindahan alam sebagaimana Puncak. Kesejukan udara. Pohon-pohon rindang. Rumput-rumput hijau. Bukit. Gunung. Sungai yang mengalirkan air jernih. Dan segala yang indah-indah, tak ditemukan. Seandainya harus dinilai, raportnya pasti 99% angka merah.

Becak motor atau biasa disingkat bentor menambah perbendaharaan kendaraan di jalan raya. Sebetulnya aku tahu, sebelum jumlah kendaraan bermotor atau bermobil meningkat di Medan ini, bentor menjadi kendaraan favorit warga Medan. Tapi kekasihku mana mau tahu. Yang terjadi justru malah dia mencak-mencak pada pengemudi bentor yang hampir saja menabrak kekasihku. Hampir saja pakaian yang baru dibelinya di Sunplaza -sebuah plaza terbesar di Madan- robek, terkoyak besi yang ada di belakang jok bentor. Sementara Abangnya cuma senyam-senyum.

Belum masuk ke hotel Garuda, sudah banyak catatan yang menyebalkan yang ditulis kekasihku. Troli di bandara Polonia Medan tak ada satupun tersisa buat awak penumpang pesawat. Menyebalkan sekali. Begitu kami mendarat puluhan porter sudah menawarkan jasa angkut bagasi, sementara troli-troli di bandara itu sudah dijaga ketat mereka. Sekali lagi, menyebalkan! Nampaknya jumlah troli dan jumlah porter sama banyaknya. Hanya penumpang yang beruntunglah yang mendapatkan troli. Pemandangan itu yang menjadi catatan buruk buat kekasihku. Kok tak ada ruang buat penumpang pesawat untuk membawa porternya sendiri ya?

Menuju hotel Garuda, lalu lalang kendaraan menghambat perjalanan kami. Lampu merah tak lagi jadi ukuran kendaraan untuk berhenti. Artinya, baik lampu merah atau kuning, itu sama saja lampu hijau. Itu artinya kita jalan. Tak perlu menengok kiri-kanan kalau-kalau ada kendaraan. Tak perlu lampu sen sebagai tanda arah tujuan. Persetan dengan orang lain. Prinsipnya lindungi diri sendiri dan bisa selamat sampai tujuan.

Ada bentor yang dari kiri jalan bisa langsung memotong ke kanan jalan, ada kendaraan yang tanpa lampu sen memutar balik ke arah kiri. Semua pemandangan itu menyebalkan buat istriku, dan juga aku. Mungkin gara-gara kebiasaan yang kurang baik dalam berlalu lintas ini aku tak melihat polisi lalu lintas. Mereka kapok barangkali menegur pengendara. Jangan-jangan polisinya malah yang kena semprot. Aku sampai berpikir negatif, jangan-jangan prilaku lalu lintas di Jakarta hancur lebur gara-gara kehadiran orang Medan, yang sebagian besar menjadi sopir dan kondektur kendaraan umum, entah itu Mikrolet, Metromini, bus kota, dll. Dalam pikiran negatif itu juga kuduga-duga, seandainya orang-orang Medan ini ditarik dari Jakarta, barangkali lalu lintas mendekati sempurna.

Banyak lubang di tengah kota. Mohon dicatat: lubang di tengah kota! Galian yang mengangga di sepanjang jalan sudah jadi pemandangan umum. Kotor. Becek. Lucunya, aku melihat ada tugu Adipura yang diterima kota Medan. Dua tahun pula adipura didapat. Aku bertanya-tanya siapa kira-kira yang menilai? Pada saat apa dia menilai?

Gedung-gedung tua tak banyak tampak. Hanya beberapa yang gedung tua yang nampaknya masih dipertahankan, dipelihara. Itu pun kondisinya menyedihkan. Nampaknya perlakuan pemerintah kota tak begitu toleran terhadap peninggalan sejarah. Gara-gara keadaan ini juga kekasihku marah. Perlu Anda ketahui, kekasihku adalah Sarjana Arkeologi, dimana sejarah atau penemuan masa lalu menjadi disiplin ilmunya, yang bertahun-tahun dipelajari. Seandainya tak ada lagi tanda-tanda sejarah yang ditinggalkan, tak ada lagi peninggalan masa lalu, lantas apa yang bisa dipersembahkan buat anak cucu kita?

Kekasihku manyun. Ia langsung melemparkan tasnya ke sofa yang ada di dalam kamar di hotel Garuda. Sementara koper besar dibiarkan tergeletak di dekat televisi. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas springbed. Aku cuma bisa tersenyum. Kasihan juga kekasihku. Rupanya aku salah pilih kota. Benar-benar salah! Seharusnya aku pilih Manado atau Kalimantan atau kota-kota lain yang lebih menarik, yang banyak direkomedasikan teman-temanku. Bukan Medan.

Aku jadi ingat slogan yang populer sekali, yang barangkali bisa menenangkanku dan kekasihku selama tinggal di Medan. Sebuah pemutihan masalah atas sebuah situasi yang sulit diubah.

"Ini Medan, Bung!"

Monday, July 21, 2008

KILAS BALIK: PESAWAT GARUDA JATUH!

Kilas Balik adalah salah satu rubrik di blog ini, dimana berisi segala macam peristiwa yang terjadi di Indonesia ini. Saya mengambil peristiwa-peristiwa ini dari berbagai sumber. Foto-foto yang terdapat pada blog ini merupakan foto repro dari media yang menjadi sumber berita yang saya kutip. Oleh karena itu, hak cipta foto ini tetap saya cantumkan.

Episode Kilas Balik kali ini mengenai kecelakaan pesawat terbang. Tepat pada Minggu, 30 Desember 1984, pesawat Garuda Bulungan dengan rute Yogyakarta-Denpasar, jatuh di Pelabuhan Udara International Ngurah Rai.






all photos copyright Suara Pembaruan

Tuesday, July 15, 2008

MEETING DONOR DARAH

Tepat di hari ke-23 di bulan Ramadhan, Jumat, 5 Oktober 2007, teman-teman YPK sempat melakukan meeting kecil. Agenda yang dibahas di meeting itu adalah program donor darah. Tempat yang dipilih buat meeting kali ini di rumah Meta. Tahu dong kenapa rumah Meta yang jadi sasaran? Yap! Meta adalah Kordinator program donor darah YPK. Mereka yang kebetulan hadir di meeting itu adalah Ipang, Peppy, Ijam, Arti, Meta, dan tentunya suaminya Meta: Arief Fadillah Anwar.

Dalam pertemuan itu, teman-teman makin meruncingkan program donor darah ini. Arti berharap kita dapat melakukan donor darah di tahun ini. Mumpung kerja di Palang Merah Indonesia (PMI) pusat di Gatot Subroto, Arti mendapat tugas “melobi” agar bisa dapat jadwal bulan Desember 2007. Lho kok Desember? Yap, karena kita kudu ngajuin proposal program donor darah sebelum sebelum hari-H, Bo! Kalo Arti dapat tugas “melobi” PMI, sebagai Kordinator Meta dapat tugas membuat surat ke PMI.

Rencananya, program donor darah akan berlangsung di sekolah Labs School. Nah, buat mensukseskan program ini, YPK mohon bantuan adik-adik Palabs. Soalnya, Palabs sempat melakukan reuni di sekolah. Ya, berharap dengan bantuan Palabs, program YPK ini bakal lancar. Sebagai salah satu aktivitas Palabs: Acing, diminta bantuannya buat berhubungan sama adik-adik Palabs.

Mumpung elo-elo baca, sekalian aja ngasih info, syarat pihak PMI agar bisa menjalankan program donor darah minimal 50-an pendonor. Syukur-syukur lebih dari angka itu. Nah, buat teman-teman yang berminat menjadi pendonor, silahkan hubungi Ipank, Dina, Meta, atau Arti.

Teman-teman, Yuk, kita sukseskan program donor darah ini! Inga-inga, masih banyak saudara kita yang butuh darah.