Boleh jadi, umur bus Mayasari no 57 ini sebanding dengan usia Dinosaurus Pitekantropus Elektus. Kebenaran soal ini bisa elo-elo baca di buku PMP jilid 2 terbitan tahun 1876, dimana bus ini sudah beroperasi sejak Perang Majapahit. Gw bangga banget masih bisa ngerasain naik bus berwarna hijau kemerah-merahan ini.
Barangkali ada yang belum tahu kenapa bus ini disebut bus Mayasari dan kenapa pula bus ini nomornya 57. Begini, Bro, ceritanya si pemilik punya anak namanya Maya. Anaknya cantik jelita bak putri Raja. Maya ini kebetulan dijodohin sama pria bernama Bram.
Nama boleh sangar, tapi ternyata Bram berkepribadian feminin, bacaannya aja Femina. Bram lebih ngerti cara duduk yang baik, cara makan yang baik pake sendok dan garpu, dan cara mem-blow ketek yang baik. Sebagai seorang wanita baik-baik, Maya nggak terima dengan perjodohan itu. ”Masa cewek macho kayak gue dikasih cowok klemar-klemer? Harusnya jodohin gw dengan Bratt Pitt kek ato Adlof Pusumah kek, masa dengan dia? Huh?! Nggak sudi daku!” Walhasil, Maya kabur dari rumah sambil bawa baju 3 stel pakaian.
Orangtua Maya nangis tujuh hari tujuh malam. Tiba-tiba di tengah kegundahan itu datang sosok wanita muda nan ceria. Namanya Sari. Dia bukan sodara Sarinila ato Sarimin. Dia nggak lain adalah keponakan dari abang iparnya kekek ayahnya Maya. Eng...ing...eng!!!
Kehadiran Sari membawa angin segar. Kenapa? Sari diamanatkan untuk mencari Maya yang hilang entah kemana. Singkatnya, Maya berjumpa dengan Sari. Setelah curhat-curhatan sejenak, Maya memeluk Sari sambil meneteskan air mata. Crot! Namun sayang seribu kali sayang, pada saat mereka berpelukan, datang Bram sambil membawa pistol kaliber 9. Dengan berang, Bram menembaki Maya dan Sari tanpa rasa kemanusiaan dan prikeadilan.
Tewasnya Maya dan Sari membuat duka yang mendalam bagi keluarga besar mereka. Sebagai rasa belasungkawa yang besar dan rasa cinta mereka, keluarga besar membuat prasasti berupa bus yang mereka namai bus Mayasari. Sementara nomor 57 merupakan angka keberuntungan keluarga mereka, karena bertepatan dengan tahlilan, nomor buntut yang mereka pasang berhasil meraih hadiah senilai 6 milion dolar. Nilai itu mengingatkan kita pada film The Six Million Dollar Man.
Gw mengenal bus 57 sejak SMP, bahkan mungkin SD kali ya. Kisah pertemua itu nggak sengaja, ketika bus itu sering hilir mudik lewat sekolah gw yang lokasinya kebetulan di depan jalan Pemuda, Jakarta Timur. Namun pada masa itu gw nggak care dg bus ini. Sebab, emang gw belum butuh, kok. Trayeknya nggak lewat rumah gw yang di Cempaka Putih. Bus ini rutenya Pulogadung ke Blok M, lewat Cawang, MT. Haryono, dan TB Simatupang. Jauh juga ya, Bo?!
Bus ini benar-benar berjasa buat gw dan umat manusia lain yang kebetulan rumahnya dilintasi oleh bus ini. Banyak sekali kejadian yang gw alami di bus ini dan itu memberikan pelajaran yang berharga, juga kisah menarik buat anak, cucu, dan cicik gw kelak.
Gw masih ingat jelas bagaimana para pencopet beraksi dari MT Haryono sampai akhirnya turun di daerah Cawang. Copet yang berjumlah sepuluh orang itu pura-pura makan kuaci, trus nawarin Ibu-Ibu yang kebetulan bawa Blackbery. Dengan semangat ibu-ibu itu senang dong. Kebetulan lagi chatting-chattingan, eh ada orang yang nawarin kuaci. Ketika Ibu itu lengah, seorang teman copet langsung beraksi untuk mengambil dompet yang ada di tas Ibu-Ibu itu. Wush!! Begitu dapat apa yang dimaui, para copet langsung turun.
”Kok ngambilnya cuma dompet sih? Kenapa bukan blackbarry ya?” tanya Ibu keheranan. ”Padahal dompet itu isinya kan cuma celana dalem saya yang belum dicuci...”
Gw juga masih ingat betapa baunya ketek-ketek para penumpang pada saat tangan mereka menggantung di sebuah tiang bus. Ada di antara mereka tetasan keringatnya menetes mengenai wajah penumpang. Sampai-sampai penumpang itu ketagihan menjilati tetesan keringat itu. Ada pula penumpang yang berusaha mencabuti bulu keteknya dengan semangat, sampe-sampe sikutnya menyikut kepala penumpang sebelah.
Buat gw yang paling seru naik Mayasari 57 ini adalah bisa tidur dengan pulas sampe ngorok dan ngiler. Maklum, gw termasuk manusia yang mudah sekali tidur. Dimana pun gw berusaha untuk tidur. Maklum Bro, gw penganut faham: ”bisa tidur adalah sebuah kenikmatan tiada tara”. Maklum juga, jarak tempuh gw dari naik pertama menuju ke kantor cukup jauh, ya sekitar 2 hari lah. Dengan durasi cukup berbobot seperti itu, gw sempat bisa punya waktu makan, tidur, ganti baju, tidur lagi, ngorok, ngiler, kawin, punya anak, dan ngiler. Hmmm... betapa nikmatnya naik 57, euy!
No comments:
Post a Comment