Monday, December 22, 2008
REUNI: KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN
Sedikitnya ada tiga undangan reuni yang bakal gue jalanin di bulan Desember dan Januari ini. Yang pertama reuni SMA. Kedua, reuni dengan teman-teman semasa kuliah. Terakhir, reuni kantor lama.
Sebenarnya, reuni dengan teman-teman SMA sebenarnya nggak terlalu ”menarik” lagi. Kenapa? Tahun lalu gue dan teman-teman sudah pernah berreunian. Udah saling ketemu satu sama lain setelah 19 tahun nggak ketmu. Kalo pun ada yang ketemu, biasanya ketemu karena satu profesi, satu geng waktu SMA dulu, atau satu hati dan sepenanggungan (mungkin ada pria gendut curhat dengan pria gendut yang sudah bisa menguruskan diri, nah si gendut ini ingin kurus).
Reuni dengan teman-teman SMA nggak terlalu ”menarik” lagi, karena kita jadi intens (baca: sering ketemu) setelah big reuni yang 19 tahun itu. Entah itu ketemu karena ada momentum buka puasa, nonton bareng, atau bakti sosial. Namun, yang ”menarik” dari reuni SMA kali ini mungkin lebih karena kali ini lebih akbar, berjumpa dengan senior-senior lain yang jauh lebih tua sampai junior-junior yang jauh lebih muda. Dimana dalam perjumpaan di reuni itu, sebuah angkatan akan menunjukan eksistensinya apakah kompak atau terpecah belah.
Lain lagi dengan reuni dengan teman-teman semasa kuliah. Ini sebenarnya geregetnya lebih ”terasa” ketimbang SMA. Kenapa? Pertama, reuni ini adalah reuni pertama sejak zaman Majapahit, eh salah sejak sepuluh tahun lalu. Kedua, ketemu teman-teman yang dulu satu kost-kosatan, yang sempat melarat bersama, yang pernah nggak makan nasi selama dua hari tapi makan Indomie. Ketiga, preparingnya reuni pun lebih ”murah”, yakni di Facebook. Mulai dari pencarian peserta reuni yang berbagai angkatan, meeting kordinasi, ide-ide acara, sampai berapa dana yang layak dikeluarkan untuk reuni, semua langsung bisa update via Facebook. Beda banget dengan preparing reuni lain yang kudu harus kopi darat, datang ke resto, foto-foto, besok datang lagi cafe, foto-foto lagi. Cape d! Meski udah dua kali (ato tiga kali?) sih ngobrolin reuni di luar kotak Facebook.
Beda lagi dengan reuni dengan kantor lama. Ini juga rada-rada ”unik”. Kenapa? Gue nggak nyangka kalo begitu gue keluar dari kantor lama, nggak berhubungan dengan kantor lama lagi. Bukannya gue mo memutuskan tali silaturahmi, bukan. Kalo pikiran loe begitu, ya salah besar. Maksud gue, ternyata kantor lama gue ternyata juga satu grub dengan kantor baru gue. Walah! Persis dengan pepatah: tak akan lari gunung kukejar. Mo pindah kemana pun kalo profesinya masih itu-itu juga ya bakal ketemuan. Ya itulah begonya gue.
Reuni, betapa pun menarik ato ”tidak menarik” atau ”unik” tetaplah relatif. Gue bilang menarik buat orang belum tentu. Sebaliknya buat gue momentumnya sudah nggak greget lagi, eh ternyata justru buat orang lain keren, mo bilang apa hayo? Atau gue bilang ”unik” tapi ternyata ngeselin. Jadi relatif kan? Terlepas dari teori relativitas itu, ada sisi lain di balik kita berreuni ini. Sisi ini gue sebut sebagai: kesempatan dalam kesempitan.
Kenapa gue sebut ”kesempatan dalam kesempitan”? Sedikitnya ada tiga point kesempatan dalam sebuah waktu reuni yang sempit. Pertama, reuni sebagai ajang pamer. Reuni sebagai ajang cari kerjaan dalam konteks sesungguhnya. Terakhir, reuni cuma sebagai networking.
Reuni buat sebagian orang menjadi tempat eksistensi diri. Bahwa dalam satu hari reuni, kita bisa memperlihatkan fisik kita, kekayaan kita, profesi kita, keberhasilan kita, dan hal-hal yang sifatnya narsis maupun riya bercampur jadi satu.
Tiba-tiba si A terlihat sangat tampan, beda banget pada saat di SMA dulu. Wajahnya jelek, hitam enggak, putih juga nggak. Rambutnya yang dulu keriting, sekarang keribo. Perubahan wajah itu membuat A bangga. Dengan bangga si A bilang: ”Alhamdulillah, gue sempat memutihkan wajah gue dengan kapur tulis, dan mengkritingkan rambut gue keribokan gue gara-gara dicangkok”.
Tiba-tiba si B datang dengan kalung, gelang, dan anting bertahta berlian. Datang ke reuni pun sudah nggak naik Kopaja 66 lagi, tapi sudah naik CRV keluaran terbaru. Seluruh teman-teman kampusnya tajub dengan perbedaan itu: wow!!!. Si B dengan enteng menjawab: ”Ah, ini karena bisnis martabak gue sudah di-franchise-kan sampai ke Arab”. Sok-sok rendah hati, tapi menyebalkan.
Berbeda dengan anggota reuni yang datang untuk cari kerjaan. Begitu masuk ke tempat reuni, orang model begini langsung pasang aksi mencari ”korban”. ”Korban” di sini adalah teman-temannya yang terlihat sudah berhasil, sudah sukses, dimana secara kasat mata terlihat dengan pakaian yang branded, sepatu mengkilat, wajah licin, jidat licin, parfum mahal, rambut model terbaru, dan identitas fisik lain. Padahal manusia seperti itu belum tentu sukses. Ingat: don’t judge a book by its cover. Sekarang ini orang sukses kadang sok-sok “dimiskin-miskinkan”: pakai t-shirt aja, celana pendek, rambut nggak disisir, nggak sampo-an, nggak pake parfum, bahkan nggak pake celana dalam.
Para pencari kerja di reuni biasanya akan langsung menuju sasaran teman yang sukses. Pertama basa-basi, kedua basa-basi lagi, ketiga basa-basi, lama kelamaan jadi basi. Belum sempat minta kerjaan, temannya yang dibilang sukses, yang katanya General Manager, yang katanya Producer, yang katanya Creative Director, langsung cabut meninggalkan kita, yang lagi nyari kerja, tanpa kesan.
”Wah, kok si C kabur sih? Padahal kan gue lagi butuh dikerjain...”
Nggak beda dengan orang yang reuni cari kerja, orang yang datang cuma cari networking juga sama. Maksudnya, begitu tiba di tempat reuni, Network Builder (istilah untuk mereka yang ingin membangun ”jaringan”), langsung pasang aksi dengan tuker-tukeran kartu nama. Dari satu teman ke teman lain, tuker-tukeran kartu nama. Kenapa kartu nama? Biasanya otak si Network Builder akan langsung berputar, begitu di kartu nama temannya tertulis sebuah profesi. Dia langsung merelevansikan dengan profesinya saat ini. ”Ya, sapa tahu bisa kerjasama antarjenis kelamin”.
Sebenarnya ada satu niat mulia yang dimanfaatkan pas reuni, yakni ajang cari jodoh. Nah, kalo niatnya cari jodoh, pasti treatment-nya beda. Orang yang mo cari jodoh preparingnya kudu perfect! Kalo biasanya pergi cuma pake sarung, kali ini dia harus pakai pakaian komplet, pake jas, termasuk celana kolor. Kalo biasanya si wanita pencari jodoh nggak pernah pakai diodoran, agar menarik calon suami pas di reuni pake minyak cap nyong-nyong. Intinya, baik pria atao wanita yang punya niat cari jodoh di ajang reuni, kudu menjual diri setinggi-tingginya.
Anyway, apapun pilihan reuni yang elo mo ambil, kesempatan reuni adalah momen manis yang kudu elo hadiri. Ini seperti yang gue hadiri pas pelepasan teman senior gue di kantor lama yang mau pensiun: mas Wedha, mas Kailan, dan mas Q-bro (lihat foto di atas, coba tebak mana pria yang sempat pacaran sama Achmad Albar?). Gue anggap, perjumpaan Selasa lalu itu adalah sebuah ”reuni kecil”. Maklum, sejak keluar dari kantor lama itu, gue belum pernah ketemu tiga mahkluk yang mau pensiun itu. Di situ gue cuma pasang aksi sebagai Network Builder. Sementara sudah gue duga, ada beberapa senior yang juga mencuri-curi ”kesempatan dalam kesempitan” ini. Siapa dia? Au ah, gelap!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment