Monday, December 22, 2008

SUKSES DALAM PERSPEKTIF GW - Episode Number I


Dahulu kala, gw kira ukuran sukses terlihat dari penampilannya. Tiap melihat ada pria berkulit putih dengan pakaian rapi, gw menduga dia pasti sukses. Ketika melihat wanita memakai make up menor (lipstick tebal, bedak tebal, dan muka tebal) plus pakaian yang kinclong, gw yakin banget dia pasti sukses. Ternyata, gw salah besar!

Maklumlah, gw masih tolol. Memang sih, pria dengan kulit putih mulus tanpa jerawat itu masuk kategori sukses. Tapi sukses sebatas merawat kulit. Pasti sehabis naik bemo, dia langsung keramas eh maksudnya cuci muka. Tiap ada jerawat, pria model begini langsung memberikan decolgin supaya jerawatnya langsung pecah. Pria-pria yang doyan merawat seperti ini masuk kategori metroseksual.

Pria-pria metroseksual memang rajin merawat diri. Mereka harus tampil segar, dandy, dan wangi. Uang mereka banyak dihabiskan untuk merawat diri dan gaul. Kalo nggak ke Starbuck, ya Coffe Bean. Begitu akhir bulan, gesek sana-sini dengan Credit Card-nya. Tapi kalo udah over limit, ngopi-nya cukup di warteg. Yap, mereka memang belum tentu sukses yang gw maksud. Psudo sukses!

Nggak beda dengan para wanita yang berpenampilan menor. Gw kira mereka sukses. Dengan wardrobe yang trandy, product branded, dandanan bencong ala taman lawang, trus turun-naik mobil kantor, gw kira wanita-wanita ini sukses. Jadi role model gw supaya gw ikut-ikut sukses, ternyata belum tentu. Banyak wanita-wanita yang seperti ini, yang kerja di perusahaan bonafit, gajinya nggak beda sama office boy Bank Indonesia (BI).

”Yang penting penampilan Bro,” aku seorang wanita di salah satu kantor majalah terkemuka.

Lalu apa ukuran sukses gw?

Ukuran sukses gw simple, yakni dasi. Inget! Ukuran sukses gw ini terpikirkan pada saat gw masih tolol. Artinya waktu zaman dahulu kala. Kenapa dasi? Menurut gw, dasi itu mencerminkan kesuksesan. Seseorang yang pakai dasi, orang itu pasti sukses lahir maupun batin.

Mata gw pasti akan berbinar-binar begitu melihat pria-pria muda yang pakai dasi. Mereka pasti sukses. Uang mereka pasti banyak. Mobil mereka mengkilap dengan velg yang harganya sampai puluhan juta itu. ”Mereka ini mungkin yang disebut sebagai Executive Muda,” pikir gw waktu itu.

Selama masih tolol, gw selalu iri dengan pria-pria berdasi yang hilir mudik di depan gw. Setiap kali memandang mereka, gw selalu punya harapan. Sebuah harapan yang ujung-ujungnya membentuk sebuah cita-cita. Apakah gerangan? Gw harus pake dasi supaya gw sukses. Gw nggak peduli pola pikir yang terbalik seperti itu. Yang penting, gw harus pake dasi.

Dalam pikiran gw, nggak ada sedikit pun terpikir, mereka yang pakai dasi nggak 100% sukses. Pikiran gw waktu itu memang terlalu polos, naif, ya tolol lah. Gw nggak tahu kalo pada akhirnya banyak pria-pria berdasi adalah koruptor, orang yang merugikan uang negara, penerima maupun pemberi suap, dan menggelapkan jabatan.

Dasi cuma sebagai simbol orang itu beradab, nggak masuk kategori primitif. Ya, kalo dianalogikan mirip seperti gelar Haji atau Hajjah. Supaya terlihat alim, mau merubah image, dihormti warga kampung, cukup pergi ke Mekkah, pulang pasti langsung dipanggil: ”Pak Haji!” Sebuah gelar terhormat bukan?

Memang sih diakui, nggak semua pria-pria berdasi koruptor atau punya attittuted negatif. Banyak pula yang hidupnya berada di jalan yang benar. Nggak menyeleweng terlalu extreem. Masih balance lah antara dunia dan akhirat. Ini bisa kita lihat lewat dasi-nya. Kalo dasinya nggak branded, agak lusuh, warnanya itu-itu aja, motifnya ngga pernah gonta-ganti, itu pasti pria berdasi yang hidupnya pas-pasan. Dimana mereka memakai dasi cuma karena terpaksa harus pake.

Sampai dengan lulus kuliah, ukuran kesuksesan masih tercurah pada dasi. Nggak heran pada saat cari kerja, gw picky alias milih-milih. Gw mau kerja kalo kantornya mengharuskan gw pake dasi. Kalo nggak pake dasi, mohon maaf, gw akan tolak dengan halus.

”Jadi bisa nggak Mas interview besok Senin?” tanya salah seorang staff HRD di sebuah perusahaan terkemuka.

”Nanti kalo kerja pakai dasi kan?”

”Ya terserah Mas mau pake dasi boleh, nggak pake juga nggak apa-apa...”

”Memang kerjaan saya nantinya apa sih, Pak?”

”Dempulin mobil plus ngecat mobil di bengkel...”

Beberapa lamaran terpaksa gw tolak. Memang gw kelihatan sok banget waktu itu. Padahal cari kerjaan susah banget. Nggak tahu kenapa Tuhan baik banget sama gw. Ini terlihat dari lamaran-lamaran yang gw kirim, banyak yang diterima tapi gw tolak. Alasannya ya itu tadi: gw harus pake dasi selama kerja.

Alhamdullialah akhirnya gw dapat juga kerja yang memaksa gw setiap haru harus pake dasi. Begitu HRD mengetuk palu sebagai tanda diterima kerja di kantor itu, gw langsung jejingkrakkan. Pekerjaan gw memang berat. Gw jadi Marketing. Tapi gw optimis dari kantor ini gw pasti bisa memiliki kesempatan sukses.

Sehari, seminggu, dan sampai sebulan, gw kerja di situ. Nafas gw ngos-ngosan. Apa yang gw bayangkan nggak seindah aslinya. Gw benar-benar kehabisan energi dan kesabaran. Ternyata sukses itu nggak mudah, nggak cuma pake dasi.

”Wah, elo benar-benar hebat!” kata teman gw.

”Hebat dari Hongkong?!”

”Oh, elo dari Hongkong?” tanya temen gw tolol.

”Dengkul loe dari Hongkong!”

”Elo pasti udah jadi General Manager, at least Manager deh,” kata temen gw lagi sok menebak.

”Jangan menghina lo! Nggak tahu dagangan gw seharian nggak laku?!”

”Kok menghina? Buktinya elo pake dasi dan bawa tas yang pasti isinya uang. Elo pasti pengusaha...”

”Gw ini pedagang dasi tahu?! Tas ini semuanya isinya dasi. Nih makan tuh dasi!” Gw langsung melempar puluhan dasi ke wajah temen gw.

No comments: