Tuesday, June 30, 2009

MENDING KITA INTROSPEKSI DIRI, YA NGGAK?

Kejadian pada Minggu, 24 Mei 2009 sekitar pukul 16.00 di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, meninggalkan bekas sangat dalam di hati keluarga kami. Istri saya yang sedang hamil lima bulan menangis dan berteriak-teriak histeris diiringi tangis ketakutan bocah empat tahun, kakaknya tujuh tahun, dan yang paling besar 14 tahun.

Kejadian itu berawal dari digebraknya kap mesin mobil oleh salah seorang dari rombongan pengendara sepeda motor besar saat mereka menyusul mobil saya. Mobil dan rombongan sama-sama melaju kea rah Puncak menuju Cisarua pada saat jalan dibuka satu arah turun sehingga seluruh badan jalan dalam keadaan padat. Sangat sulit untuk berpindah lajur dan hamper tak mungkin memberi kesempatan lewat kepada rombongan sepeda motor gede tersebut.

Setelah bersusah payah dan akhirnya dapat sedikit menyelip ke kiri untuk memberi jalan rombongan tersebut, salah seorang menggebrak kap mobil dengan keras dan tiba-tiba, membuat kami terkejut dan tangan secara refleks menyentuh klakson. Rupanya, bunyi klakson itu dianggap sebagai menantang. Mereka langsung melintangkan beberapa sepeda motor gede di depan dan di belakang mobil hingga posisi terjepit dan tak dapat bergerak. Lalu, terjadilah tindak kekerasan tersebut.

Mereka berkerumun mengelilingi mobil sambil mengedor-gedor badan mobil, mengumpat, meludahi, dan melayangi bogem mentah ke muka saya yang tertahan di bangku pengemudi tanpa dapat melakukan perlawan karena pintu mobil tidak dapat dibuka. Pintu mobil sengaja ditahan dari luar oleh salah seorang dari mereka.

Suasana baru mereda ketika seorang polisi dating mendekat ke arah mobil dan rombongan pengemudi sepeda motor gede (moge) serentak meninggalkan tempat. Setelah kejadian, saya langsung melaporkan kepada Kepolisian Sektor Cisarua, Bogor. Di sini, saya berterima kasih karena laporan langsung dilayani dan ditanggapi dengan baik, lengkap dengan visum dokter.

Semoga kejadian yang menimpa keluarga saya ini, yang juga mengakibatkan kemacetan luar biasa di Jalan Raya Puncak, tidak terulang lagi.


Bagaimana komentar Anda setelah membaca kisah di atas?

Kisah nyata tersebut saya ambil dari kolom Redaksi YTH berjudul Ulah Pengendara Moge, Istri dan Anak Menangis Histeris. Kolom di harian Kompas, Sabtu, 13 Juni 2009 tersebut ditulis oleh Pak Edwin Sudibyo yang beralamat di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta. Ketika pertama kali membaca, terus terang saya geram.


Ketidakdisiplinan motor memang nggak perlu diragukan lagi. Saya nggak tahu, harus diapakan para Pengendara motor itu yang nggak pake helem, melaju di jalur cepat, melawan arus, berbelok di tanda dilarang belok, melaju di trotoar tempat pejalan kaki, dll.

“Biar mampus!” herdik saya dalam hati.

Terus terang pengalaman Pak Edwin, juga dialami beberapa kali oleh saya. Saya langsung membayangkan serombongan motor yang seringkali ugal-ugalan di jalan. Nggak cuma motor gede (moge), tapi motor-motor model 2 tak maupun 4 tak. Meski berada di lingkungan organisasi formal dengan AD/ ART yang matab punya, namun kelakuan geng-geng motor ini nol besar. Selama melakukan iring-iringan, segerombongan motor nggak akan pernah mau mengalah. Percaya deh! Mereka selalu ingin berada di depan, mendahului kendaraan-kendaraan yang ada di depan mereka. Maklumlah, masing-masing Pengendara nggak mau ketinggalan iring-iringan dari Pengendara yang ada di depannya.

Terus terang saya salah satu orang yang benci banget kalo berjumpa dengan iring-iringan motor (mobil juga sih). Why? Ya itu tadi, geng motor nggak pernah mau mengalah. Rasa-rasanya kalo udah berada di atas jok, mereka bak Raja Jalanan yang nggak boleh ada kendaraan lain menyalip. Padahal saya yakin, organisasi mereka ini bertujuan mulia. Salah satunya mendisiplinkan para Pengendara motor secara umum yang ada di jalan raya, ya nggak? Kalo Pengendara-Pengendara di jalan yang nggak ikut geng motor belum disiplin, at least anggota gang tersebut yang lebih dulu punya etika dalam berkendaraan. Namun sayang, ketika terjadi iring-iringan, tujuan mulia geng motor itu seringkali hilang lenyap. Bablas angin’e, eh maksudnya bablas etika’e.


Ini salah satu kelakuan minus Pengendara motor yang sempat terrekam oleh kamera saya. Tempat yang berada di jalan Letjen Soeprapto ini menjadi tempat favorit motor-motor buat melawan arus. Mereka ini memang gokil abis! Udah dipasangin pembatas dari beton supaya nggak melanggar, eh mayoritas Pengendara motor dengan sadar melakukan pelanggaran. Kalo saya jadi Kapolsek Cempaka Putih, mereka yang tertangkap basah melanggar, saya akan masukkan kepala mereka ke toilet yang berisi tokai. Biar mereka marasakan kenikmatan tokai-tokai yang mengapung itu.

But!

Saya penasaran soal surat yang ditulis Pak Edwin. Rasa penasaran ini juga bertujuan memperkuat dukungan saya pada beliau. Sebagai Pengendara mobil yang pernah ter-dzolimi, saya ingin tahu kisah nyata tersebut dengan detail. Yang ingin saya ketahui, geng moge apa yang membuat keluarga Pak Edwin sampai histeris? Soalnya setahu saya mayoritas pemilik moge itu mereka yang well educated alias punya otak. Tapi kok sampai melakukan tindak kekerasan: mengumpat, meludah, dan melayangkan bogem mentah?

Ternyata eh ternyata, ada missleading yang membuat image geng motor tercemar atas surat Pak Edwin itu. Ada kisah yang nggak diungkapkan dalam surat itu. Ini setelah saya melakukan investigasi (baca: check dan cross check) via rekan-rekan saya yang kebetulan mengenal seluruh geng moge di Indonesia ini.

“Ada hal yang ditutupi oleh Pak Edwin,” jelas rekan saya yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan otomotif. Sebut saja namanya D. “Sebenarnya ada salah seorang Pengendara moge yang sempat diserempet mobil milik Pak Edwin dan itulah yang membuat anggota marah.”

“Dia (Pak Edwin) itu nggak ngasih jalan rombongan iring-iringan moge,” kata rekan saya yang lain berinisial R. “Mobil Bapak itu ngebut dan menyamai kecepatan moge yang berada di sampingnya. Ini dilakukan karena dia nggak mau ngasih jalan moge itu.”


Terkadar otak iseng saya berpikir. Kapan ya motor di Indonesia ini dibatasi jumlahnya? Motor-motor yang beredar sangat selektif dipilih. Ini bertujuan buat membatasi juga jumlah para Pelanggar lalu lintas.

Menurut versi rekan D, Pengendara yang diserempet Pak Edwin sempat terjatuh. Sedang versi rekan R, Pengendara itu nggak jatuh, tapi hampir jatuh. Meski punya versi berbeda, baik rekan D dan rekan R tetap sependapat, bahwa yang melakukan tindak kekerasan di Jalan Puncak Puncak pada Minggu, 24 Mei 2009 lalu bukan anggota klub HDCI maupun HOG. Sekadar info, dua nama itu nggak lain adalah dua organisasi para Pemilik moge bermerek Harley Davidson.

Jadi geng mana dong?

Belum jelas klub moge apa. Meski begitu, kejadian yang dialami Pak Edwin harusnya bisa menjadi pelajaran bagi klub-klub moge maupun Pak Edwin sendiri. Buat klub moge, aktivitas iring-iringan atau konvoi yang seringkali dilakukan oleh mereka, seharusnya jangan sampai membahayakan orang lain. Nggak semua orang mengerti arti “memberi jalan”. Barangkali buat Pak Edwin pun begitu. Iring-iringan itu nggak begitu penting atau not urgent kayak iring-iringan Pejabat Negara. Nggak heran Pengendara-Pengendara mobil kayak Pak Edwin ini nggak mau memberi jalan pada rombongan iring-iringan moge. Itu hak mereka dong? Maksudnya hak Pengendara mobil yang nggak memberikan jalan pada orang lain. Bukankah sama-sama membayar pajak?

“Kan nggak ada yang urgent? Ngapain menyusul kendaraan di depannya? Kecuali ada yang mau dioperasi atau hamil...”

“Kan bukan Pejabat Negara? Kalo rombongan iring-iringan Pejabat Negara memang kudu diprioritaskan, karena ada Undang-Undang tentang protokoler yang mengatur hal itu...”

"Kan bukan sedang mengejar teroris sampai ngebut-ngebut di jalan?"


Selama saya diboncengin Harley Davidson sama Bokap, kayak-kayaknya Bokap nggak pernah ugal-ugalan atau membuat marah mobil. Prinsip bokap, kekerasan nggak menyelesaikan masalah. Kekerasan akan menambah jumlah musuh-musuh kita.

Namun begitu, sebagai Pengendara mobil yang budiman, Pak Edwin barangkali nggak perlu ngebut atau nggak perlu pelit-pelit amat memberi jalan. Kadangkala, di jalan kita memang kudu menahan ego kita. Bukankah “memberi” lebih nikmat daripada “menerima”? Saya yakin, kalo ada di posisi Pak Edwin, saya juga pasti akan kesal melihat iring-iringingan itu. Namun, dengan perasaan kesal, saya akan menurunkan emosi dan ego saya untuk memberikan jalan. Ngapain juga nyari perkara? Ngapain juga nyari penyakit? Wake up man! Mereka itu serombongan! Sementara kita? Cuma sekeluarga. Meski terkadang benar, kita tetap aja salah di mata rombongan itu.

Kalo lagi marah, coba deh baca doa menghilangkan rasa amarah: a'uudzubillahi minasy syaithaanir rajiimi. Allaahummaghfirlii dzanbii wadzhab ghaidza qalbii wa ajjirnii minasy suaithaanir rajiimi (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang tekutuk. Ya, Allah, ampunilah dosaku dan hilangkanlah kepanasan hatiku dan lepaskanlah aku dari ganguan setan yang tekutuk). Dijamin kalo udah baca doa ini, hati kita mak nyos!

Pak Edwin barangkali kudu menulis surat dengan kronologis yang akurat. Kisah nyata yang terjadi di Jalan Raya Puncak itu seharusnya nggak ada yang di-delate. Kekurangakuratan kisah tersebut, jadi membuat Pembaca Redaksi YTH Kompas missleading atau missperseption. Image moge jadi tercoreng moreng. Ingat, lho! Sebuah surat (termasuk surat elektronik atau e-mail) belakangan bisa masuk ke dalam sebuah Pengadilan kalo dianggap mencemarkan nama baik. Tentu kita belum lupa dong dengan kasus Prita Mulyasari yang digugat Rumah Sakit OMNI International, Tangerang gara-gara dianggap mencemarkan nama baik?

Padahal saya tahu, pemilik moge itu pasti orang-orang terhormat. Nggak cuma Pengusaha, tapi Pejabat-Pejabat Pemerintah juga doyan moge. Ini artinya apa? Artinya, mereka itu pasti well-educated. Tahu aturan. Punya etika berkendaraan. Nggak kayak geng-geng sepeda motor lain yang mayoritas nggak disiplin (berani bertaruh?). Dengan kasus ini, saya jadi melihat moge kayak digoyang-goyang alias dicemarkan. Selama ini berjuta motif buat menggoyang geng moge, memang kerap dilakukan oleh oknum-oknum. Entah faktor syirik atau dengki. Saya sih nggak menyalahkan Pak Edwin 100%, juga geng-geng moge. Nah, meding kita sama-sama introspeksi diri, ya nggak? Bukankah introspeksi diri lebih baik daripada saling salah menyalahkan?


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sunday, June 28, 2009

BUKAN KANDANG SEMBARANG KANDANG

Inilah alam kebebasan anak-anak dan seorang bernama Raden Rizki Mulyawan Kartanegara Hayang. Alam kebebasan itu bernama Kandank Jurang Doank (KJD), sedang pria yang memjadi pembebas dikenal dengan nama Dik Doank.

Siapapun akan kagum dengan KJD yang menjadi sekolah alam. Bayangkan, di tempat ini segala yang nggak ada di Jakarta, membangkitkan sebuah kerinduan. Ada sawah, banyak pohon, halaman luas, dan tempat bermain. KJD nggak dibuat sebagaimana sekolah-sekolah umumnya, yang dilapisi tembok besar dan dua orang Security berwajah sangar. Sekolah ini dibuat terbuka agar menyatu dengan alam.



Lihatlah sebuah tempat bernama Sling yang merupakan kependekkan dari Setengah Lingkaran. Di tempat terbuka yang berbentuk setengah lingkaran, siswa-siswa dapat belajar sambil menikmati keindahan alam.

Dik tentu nggak mengira, kini murid sekolah alam KJD udah tercatat lebih dari 1.500 siswa. Padahal sejak didirikan di Kompleks Angkasa Pura, Kemayoran Jakarta Pusat pada tahun 1993, Dik cuma punya impian sederhana, yakni sebuah sekolah alam. Alhamdulillah, rupanya Allah baik pada pria ini. Pada tahun 1995, Dik Doank membeli tanah di Kampung Sawah Jurang Mangu, Ciputat dan pindah ke lokasi itu. Sedikit demi sedikit, tanahnya semakin luas dan luas.



Di sekolah alam KJD ini diajarkan beberapa mata pelajaran keahlian, diantaranya menggambar, menari, sepak bola, melawak, membuat patung dari tanah liat, dan mendongeng. Nggak ada silabus ataupun jadwal belajar tetap buat anak didiknya. Para siswa cukup datang dan langsung mengikuti kegiatan yang ada.

"Prinsip dasar di sekolah ini kita menumbuhkan dua prinsip rasa yaitu kreatif dan empati. Apalagi seorang anak mempunyai dua hal ini sukses hanya tinggal pilihan. Dan kita berharap dari tempat inilah bisa melahirkan pemimpin–pemimpin yang mempunyai visi dengan sense of art," tandas Dik Doank yang Penulis kutip pada acara Samsung Hope di Kandank Jurank (18/2/09).



Kalo mampir ke KJD, elo pasti bakal melihat aneka endorse yang ada di sekitar situ. Ada endorse semen, minuman kebugaran, termasuk bantuan Samsung ini. KJD ini menjadi salah satu dari tiga organisasi nirlaba Indonesia yang dipercaya mengelola dana bantuan sebesar US$10.000 dari Samsung Hope 2008. Program Samsung Hope 2008 ini merupakan sebuah inisiatif program korporat Samsung terbaru yang bertujuan menjembatani masyarakat untuk bersama–sama membantu anak–anak yang kurang beruntung.

Beruntunglah buat Dik. Tapi mengapa kabarnya jumlah siswa KJD doang menyusut? Yap! Kini kira-kira tinggal 500 anak yang bersekolah di KJD. Tapi bukan gara-gara Dik bangkrut, lho. Ada alasan yang masuk akal. What is that? Mending sedikit daripada banyak tapi nggak selektif. Nah, soal selektif, Dik melakukan seleksi penerimaan siswa. Ini bertujuan agar bimbingan belajarnya dapat berjalan dengan efektif. Yang unik dalam syarat seleksi penerimaannya, siswa cuma dites menggambar Garuda Pancasila.

Hah Garuda Pancasila?



"Sebenarnya kita tidak mencari anak yang pintar gambar. Tapi dengan menggambar kita tahu niat mereka, kesungguhan mereka, kebersamaan mereka, dan kejujuran mereka. Kalo ada yang menggambar dengan cara mencontek, kita nggak akan terima. Hal–hal seperti itulah yang sekarang udah menghilang dari kebhinekaan kita," jelas Dik Doank. Nyambung nggak sih?

Saturday, June 27, 2009

CADDY ITU “PELACUR TERSELUBUNG”! AH, ITU CUMA STEREOTYPE!

Ketika kasus kematian Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen (50) melibatkan nama Rani Juliani (23), seketika profesi sebagai Caddy tercoreng moreng. Makumlah, Rani tercatat sebagai Caddy di Lapangan Golf Modernland, Tangerang. Caddy-Caddy yang awalnya nggak ngerti apa-apa, jadi minder. Mereka pasti bertanya: salah apa kami ini?

Sejak kasus itu merebak ke khalayak, orang-orang kampung jadi kenal istilah Caddy. Kalo sebelumnya nggak ngerti apa-apa (boro-boro tahu golf), mereka yang berasal kelas bawah itu tadi, jadi ngerti ada profesi di lapangan golf yang biasa membawakan stick-stick golf para Pemain golf. Namun, mereka ini juga mendapat tambahan info negatif dari profesi Caddy, yakni Caddy adalah sebuah profesi “Pelacur terselubung”.

Cap “Palacur terselubung” jelas menyakitkan hati para Caddy. Mereka pasti nggak nyangka profesi yang dilakukan ini berubah menjadi negatif. Persis kayak “Pemijat plus-plus”. Bedanya, Caddy adalah “Pelacur” kelas elit, Pemijat dianggap “Pelacur” kelas bawah.


Nggak semua orang kaya punya disiplin tinggi. Biar orang itu well educated, sekolah di luar negeri, kaya raya, punya mobil puluhan, tapi kalo otaknya nggak ada, tetap aja kelakuannya sama kayak sopir Metromini yang cuek parkir sembarangan.

Peran media cetak maupun eletronik semakin “memperkeruh” image Caddy yang nggak bener itu. Negatif. Beberapa Caddy diinterview secara terselubung, sementara Reporter-nya sok bergaya Pemain golf hidung belang. Setelah main golf, Pamain golf mengajak Caddy untuk berkencan dan ujung-ujungnya bisa ML. Investigasi Reporter kebetulan mendapat Caddy yang merupakan “Pelacur terselubung” itu. Nggak heran kalo hasil investigasi itu diberitakan dan kesimpulan Caddy sebagai “Pelacur terselubung” pun terbukti.

Caddy kamudian menjadi musuh ibu-ibu yang para suami mereka gemar main golf. Ibu-Ibu jadi faham mengapa suami-suami mereka suka berlama-lama di lapangan golf. Padahal profesi Caddy nggak cuma kaum wanita, karena ada juga yang berjenis kelamin pria. Kebetulan pihak lapangan golf banyak menyediakan Caddy yang berwujud wanita. Kebetulan pula mayoritas Pemain golf adalah bapak-bapak. So kalo pria ketemu pria kayak jeruk ketemu jeruk dong? Kecuali Pemain golf-nya guy atau lebih suka menggunakan jasa Caddy pria agar menghindari terjadi fitnah, ya itu lain soal.

Rani jelas-jelas menghancurkan image Caddy. Ketika dipanggil ke Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum, Polda Metro Jaya pun, wajahnya nggak nampak menunjukan rasa bersalah barang sedikit pun. Di hadapan puluhan wartawan, dia cuma tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya bak seorang Selebriti yang ingin melakukan jumpa fans. Anjing banget nggak sih tuh wanita? Nggak ada sense of crisis bahwa dirinya teribat dalam sebuah kasus pembunuhan yang menghebohkan negara. Nggak ada pula guilty feeling kalo gara-gara dirinya udah melukai para Caddy yang benar-benar mencari makan dari membantu membawakan stick golf.

Caddy dianggap “Pelacur terselubung” merupakan lebelling yang asalnya dari sebuah stereotype. Peran media dan sikap Rani yang nggak malu-malu itu membentuk stereotype tetang Caddy. Media mengeneralisasi, membuat simplifikasi (baca: menyederhanakan sesuatu hal), kemudian diperkuat dengan gaya selebriti Rani. Inilah akhirnya melahirkan sebuah konsensus masyarakat yang memandang picik profesi bernama Caddy itu. Para Caddy pun bertanya lagi: salah apa kami ini?

Dalam ilmu sosiologi, terdapat pembahasan masalah stereotype ini. Sederhananya, stereotype merupakan sebuah cara pandang orang atau sekelompok masyarakat yang menyederhanakan sesuatu hal tanpa melakukan observasi yang lebih mendalam terlebih dahulu. Oleh karena kurang melakukan observasi, maka cara pandang mereka cenderung sangat picik.

Stereotype bisa buruk, bisa juga baik. Kita pasti pernah mendengar, nyong Ambon itu jago nyanyi dan main musik. Ini sesungguhnya stereotype. Asal muasal stereotype ini pasti gara-gara melihat banyak penyanyi-penyanyi Ambon yang muncul ke permukaan. Sebut saja Glen Fredly dan Andre Hehanusa. Sebelum mereka ada nama-nama besar kayak Ade Manuhutu, Enteng Tanamal, Broery Marantika, Melky Goeslow, Harvey Malaihollo, Lex’s Trio, dan banyak lagi. Nah, masyarakat langsung mengeneralisasi secara picik, bahwa semua orang Ambon jago nyanyi dan main musik. Padahal belum tentu!

“Wah, elo nyong Ambon murtad,” kata si A pada si B yang kebetulan berdarah Maluku, Ambon.

“Lho, kenapa?” si B bingung.

“Habis elo satu-satunya nyong Ambon yang nggak bisa nyanyi!”

Bahwa stereotype yang dibuat oleh orang-orang mengenai Ambon bisa nyanyi tanpa penelitian mendalam. Bayangkan kalo percakapan antara si A dan B itu di atas tadi itu benar-benar terjadi, pasti si B yang berdarah Ambon akan malu hati. Memangnya orang Ambon harus pandai menyanyi? Memangnya ada sangsi -baik sangsi adat maupun agama- apabila nyong Ambon nggak bisa nyanyi akan dihukum? Itulah stereotype saudara-saudara!


Nggak semua Tukang Pijat itu Pelacur. Pijat plus-plus itu kalo Tukang Pijat-nya asal-asalan. Niatnya membuat orang yang dipijat terangsang dan ujung-ujungnya ML. Tukang Pijat yang biasa minjat gw ini, nggak masuk kategori Tukang Pijat plus-plus. Itu cuma stereotype.

Contoh stereotype di atas buruk, tapi bisa berubah baik. Bagaimana caranya? Kalo si B ternyata kebetulan bisa nyanyi dan main musik, maka orang-orang tetap akan memberikan konsensus bahwa nyong Ambon benar jago nyanyi. Sementara kalo stereotype buruk, ya itu tadi, si B dianggap nyong Ambon yang murtad.

Stereotype juga bisa by design alias diciptakan. Biasanya kalo by design ini dilakukan atas motif-motif tertentu, bisa motif politik maupun ekonomi. Berita yang paling hangat terjadi soal isu istri Boediono yang non-muslim atau pasangan SBY-Boediono yang dianggap kurang mencerminkan keislaman. Lawan politik mereka -terutama JK dan Wiranto- mengangkat isu soal jilbab. Bahwa alangkah indah apabila istri RI 1 dan RI 2 menggunakan jilbab.

“Memangnya wanita berjilbab selalu baik?”

“Memangnya wanita berjilbab nggak ikut mendukung suami korupsi?”

“Memangnya wanita berjilbab nggak punya keinginan mengekpoitasi anak?”

“Memangnya wanita berjilbab nggak konsumtif?”

Wake up! Allah memang mewajibkan wanita berjilbab. Tapi it doesn’t mean that person will be good! Banyak wanita berjilab yang memaksa suami ikut koropsi. Banyak Ibu berjilab yang ingin anaknya menjadi kaya raya sehingga membiarkan kawin dengan Pangeran, eh begitu perkawinan mereka genting, si suami dijelek-jelekkan. Banyak juga kok Ibu yang berjilbab, tapi anak-anak mereka dibiarkan menggunakan pakaian you can see dan hotpants. Yang menyebalkan, banyak wanita-wanita berjilbab yang belum married, gaya pacaran mereka najis banget: pegangan tangan, peluk-pelukan, bahkan ada yang ciuman segala.

So, itu stereotype my friends. Jangan lihat jilbab or nggak jilbab. Lihat bagaimana kelakuan si manusianya. Ingat! Gw bukan sedang berusaha mengizinkan wanita nggak berjilbab, lho. Gw tetap komit, bahwa wanita kudu berjilbab. Namun dalam konteks ini, konteks stereotype, jilbab bukan ukuran wanita berkelakuan baik. You know what? Jilbab bahkan sekarang menjadi sumber pelarian dari image buruk ke baik. Jilbab juga jadi motif ekonomi bisnis. Pasti elo-elo banyak yang belum tahu, bahwa pedagang jilbab belum tentu semuanya muslim. Ada beberapa pedagang jilbab yang non-muslim. Mereka ini pake jilbab demi dagangan laris.

Back to pembahasan stereotype. Banyak contoh-contoh stereotype yang dianggap udah menjadi konsensus masyarakat. Stereotype soal wanita misalnya. Bahwa wanita itu harus menikah, melahirkan, dan memiliki anak. Ini merupakan stereotype gender, karena bermain dengan jenis kelamin.

Terus terang, gw juga nggak setuju hal tersebut disebut stereotype. Ini pendapat pribadi, lho. Kalo pendapat ini diprotes oleh kaum Feminist, ya itu hak mereka dan I don’t care. Tapi menurut gw, baik wanita maupun laki, ya harus married. Tuhan menciptakan pasangan itu buat apa kalo nggak melanjutkan keturunan. Cuma manusia yang tolol yang nggak berhasrat melanjutkan keturunan.

Bahwa dikatakan kalo udah married kudu memiliki anak, ya kayak-kayaknya begitu. Logikanya, ngapain juga married kalo nggak mau memiliki keturunan? Kalo nggak mau punya keturunan, ya better nggak usah married. Balik lagi ke pertanyaan di awal: ngapain juga Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan kalo nggak married? Sungguh egois sekali kalo hidup melajang!

Buat Sosiolog, itu stereotype gender. Wanita nggak married adalah wanita nggak baik, itu dikatakan stereotype. Wanita yang merokok dianggap Pelacur, itu juga disebut sebagai stereotype. Ketika kita keluar dari stereotype (baca: out group atau keluar dari konsensus yang udah disepakati oleh mayoritas orang), orang tersebut pasti akan mendapat perlakukan yang kurang baik. Orang yang nggak masuk dalam kelompok (baca: in group) atau nggak sefaham, pasti dikecam habis-habisan. Nah, sekarang dimanakah posisi elo? Tetap menjalankan stereotype yang udah ada dalam konsensus masyarakat atau mengambil sikap sebagai out group? The choice is yours!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tuesday, June 23, 2009

ALHAMDULILLAH, GW SELAMAT SAMPAI TUJUAN

Ketakutan yang kita miliki ternyata belum tentu terjadi. Kenyataannya, sebuah studi menunjukan, 95% dari apa yang kita takuti nggak mendasar. Inilah yang gw alami beberapa bulan ini untill today.

What am I afraid of?

“Naik sepeda!”

“Hah?! Cuma naik sepeda elo takut? Memangnya waktu kecil elo nggak pernah naik sepeda apa?”

“Pernah!”

“Lalu kenapa elo takut?”

Saudara-saudaraku, naik sepeda dari Gatot Subroto ke Kawasn Industri Pulogadung adalah nightmare. Di weekdays, elo-elo semua pasti ngerti mengapa rute perjalanan itu gw sebut sebagai nightmare (atau lebih tepat dibilang daymare kali ya?). Sebab, kendaraan yang lalu lalang di sepanjang jalan itu benar-benar edan pisan. Nggak cuma padat bergizi, tapi menyebalkan.

Motor-motor yang nggak disiplin itu berhamburan bak laron-laron. Para pengendara seenaknya melaju di kiri dan kanan jalan. Menyusup ke sela-sela mobil. Mereka nggak peduli berada di tengah jalan, menghalangi mobil-mobil yang ingin melaju. Nggak heran mobil nggak bisa ngebut dengan kecepatan tinggi. Serba salah, kalo ditabrak, pasukan motor bakal ngamuk. Tapi giliran didiamkan, ngeselin.



Mobil pun demikian. Jarang sekali menemukan pengendaraan mobil yang sabar dan nggak pelit. Hampir 90% Pengendara mobil pelit-pelit, nggak ngasih jalan mobil lain. Ketika arus sedang padat, mobil satu dengan mobil lain nyaris berdekatan ujung bumper belakang mobil satu dengan ujung bumper depan mobil yang ada di belakang. Lampu sen kanan atau kiri hampir nggak digubris oleh pemilik mobil yang udah berada di barisan antrean. Pokoknya, Pengemudi mobil di kota besar kayak Jakarta ini egois.

Latar belakang yang menyebalkan itulah yang seringkali mengoda pikiran gw buat melakukan aksi bike to work (BTW). Someday, gw kudu meninggalkan kebiasaan gw menggunakan mobil. Someday, gw kudu memutuskan buat menjadi salah satu orang yang turut membantu membuat kota besar mengurangi polusi. Someday, gw kudu berani naik sepeda dari Gatot Subroto ke kantor gw di Pulogadung.

And finnally?

Alhamdulillah, gw selamat. Hari ini hari pertama gw naik sepeda. Tadinya, folding bike yang gw beli di PRJ bakal gw pakai setelah benar-benar siap. Menurut gw, arti siap di sini termasuk soal mempersiapkan perbelakan setelah naik sepeda. Bagaimana mandinya? Sabunnya? Gel rambut? Pakaiannya? Hal-hal lain yang barangkali menurut teman-teman BTW maybe so simple. But to me, so sophisticated!



And finnally, gw berhasil naik sepeda dari Menara Jamsostek ke jalan Rawa Teratai di Kawasan Industri Pulogadung. Ternyata cuma butuh waktu satu jam lebih-lebih dikit deh! Gw berharap “keberhasilan” gw mengalahkan ketakutan ini akan terus menjadi rutinitas yang biasa. Nothing special gitu deh! Tapi sok-sok-annya gw, nih, kayak-kayaknya jarak segitu memang nggak terasa berat, kok! Padahal kata temen gw, jarak yang gw tempuh itu lebih dari 10 kilo.

“Jelas aja nggak berat, elo kan sempat jadi Tukang Becak, ya kan?”

“Lah, kok situ tahu?”

“Kan gw pernah naik becak situ. Masak lupa sih?”

“Maaf ya lupa. Hmmm...soalnya tampan kayak elo banyak banget sih. Pasaran!”

“Emang tampang gw kayak siapa?”

“Kayak monyet!”

“Iya juga sih! Thanks ya atas pujiannya. I’m so proud of you!”

You’re welcome!”

Saturday, June 20, 2009

SAUDARAKU SEBANGSA SETANAH AIR, BIOSKOP RIVOLI UDAH RATA DENGAN TANAH

Tiga bocah itu nampak riang memainkan layang-layang. Di atas tumpukan puing-puing, mereka menarik dan mengulurkan benang gelasan agar layang-layang yang berada di langit bisa tetap melayang. Sementara di sekeliling lokasi tempat berada puing-puing itu, nampak keramaian kendaraan bermotor dan orang-orang lalu lalang. Mereka nggak peduli dengan lokasi tempat bermain tiga bocah dan memang nggak ada kewajiban buat dipedulikan.

Tiga bocah itu berada di atas puing-puing bekas bioskop Rivoli. Benar saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Bioskop Rivoli kini udah nggak berwujud lagi. Bioskop yang dahulu kala sekitar tahun 60-an sempat menjadi bioskop bergengsi di tanah air udah diruntuhkan dan kini rata dengan tanah.

Bioskop Rivoli terletak di jalan Kramat Raya. Lokasi bioskop yang didirikan tahun 1950-an ini berbatasan dengan jalan Pal Putih, Kelurahan Kramat, dan Kecamatan Senen. Menurut data, pemilik bioskop ini bernama Hj. Zuleha. Namanya Rivoli kabarnya berasal dari kepanjangan Revolusi Nasional.

Entah apa yang membuat Hj. Zuleha mendirikan bioskop yang segmented ini. Barangkali gara-gara tahun 50-an, komunitas orang India begitu banyak dibanding etnis Cina. Menurut Ilham Bintang yang gw ambil dari buku Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar karya Salim Said (Pustaka Sinar Harapan, 1991), pada tahun 60-an yang menjadi “tuan rumah” adalah film-film dari India dan negara-negara sosialis. Namun, hal tersebut wajar. Eropa Barat saja didominasi oleh film-film Amerika alisa Hollywood.

Oleh karena film India menjadi “tuan rumah”, Rivoli menjadi bioskop number one. Betapa tidak, film-film India baru, secara eksklusif diputar di bioskop ini. Pribumi yang maniak film Bollywood dan tergila-gila oleh penampilan bintang Hema Malini, Amitabh Bachchan, Anil Kapoor, Karishma Kapoor, Shahrukh Khan, Kajol, dll nggak mungkin nggak nonton di Rivoli. Nggak heran, Rivoli nggak cuma jadi venue buat etnis India, tapi juga pribumi, khususnya warga Betawi.


Rivoli before dibongkar. Pada tahun 1936, Jakarta baru punya 15 gedung bioskop. Tahun 1970, Jakarta udah punya 53 bioskop. Dari 53 bioskop, salah satunya Rivoli.

Seiring munculnya televisi swasta, Rivoli mulai turun kelas. Dari bioskop elit, jadi bioskop kelas dua. Ini menginjak di dekade 90-an. Meski begitu, warga pribumi kelas dua tetap setia nonton film yang ada bintang pujaan hati mereka di bioskop Rivoli. Hebatnya, mereka ini nggak cuma sebulan sekali nonton, tapi bisa berkali-kali keluar masuk bioskop. Biasanya penonton yang gemar ke Rivoli dari segmentasi anak-anak muda yang berstrata sosial menengah bawah. Padahal saat itu ada saingan bioskop Rivoli, yakni Rialto Senen (sekarang udah menjadi Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata) dan Grand Teater yang nggak jauh dari situ.

Why does Rivoli still number one than those Theatre?

Ternyata Rivoli jadi tempat pacaran yang paling asyik. Maklumlah, harga tiket masuk (HTM) relatif murah. Dengan kondisi kursi yang kulit yang lumayan empuk dan remang-remang, jelas akan mempermudah pasangan buat melakukan aksi berpacaran. Terakhir yang gw denger, banyak wanita-wanita muda di situ yang bisa diajak nonton on the spot. Tinggal kenalan sebentar, suka sama suka, bayarin nonton, dan pacaran deh di dalam gedung bisokop. Lumayan kan dua jam bisa pegang-pegangan tangan, pelukan, dan bahkan pake adegan ciuman segala. Lho kok dua jam? Yaiyalah! Tahu dong film India durasinya lama, cong!


Puing-puing bekas tembok Rivoli. Sekarang dijadikan arena anak-anak main layangan.

Bioskop Rivoli makin miris nasibnya. Setelah digempur oleh kehadiran stasiun televisi swasta, Rivoli juga terdesak dengan maraknya usaha bioskop milik konglomerat Sudwikatmono dan Benny Sutrisno yang mengembangkan Cineplex 21. Ketika Cineplex 21 bisa memutar 4-5 jenis film berbeda dalam satu hari, Rivoli cuma mampu memutar dua jenis film. Itu pun tetap film India yang sebenarnya di tahun 90-an udah bisa dinikmati di satsiun televisi TPI, SCTV, dan RCTI.

Terjadi pemindahan kepemilikan. Belakangan diketahui nama Pemiliknya adalah Sachlani Hasbullah. Menurut Hasbullah, sebagaimana gw kutip dari majalan Tempo no 43/III 29 Desember 1973, demi eksistensi bioskop dia sih nggak masalah dengan memutar film Indonesia. Tapi beliau takut diboikot.

"Kami terpaksa ber-dang-dang-dut, karena tidak bisa memutar film nasional", kata Hasbullah. Kalo Rivoli memutar film Indonesia, bioskop lain akan memboikot film tersebut. Caranya? Dengan tidak mau memutarkan film Indonesia di gedung bioskop. Kalo film-film Indonesia nggak mau diputar, ya otomatis film nggak laku. Nggak heran kalo Produser enggan membawa copy film ke Rivoli.


Puing-puing Rivoli dilihat dari jembatan busway.

Menurut Johan Tjasmadi yang waktu itu Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), keterangan Hasbullah di atas tadi itu nggak 100% benar. Bioskop Rivoli kebetulan memang nggak termasuk salah satu grup yang mengurus soal booking dan show. Selain itu, Rivoli juga udah cukup karena mengkhususkan diri dalam film India. Enggak bisanya Rivoli memutar film nasional, itu lebih karena sebagai taktik pemasaran.

Demi eksistensi bioskop, berbagai upaya dilakukan. Namun Pemilik bioskop tetap pusing tujuh keliling, karena di ujung tahun 90-an, Rivoli nyaris nggak ada penontonnya. Nggak heran kalo bioskop ini kemudian dibiarkan kosong. Konon agar bisa menutupi biaya operasional Petugas gedung, Pemilik menyewakan ke sebuah usaha penerbitanan. Sayang, usaha ini bangkrut. Lalu halaman parkir bioskop dimanfaatkan sebagai lahan parkir, dimana di situ juga ada warung makan dan toko kecil.

Namun di tahun 2009, Rivoli cuma tinggal kenangan. Bioskop ini udah dibongkar. Sebagai warga Betawi yang dahulu kala sempat merasakan bangku bioskop di Rivoli, terus terang gw sedih. Kabarnya, di lahan seluas lebih kurang seribu meter persegi ini akan dibangun sebuah hotel. Entah benar atau enggak, satu hal yang pasti, nanti gw nggak akan bisa cerita lagi ke anak dan cucu gw tentang Rivoli.

“Cucuku tersayang, dulu di situ ada bioskop. Namanya bioskop Rivoli,” kira-kira begitu kalo gw bercerita pada cucu gw.

“So what gitu, Akung?”

“Akung cuma mau sharing aja, kok. Soalnya dulu gara-gara nonton di situ, Akung jadi ngefans banget sama Amitabh Bachchan...”

“Amit-amit! Itu siapa Akung? Makhluk apaan tuh?”

“Dia itu bintang film India...”



“Waduh! Kok Akung jadul banget sih? Nggak gaul! Masa di era BlackBerry kayak begini masih doyan bintang India? Ngefans sama si Amit-Amit...hmm..siapa Akung?”

“Amitabh Bachchan!”

“Ya, itu! Amit-amit banget sih?!”

“Habis Akung harus ngefans sama siapa dong?”

“Siapa siapa kek....ngefans sama Ucok Aka kek! Deddy Stanzah kek! Atau Nike Ardilla...”

“Lho, kok kamu kenal sama Ucok Aka? Kenal sama Dedy Stanzah? Nike Ardilla? Memangnya kamu ini kelahiran tahun berapa sih?”

“Masa Akung nggak inget? Saya kan kelahiran tahun 1955!”

“O Pantes! Kalo kamu lahir tahun 1955, jadi Akung umurnya berapa dong sekarang?”

“150 tahun!”

Innalillahi Wainna Ilahi Rooji’un!!! Tua banget ya gw ini?!”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Friday, June 19, 2009

DIRIKU CEMBURU OLEHMU

Semenjak masuk ke areal eks kampus gw di Depok, sikap sirik gw tiba-tiba muncul. Gw jadi sebel dengan situasi, dimana gw seolah dihadapkan pada sebuah pertanyaan tentang eksistensi diri gw saat ini. Kenapa begini? Kenapa begitu? Seharusnya gw baru menjadi mahasiswa tahun 2009 ini. Bukan sepuluh tahun yang lalu! Dimana segala yang ada di mantan kampus gw itu serba terbatas.

Sungguh sangat menyesal diri gw ini. Ibarat kata, dahulu gw nggak menikmati apa yang sekarang dinikmati oleh mahasiwa-mahasiswa di eks kampus gw itu. Padahal kalo dahulu kala udah ada, gw jamin, nggak banyak mahasiswa yang naik kendaraan bermotor. Ujung-ujungnya, pihak Rektorat nggak akan menebangi pohon-pohon yang tumbuh alamiah di sekitar kampus dan lantas digantikan gedung-gedung yang sesungguhnya nggak perlu-perlu amat.

Apa sih yang membuat gw menyesal?

Sepeda! Hah?! Sepeda?! Yap! You know what, sejak Rektor Universitas Indonesia (UI) dijabat oleh Prof. Dr. Gumilar R Soemantri, UI memberikan fasilitas ke para mahasiswanya buat menggunakan sepeda gratis. Mahasiswa yang hendak menggunakan sepeda, cukup menunjukan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) pada Petugas yang menjaga halte tempat sepeda berada.



Luar biasa bukan?

Sementara sebagian mahasiswa Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) masih sibuk lempar-lemparan batu mirip anak SMU yang kampungan dan primitif, UI udah punya fasilitas sepeda buat mahasiswa. Fasilitas ini jelas antitawuran dan justru malah bikin sehat diri kita. Dengan sepeda, mahasiswa bebas berkeliling mengitari wilayah area kampus. Nggak cuma dari satu gedung ke gedung lain. Tapi ke tempat-tempat yang ada di UI, termasuk ke danau yang biasa tempat orang pacaran itu.

Saat ini baru terdapat sekitar 200-an sepeda yang tersebar di 13 halte. Jumlah ini tentu nggak cukup kalo dibandingkan dengan jumlah mahasiswa UI sekarang yang udah mencapai sebanyak 35.000 orang. Namun, kalo diperas 50% dari 35.000, tentu belum setengahnya menikmati fasilitas sepeda gratis ini. Maklum, mahasiswa UI yang sekarang beda banget dengan mahasiswa UI zaman dahulu kala, termasuk zaman gw.



Sepuluh tahun lalu, UI belum sekapitalis sekarang. Gedung-gedung dan lahan-lahan parkir kendaraan bermotor masih nggak begitu banyak. Pohon-pohon karet masih banyak dibiarkan tumbuh. Buat menghirup udara suegar pun bisa kapan aja. Begitu sampai halte UI, kita bisa lepas dari kepenatan dan polusi yang ada di jalan Margona. But look at now! Udara sekarang di UI nggak semurni dahulu. Udah banyak terpolusi oleh kendaraan bermotor. Maklum, kendaraan bermotor udah banyak. Nggak heran kalo menurut sang Rektor yang termasuk Rektor termuda ini, mahasiswa UI sekarang menuntut ruang kelas yang memiliki pendingin udara alias AC.

Memang sih harus gw akui, tahun depan UI punya target masuk dalam peringkat seratus Perguruan Tinggi (PT) terbaik di dunia. Dimana hal tersebut kudu membutuhkan fasilitas maupun infrastrktur yang sepadan dengan PT kelas dunia lain. Saat ini berdasarkan Times Higher Education- QS World University Rangking (THE-QS World) periode 2008, UI menduduki peringkat 287 dari 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Peringkat ini masih lebih baik dibanding ITB dan UGM yang masing-masing berada di peringkat 315 dan 316.

By the way busway THE-QS World itu mahkluk apaan, cong?



THE-QS World itu sejenis mahluk yang memamah biak. Eh, bukan ding! THE-QS World itu sebuah lembaga yang bertugas membuat peringkat-peringkat PT di seluruh dunia. Lembaga ini mensyaratkan empat kriteria dalam pemringkatan. Pertama soal kualitas penelitian (research quality). Lalu kualitas pengajaran (teaching quality). Selanjutnya kualitas lulusan (graduate employability). Yang terakhir, aspek internasional (international outlook). UI berhasil mengantongi nilai signifikan pada aspek kualitas penelitian. Indikator dari aspek ini ialah persepsi mengenai UI dari para responden (peer review) di seluruh dunia. Selain itu, indiktor lainnya yakni jumlah kutipan (citations per faculty) dari paper ilmiah yang dihasilkan UI.

Menurut pak Rektor, dengan pencapaian target tahun 2010, UI bakal mendapatkan kepercayaan warga negara Indonesia sebagai bagian PT incaran. Maksudnya, kalo selama ini orang-orang kaya mengkuliahkan anak-anak mereka ke luar negeri, nah, tanpa perlu ke luar negeri, di UI pun juga berkualitas kok PT-nya. Soalnya, UI udah jadi PT kelas dunia. Hal tersebut jelas akan membangkitkan rasa percaya diri bangsa Indonesia dalam hal PT, ya nggak?

Sebagai mantan alamuni UI, gw mah bangga-bangga aja dengan target itu. Tapi soal eksistensi sepeda yang baru ada setahun ini, gw tetap aja cemburu. Diriku dicemburui olehmu alias sepeda kuning itu. Meski para mahasiswa yang menggunakan sepeda ini kudu melewati track yang jalurnya masih terbatas ini, buat gw yang ngefans berat bersepeda tetap menarik ide bersepeda di lingkungan kampus.

Selain menyehatkan badan, bersepeda di kampus menekan jumlah para kaum kapitalis yang ada di lingkungan UI. Memang sih, ide bersepeda yang dilakukan mahasiswa bukan konsep baru. Di Yogya hal ini banyak kita jumpai. Kalo di Jakarta, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drikarya udah lama membuat tradisi bersepeda bagi para mahasiswa. Nah, UI sebagai PTN yang dianggap elit, sangat luar biasa bisa menciptakan tradisi bersepeda bagi para mahasiswanya.

So, sambil kejar target agar masuk 100 PT terbaik di dunia, nggak salah dong kalo jalur track sepeda di UI diperbanyak. Kalo perlu para Pengayuh sepeda dibebaskan berada di jalan aspal. Kalo perlu juga, seluruh wilayah UI dibebaskan dari kendaraan bermotor. Mereka yang mau ke kampus cukup naik bus kuning, sepeda, atau jalan kaki. Kendaraan bermotor para Kapitalis direlokasikan ke sebuah tempat khusus. Wah, kalo ini bisa terjadi, selain sebagai PT terbaik karena memenuhi empat kriteria yang disyaratkan THE-QS World tadi, UI bisa menjadi green campus.



“Ah, menghayal aja loe, Man!” ujar sohib gw yang tiba-tiba menepuk tangan gw. Agak kaget juga ditepuk sama sohib gw itu. Gw yang sempat ngiler terpaksa harus membasuh wajah agar menjadi pria keren lagi kayak Ariel Peter Pan.

“Namanya juga usaha, Bro!”

"Kalo mau usaha yang halal dong!"

"Lho, memangnya mengalahkan kendaraan bermotor dengan sepeda nggak halal? Mengalahkan kapitalis agar nilai-nilai kerakyatan dan cinta lingkungan bisa tumbuh bersemi dianggap haram?"

"Wah, kalo soal halal atau haram, mending kita sama-sama ke MUI gimana? Gw takut salah soalnya. Wong main Facebook aja dibilang haram, kok!"


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Thursday, June 18, 2009

BANYAK GODAAN MENUJU ROMA: ANAK BAND vs GROUPIST

Ketika popularitas meningkat, banyak hal yang bakal terjadi. Ini risiko yang wajar dan seharusnya udah diketahui oleh si pemilik popularitas itu. Risiko pertama, duit melimpah. Gara-gara tawaran main sinetron atau manggung dimana-mana banyak, duit pun banyak. Otomatis standar honor lambat laun pun meningkat.

Risiko kedua, banyak fans yang bakal mengelilingi kita sebagai orang yang lagi naik daun. Fans pertama, tentu fans yang menggemari sinetron atau musik si pemilik popularitas. Fans kedua, para wartawan yang dahulu kala disebut sebagai kuli tinta (kasihan ya kok disebut sebagai “kuli tinta”? Padahal beda banget dengan “kuli pasir” atau “kuli panggul”, wartawan nggak ngangkut-ngangkut barang, even ngangkut tinta. Menurut gw, yang menciptakan istilah “kuli” sebagai pengganti profesi wartawan, kebangetan banget, deh!). Bukan dikejar-kejar wartawan media cetak, tapi sekarang yang jadi “musuh” mayoritas Selebritas adalah wartawan infotainment.

“Pokoknya ada gula, ada semut! Ada Selebritas yang lagi happening, di situ bakal ada infotainment!”

Dalam dunia musik, ada istilah Groupist. Groupist beda sama Kue Pukis atau Kue Lupis. Tapi baik Kue maupun Groupist sama-sama enak, sama-sama empuk. Sebagian besar orang mendiskripsikan, Groupist adalah seekor Manusia yang ngefans banget dengan band atau penyanyi yang menjadi idolanya. Fans di sini bukan cuma sekadar pengemar yang memiliki kaset atau CD komplet, poster-poster komplet, selalu hadir dalam konser-konser musik sang idola, lalu mengejar-ngejar idola buat minta tanda tangan, dan foto bareng. Groupist lebih dari itu.


Saking kegedean payudaranya, Groupist ini susah buat menempelkan clip on di kaos. Kejadian ini berlangsung saat shooting program Bukan Rahasia. Sementara Audioman malu-malu kucing untuk membantu menempelkan clip on di dada Groupist ini. Habis di dadanya ada tulisan: "Sekali pegang, harap bayar cash!"

Seekor Groupist rela melakukan apa saja demi sang idola. Hah?! Sumpe, loe?! Yap! Groupist itu lebih banyak berjenis kelamin Wanita. Memang sih ada Groupist yang Pria. Tapi kalo ada band yang anggotanya Pria tulen dan ada fans fanatik berjenis kelamin Pria, pasti mereka geli. Ngapain juga “jeruk” ketemu “jeruk”? Memangnya mau adu anggar? Kecuali ada anggota band yang suka sama Pria alias guy. Itu persoalan lain. Namun Groupist lazimnya berjenis kelamin Wanita.

Saking rela diapa-apain, seekor Groupist nggak masalah diajakin ML sama anggota band atau penyanyi idolanya. ML-nya pun gratis. Inilah yang sangat menggoda anak-anak band. Yaiyalah! Pikir mereka lumayan kan bisa ML gratis tanpa harus ada komitmen? Lho memangnya Groupist nggak rugi “dipake” anak-anak band? Yang penting buat si Groupist bisa mendapatkan kehangatan anggota band pujaan hatinya, cong!

Dalam band, Groupist nggak cuma satu, tapi bisa lebih dari satu. Kalo lebih dari satu, masing-masing anggota akan punya Groupist sendiri-sendiri. Biasanya tetap yang paling banyak punya Groupist ya vokalis atau anggota band yang paling ganteng lah yah. Makanya kalo elo-elo pernah tahu atau mendengar ada vokalis band yang punya banyak pacar, gonta-ganti pasangan, ya wajar aja. Wanita-wanita itu biasanya Groupist-Groupist band.

“Bahkan ada beberapa vokalis band yang sempat menghamili Groupist,” ungkap anak band yang tahu sisi kelam dunia musik ini. “Wanita-Wanita yang dihamili oleh anggota band ini biasanya nggak peduli. Ketidakpedulian ini barangkali gara-gara mereka waktu ML udah bikin komitmen. Kalo perbuatan mereka menyebabkan hamil, isi percetakan di luar tanggungan anggota band tersebut.”

Memang sih nggak semua anggota band berhubungan dengan Groupist, tapi mayoritas memanfaatkan Groupist buat menyalurkan hobinya sebagai PK alias Penjahat Kelamin. Mumpung Groupist mau melakukan apa aja demi pujaan hati. Oh iya, Groupist juga nggak masalah digilir. Maksudnya, kalo dalam sebuah band cuma ada seekor Groupist, nah seekor Groupist ini digilir dari satu anggota band ke anggota band lain.


Dik Doang yang memandu acara Bukan Rahasia di tvOne sedang mengintograsi Groupist bareng grup Alexa. Ketika dites sama Dik, Groupist memilih pria kayak vokalis Alexa. Kok vokalis terus yang dipilih ya? Soalnya rata-rata vokalis itu ganteng-ganteng, kecuali vokalisnya Kangen Band.

“Makanya seekor Groupist nggak boleh dijadikan pacar. Itu udah komitmen nggak tertulis dari masing-masing anggota,” kata anak band itu lagi. “Tapi ada sih beberapa anggota band yang melanggar komitmen itu alias pacaran dengan Groupist”.

Memang banyak godaan menuju Roma. Maksudnya, sebagai pemain band, godaannya bertubi-tubi, apalagi kalo popularitasnya gokil. Contohnya gw ini lah. Gw memang nggak seganteng Ariel Peter Pan, tapi jauh kalo dibanding dengan vokalis Kangen Band yang jelek itu. Tapi meski cuma ngetop sebagai band sekolahan, godaan datang bertubi-tubi.

“Godaan dikerubuti Groupist?” tanya teman sekampus gw, yang sempat kepalanya benjol gara-gara kena batu pada saat tawuran maut UKI vs YAI beberapa waktu lalu.

“Bukan!”

“Godaan syeitan yang terkutuk?”

“Bukan juga!”

“Apa dong?”

“Kebetulan waktu manggung lagi bulan puasa, bulan Ramadhan. Nah, gw sebagai vokalis melihat ada penonton band gw minum Fanta berwarna merah. Wah, sebagai orang yang Iman-nya belum kuat, gw tergoda dong? Makanya begitu selesai manggung, gw langsung minta dibelikan Fanta oleh Panitia. Gw nggak tahan godaan, coy!”

“Halah!”

Kalo ada tes kesetiaan, anak-anak band cenderung nggak setia. Memang sih belum ada yang membuktikannya atau belum ada meriset hal ini. Namun, elo-elo bisa melihat beberapa vokalis band terkenal yang pacarnya membludag alias banyak. Kemarin nempel sama A, bulan depan udah ganti lagi dengan C. Ini baru taraf pacaran. Nah, kalo yang udah married, biasanya durasi married-nya nggak lama. Dalam waktu di bawah lima tahun, pasangan udah bubaran alias cerai.

“Banyak godaan menuju Roma!”

Eksistensi Groupist dalam kehidupan anak-anak band menjadi salah satu penyebab itu semua. Bayangkan, ketika pacaran dan married, wajah sang Istri masih terlihat cantik. Body seksi dan anggota body nggak ada yang kendor. Eh, begitu udah punya anak, hal yang indah-indah tentang Istri sirna. Apalagi banyak Groupist yang lebih cantik, lebih seksi, lebih hot goyangannya siap menanti anggota band yang udah married ini. So, apakah godaan itu nggak bisa meruntuhkan Iman?


Ini bukan Groupist yang lagi digilir anggota band. Tapi ini adalah kambing yang lagi mau dipotong dalam rangka kurban di Idul Adha. Nasib Groupist rada mirip kambing. Disayang-sayang kalo ada maunya, begitu udah merasakan kenikmatan, si Groupist dibiarkan begitu saja.

Groupist! Groupist! Groupist! Memang edan! Eksistensi mereka memang banyak. Hal tersebut seiring dengan bertumbuhkan band-band baru, yang masih muda dan ganteng-gateng. Kalo zaman dahulu kala, band masih sedikit, pemain band-nya pun kurang ganteng kayak sekarang. Rambut kribo udah dianggap keren abis. Rambut gondrong meski nggak keramas, dianggap simbol sex. Seekor Groupist bisa konak melihat penampilan-penampilan model kayak begitu, ya era 70-an gitu deh. Kalo sekarang, penampilan kayak gitu nggak begitu laku. Jangan harap dihinggapi para Groupist, lalat dari Batargebang pun ogah hinggap di anggota band itu.

My all Friends, Groupist itu bukan cuma orang-orang biasa. Maksudnya dari rakyat jelata yang ngefans berat band tertentu dan berubah menjadi Groupist. Seekor Groupist bisa berasal dari Selebritas juga, lho. Selebritas itu menyukai salah satu anggota band, kemudian menjadi Groupist, melakukan perbuatan hina dina (baca: ML), lalu hamil, dan kemudian melahirkan anak tanpa ayah.

Yang paling banyak memang Groupist dari rakyat biasa. Sebenarnya para pemain band lebih suka dari rakyat biasa, sehingga kalo ada pertanggungjawaban, nggak terlalu terekspos oleh infotainment. Paling-paling, begitu hamil, si anggota band pura-pura mengawini si Groupist. Sok-sok bertanggungjawab gitu. Setelah si Groupist udah tenangan dikit, anggota band ini menceraikannya. Kasihan banget nggak sih?

Itu tadi Groupist tolol. Kalo Groupist pintar, dia pakai strategi hidup. Dia tahu tubuhnya dimanfaatkan oleh anggota band, tapi dia juga harus memanfaatkan kedekatannya dengan anggota band yang ngetop buat karirnya. Nah, dalam upaya menapaki karir, Groupist lebih dulu hinggap dari vokalis satu ke vokalis yang lain. Hinggap dari anggota band satu ke anggota band lain. Sampai aakhirnya, Groupist punya kesempatan menjadi Pemain sinetron atau Host.

“Setelah si Groupist terkenal, dia jelas akan meninggalkan masa lalunya sebagai budak nafsu para anggota band,” papar anggota band itu lagi. “Level berpikir mantan Groupist berubah. Oleh karena namanya udah dikenal, gantian dia yang menjadi incaran orang-orang dari berbagai profesi, salah satunya Pengusaha. Agar hidupnya di masa mendatang terjamin, ya dia pasti akan memilih pacaran dan married dengan Pengusaha lah yau. Ngapain juga pacaran sama anak band? Sekarang mungkin bandnya happening, manggung di sana-sini. Tapi masa depan band happening ini belum tentu cerah ceria, ya nggak?”

Hebring juga ya strategi hidup Groupist yang pintar kayak begitu? Elo-elo tertarik jadi Groupist? Gw sarankan jangan! Ngapain juga bela-belain menapaki karir dengan cara nggak menjual diri kayak begitu. Analoginya kayak begini: main beberapa film panas dahulu, kalo udah ngetop dan banyak duit, cari Pengusaha dan married. After that, pake jilbab deh! Itu nggak beda jauh sama Koruptor. Sukses dengan cara instans.

Monday, June 15, 2009

HIDUP TANPA HUTANG

Pengguntingan kartu kredit di tahun 2000 menjadi saat-saat yang paling berkesan. Buat gw, hidup tanpa kartu kredit adalah hal luar biasa. Kenapa? Bagaikan hidup tanpa hutang. Kalo hidup kita tanpa hutan, wow alangkah indahnya. Seolah kita hidup di alam bebas, dimana burung-burung berterbangan, menghirup udara segar, banyak bunga bermekaran, di sekeliling kita tumbuh pohon-pohon nan hijau. Seolah kita pacaran dengan Luna Maya, Tamara Blezinsky, atau Nicholas Saputra (lho, kok?!), maksudnya Dian Sastro. Nikmat sekali euy!

Dahulu kala, gw pikir hidup tanpa punya kartu kredit enggak banget. Maksudnya, kita jadi nggak level dalam strata sosial masyarakat. Kelas kita nggak meningkat, selalu menjadi kaum marjinal. Tanpa kartu kredit di dompet, gw jadi punya sikap rendah diri. Sementara sohib-sohib gw berlomba-lomba memperlihatkan kartu kredit yang dikeluarkan dari dompet mereka, eh gw cuma bisa mengeluarkan limapuluh ribuan. Itu pun dalam kondisi lecek. Maklum, biasanya kalo lagi tongpes alias kantong kempes, limapuluh ribuan selalu dieman-eman (baca: disayang-sayang). Takut hilang. Nggak heran kalo duit dilipat-lipat dan diletakkan di saku dompet paling dalam.

Jalan satu-satunya menaikkan harkat atau strata sosial, ya punya kartu kredit. Dengan begitu, sikap rendah diri, bisa hilang. Kepercayaan diri pasti akan meningkat 350%. Itulah mengapa kemudian gw langsung meng-apply kartu kredit. Lho kok pake meng-apply? Dahulu bank-bank memang masih sok tahu. Sok jual mahal. Makanya sistem mereka buat Konsumen yang pengen memiliki kartu kredit perlu apply dulu. Nggak semua orang yang meng-apply otomatis bisa dapat kartu kredit, lho. Kalo begitu disurvey, elo memang dari golongan miskin, nggak akan mungkin lolos apply-nya. Beda dengan sekarang. Kalo sekarang mah, bikin kartu kredit kayak elo pengen boker aja. Dimana-mana ada WC. Begitu sakit perut, cari WC, berak deh. Kondisi kayak gitu juga sama dengan Sales kartu kredit yang dimana-mana pasti ada, ya nggak? Mau di mal maupun di kantor. You can run, but you can't hide.


Di mal kayak gini biasanya kita-kita ditawari aneka macam kartu kredit. Gw pribadi mah udah kebal dengan tawaran-tawaran mereka. Insya Allah nggak bakal tergoda sepanjang hayat masih di kandung badan.

Citibank adalah kartu kredit gw yang pertama. Mohon maaf gw mengungkapkan nama banknya. Gw nggak bermaksud mendiskreditkan bank ini. Gw cuma ingin mengungkap realita hidup yang pernah gw jalani. Back to kartu kredit Citibank. Kalo dengar kata Citibank, kayaknya gw bonfid banget ya? Yaiyalah, bank satu ini kan dari luar negeri, cong! Kebayang dong anak Rawasari, Jakarta Pusat kayak gw punya kartu kredit? Apalagi yang ngasih kredit adalah bank dari luar negeri. Kebayang juga dong, rumah gw yang sering kebanjiran dan ke kantor masih naik bemo ini, apply-nya bisa diterima? Ini peristiwa yang sangat luar biasa!!!

“Hore!!! Gw punya kartu kredit sekarang!!!”

Peristiwa kepemilikan kartu kredit ini kayak peristiwa besar dalam hidup gw. Bayangkan, gw yang kala itu (kira-kira tahun 90-an) gajinya cuma Rp 1,5 juta, bisa menggunakan kartu kredit sampai Rp 10 juta, tentu saja dengan cara menggesek kartu. Kalo mau ambil cash, bisa sampai Rp 5 juta. Wow?! Mantap kan bro?! Inilah yang membuat kepercayaan diri gw meningkat drastis. Dompet gw nggak cuma berisi duit lecek atau KTP, tapi udah ada sebuah kartu terbuat dari plastik yang nama dan foto diri gw.

Setelah punya kartu kredit, gw jadi rajin belanja. Entah belanja produk-produk yang penting kayak celana dalam, juga belanja produk-produk yang nggak penting kayak BH. Gw kan cowok tulen! Masa belanja BH? Nggak penting amat ya? BH-nya pun ukuran Dolly Parton pula.

“Kan bisa elo kasih ke istri loe?”

“Waktu itu gw belum punya istri!”

“Kasih nyokap loe kek!”

“Payudara ibu gw nggak segede Dolly Parton kalee!”

“Lantas ngapain juga elo beli BH?”

“Entahlah!”

Begitulah analogi kebodohan gw. Asal gesek. Nggak peduli belanja apa, penting nggak penting, sing penting gaya. Sok menggunakan kartu kredit. Memperlihatkan ke orang-orang, terutama sohib-sohib gw kalo gw juga punya kartu kredit. Percuma dong punya kartu kredit tapi nggak dimanfaatkan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Ngapain juga kalo kartu kredit cuma penuh-penuhin dompet dan bikin pantat tepos jadi tebal.

Saudara-saudara, ternyata gw orang paling tolol di seluruh dunia. Sikap kepercayaan diri gw harus dibayar mahal. Kartu kredit yang selama ini sebagai solusi menghapus sikap rendah diri yang gw sempat miliki berabad-abad lamanya, cuma kamuflase. Gw terjerat tali cinta yang menyesakkan jiwa. Cinta dalam konteks ini bukan sebuah bentuk perasaan, melainkan sebuah hutang. Betapa bank sangat mencintai Konsumen yang berhutang, sementara kita –terutama gw- cinta materi. Meski sama-sama cinta, akhirnya gw terjerumus juga.

Di awal-awal punya kartu kredit, bulan pertama sampai bulan keenam, gw masih happy menggunakan kartu kredit. Bank pun masih happy dengan cicilan-cicilan yang gw kirim via transfer. Lambat laun, gw ngos-ngosan juga membayar tagihan hutang. Yaiyalah! Gaji cuma seemprit, sok belanja sana-sini. Sekali lagi, saat itu gw menjadi the most stuppid man in this world.


Banyak orang bilang gw tolol nggak punya kartu kredit. Kata mereka, kartu kredit itu penting kalo sewaktu-waktu mendadak kita perlu membayar belanjaan kita dalam jumlah besar. Lah, kalo ketahuan nggak punya duit, ngapain juga belanja baju, tas, sepatu, dan barang-barang lain dalam nilai yang besar? Realistis lah! Ada yang bilang, ngapain bawa duit banyak, lebih baik kartu kredit. Gimana kalo kartu debit? Mending mana? Ngutang atau kita punya duit trus ditransfer ke kartu debit? Think about it all my friends!!!!

“Pokoknya kalo Anda nggak melunasi cicilan, kami akan laporkan Anda ke polisi!”

Ancaman Debt Collector kayak gitu berkali-kali gw dengar via telepon. Takut? Yaiyalah! Gw ngebayangi manusia segede King Kong berdiri di hadapan diriku ini yang badannya kerempeng kayak boneka pengusir padi yang ada di sawah. Dengan tubuh yang gede, sekali tempeleng gw, udah pasti badan gw langsung bisa patah-patah. Itulah yang membuat gw mau nggak mau harus melunasi cicilan sesegera mungkin. Gw terpaksa ngutang duit Nyokap buat membayar cicilan. Gali lubang tutup lubang, begitu pepatah yang cocok buat kondisi gw saat itu.

"Brengsek juga tuh mas-mas tukang kartu kredit!"

Makian gw saat itu sebenarnya salah alamat. Kenapa gw jadi marah-marah ke Sales kartu kredit? Yang tolol bukan mereka, ya nggak? Yang tolol tuh kita. Mau-mauan kena jebakan Batman. Mau-mauan disuruh ngutang. Hi, man! Wake up? Sales kartu kredit itu memang tercipta buat maksa orang-orang ngutang di bank. Mereka memang dibayar buat itu. That's why yang tolol adalah kita kalo akhirnya kita mau menerima "pinangan" mas-mas atau mbak-mbak buat memiliki kartu kredit.

"Harusnya mereka masuk neraka ya karena mengajak kita buat berhutang?" tanya teman gw yang antikartu kredit kayak gw.

"Waduh, gw nggak berani mengatakan iya dalam konteks ini deh..."

"Benar sih itu kerjaan mereka. Memang sih mereka kerja buat ngasih makan anak-bini. Tapi soal kerjaan mereka halal atau haram perlu dipertanyakan lagi deh. Wong ngajak orang berhutang, cong?!"

"No comment lah!"

Setelah beberapa kali cicilan, akhirnya lunas hutang gw juga. Kejadian ditelepon-teleponin Debt Collector memberkas dalam diri gw. Apakah gw salah 100%? Gw pikir sih enggak juga. Barangkali orang berpikir, gw salah karena nggak bayar cicilan. Orang juga pasti menyangka, gw menjalankan pepatah “besar pasak daripada tiang” atau terlalu memaksakan kemampuan padahal nggak mampu. Begini my friends, sebenarnya gw nggak nunggak hutang sampai 3 atau sampai 12 bulan segala. Gw cuma nunggak sebulan doang, kok. Bahkan pernah gw cuma telat 3 hari dari jadwal kewajiban membayar, eh Debt Collector udah memaki-maki gw kayak gw punya hutang ratusan juta dan belum membayar setahun.

“Kartu kredit memang gitu, cong! Kalo nawarin Konsumen buat berhutang semangat 45, eh begitu telat sedikit marahnya minta ampyun!”

“Ah, Konsumen juga suka gitu sih...”

“Suka apa?”

“Getol bikin kartu kredit sebanyak-banyaknya, giliran bayar hutang malesnya minta ampyun!”

“Seri dong kali gitu?”

“Ya, gitu deh!”

Alhamdulillah, sejak tahun 2000, gw punya komitmen nggak mau punya kartu kredit lagi. Komitment tersebut ditandai dengan pengguntingan kartu kredit Citibank. Pada saat menggunting, rasanya gw puas banget. Gw merasa bisa mengalahkan kartu plastik yang selama ini menjerat gw ke dunia hutang.

Gw kapok punya kartu kredit! Padahal bikin kartu kredit masa kini gampangnya minta ampun. Bukan kita yang meng-apply, tapi para Sales kartu kredit yang mengejar-ngejar kita. Nggak cuma di Mal, di kantor gw sekarang aja, Sales bisa masuk dan menawarkan kartu kredit. Nggak tahu buat elo atau orang lain, tapi buat gw, mereka itu mengganggu sekali. Selain mengganggu kita ketika santai melenggang di Mal, mereka juga mengganggu iman kita. Iman buat konsisten nggak mau berhutang lagi.

“Aplikasinya mudah, lho, Pak. Bapak cukup menyerahkan fotocopy KTP, kartu kredit langsung selesai. Beres kan?”

Bujuk rayu Sales memang bisa meruntuhkan iman kita. Banyak teman gw yang tanpa memikirkan masa depan yang cerah ceria langsung meyerahkan KTP-nya dan mendapatkan kartu kredit. Si Sales pun tersenyum lebar. Padahal di hatinya mau berteriak: “Welcome to Hutang’s World!” Untunglah, gw nggak terbawa arus. Bayangan akan Debt Collector kartu kredit masih memberkas di kepala gw. I hate credit card! I hate everything about you! Lho, kok kayak lagunya Ugly Kid Joe.

Hidup tanpa hutang ternyata lebih nikmat. Gw jadi nggak boros, nggak doyan belanja, dan tentunya nggak dikejar-kejar Debt Collector kayak teman gw. Sekarang ini, ada seorang teman gw di kantor yang dikejar-kejar Debt Collector. Hampir tiap hari, Debt Collector itu menghubungi teman gw yang berinisial M ini. Si M rupanya punya hutang 5 juta. Kelihatannya sih kecil cuma 5 juta. Tapi nyatanya buat temen gw, angka segitu terlalu berat buat dibayar. Menurut si Debt Collector, temen gw udah nunggak selama 6 bulan.

Ada lagi temen gw yang juga nggak mampu bayar cicilan mobil selama dua bulan. Gara-gara nggak mampu bayar hutan leasing, mobilnya ditarik. Kalo mau mobilnya kembali, temen gw kudu membayar lunas sisa hutang leasing mobilnya.

Sebetulnya masalah hutang ini bukan cuma memberikan image buruk pada si Penghutang. Kalo Penghutang mah udah pasti bakal di-blacklist dari dunia bank atau leasing. Namun hutang bisa memberikan image yang nggak baik buat perusahaan tempat si Penghutang bekerja. Perusahaan dianggap memiliki karyawan yang nggak taat kewajiban, nggak disiplin, dan selalu menghindar kalo punya masalah. Padahal ini masalah “besar pasak daripada tiang” itu tadi. Bahwa si karyawan nggak melihat dampak yang akan ditimbulkan kalo dia berhutang, sementara kemampuan buat membayar hutang nggak mencukupi.


Kalo kita ngefans berat sama kartu kredit, sampai tua kita nggak bakal lepas dari hutang. Kalo kita nggak bebas hutang, ini merefleksikan negara kita yang tercinta ini. Bapak-bapak ini lagi membicarakan bagaimana Indonesia bebas hutang, karena mereka merasa nggak punya hutang. Tapi kenapa anak-cucu mereka terjerat hutang ya? So jangan heran pajak mengila. Itu salah satu upaya pemerintah mencari dana membayar hutang negara. Nah, jangan sampai kita dipusingkan pemerintah dan dipusingkan oleh tunggakkan kartu kredit. Gw mah nggak mau mati meninggalkan hutang! Kebayang dong, elo belum lunas cicilan bulanan kartu kredit yang elo gesek pada saat beli kulkas, eh tiba-tiba elo meninggal. Apa kata dunia?

Masalah hutang pada diri seseorang ternyata juga terrefleksi pada negara. Gara-gara rakyatnya gemar berhutang, negara yang kita cintai ini pun gemar berhutang. Caranya? Dengan meminta pinjaman. You know what? Dalam lima tahun terakhir, utang bangsa kita meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun. So, siapa pun yang menjadi Presiden 2009-2014 nggak bisa lepas dari beban hutang.

Berbagai kalangan udah mengkritisi Pemerintah soal hutang. Sepanjang lima tahun ini, Pemerintah menambah jumlah hutang sebesar Rp 392 triliun. Pada tahun 2004, hutang Indonesia masih Rp 1.265 triliun. Di tahun 2009 ini, hutang Indonesia menjadi Rp 1.667 triliun. Kalo dijabarkan, hutang-hutang ini meliputi Rp 747 trilun pinjaman luar negeri. Sisanya Rp 920 trilun dalam bentuk surat berharga. Pada tahun 2009 ini, surat berharga tersebut akan jatuh tempo. Nilainya Rp 30 triliun. Selanjutnya pada tahun 2010 kita harus membayar Rp 49 triliun; tahun 2011 harus membayar Rp 40 triliun; tahun 2012 membayar Rp 54 triliun; 2013 membayar Rp 43 triliun; dan 2014 naik Rp 57 triliun (sumber: Media Indonesia/ 15/06/09).

Ah, ternyata nggak warga negara maupun negara nggak bisa lepas dari hutang. Gw tersenyum bangga, karena berhasil melewati masa-masa terlilit hutang. Masa-masa menyebalkan berhubungan dengan pihak bank atau Debt Collector. Coba kalo masih berhutang, pasti hidup kayak neraka. Tersiksa, cong!

Tiba-tiba telepon di meja kerja gw berdering.

“Ini Pak Jaya ya?”

“Dari siapa nih?”

“Dari Bu Brindil!”

“Iya, kenapa Bu?”

“Hutang Pak Jaya udah dua juta. Kapan mau dilunasi?”

Gw langsung memukul jidat. Alamak! Ternyata hidup ini nggak bisa bebas 100% dari hutang. Nggak punya kartu kredit bukan berarti nggak ngutang di tempat lain. Perkara makan pun, gw nggak bisa lepas dari lilitan hutang. Oh Tuhan, maafkan hambamu ini.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Saturday, June 13, 2009

MUNGKINKAH KAUM OLIGARKI KITA BASMI?

Setiap kali memasuki semester baru, saya selalu exiting. Buat saya, semester baru ibarat membuka lembaran baru, mirip kayak pasangan yang baru melangsungkan akad nikah. Dalam perkuliahan, analogi hidup baru sang pengantin baru itu adanya mata kuliah-mata kuliah baru yang bakal saya dapat.

Benar saja! Pagi ini, saya mendapatkan mata kuliah baru. Film dan Masyarakat, begitu nama mata kuliah yang jumlah SKS-nya 2 ini. Entah para mahasiswa yang ada di kelas sama pikirannya kayak saya atau nggak, namun bagi saya mata kuliah baru ini cukup eye catching. Betapa tidak, saat ini film begitu lekat dengan masyarakat, sebaliknya juga begitu. Masyarakat negeri ini lagi tergila-gila dengan film. Kayak-kayaknya kalo seminggu nggak nonton film, ada sesuatu yang hilang. Perkara cara nontonnya via bioskop atau DVD, itu mah terserah aja sih.

Minggu ini Film dan Masyarakat membahas masalah salah satu film Rusia yang berkisah Rusia paska keruntuhan Sovyet. Kalo saja saya nggak kuliah, barangkali sekelumit tentang sejarah Rusia masa kini, nggak bakal saya ketahui. Selama ini, saya cuma mengetahui soal perkembangan Rusia via media cetak maupun buku-buku. Itu pun kadang membacanya setengah-setengah. Ternyata lebih enak kalo Dosen yang menceritakannya ya?


Ini bukan suasana di Rusia ketika pertama kali Uni Sovyet hancur lebur dipecah belah oleh glasnot dan perestroika buatan Mikhail Gorbachev. Ini suasana di sepanjang jalan Kramat Jati yang kotor setelah pasar di jalanan kelar. Tiap pagi, beginilah ekonomi kerakyatan berlangsung. Bukan antienomi kerakyatan, lho, bos! Tapi kalo suasana kayak begini berlangsung, sampai mati pengguna jalan bakal disusahkan dengan kemacetan yang tiada henti dan sampah-sampah yang bikin banjir itu.


"Kok kuliah film ngobrolin soal politik di Rusia?"

"Lah, kuliahnya kan soal film dan masyarakat? Itu artinya ada hubungan erat antara dunia film dalam sebuah masyarakat."

"Oh begitu ya?"

"Yap! Bahwa ada keterkaitan antara politik dan perkembangan film di negara itu. Nah, kuliah kali ii membahas soal film Rusia. So, yang dibicarakan ya situasi Rusia dewasa ini."

"OK deh!"

Glasnot dan Perestroika ternyata nggak seindah dibayangkan oleh rakyat Rusia. Paska bubarnya Uni Soviet, Rusia mengalami krisis ekonomi. Sampai dengan era Boris Yeltsin, ekonomi Rusia masih morat-marit. Kesenangan sosial dimana-mana. Yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya. Kaum oligarki mendominasi perekonomian. Kaum ini konon merampok kekayaan negara melalui perusahaan-perusahaan pemerintah yang udah diswastanisasi. Gokilnya lagi, kaum oligarki juga merampok sumbangan Amrik, IMF, maupun World Bank yang seharusnya diberikan pada rakyat Rusia yang berada pada garis kemiskinan.

“Ngomong-ngomong emangnya siapa sih kaum oligarki itu? Mengapa mereka dituduh sebagai Perampok? Memangnya mereka Preman?”

“Bukan Preman, tapi modus operandinya lebih Preman dari Preman!”

Menurut Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat kaya. Oligarki berasal dari bahasa Yunani: oligon (sedikit) dan arkho (memerintah). Menurut resensi buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Penerbit Routledge Curzon, London and New York, 2004) yang ditulis Dr Priyambudi Sulistiyanto, Assistant Professor Southeast Asian Studies Programme National University of Singapore, di Indonesia oligarki berkembang biak bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Orde Baru (selanjutnya Orba).

“Zamannya Soeharto dong?”

“Yo’i!”

Sebelum membahas oligarki di Indonesia, kita bahas dulu oligarki di Rusia. Kata Dosen saya yang baru delapan bulan kembali ke Indonesia setelah tinggal di Rusia selama 9 tahun, cikal bakal oligarki sebagian besar dari kaum Yahudi. Kita tahu, kaum terkenal sebagai kaum palik licik di seluruh dunia. Aktivitas mereka berawal ketika Mikhail Gorbachev mengkampanyekan glasnot dan perestroika sebagai era reformasi Sovyet, dimana ujung-ujungnya membuat Sovyet terpecah-pecah menjadi beberapa negara.

Buat Barat, reformasi yang dilakukan Gorbachev merupakan tindakan luar biasa. Namun buat warga eks Sovyet, tindakan itu merupakan tindakan memecah belah Sovyet. Kalo dianalogikan di Indonesia, reformasi Gorbachev kayak melepaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi beberapa negara bagian. Timor Timur (Timor Leste) adalah salah satu contoh nyata pelepasan NKRI yang udah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Prof. Ing. Habibie. Timor Timur merupakan kesalahan terbesar yang pernah Indonesia lakukan.


Sejak saya lahir sampai sekarang, Pedagang-Pedagang yang mengambil bahu jalan dan trotoar di sepanjang Jatinegara nggak pernah ditertibkan. Kenapa ya? Apakah pemerintah pro-ekonomi kerakyatan atau pro-mekanisme pasar? Satu hal yang pasti, ekonomi di Indonesia itu ekonomi preman. Nggak boleh lihat halte kosong, dibuatlah kios rokok atau kios majalah. Nggak boleh lihat trotoar nganggur, didirikanlah tenda biru dan jualan makanan atau minuman. Kalo ini disebut sebagai ekonomi kerakyatan, kayak-kayaknya sangat menyebalkan sekali ya? Indonesia nggak akan pernah teratur.

“Kalo di Rusia, Gorbachev itu bisa diludahin,” kata Dosen saya yang kecil mungil kayak cabe rabit itu. “Gara-gara dia, banyak rakyat Rusia makin miskin!”

Begitu Sovyet pecah, banyak warga miskin. You know what? Saking miskin, tentara Rusia konon pernah digaji dengan sayur-mayur, kas negara yang kosong. Di tengah-tengah kemiskinan, Gorbachev menjalankan kebijakan bagi-bagi voucher. Voucher ini diberikan buat semua warga. Satu kepala mendapatkan voucher 10.000 rubel. Tahun 1988, 1 rubel sekitar 4 US$ atau kalo dikurskan dengan rupiah senilai Rp 6000 (dengan harga kurs 1 U$ = Rp 1.500 pada tahun 1988). Jadi kalo dihitung-hitung, 10 rubel setara Rp 15.000.000.

Warga eks-Sovyet yang berdarah Yahudi sangat pintar bisnis dan juga matematika. Mereka ingin memanfaatkan voucher-voucher yang dimiliki warga. Nggak heran kalo mereka putar otak. Dengan kelicikan otak mereka, kelas sosial menengah yang sebenarnya cukup pintar, karena mayoritas bergelar Sarjana atau berpendidikan, bisa dikibuli. Kelas menengah ini nggak ingin voucher mereka cuma ditukarkan duit dan dibelikan kebutuhan sehari-hari. Mereka lebih suka menjadikan voucher sebagai media mereka berinvestasi. Dengan berinvestasi, pikir mereka, voucher mereka bakal berkembang biak.

Orang-orang Yahudi membuat perusahaan-perusahaan fiktif, dimana perusahaan-perusahaan tersebut seolah bekerjasama dengan negara Amrik atau Eropa lain. Siapa yang nggak tertarik melakukan kerjasama dengan perusahaan di luar Sovyet? Nggak heran kalo kemudian kelas sosial menengah mau berinvestasi di perusahaan-perusahaan fiktif itu. Mereka memang nggak mengecek terlebih dahulu, karena udah terlalu antusias berinvestasi. Apalagi bujuk rayu orang-orang Yahudi yang persuasif, membuat kelas sosial menengah klepek-klepek.

“Dimana-mana orang Yahudi memang bikin susah ya?”

“Ya, begitu deh! Makanya nggak heran kalo Hitler ngebet banget membunuh-bunuhi orang Yahudi...”

“Gimana kalo kita melakukan tindakan sebagaimana Hitler pernah lakukan?”

“Hmmm....gimana ya? Dalam agama gw, membunuh itu dilarang. Tapi kalo membunuh Yahudi boleh nggak ya? Nanti gw baca di Kitab Suci dulu ya...”

Begitu mendapat banyak voucher, orang-orang Yahudi kabur. Kelas sosial menengah yang sebelumnya nggak terlalu miskin, akhirnya jatuh miskin. Pemerintah Rusia langsung mengambil alih perusahaan-perusahaan menjadi milik pemerintah. Namun, duit pemerintah pun cekak. Oleh karena itu, pemerintah melakukan privatisasi perusahaan pemerintah, sebegaimana yang pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni memprivatisasi Indosat. Nah, privatisasi perusahaan di Rusia itu mengundang orang-orang Yahudi yang kabur membawa voucher kembali ke Rusia. Nggak heran kalo kemudian banyak perusahaan yang diprivatisasi itu dimiliki oleh orang Yahudi. Inilah yang kemudian melahirkan kaum oligarki, orang kaya baru di luar dari orang dari partai politik maupun militer.


Mereka nggak peduli partai mana yang menang. Sing penting buat mereka, siapa partai yang bisa ngasih duit banyak selama kampanye. Mau partai kecil, partai besar, mereka mendapat duit, kaos, plus makan siang. Naik bus, metromini, atau mikrolet ke lokasi kampanye gratis. After kampanye, mereka baru merasakan pilihan mereka tepat apa enggak. Kalo nggak tepat, ya salah sendiri! Lagian nggak lihat track record Pemimpin partainya


Kondisi Rusia yang parah, membuat Vladimir Putin gerah. Nggak heran, begitu terpilih menjadi Presiden tahun 2000, pria ini langsung membuat gebrakan di Rusia. Bukan gara-gara makan di Soto Gebrak, lho! Dia segera mengevaluasi kinerja perekonomian Rusia yang carut-marut. Selain itu, yang menyenangkan mayoritas rakyat Rusia, dia bersama Siloviki bertindak tegas terhadap kaum oligarki.

“Nah, ada istilah baru lagi tuh! Siloviki! Siapa sih Siloviki itu?”

“Siloviki terdiri dari sekelompok politikus Rusia.”

Saat masih Sovyet, politikus-politikus ini adalah personel KGB dan petinggi militer. Siloviki ingin merealisasikan impian “Rusia Besar”. Salah satu tindakan menuju “Rusia Besar” adalah memenjarakan kaum oligarki sebanyak mungkin. Tindakan ini tentu sangat didukung rakyat. Salah satu oligarki Rusia yang dipenjara adalah Mikhail Khodorkovsky. Kebetulan dia memang menentang kebijakan Putin.

Kremlin di bawah Putin menjadi Kremlin yang totally diffrent! Tentu saja, buat mencapai kesuksesan mereformasi ekonomi Rusia, Putin udah punya jam terbang yang cukup lama lah yau. Perjalanan Putin menuju panggung politik Rusia diawali ketika umurnya masih 17 tahun. Ketika saya dan anda masih sibuk mencari-cari bangku kuliah, Putin justru sibuk melamar ke KGB. Toh akhirnya dia ditolak juga, karena belum Sarjana.

Merasa terpacu buat mendapatkan gelar Sarjana agar bisa masuk KGB, Putin berguru di Universitas Leningrad jurusan hukum internasional. Begitu kelar, dia langsung masuk KGB. Pada tahun 1978, dia berhasil jajaran elite KGB, tepatnya di lembaga pelatihan intelijen internasional.

Di bawah pemerintahan Putin, Rusia berhasil lolos dari keterpurukan ekonomi. Meski sempat diterpa isu sebagai kaum oligarki juga, karena memiliki kekayaan 40 miliar dolar AS di luar negeri, namun dia menciptakan pertumbuhan ekonomi, sehingga kemiskinan berkurang. Pada tahun 2006, jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta. Cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007. Cadangan devisa tersebut konon berasal dari kekayaan minyak yang dimiliki Rusia. Gokilnya, total utang luar negeri Rusia pun berhasil dipangkas. Tinggal sepertiga dari total hutang Rusia tahun 1999, dimana lebih dari 200 miliar dollar AS.

Jangan-jangan Indonesia bisa mencontoh Rusia? Membasmi kaum oligarki terlebih dahulu, membangun ekonomi baru, dan ujung-ujungnya bisa memangkas hutang yang kian hari kian bertumpuk. Tapi ngomong-ngomong siapa kaum oligarki di Indonesia ini sih? Mungkinkah kita memangkasnya?

Ikuti lanjutan kisah oligarki ini di blog ini. Don’t miss ya, cong!


all photo copyright by Brillianto K. Jaya