Ketika kasus kematian Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen (50) melibatkan nama Rani Juliani (23), seketika profesi sebagai Caddy tercoreng moreng. Makumlah, Rani tercatat sebagai Caddy di Lapangan Golf Modernland, Tangerang. Caddy-Caddy yang awalnya nggak ngerti apa-apa, jadi minder. Mereka pasti bertanya: salah apa kami ini?
Sejak kasus itu merebak ke khalayak, orang-orang kampung jadi kenal istilah Caddy. Kalo sebelumnya nggak ngerti apa-apa (boro-boro tahu golf), mereka yang berasal kelas bawah itu tadi, jadi ngerti ada profesi di lapangan golf yang biasa membawakan stick-stick golf para Pemain golf. Namun, mereka ini juga mendapat tambahan info negatif dari profesi Caddy, yakni Caddy adalah sebuah profesi “Pelacur terselubung”.
Cap “Palacur terselubung” jelas menyakitkan hati para Caddy. Mereka pasti nggak nyangka profesi yang dilakukan ini berubah menjadi negatif. Persis kayak “Pemijat plus-plus”. Bedanya, Caddy adalah “Pelacur” kelas elit, Pemijat dianggap “Pelacur” kelas bawah.
Nggak semua orang kaya punya disiplin tinggi. Biar orang itu well educated, sekolah di luar negeri, kaya raya, punya mobil puluhan, tapi kalo otaknya nggak ada, tetap aja kelakuannya sama kayak sopir Metromini yang cuek parkir sembarangan.
Peran media cetak maupun eletronik semakin “memperkeruh” image Caddy yang nggak bener itu. Negatif. Beberapa Caddy diinterview secara terselubung, sementara Reporter-nya sok bergaya Pemain golf hidung belang. Setelah main golf, Pamain golf mengajak Caddy untuk berkencan dan ujung-ujungnya bisa ML. Investigasi Reporter kebetulan mendapat Caddy yang merupakan “Pelacur terselubung” itu. Nggak heran kalo hasil investigasi itu diberitakan dan kesimpulan Caddy sebagai “Pelacur terselubung” pun terbukti.
Caddy kamudian menjadi musuh ibu-ibu yang para suami mereka gemar main golf. Ibu-Ibu jadi faham mengapa suami-suami mereka suka berlama-lama di lapangan golf. Padahal profesi Caddy nggak cuma kaum wanita, karena ada juga yang berjenis kelamin pria. Kebetulan pihak lapangan golf banyak menyediakan Caddy yang berwujud wanita. Kebetulan pula mayoritas Pemain golf adalah bapak-bapak. So kalo pria ketemu pria kayak jeruk ketemu jeruk dong? Kecuali Pemain golf-nya guy atau lebih suka menggunakan jasa Caddy pria agar menghindari terjadi fitnah, ya itu lain soal.
Rani jelas-jelas menghancurkan image Caddy. Ketika dipanggil ke Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum, Polda Metro Jaya pun, wajahnya nggak nampak menunjukan rasa bersalah barang sedikit pun. Di hadapan puluhan wartawan, dia cuma tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya bak seorang Selebriti yang ingin melakukan jumpa fans. Anjing banget nggak sih tuh wanita? Nggak ada sense of crisis bahwa dirinya teribat dalam sebuah kasus pembunuhan yang menghebohkan negara. Nggak ada pula guilty feeling kalo gara-gara dirinya udah melukai para Caddy yang benar-benar mencari makan dari membantu membawakan stick golf.
Caddy dianggap “Pelacur terselubung” merupakan lebelling yang asalnya dari sebuah stereotype. Peran media dan sikap Rani yang nggak malu-malu itu membentuk stereotype tetang Caddy. Media mengeneralisasi, membuat simplifikasi (baca: menyederhanakan sesuatu hal), kemudian diperkuat dengan gaya selebriti Rani. Inilah akhirnya melahirkan sebuah konsensus masyarakat yang memandang picik profesi bernama Caddy itu. Para Caddy pun bertanya lagi: salah apa kami ini?
Dalam ilmu sosiologi, terdapat pembahasan masalah stereotype ini. Sederhananya, stereotype merupakan sebuah cara pandang orang atau sekelompok masyarakat yang menyederhanakan sesuatu hal tanpa melakukan observasi yang lebih mendalam terlebih dahulu. Oleh karena kurang melakukan observasi, maka cara pandang mereka cenderung sangat picik.
Stereotype bisa buruk, bisa juga baik. Kita pasti pernah mendengar, nyong Ambon itu jago nyanyi dan main musik. Ini sesungguhnya stereotype. Asal muasal stereotype ini pasti gara-gara melihat banyak penyanyi-penyanyi Ambon yang muncul ke permukaan. Sebut saja Glen Fredly dan Andre Hehanusa. Sebelum mereka ada nama-nama besar kayak Ade Manuhutu, Enteng Tanamal, Broery Marantika, Melky Goeslow, Harvey Malaihollo, Lex’s Trio, dan banyak lagi. Nah, masyarakat langsung mengeneralisasi secara picik, bahwa semua orang Ambon jago nyanyi dan main musik. Padahal belum tentu!
“Wah, elo nyong Ambon murtad,” kata si A pada si B yang kebetulan berdarah Maluku, Ambon.
“Lho, kenapa?” si B bingung.
“Habis elo satu-satunya nyong Ambon yang nggak bisa nyanyi!”
Bahwa stereotype yang dibuat oleh orang-orang mengenai Ambon bisa nyanyi tanpa penelitian mendalam. Bayangkan kalo percakapan antara si A dan B itu di atas tadi itu benar-benar terjadi, pasti si B yang berdarah Ambon akan malu hati. Memangnya orang Ambon harus pandai menyanyi? Memangnya ada sangsi -baik sangsi adat maupun agama- apabila nyong Ambon nggak bisa nyanyi akan dihukum? Itulah stereotype saudara-saudara!
Nggak semua Tukang Pijat itu Pelacur. Pijat plus-plus itu kalo Tukang Pijat-nya asal-asalan. Niatnya membuat orang yang dipijat terangsang dan ujung-ujungnya ML. Tukang Pijat yang biasa minjat gw ini, nggak masuk kategori Tukang Pijat plus-plus. Itu cuma stereotype.
Contoh stereotype di atas buruk, tapi bisa berubah baik. Bagaimana caranya? Kalo si B ternyata kebetulan bisa nyanyi dan main musik, maka orang-orang tetap akan memberikan konsensus bahwa nyong Ambon benar jago nyanyi. Sementara kalo stereotype buruk, ya itu tadi, si B dianggap nyong Ambon yang murtad.
Stereotype juga bisa by design alias diciptakan. Biasanya kalo by design ini dilakukan atas motif-motif tertentu, bisa motif politik maupun ekonomi. Berita yang paling hangat terjadi soal isu istri Boediono yang non-muslim atau pasangan SBY-Boediono yang dianggap kurang mencerminkan keislaman. Lawan politik mereka -terutama JK dan Wiranto- mengangkat isu soal jilbab. Bahwa alangkah indah apabila istri RI 1 dan RI 2 menggunakan jilbab.
“Memangnya wanita berjilbab selalu baik?”
“Memangnya wanita berjilbab nggak ikut mendukung suami korupsi?”
“Memangnya wanita berjilbab nggak punya keinginan mengekpoitasi anak?”
“Memangnya wanita berjilbab nggak konsumtif?”
Wake up! Allah memang mewajibkan wanita berjilbab. Tapi it doesn’t mean that person will be good! Banyak wanita berjilab yang memaksa suami ikut koropsi. Banyak Ibu berjilab yang ingin anaknya menjadi kaya raya sehingga membiarkan kawin dengan Pangeran, eh begitu perkawinan mereka genting, si suami dijelek-jelekkan. Banyak juga kok Ibu yang berjilbab, tapi anak-anak mereka dibiarkan menggunakan pakaian you can see dan hotpants. Yang menyebalkan, banyak wanita-wanita berjilbab yang belum married, gaya pacaran mereka najis banget: pegangan tangan, peluk-pelukan, bahkan ada yang ciuman segala.
So, itu stereotype my friends. Jangan lihat jilbab or nggak jilbab. Lihat bagaimana kelakuan si manusianya. Ingat! Gw bukan sedang berusaha mengizinkan wanita nggak berjilbab, lho. Gw tetap komit, bahwa wanita kudu berjilbab. Namun dalam konteks ini, konteks stereotype, jilbab bukan ukuran wanita berkelakuan baik. You know what? Jilbab bahkan sekarang menjadi sumber pelarian dari image buruk ke baik. Jilbab juga jadi motif ekonomi bisnis. Pasti elo-elo banyak yang belum tahu, bahwa pedagang jilbab belum tentu semuanya muslim. Ada beberapa pedagang jilbab yang non-muslim. Mereka ini pake jilbab demi dagangan laris.
Back to pembahasan stereotype. Banyak contoh-contoh stereotype yang dianggap udah menjadi konsensus masyarakat. Stereotype soal wanita misalnya. Bahwa wanita itu harus menikah, melahirkan, dan memiliki anak. Ini merupakan stereotype gender, karena bermain dengan jenis kelamin.
Terus terang, gw juga nggak setuju hal tersebut disebut stereotype. Ini pendapat pribadi, lho. Kalo pendapat ini diprotes oleh kaum Feminist, ya itu hak mereka dan I don’t care. Tapi menurut gw, baik wanita maupun laki, ya harus married. Tuhan menciptakan pasangan itu buat apa kalo nggak melanjutkan keturunan. Cuma manusia yang tolol yang nggak berhasrat melanjutkan keturunan.
Bahwa dikatakan kalo udah married kudu memiliki anak, ya kayak-kayaknya begitu. Logikanya, ngapain juga married kalo nggak mau memiliki keturunan? Kalo nggak mau punya keturunan, ya better nggak usah married. Balik lagi ke pertanyaan di awal: ngapain juga Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan kalo nggak married? Sungguh egois sekali kalo hidup melajang!
Buat Sosiolog, itu stereotype gender. Wanita nggak married adalah wanita nggak baik, itu dikatakan stereotype. Wanita yang merokok dianggap Pelacur, itu juga disebut sebagai stereotype. Ketika kita keluar dari stereotype (baca: out group atau keluar dari konsensus yang udah disepakati oleh mayoritas orang), orang tersebut pasti akan mendapat perlakukan yang kurang baik. Orang yang nggak masuk dalam kelompok (baca: in group) atau nggak sefaham, pasti dikecam habis-habisan. Nah, sekarang dimanakah posisi elo? Tetap menjalankan stereotype yang udah ada dalam konsensus masyarakat atau mengambil sikap sebagai out group? The choice is yours!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
No comments:
Post a Comment