Wednesday, August 25, 2010

48 TAHUN TVRI: HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

Suka tak suka memang begitulah kenyataan yang dialami TVRI. Di usianya yang ke-48 pada 24 Agustus kemarin, TVRI bukan menjadi televisi yang digemari penonton, malah terpuruk. Masyarakat Indonesia sudah asing dengan tayangan-tayangan TVRI. Kalau pun ada tayangan TVRI yang ditonton, paling-paling program “paksaan”, karena seluruh stasiun televisi, termasuk swasta harus me-relay siaran dari TVRI.

TVRI seperti berbicara kebesaran masa lalu. Tayangan-tayangannya selalu menjadi primadona –tidak berlebihan jika dikatakan legend. Sebut saja Cerdas Cermat, Menggambar Bersama Pak Tino Sidin, Drama Remaja, atau sinetron Rumah Masa Depan karya Ali Shahab. Ada pula Aku Cinta Indonesia (ACI) yang sempat mengorbitkan beberapa pemain menjadi bintang sinetron terkenal, tetapi kini semuanya hilang entah kemana.

TVRI bagai kota tua, dimana bangunan-bangunannya masih tetap ada, tetapi tidak terawat. Yang tersisa hanya memori masa lalu, sejarah. Memang tak bisa dipungkiri, berbicara TVRI juga tak bisa lepas dari sejarah bangsa Indonesia.

Empatpuluh delapan tahun lalu, Presiden RI pertama Ir. Soekarno memberi instruksi kepada Direktorat Perfilman Negara dan Direktur Teknik Jawatan Radio untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games IV yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1962. Salah satu bentuk dukungan instansi tersebut adalah membentuk stasiun televisi.

Antara instruksi dan waktu merealisasikan instruksi Presiden ternyata relatif pendek, yakni satu tahun satu bulan. Dengan waktu yang singkat itu, plus instruksi yang dilandasi hukum Keputusan Presiden (Keppres) No. 215 Tahun 1962, pembangunan TVRI dikebut dan akhirnya TVRI pun mengudara.

Keterbatasan persiapan pendirian stasiun televisi ini membuat TVRI tak maksimal. Antena siar berdaya pancar 10 KW itu hanya ditancapkan pada puncak menara Hotel Indonesia (sekarang Hotel Kempinski) yang saat itu merupakan bangunan tertinggi. Daya pancar itu membuat area TVRI cukup terbatas, yakni hanya diterima di wilayah Senayan, Kebayoran Baru, Tanah Abang, Menteng, dan sekitar Harmoni. Kalo dilihat, daerah-daerah tersebut cuma mencakup wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.

Masalah antena ini selanjutnya menjadi masalah serius. Jika ingin dinikmati oleh masyarakat di luar Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, maka antena TVRI harus dipindah. Tak heran, setelah Asian Games IV, antena dipindah dari puncak Hotel Indonesia ke manara Senayan. Di tempat yang baru inilah siaran TVRI mulai menjangkau wilayah Bogor dan Bandung. Maklumlah, daya pancarnya pun juga sudah dinaikkan menjadi 80 KW.

Periode 70-an sampai dengan 80-an menjadi masa-masa keemasan TVRI. Bagi masyarakat Indonesia, TVRI ibarat primadona baru dalam jagat teknologi. Jutaan pasang mata selalu menyaksikan siaran televisi. Meski siaran TVRI masih terbatas –tak ada siaran pagi hari dan berakhir mentok sampai pukul 10 malam-, tetapi masyarakat mencintai TVRI.

Masa keemasan TVRI mulai luntur begitu pemerintah membuka “keran” kebijakan, mengizinkan beroperasinya stasiun televisi swasta nasional. Tepat pada 26 Agustus 1990, lewat SK Menpen No 04 A/ Kepmenpen/ 1993, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) mengudara. Setelah RCTI kemudian menyusul empat stasiun televisi baru lahir, yakni SCTV, TPI, ANTEVE, dan terakhir Indosiar.

Kehadiran stasiun televisi swasta (bahasa Komisi Penyiaran Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Swasta) membuat TVRI terpuruk. Masyarakat yang tadinya tak punya pilihan tontonan, satu per satu pindah ke lain “hati”. Kalau pun ada masyarakat yang tetap menonton TVRI, mereka dianggap penonton “jadul”. Bukan penontonnya yang memang berusia lanjut, tetapi program-program acara plus tampilan programnya kurang kreatif (sebenarnya kata “kurang kreatif” adalah kata sopan untuk mengganti kata jelek untuk tampilan program TVRI).

Baik backdrop, lighting, maupun blocking benar-benar jadul. Jadi jangan heran, ada anekdot di sekitar stasiun televisi swasta yang selalu menyinggung SDM-nya jika membuat program atau tampilan acaranya jelek, pasti dibilang “TVRI banget, sih!”. Menyidahkan bukan?

Begitulah kenyataannya. Sampai sekarang pun tak ada perubahan yang signifikan pada TVRI. Usia 48 tahun tidak serta merta menjadi stasiun televisi yang disukai penonton, malah sebaliknya dijadikan “bulan-bulanan” oleh mayoritas masyarakat. Bahwa dikatakan, TVRI adalah stasiun televisi “orang kampung”.

Sumber Daya Manusia (SDM) di TVRI yang menjadi salah satu penyebab TVRI menjadi televisi “orang kampung”. Terlalu banyak SDM yang jadul, tidak kreatif, dan seolah sekadar “makan gaji buta”. Bayangkan, data terakhir karyawan TVRI lebih dari 5.000 orang. Bandingkan dengan dengan karyawan televisi swasta, misal tvOne yang hanya berjumlah 1.500-an orang.

Karyawan TVRI memang tidak efisien. Banyak karyawan yang status quo. Padahal TVRI butuh tenaga-tenaga kreatif dengan gagasan-gagasan segar yang out of the box. Meski televisi publik (istilah sopan untuk menyebut televisi milik pemerintah), bukan berarti tidak kreatif. Itulah mengapa banyak yang mengatakan, TVRI baru akan menjadi primadona lagi jika SDM-SDM yang lama pensiun atau dipensiunkan, dan kemudian diadakan rekruitment lagi untuk mencari SDM-SDM baru yang segar dan punya komitmen membesarkan TVRI.

Namun, selama masih banyak SDM-SDM lama atau “senior” yang masuk dalam golongan status quo, selama itu pula TVRI akan terus bergejolak. Berita terakhir yang menjadi kado teristimewa dari TVRI adalah pengangkatan Direktur Utama (Dirut) TVRI Immas Sunarya yang dianggap illegal oleh tiga organisasi, yakni Forum Komunikasi Karyawan (FKK) TVRI, Yayasan Pensiunan TVRI, dan Forum Peduli TVRI.

Menurut ketiga organisasi tersebut, Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI bermasalah. Dikatakan, bahwa Dirut TVRI tidak dipilih melalui fit and proper test sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP)-TVRI pasal 7 ayat (c).

“SK Dewas itu SK bodong,” ujar Robby Samosir dari Forum Peduli TVRI mengomentari SK Dewas bernomor 16 Tahun 2010 itu (Lampu Hijau, Rabu 25/08).

Menurut kabar yang beredar, Immas ditunjuk langsung oleh Dewas sebagai Dirut TVRI untuk masa jabatan 2010-2011, terhitung sejak 18 Mei 2010 lalu. Oleh Dewas –yang terdiri dari Profesor, Doktor, maupun Jenderal-, Dirut baru ini bertugas mengisi kekosongan kursi Dirut lama, yakni Hariono, yang mendadak mengundurkan diri pada Oktober 2009.

“Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Dewas. Hasil dari pengangkatan ibu Immas sebagai pelaksana tugas harian Dirut TVRI sudah sesuai aturan yang ada,” ujar Retno Intan, salah satu anggota Dewas. “Saya harap keputusan tersebut dihargai dan dihormati.”

Senada dengan Retno, mantan karyawan TVRI yang kini aktif di dunia politik Max Sopacua mengamini ucapan Retno. Meski begitu, yakinlah konflik internal TVRI tetap tiadk pernah selesai. Sekali lagi, selama masih ada karyawan yang status quo, selama itu pula kondisi TVRI tidak akan pernah tenteram dan fokus mereformasi program siarannya yang jadul itu.

PERMASALAHAN PERBATASAN TAK BISA DITUNDA LAGI

Entah bisa dikatakan lambat atau memang baru tanggap. Tetapi pemerintah sedang menyiapkan disain besar (grand design) pembangunan di kawasan perbatasan RI dengan negara lain. Setidaknya hal tersebut terungkap dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.

Grand design pembangunan kawasan perbatasan ini nantinya harus menjadi acuan bagi departemen dan instansi pemerintah,” ucap Gamawan kepada wartawan di Batam (21/08). “Dengan demikian, nantinya tidak boleh ada departemen atau instansi pemerintah yang membuat dan melaksanakan program di luar grand design yang telah ditetapkan.”

Rencananya Mendagri akan mengundang seluruh stakeholder untuk duduk bersama dan membahas program-program yang dititikberatkan pada kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Dalam pertemuan itu nantinya akan dirumuskan program dua tahun, lima tahun, duapuluh tahun, sehingga departemen terkait akan mematuhi peraturan ini.



“Masalah perbatasan berkaitan dengan kedaulatan negara,” kata anggota DPR Dr. Ir. Hetifah, MPP mengomentari niat pemerintah menyiapkan grand design pembangunan kawasan perbatasan RI dengan negara lain. “Dengan menjaga kedaulatan, itu sama saja menjaga negara kita tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Hetifah, seharusnya pemerintah benar-benar concern dengan masalah perbatasan ini. Sampai sekarang, masalah-masalah perbatasan banyak yang belum terselesaikan, terutama dalam hal penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.

Tentu apa yang dikhawatirkan Hatifah tidak berlebihan. Tanpa kepedulian pemerintah terhadap perbatasan, tentu konflik-konflik di perbatasan akan terus terjadi, salah satunya mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Seperti kita ketahui, garis perbatasan RI dengan negara tetangga sangat panjang, yakni total 3.332 km. Anehnya, dari 1.000 km rentang perbatasan antara RI dan Malaysia di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, baru ada 31 posko sampai 800 km, sedang 200 km lagi masih belum ada posko.



“Bayangkan! Untuk Kaltim saja panjang batasnya lebih dari 1.000 km,” ujar Hetifah yang merupakan anggota DPR RI untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur (Kaltim) itu.

Entikong merupakan wilayah RI yang berbatasan dengan Tebedu, Malaysia. Jalur Entikong kerap digunakan para TKI untuk mencapai wilayah Malaysia. Kebanyakan TKI illegal. Dalam sekali keberangkatan, para TKI itu berkelompok dalam 10 hingga 20 orang. Alasan mereka “menyeberangi” perbatasan tak lain karena mudah mendapatan pekerjaan di Malaysia.

Menurut Mendagri, mengenai konflik perbatasan dengan negara tetangga sebenarnya sudah tidak ada persoalan lagi. Yang paling berat justru adalah membangun kawasan perbatasan. Kalau pun ada konflik, lanjut Mendagri, kadang-kadang nelayan tidak membawa GPS.

Tentu apa yang dikatakan Mendagri tidak sepenuhnya benar. Konflik perbatasan belum selesai. Saat ini masyarakat Indonesia sedang marah menghadapi kesewenang-wenangan Malaysia atas penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri oleh polisi Malaysia menjelang 17 Agustus lalu. Kemarahan warga Indonesia menimbulkan aski demonstrasi yang kemarin berlangsung, dimana sekelompok demonstran Bendera di depan Kedubes Malaysia di Jakarta menginjak-injak bendera Malaysia dan melemparkan kotoran manusia ke halaman Kedubes Malaysia.

Selain masalah penangkapan DKP, ada masalah lain yang membuat marah masyarakat Indonesia yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia sekarang ini rengang, yakni ancaman hukuman mati 177 Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia. Memang, dari 177 itu sebanyak 142 di antaranya terkena kasus narkoba, sedangkan sisanya terjerat hukuman mati karena kasus pembunuhan dan kepemilikan senjata api. Namun kasus itu tetap menjadi picu kemarahan masyarakat Indonesia.

Kembali soal perbatasan, dalam lokakarya yang belum lama ini dilakukan di Samarinda, Wakil Gubernur Kalimantan Barat memaparkan sejumlah masalah serta rekomendasi. Bersama Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) Provinsi Kalimantan Barat, Wagub mengatakan, selain batas wilayah yang juga menjadi masalah serius

Dalam pemasalahan perbatasan adalah masalah kesejahteraan masyarakat perbatasan. Jika pendapatan rata-rata penduduk Kalbar hanya US$ 700, penduduk Sarawak lebih lima kali lipat, yakni US$ 4.000.

Keterbatasan prasarana dan sarana wilayah juga menjadi masalah di perbatasan. Dengan sarana transportasi, listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang minim, wilayah Kalbar diklasifikasikan sebagai wilayah tertinggal. Belum lagi berbicara mengenai presarana maupun sarana pendidikan dan kesehatan. Hal-hal itulah yang membuat seringkali terjadi migrasi penduduk dari batas wilayah Indonesia ke Malaysia.

“Harusnya hal tersebut bisa dicegah,” ungkap Hetifah. “Penanganan masalah perbatasan sudah tidak bisa ditunda lagi.”




Keseriusan Hetifah memperjuangkan rekomendasi dalam lokakarya ini agaknya tidak main-main. Berdasarkan pemaparan Wagub tersebut, yakni hal-hal yang perlu dilakukan, Hetifah berjanji akan mendesak pemerintah agar lebih serius.

“Saya bersama Forum akan menindaklanjuti dengan mengundang departemen terkait,” ucap Hetifah yang juga dikenal sebagai Sekretaris Forum DPR DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur (Kaltim). “Saya dan Forum juga akan turun langsung ke daerah-daerah di perbatasan itu, sehingga kami bisa menindaklanjuti program serta pendanaan sesuai kebutuhan di perbatasan itu.”

Berkaitan dengan masalah perbatasan, ada data yang mengungkap, bahwa kerugian akibat lemahnya pengamanan di laut dan persoalan batas wilayah Indonesia dengan negara-negara lain diperkirakan mencapai Rp 192 triliun per tahun. Jumlah ini hampir seperlima dari pendapatan APBN 2010.

Jumlah kerugian tersebut adalah dari illegal fishing sebesar Rp 40 triliun, penyelundupan pasir Rp 72 triliun, penyelundupan BBM Rp 50 trliun, dan dari illegal logging mencapai Rp 30 triliun. Itulah mengapa agenda strategis yang harus dilakukan segera adalah mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan perjanjian dengan 10 negara tetangga.

Monday, August 23, 2010

PELECEHAN SEKSUAL MENODAI PASKIBRAKA 2010




Berkali-kali Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng mengucap bangga pada 66 orang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) tahun 2010 ini. Menurutnya, Paskibraka selalu menjadi kebanggaan orang muda Indonesia. Banyak sekali orang muda ingin menjadi Paskibraka.

“Setiap 17 Agustus semua orang melihat Anda di istana melalui stasiun televisi,” ujar Andi dalam sambutannya selaku Pembina Upacara pada acara Pembukaan Pelatihan Persiapan Paskibraka Tahun 2010 di Auditorium Wisma Menpora, 23 Juli lalu (majalah Formula-Volume IV, Agustus 2010, hal 11).

Dengan langkah tegap, Paskibraka membawa Bendera Pusaka Merah Putih di Istana Negara, menaikkan dan menurunkan. Semua mata memandang dan menyaksikan mereka dalam menjalankan tugas mulia.



Dalam kesempatan Pembukaan Pelatihan Persiapan Paskibra Tahun 2010, di hadapan 666 Paskibraka itu Andi mengingatkan agar Paskibraka melakukan tugas dengan baik, tanpa cacat dan tetap menjaga reputasi organisasi ini seperti sebelumnya. Lanjut Andi, anggota Paskibraka boleh dibilang sebagai model ideal pemuda, baik dari segi wawasan kebangsaan, karakter, kedisiplinan, maupun intelektualitas.

“Mereka ini contoh orang-orang muda. Sepanjang hidup mereka mampu menjadi teladan,” puji Andi.

Boleh jadi, pujian Andi beberapa hari ini terkontaminasi oleh sebuah peristiwa memalukan, yang mencoreng organisasi Paskibra, yakni Purna Paskibraka Indonesia (PPI). Dalam masa orientasi Paskibra tahun 2010 lalu, terjadi kasus pelecehan seksual. Setidaknya itu dikatakan oleh Made Wirathma.

Menurut Made, yang ditunjuk sebagai juru bicara orangtua murid anggota Paskibra DKI 2010, telah terjadi pelecehan seksual pada masa orientasi di Cibubur yang berlangsung pada 2-6 Juli 2010 lalu. Bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh panitia orientasi itu, lanjut Made, Paskibra wanita diminta berjalan ke kamar mandi tanpa busana. Sebagian dari mereka juga dihukum dengan push up dengan posisi badan saling bertindihan.

“Perintah dari instruktur senior Paskibra itu sudah melenceng jauh dari pendidikan,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan ini (Media Indonesia, Senin/23/08).



Senada dengan Made, menurut anggota DPR RI Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, tindakan yang dilakukan senior di PPI merupakan pelecehan seksual yang tidak dapat ditolerir, apalagi dilakukan oleh mereka yang justru diharapkan menjadi teladan.

Kasus pelecehan seksual tersebut jelas membuat orangtua Paskibra marah. Bahkan salah satu orangtua Paskibra, Lauren Nouville, ingin menempuh jalur hukum lantaran perlakukan senior Paskibra telah merendahkan martabat sejumlah peserta didik, termasuk anak kandungnya.

“Saya tidak akan berhenti sampai orang yang dinyatakan bersalah dikeluarkan dari institusi PPI, termasuk Mahdi. Ini sikap pribadi saya. Saya tidak ingin permasalahan ini selesai setengah-setengah,” ujar Lauren.

Mahdi yang dimaksud Lauren tak lain adalah Mohammad Mahdi, Ketua Tim Investigasi PPI. Pria ini beserta Tim Investigasi mengaku sudah melakukan investigasi dengan meminta keterangan ke 67 saksi yang berada di lapangan.

“Kami bekerja secara profesional dan semua keterangan ditandatangani di atas materai,” ujarnya yang tetap bersikap pasrah dengan keputusan beberapa orangtua dari 14 anggota Paskibra yang menolak hasil investigasi PPI dan ingin membawa ke ranah hukum.

Sekadar info, PPI adalah organisasi yang menghimpun mantan Paskibra. Dalam wadah ini, terdapat pola rekruitmen dan pembinaan yang sangat teratur. Bisa dibayangkan, Paskibra sendiri sudah berdiri sejak tahun 1968. Itu artinya, organisasi ini sudah berusia 42 tahun. Tak heran kalau PPI sudah banyak sekali anggotanya.

“Ini sebuah potensi yang luar biasa, apalagi anggotanya banyak yang terdidik dan sukses di karirnya masing-masing,” ujar Theo L. Sambuaga, Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang ternyata adalah mantan anggota Paskibraka angkatan pertama (1968).



Namun sayang, tahun 2010 ini organisasi Paskibra dinodai oleh oknum senior PPI. Sungguh ironis, dianggap terdidik dan dibanggakan, tetapi melakukan pelecehan seksual. Menurut Hetifah, tindakan yang dilakukan senior Paskibra tersebut merupakan tindakan kejahatan yang dapat dipidana. Ia berharap, baik pihak kepolisian maupun Kemenpora sebagai pembina Paskibra mengusut tuntas kasus memalukan ini sebelum pencitraan organisasi Paskibra semakin tercoreng.

“Kejadian itu (pelecehan seksual-pen) menjadi peringatan pemerintah, karena menandakan ada karakter dan etika moral yang luntur pada generasi muda harapan bangsa,” ungkap Hetifah yang dikenal sebagai anggota DPR RI Komisi X dari Fraksi Partai Golkar ini. “Harusnya ada pengawasan yang cukup pada proses pelatihan anggota Paskibra sehingga hal-hal menyimpang seperti itu tidak terjadi”.

Sunday, August 22, 2010

BERJUANG UNTUK SIAPA?

Ada dua tokoh yang menurut saya “luar biasa”. Tokoh pertama adalah pengacara yang sekarang terjun ke dunia politik bernama Ruhut Sitompul. Satunya lagi adalah Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes. Apa yang membuat kedua tokoh ini menjadi tokoh “luar biasa” di mata saya?

Sebagai anggota Partai Demokrat, Ruhut menggulirkan wacana untuk memperpanjang jabatan masa jabatan Presiden. Kalo sebelumnya jabatan Presiden hanya dua kali, oleh Ruhut diusulkan menjadi tiga kali. Dengan wacana Ruhut, itu artinya Undang-Undang Dasar (UUD) harus diamandemen lagi.

Seperti kita ketahui, Pasal 7 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XIII/ MPR/ 1998 tertulis, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Oleh karena di tahun 2014 nanti adalah masa terakhir SBY memerintah Republik ini, Ruhut sebagai fungsionaris Partai Demokrat menggulirkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan SBY satu kali lagi.



Namun wacana Ruhut “ditolak” oleh SBY. Dalam pernyataan Presiden RI yang diungkapkan pada saat sambutan Hari Konstitusi di Gedung MPR/ DPR di Jakarta (Rabu/18/8), SBY mengajak semua pemimpin untuk membuka ruang bagi munculnya pemimpin baru, bukan mengubah aturan demi kepentingan pribadi atau mengajukan anak dan istri sebagai pengganti.

Bukan cuma SBY yang notabene adalah Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat yang menolak usulan Ruhut, tetapi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pun tidak setuju usulan “anak buah”-nya di Partai itu. Kata Anas, pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode adalah yang terbaik dan perlu ditradsikan.

“Pernyataan tentang penambahan jabatan Presiden hingga tiga periode melalui perubahan UUD 1945 merupakan pendapat pribadi Ruhut Sitompul bukan pendirian Partai Demokrat,” kata Anas (Kompas, Kamis/ 19/08).

Saya bukan politikus, tetapi dengan kasus digulirkannya wacana masa jabatan Presiden oleh Ruhut, saya jadi belajar lagi soal politik. Belajar apa? Bahwa wacana itu seperti sebuah game. Ada yang kelompok A dan ada kelompok B. Kelompok A berada di posisi setuju dengan amandemen UUD 1945 yang mengizinkan masa jabatan Presiden selama tiga periode, sedangkan kelompok B adalah kelompok opisisi. Ketika “bola” digulirkan –dalam konteks ini wacana Ruhut-, kelompok A dan kelompok B akan bertarung. Jika yang pro sedikit, maka game dimenangkan oleh kelompok B. Sebaliknya kalo ternyata yang mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden itu banyak, kelompok A lah yang menang.



Saya memang awam di dunia politik, tetapi saya sedikit bermain logika –meski di politik terkadang tidak perlu menggunakan logika, juga hati nurani. Kalo ada seorang fungsionaris dalam sebuah Partai berani mengeluarkan statement, pasti dia terlebih dahulu sempat ngobrol dengan Ketua Umum-nya, apalagi yang mengeluarkan statement adalah anggota yang dalam sebuah organisasi seharusnya membawa bendera Partai tersebut. Kalo nggak sempat ngobrol dengan Ketua-nya, at least dengan para anggota di Partai yang sama.

Analoginya, ada anak buah di kantor yang mengeluarkan statement. Pasti statement tersebut harus diketahui oleh Direktur Utama perusahaan tersebut, minimal Manager si anak buah itu, ya tidak? Nah, dalam konteks masa jabatan Presiden, Ruhut adalah fungsionaris Partai Demokrat. Anehnya, baik SBY dan Anas yang sama-sama ada di Partai Demokrat tidak setuju wacana Ruhut. Aneh? Di atas kertas memang aneh. Tetapi ini politik. Kita tidak tahu di balik game ini sesungguhnya. Itulah mengapa saya memakai apostrop pada kata “ditolak”. Sebab, kata “ditolak” buat saya masih abu-abu.

Dari Ruhut, kita beralih ke Nugraha Besoes. Buat saya orang ini “luar biasa” juga. Ia menolak keputusan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang sudah mensahkan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KOI pada 4 Juni 2010 lalu. Penolakan Nugraha, lantaran dalam AD/ART yang sudah ditandatangani oleh Wakil PSSI Max Boboy itu terkandung aturan, bahwa syarat anggota pengurus pusat atau pengurus besar organisasi olahraga nasional tidak pernah tersangkut perkara pidana dan dijatuhkan hukuman berat.

“Waktu itu kami mengajukan keberatan soal pasal tersebut dan minta dihilangkan. Tetapi kemudian aturan itu tetap ada dan disahkan tanpa melalui rapat pleno,” ujar Nugraha (Kompas, Jumat/20/08).



Aturan ini jelas akan menghalangi Ketua Umum PSSI Nurdin Halid dan Ketua Pengurus Besar PASI Bob Hasan untuk mencalonkan diri dan dicalonkan menjadi Ketua periode berikutnya. Sekadar info, masa kepengurusan PSSI akan berakhir tahun depan, yakni 2011 dan PB PASI akan berakhir 2012.

Mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar berkomentar, bahwa PSSI harusnya tertib aturan. Selain itu, Agum juga mengingatkan pengurus PSSI agar instrospeksi diri. Ia mengatakan, salah satu alasannya mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI adalah, karena gagal membawa tim nasional menjadi juara Piala Tiger. Padahal saat dipegang Agum, pada tahun 2000 dan 2002, tim nasional berhasil duduk sebagai runner up di Piala Tiger.

Senada dengan Agum, tokoh sepakbola nasional Sinyo Aliando juga mengomentari kinerja PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Menurut mantan pemain nasional itu, seharusnya PSSI mengedepankan hati nurani jika ingin memperbaiki sepakbola nasional. Saat ini, sepakbola nasional tidak bisa dibanggakan, karena prestasinya terpuruk.

“Jika saya menjadi Pak Nurdin, saya sudah malu dan mengundurkan diri,” ujar Sinyo.

Malu? Nanti dulu. Urat malu kayaknya sudah putus. Sebagai “orang kedua” dalam organisasi PSSI, Nugraha tetap ngotot untuk protes terhadap aturan KOI. Tak heran, rencananya ia akan mengirim surat keberatan kepada KOI. Hebatnya, PSSI tidak akan mengikuti aturan itu jika keberatan ditolak oleh KOI. PSSI, katanya, akan tetap berklibat pada statuta FIFA. “Luar biasa” bukan Nugraha Besoes ini?

Dari dua “kasus” Ruhut dan Nugraha terdapat benang merah yang bisa kita simpulkan. Apakah itu? Seseorang yang tengah berjuang untuk seseorang. Mereka tidak sedang berjuang untuk bangsa Indonesia atau kemajuan persepakbolaan nasional, tetapi berjuang untuk seseorang. Silahkan Anda simpulkan sendiri, siapa seseorang tersebut.

Jika memang berjuang untuk bangsa Indonesia, seharusnya Pasal 7 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XIII/ MPR/ 1998 tidak perlu diamandemen lagi. Benar kata SBY, bahwa jabatan Presiden maksimal cukup dua periode agar bisa membuka kesempatan pemimpin baru. Saya dukung jika SBY benar-benar tulis dan ikhlas mengeluarkan statement itu. Begitu pula dengan AD/ART KOI yang sudah disahkan pada 4 Juni 2010 itu, seharusnya dipatuhi oleh semua pengurus PSSI tanpa tekecuali. Tidak perlu ngotot untuk mempertahankan jabatan, karena demi kemajuan persepakbolaan nasional.

Kalau saja para pemimpin kita terbiasa dengan sikap legowo, bukan tidak mungkin rakyat kita juga akan mencontoh para pemimpin kita itu. Namun seringkali terjadi mis-persepsi soal sikap legowo ini bagi para pemimpin. Bahwa sikap tersebut dianggap sebagai sebuah kekalahan, padahal legowo adalah sikap sesorang yang berjiwa ksatrya.

Saturday, August 21, 2010

RISIKO KALO DIKENDALIKAN SATU ORANG: A STORY OF GADO-GADO BONBIN CIKINI

Nampak seorang nenek duduk di pojok warung. Ia hanya mengenakan daster yang motifnya sudah lusuh. Setiap kali ada pelanggan yang datang ke warung, perempuan keturunan Tionghoa ini tak pernah melewatkan untuk memandangi, termasuk mereka yang sedang asyik menyantap makanan di warung itu. Sesekali, nenek itu berteriak dengan menggunakan bahasa Mandarin kepada para pelayan. Ia tak lain adalah Lanny Wijaya, pemilik warung gado-gado Bon Bin yang saya maksud ini.

Sementara itu, di depan warung, sepasang suami istri terlihat sibuk menjajakan makanan untuk pelanggan yang ada di warung. Sang suami sibuk meracik bahan untuk membuat gado-gado, yang terdiri dari rebusan bayam, tahu, tauge, telur ayam, dan potongan lontong. Sementara itu sang istri memberi bumbu serta menaburi bawang goreng, emping melinjo dan kerupuk udang. Begitu selesai, mereka memberi kode pelayan untuk segera mengantarkan gado-gado kepada pelanggan di warung itu. Perempuan itu adalah putri Lanny Wijaya yang bernama Yuli.


Gado-gado Bon Bin, salah satu gado-gado legend di Jakarta ini. Tidak ada cabang. Kalo mau beli, ya kudu ke Cikini.

Begitulah suasana di warung gado-gado Bon Bin. Warung yang berlokasi di jalan Cikini IV no 5, Jakarta Pusat ini adalah warung gado-gado dan asinan yang cukup legend di Jakarta. Maklumlah, warung ini sudah berdiri sejak tahun 1960-an, dimana jalan di depan warung ini belum bernama Cikini, tetapi masih memakai nama jalan Kebon Binatang III. Konon, sebelum ngetop sebagai warung gado-gado, warung ini ternyata dulunya hanya berjualan es cendol. Namun gado-gado dan asinan lah yang melambungkan nama warung ini. Tak heran nama warung ini gado-gado Bon Bin alias gado-gado Kebon Binatang.

Penamaan jalan Kebon Binatang III tak lepas dari sejarah Taman Ismail Marzuki (TIM) yang nggak jauh dari warung gado-gado Bon Bin. Dahulu, sebelum jadi areal planetarium, gedung kesenian, dan kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), TIM adalah kebon binatang. Tanah kebon binatang ini sebelumnya dimiliki oleh Raden Saleh.

Seiring perkembangan Jakarta, pemerintah memindahkan kebon binatang ke Ragunan. Alasan pemerintah kota Jakarta boleh jadi lantaran kebon binatang tidak cocok berada di pusat kota. Namun sebenarnya analisa tersebut belum tentu benar juga. Lihat saja Surabaya. Lokasi kebon binatang tetap berada di tengah-tengah kota sampai sekarang. Kalo pun dulu Ragunan dianggap cocok menjadi tempat kebon binatang, karena jauh dari kota dan masih asri, toh sekarang ini kebon binatang di Ragunan tetap berada di tengah-tengah pemukiman.


Yuli dan sang suami dari generasi ke-2 gado-gado Bon Bin yang kini sibuk meracik gado-gado maupun asinan. Tidak percaya pada orang lain untuk menjalankan aktivitas ini.

Anyway, ketika masih kebon binatang, lahirlah warung gado-gado Bon Bin ini. Ternyata gado-gado ini laku keras. Kebetulan rasanya memang enak banget. Bumbu kacangnya beda dengan gado-gado uleg yang ada. Bumbu kacang gado-gado Bon Bin encer. Menurut ibu Lanny, kacangnya pakai kacang Tuban Super. Kacang dipilih hanya yang bagus. Begitu menemukan kacang yang tidak bagus, langsung dibuang. Kata ibu Lanny lagi, 1 kacang yang kurang bagus bisa mempengaruhi rasa ratusan kacang pilihan. Jadi, tahap pemilihan kacang ini juga merupakan bagian terpenting dalam pembuatan bumbu gado-gado ini.

Setelah kacang dipilih, proses selanjutnya digiling dan dimasak sampai keluar minyaknya. Oleh karena sudah digiling, maka ketika menyajikan gado-gado, si penjual tak perlu ngulek bumbu lagi. Bumbu hasil gilingan itu sudah dimasukkan ke dalam sebuah panci besar.

Kini, kalo dihitung-hitung umur gado-gado Bon Bin sudah lebih dari 50 tahun. Dalam sebuah usaha, usia setengah abad jangan dianggap remeh. Itu artinya gado-gado yang disajikan masih tetap digemari di segala zaman. Namun apakah ketika sudah melawati 50 tahun masih bisa tetap eksis? Nah, itu masalahnya.

Bukan saya mendahului sang pemberi rezeki, yakni Allah. Bukan pula saya sok tahu membuat prediksi usaha, padahal bukan pengusaha. Tetapi saya sekadar menganalisa dari kacamata pribadi. Bahwa usaha model gado-gado Bon Bin ini paling-paling hanya bisa sampai ke genarasi kedua. Generasi pertama dikendalikan oleh ibu Lanny, yang kini hanya duduk di pojok warung dengan menggunakan daster. Sedang generasi kedua adalah generasi sekarang, yakni anak ibu Lanny bernama Yuli, yang kini sibuk bersama suaminya menyiapkan gado-gado dan asinan. Lalu generasi ketiga?


Pelanggan gado-gado Bon-Bin tak cuma mereka yang masuk kategori Oma dan Opa, tetapi juga anak-anak muda.

Setiap kali saya datang ke warung gado-gado yang baru buka jam 10 dan tutup jam 5 sore ini, tak nampak anak muda atau keluarga keturunan dari ibu Yuli yang membantu di warung itu. Semua dilakukan oleh ibu Yuli dan suaminya. Padahal gerak mereka kini sudah cukup lambat dalam melayani pelanggan.

Setiap kali menunggu pesanan gado-gado yang dibungkus, saya selalu menghitung durasi mereka meracik gado-gado –mengambil sayuran, memotong lontong, dll- sampai gado-gado terbungkus. Hampir sepuluh menit, bo! Saya gemas sekali lihat mereka, tetapi mau bagaimana lagi? Faktor usia agaknya yang membuat mereka lambat. Padahal pelanggan yang menunggu banyak.


Sebenarnya gado-gadonya uenak banget. Tetapi dengan model bisnis konvensional yang diterapkan di gado-gado Bon Bin ini, dianggap oleh banyak pengamat cukup berat untuk eksis. Tak ada delivery, pun tak ada sistem duplikasi.

Itulah usaha yang memang rentan untuk “bubar” pada generasi ketiga. Sebab, nampaknya keluarga Tionghoa ini tidak mau menduplikasikan job desk-nya pada orang lain. Itu baru soal job desk, belum soal racikan bumbu gado-gado dan asinan yang saya yakin banget tidak akan pernah mereka berikan kepada orang lain, selain keluarga dekat dari keluarga Tionghoa ini. Memang wajar. Keberhasilan bisnis mereka ya dari racikan bumbu yang mak nyos itu yang dibuat oleh pemiliknya langsung, yakni ibu Lanny Wijaya.

Serba salah, mungkin itu kata yang tepat buat bisnis model gado-gado Bon Bin ini. Kalo racikan bumbu diberikan kepada orang lain, mereka pasti akan berpikir bisnis gado-gado akan hancur lebur. Oleh karena itu, lebih baik racikan bumbu hanya diketahui oleh anak kandung atau cucu, yang sekarang diturunkan dari ibu Lanny ke anaknya Yuli. Namun sayang, cucu ibu Lanny atau anak ibu Yuli tidak nampak. Jadi, risiko yang bakal terjadi dalam bisnis gado-gado Bon Bin setelah 50 tahun atau sepeninggal anak kandungnya yang sekarang bertugas meladeni pelanggan itu, belumlah jelas. Eksiskah atau malah tinggal kenangan.


Mampukah gado-gado mak nyos Bon Bin ini bisa bertahan 50 tahun mendatang dengan model bisnis konvensional?

Bisnis model gado-gado Bon Bin ini pula yang menurut saya tidak bisa dijadikan bisnis model franchise. Kenapa? Sekali lagi, racikan bumbunya sepertinya menjadi rahasia keluarga saja. Agaknya, selama racikan bumbu masih dikendalikan oleh satu orang, sepertinya sistem duplikasi tidak akan berjalan sesuai kaidah franchise.

Lebih dari itu, di usia yang ke-50 tahun lebih ini gado-gado Bon Bin tidak memiliki layanan delivery. Maklumlah, tidak ada orang. Ya, selain tidak ada generasi berikut yang akan mewariskan bisnis ini, pun orang yang menurut keluarga Tionghoa ini bisa dipercaya. Kalo Anda mau beli, ya harus punya waktu datang ke jalan Cikini. So, jangan berharap gado-gado Bon Bin akan memiliki gerai sebanyak KFC atau McDonnald. Sampai kapan pun bisnis model gado-gado Bon Bin akan menjadi bisnis konvensional. Gemuk di satu tempat, bukan dengan strategi tidak membuat gemuk, tetapi porsinya mengenyangkan di banyak outlet.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Friday, August 20, 2010

Sunday, August 1, 2010

SEBULAN TUJUH HARI, SEBELUM SERAH TERIMA KUNCI

Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio terbengong-bengong begitu menginjakkan kaki di area kompleks Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan pada Jumat (30/07) kemarin. Betapa tidak, rumah-rumah yang sekiranya nanti akan ditempati pria kelahiran 17 Agustus 1977 yang dikenal sebagai bintang sinetron ini dan seluruh anggota DPR lainnya, belum kelar. Padahal deadline selesai proyek ini tinggal 43 hari terhitung Jumat lalu itu.

Kebingungan yang sama juga dialami oleh anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, PhD. Bersama dua anggota lain, perempuan yang dikenal sebagai aktivis LSM ini melihat seluruh fisik bangunan, mulai dari kondisi eksterior maupun interiornya.

“Apa mata saya salah lihat ya? Atau memang struktur bangunannya miring?” tanya Hetifah pada saya saat melihat salah satu rumah dinas yang di Blok C yang terlihat miring konstruksinya.



Ternyata bukan Hetifah yang salah, tetapi memang struktur bangunan yang salah. Menurut kontraktor utama Adhi Karya (Persero) Tbk dan Indah Karya, mengaku sangat kesulitan membangun rumah dinas anggota DPR ini. Kesulitan itu di antaranya, karena rumah lama ternyata spesifikasi dan ukurannya tidak sama serta kontur tanah yang tidak rata. Maklum dahulu kala dikerjakan oleh lebih dari 13 kontraktor.

"Tapi alasan itu tidak bisa menjadi pembenaran sehingga harus kerja lembur. Itu risiko," ujar anggota BURT DPR Agus Sulistyono yang penulis kutip dari situs Jurnal Parlemen, Kamis, 17/06/2010 | 16:26.

Ketika memasuki ruang dalam rumah, kondisi memang masih jauh dari sempurna. Padahal sebelum kunjungan anggota DPR Jumat (30/07), Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Dewan Perwakilan Rakyat, Refrizal sempat meninjau proses pembangunan rumah jabatan di Kalibata itu pada Kamis 17 Juni 2010. Saat itu pihak konsultan mengatakan proses pembangunan sudah 60 persen. Namun Agus mengaku sangat kecewa atas pembangunan RJA DPR di Kalibata.

“Katanya pembangunan sudah 60 persen, tetapi faktanya masih sangat rendah,” ujar Agus seperti penulis kutip dari VivaNews.Com, Jum'at, 18 Juni 2010, 08:19 WIB.

Jumat sore lalu, seluruh anggota lagi-lagi kecewa. Namun kekecewaan mereka kali ini ditutupi dengan goyonan-guyonan seputar pembangunan yang belum rampung ini. Salah satu guyonan mereka begini, “Seharusnya yang disebut gedung miring, ya ini,” kata salah seorang anggota sambil ditimpali dengan tawa dari sesama anggota dan tamu lain. Yang dimaksud ‘gedung miring’ dalam guyonan itu tak lain adalah sebuah rumah yang konstruksinya miring. “Rumah ini kayaknya cocok buat Ketua Fraksi,” tambah anggota DPR itu.



Agus tidak yakin pembangunan 499 RJA ini akan selesai pada waktu yang telah ditetapkan oleh pengembang, yakni tanggal 8 September 2010. Kalo dihitung per tanggal 1 Agustus 2010 ini, maka sisa waktu pengerjaan proyek tinggal satu bulan tujuh hari.

Selain deadline yang mepet sementara kondisi proyek belum mencapai 60%, Agus juga sangat kecewa dengan kualitas. Menurutnya, dengan anggaran yang sudah ditetapkan, kualitas yang dilihat di lapangan, sungguh sangat mengecewakan. Tak heran BURT DPR RI akan mengevaluasi secara cepat kontraktor dan Sekretariat Jenderal DPR. Bahkan ia pun tidak akan mau menerima kunci saat acara serah terima kunci.

“Apabila ada ketidaksesuaian antara anggaran dengan kualitas yang ada, kami tidak akan menerima,” ujarnya.

Sekadar info, beberapa bagian renovasi bangunan tidak dilakukan sepenuhnya oleh Adhi Karya melainkan disubkan ke beberapa subkontraktor. Menurut Refrizal, karena ada bagian-bagian yang tidak dikerjakan oleh kontraktor utama, seperti pengerjaan teralis, pintu, kusen-kusen, dan lain sebagainya.

“Tetapi tetap standar karena diawasi oleh konsultan yang telah ditunjuk (Adhi Karya-pen),” kata Refrizal.

Sebagai rakyat perlu Anda ketahui, bahwa anggaran renovasi RJA Kalibata ini semula dialokasikan dalam dua tahun anggaran. Pada 2008, pemerintah mengucurkan Rp50 miliar dan 2009 sebesar Rp104,1 miliar. Ternyata, belakangan muncul angka baru sebesar Rp355 miliar yang disebutkan oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI.

Anehnya, perwakilan dari pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum (PU), tidak tahu menahu detail anggaran RJA. Ditjen Cipta Karya tidak diajak mendiskusikan alokasi dana renovasi RJA tahun anggaran 2010. Meski begitu, Ditjen Cipta Karya hanya bisa memberikan besaran angka pada 2007 sesuai hasil penelitian kelayakan renovasi rumah dinas DPR termasuk masjid dan saluran air, yakni sebesar Rpl00 miliar.

Makin aneh, pihak kontraktor pelaksana PT Adhi Karya Tbk pun tidak memiliki angka pasti nilai kontrak proyek ini. Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk Bambang Triwibowo mengaku tidak mengetahui nilai kontrak proyek tersebut.

"Saya kurang tahu persisnya karena ada di bawah wewenang dan kendali Kepala Divisi Operasi 2. Saya kurang tahu persis soal kontrak dan pelaksanaan bukan (ditangani) direksi," tutur Bambang (Media Indonesia.Com, Minggu, 16 Mei 2010 15:34 WIB).

Ditjen Cipta Karya tidak tahu, kontraktor tidak tahu, termasuk juga Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya Tbk Karnadi. Katanya, ia tidak hapal nilai kontrak setiap proyek. Sebab, jumlah proyek perusahaan ini banyak, lebih dari 100 tiap tahun. “Saya pikir yang paling tahu kepala proyeknya. Silakan datang ke proyek saja," papar dia.



Anda pasti pusing kalo diputar-putar seperti itu. Buat mencari informasi agar nilai proyek terbuka dan diketahui oleh masyarakat, ternyata sulitnya minta ampun. Seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Padahal RJA itu pun diambil dari dana masyarakat, salah satunya ya lewat pajak. Wah, saya jadi curiga, nih....

Sebelumnya, Wakil Ketua BURT Refrizal sempat memberikan titik terang. Ia menyatakan, alokasi anggaran untuk renovasi RJA bukan Rp 244,07 miliar, tapi mencapai Rp 355 miliar. Angka tersebut terinci dalam APBN 2008 sebesar Rp 50,9 miliar, APBN 2009 sebesar Rp l01,l miliar, dan APBN-P 2010 sebesar Rp203 miliar. Nah, makin jelas!

Jadi, total biaya renovasi rumah dinas tercatat sebesar Rp 355 miliar. Angka tersebut termasuk alokasi untuk pembangunan 10 rumah dinas baru, gedung pertemuan tiga lantai, masjid Al- Amin, dan beberapa fasilitas yang ada di kompleks itu. Namun, ada anggota yang sanksi dengan biaya sebanyak itu dengan kualitas yang mereka saksikan di lapangan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya