Wednesday, August 25, 2010

48 TAHUN TVRI: HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

Suka tak suka memang begitulah kenyataan yang dialami TVRI. Di usianya yang ke-48 pada 24 Agustus kemarin, TVRI bukan menjadi televisi yang digemari penonton, malah terpuruk. Masyarakat Indonesia sudah asing dengan tayangan-tayangan TVRI. Kalau pun ada tayangan TVRI yang ditonton, paling-paling program “paksaan”, karena seluruh stasiun televisi, termasuk swasta harus me-relay siaran dari TVRI.

TVRI seperti berbicara kebesaran masa lalu. Tayangan-tayangannya selalu menjadi primadona –tidak berlebihan jika dikatakan legend. Sebut saja Cerdas Cermat, Menggambar Bersama Pak Tino Sidin, Drama Remaja, atau sinetron Rumah Masa Depan karya Ali Shahab. Ada pula Aku Cinta Indonesia (ACI) yang sempat mengorbitkan beberapa pemain menjadi bintang sinetron terkenal, tetapi kini semuanya hilang entah kemana.

TVRI bagai kota tua, dimana bangunan-bangunannya masih tetap ada, tetapi tidak terawat. Yang tersisa hanya memori masa lalu, sejarah. Memang tak bisa dipungkiri, berbicara TVRI juga tak bisa lepas dari sejarah bangsa Indonesia.

Empatpuluh delapan tahun lalu, Presiden RI pertama Ir. Soekarno memberi instruksi kepada Direktorat Perfilman Negara dan Direktur Teknik Jawatan Radio untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games IV yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1962. Salah satu bentuk dukungan instansi tersebut adalah membentuk stasiun televisi.

Antara instruksi dan waktu merealisasikan instruksi Presiden ternyata relatif pendek, yakni satu tahun satu bulan. Dengan waktu yang singkat itu, plus instruksi yang dilandasi hukum Keputusan Presiden (Keppres) No. 215 Tahun 1962, pembangunan TVRI dikebut dan akhirnya TVRI pun mengudara.

Keterbatasan persiapan pendirian stasiun televisi ini membuat TVRI tak maksimal. Antena siar berdaya pancar 10 KW itu hanya ditancapkan pada puncak menara Hotel Indonesia (sekarang Hotel Kempinski) yang saat itu merupakan bangunan tertinggi. Daya pancar itu membuat area TVRI cukup terbatas, yakni hanya diterima di wilayah Senayan, Kebayoran Baru, Tanah Abang, Menteng, dan sekitar Harmoni. Kalo dilihat, daerah-daerah tersebut cuma mencakup wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.

Masalah antena ini selanjutnya menjadi masalah serius. Jika ingin dinikmati oleh masyarakat di luar Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, maka antena TVRI harus dipindah. Tak heran, setelah Asian Games IV, antena dipindah dari puncak Hotel Indonesia ke manara Senayan. Di tempat yang baru inilah siaran TVRI mulai menjangkau wilayah Bogor dan Bandung. Maklumlah, daya pancarnya pun juga sudah dinaikkan menjadi 80 KW.

Periode 70-an sampai dengan 80-an menjadi masa-masa keemasan TVRI. Bagi masyarakat Indonesia, TVRI ibarat primadona baru dalam jagat teknologi. Jutaan pasang mata selalu menyaksikan siaran televisi. Meski siaran TVRI masih terbatas –tak ada siaran pagi hari dan berakhir mentok sampai pukul 10 malam-, tetapi masyarakat mencintai TVRI.

Masa keemasan TVRI mulai luntur begitu pemerintah membuka “keran” kebijakan, mengizinkan beroperasinya stasiun televisi swasta nasional. Tepat pada 26 Agustus 1990, lewat SK Menpen No 04 A/ Kepmenpen/ 1993, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) mengudara. Setelah RCTI kemudian menyusul empat stasiun televisi baru lahir, yakni SCTV, TPI, ANTEVE, dan terakhir Indosiar.

Kehadiran stasiun televisi swasta (bahasa Komisi Penyiaran Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Swasta) membuat TVRI terpuruk. Masyarakat yang tadinya tak punya pilihan tontonan, satu per satu pindah ke lain “hati”. Kalau pun ada masyarakat yang tetap menonton TVRI, mereka dianggap penonton “jadul”. Bukan penontonnya yang memang berusia lanjut, tetapi program-program acara plus tampilan programnya kurang kreatif (sebenarnya kata “kurang kreatif” adalah kata sopan untuk mengganti kata jelek untuk tampilan program TVRI).

Baik backdrop, lighting, maupun blocking benar-benar jadul. Jadi jangan heran, ada anekdot di sekitar stasiun televisi swasta yang selalu menyinggung SDM-nya jika membuat program atau tampilan acaranya jelek, pasti dibilang “TVRI banget, sih!”. Menyidahkan bukan?

Begitulah kenyataannya. Sampai sekarang pun tak ada perubahan yang signifikan pada TVRI. Usia 48 tahun tidak serta merta menjadi stasiun televisi yang disukai penonton, malah sebaliknya dijadikan “bulan-bulanan” oleh mayoritas masyarakat. Bahwa dikatakan, TVRI adalah stasiun televisi “orang kampung”.

Sumber Daya Manusia (SDM) di TVRI yang menjadi salah satu penyebab TVRI menjadi televisi “orang kampung”. Terlalu banyak SDM yang jadul, tidak kreatif, dan seolah sekadar “makan gaji buta”. Bayangkan, data terakhir karyawan TVRI lebih dari 5.000 orang. Bandingkan dengan dengan karyawan televisi swasta, misal tvOne yang hanya berjumlah 1.500-an orang.

Karyawan TVRI memang tidak efisien. Banyak karyawan yang status quo. Padahal TVRI butuh tenaga-tenaga kreatif dengan gagasan-gagasan segar yang out of the box. Meski televisi publik (istilah sopan untuk menyebut televisi milik pemerintah), bukan berarti tidak kreatif. Itulah mengapa banyak yang mengatakan, TVRI baru akan menjadi primadona lagi jika SDM-SDM yang lama pensiun atau dipensiunkan, dan kemudian diadakan rekruitment lagi untuk mencari SDM-SDM baru yang segar dan punya komitmen membesarkan TVRI.

Namun, selama masih banyak SDM-SDM lama atau “senior” yang masuk dalam golongan status quo, selama itu pula TVRI akan terus bergejolak. Berita terakhir yang menjadi kado teristimewa dari TVRI adalah pengangkatan Direktur Utama (Dirut) TVRI Immas Sunarya yang dianggap illegal oleh tiga organisasi, yakni Forum Komunikasi Karyawan (FKK) TVRI, Yayasan Pensiunan TVRI, dan Forum Peduli TVRI.

Menurut ketiga organisasi tersebut, Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI bermasalah. Dikatakan, bahwa Dirut TVRI tidak dipilih melalui fit and proper test sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP)-TVRI pasal 7 ayat (c).

“SK Dewas itu SK bodong,” ujar Robby Samosir dari Forum Peduli TVRI mengomentari SK Dewas bernomor 16 Tahun 2010 itu (Lampu Hijau, Rabu 25/08).

Menurut kabar yang beredar, Immas ditunjuk langsung oleh Dewas sebagai Dirut TVRI untuk masa jabatan 2010-2011, terhitung sejak 18 Mei 2010 lalu. Oleh Dewas –yang terdiri dari Profesor, Doktor, maupun Jenderal-, Dirut baru ini bertugas mengisi kekosongan kursi Dirut lama, yakni Hariono, yang mendadak mengundurkan diri pada Oktober 2009.

“Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Dewas. Hasil dari pengangkatan ibu Immas sebagai pelaksana tugas harian Dirut TVRI sudah sesuai aturan yang ada,” ujar Retno Intan, salah satu anggota Dewas. “Saya harap keputusan tersebut dihargai dan dihormati.”

Senada dengan Retno, mantan karyawan TVRI yang kini aktif di dunia politik Max Sopacua mengamini ucapan Retno. Meski begitu, yakinlah konflik internal TVRI tetap tiadk pernah selesai. Sekali lagi, selama masih ada karyawan yang status quo, selama itu pula kondisi TVRI tidak akan pernah tenteram dan fokus mereformasi program siarannya yang jadul itu.

No comments: