Wednesday, February 18, 2009

DUNIA TANPA SIMBOL

Sebagai manusia, kita terbiasa dengan kondisi yang udah ada saat ini. Wajah sih, namanya juga manusia. Dalam diri manusia, selalu ingin hidup santai. Take it easy. Kata orang, hidup udah susah, ngapain dipersulit lagi. Bikin pusing otak aja!

Padahal! Kalo kita mau sedikit mikir, ada banyak hal yang akan aneh kalo nggak eksis. Dalam note ini, hal yang gw maksud adalah simbol. Simbol? Yes! Kita memang nggak sempat berpikir jauh soal bantuan simbol dalam kehidupan kita. Aspek-aspek kehidupan kita udah terbantu oleh hal yang bernama simbol ini. Nggak bisa dipungkiri lagi, simbol juga membantu hidup para pemilik usaha, terutama produk-produk konsumtif.

“Terbayang nggak loe dunia tanpa simbol?” kata temen gw yang kerja di sebuah Agency Periklanan.

“Nggak! Ngapain gw bayangin? Ngabisin waktu aja! Mending gw ngurusin ketek gw yang udah mulai bau lagi. Padahal gw udah kasih deodoran berkali-kali. Deodorannya pun udah segala merek, Cin! What’s wrong with my ketek ya?”

“Lah, itu mah urusan elo! Mungkin ketek loe kudu disekolahin dulu kali!”

“Bener juga loe. Emang ketek loe sempat disekolahin, Cin?”

“Sempet dong, Cin! Sekolah sampe S3!”

Intermezo dikit, bo! Soalnya kita ngebahas simbol yang rada berat. Memang nggak seberat politik dan ekonomi sih. Back to simbol! Nah, sekali lagi simbol itu sangat membantu. Mari gw ambilkan contoh. Simbol di toilet yang menggambarkan “kepala pria” dan “kepala wanita” itu sngat penting. Bisa bayangkan kalo toilet tanpa simbol dua “kepala” itu? Pasti banyak cowok dan cewek yang nyasar. Cowok ke toilet cewek, sebaliknya cewek masuk ke toilet cowok.

Contoh simbol “kepala” di toilet kelihatannya sepele sih, tapi penting banget. Wong kadang-kadang, udah ada simbol “kepala” aja masih banyak yang nyasar masuk kok, ya nggak? Elo pernah kan nyasar? Ngaku deh! Padahal simbolnya udah jelas, simbol “kepala wanita” adalah seseorang yang rambutnya panjang atau pakai konde. Bibir orang ini pun diberi ketebalan warna. Itu maksdnya lipstik. Sementara penggambaran sosok pria di simbol “kepala pria” adalah berambut pendek dan bibirnya tanpa diberikan ketebalan warna.


Ini lebih cocok disebut sign atau tanda. Tanda sebuah batas antara Kelurahan A dengan Kelurahan B. Dikasih tanda supaya nggak gontok-gontokan soal wilayah masing-masing. Jangan sampai Lurah A minta dana ke warga yang seharusnya ada di wilayah Lurah B. Kalo terjadi, bisa-bisa perang antarwarga.


Beda kalo yang masuk toilet itu Waria. Manusia berjenis kelamin Waria ini memang gokil. Doi lebih nyaman masuk ke toilet bersimbol “kepala wanita”. Soalnya, doi merasa dunianya udah dunia wanita, meski Titit si Waria masih belum dipotong. Lagipula si Waria ini udah terbiasa kencing duduk kayak perempuan. Kalo si Waria masuk ke toilet bersimbol “kepala pria”, takut Tititnya dilihat sama pria-pria lain dan dikomentari. “Kok Tititnya kecil sih?” atau “Kok Tititnya belum dipotong sih?”

Simbol di toilet adalah contoh sederhana betapa simbol memberi peranan penting dalam kehidupan. Masih nggak percaya juga soal pentingnya simbol? Mari gw kasih contoh lagi. Sekarang elo bayangin simbol-simbol di jalan raya dihapus. Nggak ada lagi simbol “S coret” sebagai tanda dilarang parkir atau “P coret” sebagai simbol dilarang parkir, atau “U turn” sebagai tanda kendaraan boleh memutar balik, dan simbol-simbol lainnya. Apa yang terjadi? Yakin deh, dunia persilatan eh salah perlalulintasan akan kacau balau. Mobil akan seenaknya parkir di bawah tanda “P coret”. Mikrolet seenaknya berhenti di tanda “S coret”.

Traffic light gw anggap masuk dalam kategori simbol. Kenapa? Warna-warna yang ada di traffic light menunjukan simbol di dunia lalu lintas. Di seluruh dunia, udah disepakati bersama kalo di traffic light berwarna merah, itu tandanya kendaraan kudu berhenti. Lalu warna hijau, kendaraan boleh jalan. Sedang warna kuning, bisa dua arti. Arti pertama, siap-siap warna akan berganti jadi hijau. Ini kalo warna sebelum warna kuning adalah merah. Kalo warna sebelum warna kuning hijau, maka arti kuning setelah hijau maksudnya hati-hati warna akan berganti merah. Bingung?

Sebenarnya sih disiplin berlalulintas Manusia Indonesia, nilainya masih di angka 5. Ada nggak ada simbol, Angka ini sebenarnya masih mending dibanding angka 4. Padahal kalo harusnya angkanya memang 4. Separah itukah? Gw bisa berteriak: YES! Disiplin berlalulintas kita baru pada tahap kucing-kucingan. Maksudnya, kalo ada Polisi kita disiplin, kalo nggak ada jadi berprilaku primitif. Ironisnya, ada Polisi pun kadang para pengendara masih nekad menunjukan diri dalam hal ketidakdisiplinan mereka. Gokil nggak sih?

Di perempatan rumah gw, lampu merah udah nggak dianggap, Cin. Baik motor maupun mobil seenaknya menerobos traffic light. Apalagi Metromini atau Angkot, wah nggak perlu ditanya lagi, pasti menerobos, Cin. Polisi kadang ada, kadang nggak ada di situ. Lebih banyak nggak adanya sih. Kalo ada pun, nggak dianggap. Polisi lebih sibuk dengerin suara-suara yang keluar dari handy talky (HT) ketimbang ngurisin lalu lintas.

Sekarang dah ngerti kan kalo simbol itu penting dalam kehidupan kita? Nah, ada sebuah pemikiran yang gw ambil dari buku “Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan” karya DR. Matius Ali, M. Hum. Pemikiran filusuf asal Inggris: Susanne K. Langer yang mementahkan contoh gw di atas tadi. Lho kok?


Ini simbol Manusia yang punya dompet kurang uang. Kenapa? Yaiyalah, di dompetnya cuma tinggal selembar uang 50 ribuan. Sisanya cuma recehan. Padahal tanggal masih menunjukan tanggal 19. It means, gajian masih lama, bo!


Susanne membedakan antara tanda dan simbol. Tanda atau bahasa sononya sign itu dipakai buat menyatakan suatu hal, peristiwa, atau keadaan. Tanda merujuk pada objek. Antara tanda dan objek saling berhubungan. Ada dua macam tanda (1) tanda alamiah dan (2) tanda buatan.

Asap adalah contoh tanda alamiah. Penjelasannya begini, kalo kita melihat asap, itu tandanya bermacam-macam: air yang dimasak udah mendidih, ada kebakaran di hutan, ada orang merokok di dalam WC, dan contoh lain. Sementara contoh tanda buatan adalah peluit. Wasit yang meniupkan peluit di menit pertama maksudnya memberikan tanda ke para Pemain sepakbola agar memulai pertandingan. Semua Pemain pasti udah faham itu. Kalo ada Pemain yang nggak ngerti tanda bunyi peluit, itu namanya Pemain tolol.

Sekarang gimana dengan simbol? Simbol lebih merujuk pada konsep. Maksudnya, butuh pemikiran buat memahaminya. Ada makna denotatif maupun konotatif di dalam sebuah simbol. Beda dengan tanda yang cuma punya satu makna, yakni makna denotatif aja. Ngerti kan maksud makna denotatif dan konotatif? Itu pelajaran SMP kalee! Yasud, gw terangin lagi.


Kalo ada akronim "HD" itu tandanya Harley Davidson. HD udah jadi simbol biker sejati. Mereka yang pakai motor bermerek HD, udah pasti berjiwa biker. Nggak mungkin berjiwa Rinto Harahap atau Pence Pondaan. Saking mengkultuskan HD, banyak Manusia yang rela mentato diri simbol HD. Nggak cuma di lengan, tapi ada yang mentato jidat, dan di pantat.


Makna denotatif itu makna sesungguhnya. Maksudnya kalo kita melihat Maryln Monroe, kita akan memaknai Marlyn sebagai seorang wanita yang bernama Marlyn Monroe. Nah, kalo makna konotatif, kita akan memaknai Marlyn Monroe sebagai wanita seksi dan bintang Hollywood. Ngerti? Gw kasih contoh lagi ya? “Merah”, misalnya. Kalo makna denotatif, “merah” cuma dimaknai sebagai warna yang berwarna merah. Tapi kalo kita memaknai “merah” dalam konotatif, itu artinya “berani”.

Menurut Susanne, ada dua macam simbol. Simbol Diskursif dan Simbol Representasional. Simbol Diskursif adalah simbol rasional atau yang dapat dimengerti oleh nalar kita. Simbol ini biasanya terungkapnya secara bertahap. Misalnya “S Coret”. Kalo di frame cuma ada “S Coret”, itu sebuah tanda “dilarang stop”. Namun kalo pada frame berikutnya, ada seorang Wanita jalan dan berdiri di “S Coret”, itu akan melahirkan sebuah Simbol Diskursif. Coba tebak maksud adegan itu apa?


Simbol M kayak begini udah pasti tempat sasana tinju. Kok tinju? Soalnya, Manusia kudu berantem dengan emosinya. Di satu sisi kudu menjaga kesehatan, karena udah janji nggak makan fast food. Di sisi lain kudu berantem dengan perut yang keroncongan. Siapa yang menang? Bertinjulah sang emosi dan perut yang keroncongan itu.


Simbol Representasional yang lebih absurd dan subjektif. Kita yang mau coba memahami, perlu berkali-kali melihat. Sebagai contoh, lukisan-lukisan abstrak, ekspresionis, atau sur-realis. Buat elo yang bukan penggemar lukisan, pasti bakal kecewa melihat lukisan kayak cakar ayam. Nggak jelas! Absurd! Isi lukisan di kanvas cuma garis-garis atau cipratan-cipratan cat minyak. Padahal, si Pelukis bukan nggak bisa melukis. Garis-garis itu pasti punya makna simbolik.

Lain Susanne, lain Douglas Atkin. Menurut Direktur Strategi Agency Merkley and Partners dalam buku The Culting of Brands: When Customers Become True Believers ini, simbol adalah merek. Merek adalah simbol. Ini kok dibolak-balik? Piye? Udah jangan marah-marah! Mari kita lanjutkan. Simbol bukan sekadar sebuah ikon sederhana kayak salib, bintang, atau patung Buddha berperut besar. Simbol lebih seperti sebuah jejaring tanda-tanda yang terikat secara bersama membentuk keseluruhan makna.


Supaya menancapkan simbol atau merek ke otak Customer, salah satu resto membuat tulisan di cream kopi. Kreatif? Iya. Sama kreatifnya ketika resto ini membuat promosi via SMS yang mengelabui gw. Dibilang diskon 50%, eh ternyata cuma berlaku buat makanan tertentu. Udah gitu pesannya pun kudu di atas berapa puluh ribu. Dasar!


Tambah Atkin, merek telah menjadi tanda individual identitas manusia. Merek telah menjadi sesuatu yang begitu penting bagi representasi kultural. Ibarat kata, manusia rela “merajah” tubuh mereka dengan merek tersebut. Inilah yang dimaksud Atkin ujung-ujungnya “mengkultuskan” merek. Maksudnya? Begini, mohon maaf kalo rada sombong, gw kalo beli jins pilihannya cuma dua: Levi’s atau Lea. Kalo lagi punya duit banyak, ya Levi’s. Terserah mau yang serinya 501 atau 505 atau seri lain. Itu kalo punya duit. Tapi kalo duitnya cekak, ya pilihannya Lea. Kalo bener-bener nggak punya duit tapi nggak punya jins? Ya pake celana dalam aja kali, bo!

Nah, sekarang udah pada bingung kan soal simbol? Pokoknya, elo bisa simpulkan sendiri dari pendapat-pendapat di atas. Kalo gw tetap pada pendirian. Tanda-tanda di sekitar kita itu masuk kategori simbol. Simbol yang maknanya lebih denotatif alias mudah dimengerti. Begitu pula kalo elo melihat gambar “kerang” warna kuning, itu simbol Shell.

“Kalo gambarnya kayak kapal selam kecil berwarna kuning?”

“Ngambang nggak?”

“Ngambang di kali. Itu simbol apa hayo?”

“Itu mah tokai kaleeeee!!!!”


all photos by Brillianto K. Jaya

IKLAN KOCAK




Saturday, February 14, 2009

NGOMONG-NGOMONG MAS PERNAH NGUTANG NGGAK?

Rekor eksistensi warung ini barangkali bisa disejajarkan sama jabatan Presiden Soeharto. Tigapuluhdua tahun! Bukan waktu yang sebentar dan masih lebih tua dari umur Warmo di Tebet atau warung di Bulungan, Blok M. Entah kapan akan terus meladeni para Customer yang kelaparan. Uniknya lagi, bukan meladeni Manusia. Tapi meladeni Seniman yang doyan ngutang. Walah!


Lokasi warung ini cukup unik, yakni berada membelah tembok. Segaris dengan garis tembok. Kalo nggak ada warung ini, pasti jalanan ini cuma ada tembok putih. Berkat doa para Seniman, Warsen ini eksis meladeni perut lapar para Seniman dan warga sekitar situ selama lebih dari 30-an tahun.


Inilah Warung Mimi. Nama terakhir itu adalah pemilik asli warung ini. Wanita tua ini asli Cirebon. Jadi warung makan ini nggak cocok dibilang Warteg atau Warung Tegal. Lebih cocok disapa Warcir. Tapi kayaknya nggak enak menyebutkannya. Lebih pula jarang ada warung Cirebon yang disingkat-singkat. Ada baiknya kita singkat sebagai Warsen alias Warung Seniman.

Lho kok Warung Seniman?

“Dulu banyak Seniman makan di sini,” jelas seorang Ibu setengah baya ke gw. Ibu setengah baya ini nggak lain adalah Putrinya Ibu Mimi, pencetus lahirnya Warsen ini.


Jendela kayu yang menggunakan kayu sebagai penyangga, tetap dipertahankan sampai sekarang. Bukti, arsitektur bahuela gak harus ikut-ikutan arsitektur modern. Yang penting makanan yang tersedia tetap lezat. Perhatikan tembok di depannya. Itu tembok TIM yang saat berdiri Warsen ini masih pakai seng.


Menurut Ibu setengah-setengah tadi itu, banyak Seniman jebolan TIM yang sekarang udah ngetop, makan di sini. Mulai dari El Manik, Didi Petet, Darmanto, dan Sardono W. Kusomo yang sekarang jadi Rektor Institut Kesenian Jakarta. Deretan nama-nama ini semakin panjang, karena memang terlalu banyak Seniman yang udah pernah merasakan makan di Warsen milik Ibu Mimi ini. Nggak cuma makan, banyak yang ngutang pula. Jangan-jangan mereka yang udah jadi “orang” ini masih punya hutang?

“Nggak tahu deh!” Ibu setengah itu tersenyum. Kayaknya doi nggak peduli sama hutang Seniman-Seniman yang udah ngetop itu. “Yang penting someday mereka bisa mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah internasional. Dengan begitu, kita-kita sebagai orang Indonesia jadi ikut-ikutan happy”. Kalimat itu bukan milik Ibu setengah-setengah. Tapi milik gw.


Banyak Seniman TIM yang udah jadi "orang" sempat makan dan ngutang di Warsen ini. Wajah para Seniman, kini cuma bisa disaksikan di televisi yang ada di Warsen itu. Mereka udah jarang datang ke Warsen. Boro-boro bayar utang, mencicipi usus dan ati ampela udah nggak sempet lagi. Sibuk syuting lah yau!


Cara makan Seniman sama kayak Manusia biasa. Sometimes mereka pakai sendok dan garpu, sometimes mereka cuma pakai tangan dan kaki. Menu yang dimakan para Seniman juga nggak beda-beda amat kayak menu yang dipilih para Manusia. Kalo kebetulan ada duit, makannya sayur plus dadar telor. Kalo kebetulan nggak ada duit dan niat mau ngutang, makannya pake sayur plus telor dadar. Bedanya apa ya? Sebenarnya memang nggak ada beda. Bukankah gw udah bilang Seniman dan Manusia nggak ada bedanya? Begitu pula kalo lagi punya duit dan nggak punya duit pun nggak ada bedanya kalo makan? Maklum Seniman, nyentrik!

“Kalo mbak Renny mah sukanya makan pakai ati ampela,” kata Ibu setengah-setengah itu. Yang dimaksud Renny di kalimat Ibu tadi bukan Renny Pattinasarani. Soalnya Renny itu nama Wanita. Sementara Renny yang belakangnya pake Pattinasarani itu pemain sepakbola nasional yang udah wafat. Renny yang berwujud Wanita ini nggak lain nggak bukan si Lady Rocker yang selalu memakai banyak aksesoris di seluruh badannya: Renny Jayoesman. Bagi yang nggak kenal nama ini, please bayangin aja wajahnya ya? Mirip-mirip kayak Mariem Barlina gitu deh!


Menu makanan di Warsen macam-macam. Nggak cuma tahu atau tempe goreng. Ada usus, ati ampela, telor ceplok dicabein, tempe orek, dan lain sebagainya. Jangan lupa cicipi sambalnya. Pedes-pedes gimana gitu...


Terus terang, jasa Warsen ini sangat berjasa bagi khalayak Seniman saat itu. Berdiri sejak 30-an tahun lalu, kala Taman Ismail Marzuki masih sebuah proyek yang sedang menggerjakan kompleks seni. Tembok yang sedang udah berdiri tegak, dahulu masih berupa seng. Elo pasti bisa ngebayangin kalo sebuah proyek sedang dikerjakan, pasti seluruh lokasi proyek ditutupi seng. Nah, berdirinya Warsen milik Mimi ini masih kayak begitu.

Soal lokasi, dari dulu sampai sekarang sih masih sama. Berada di sebuah gang di Kalipasir. Warsen benar-benar nyempil di tengah sebuah tembok yang membatasi gang Kalipasir dan duni lain. Dunia lain ada bank, ada bangkel, dan ada-ada yang lainnya. Struktur bangunan Warsun ini nggak banyak berubah. Ada sih renovasi sedikit demi sedikit.

“Itu kalo ada orang bengkel yang mau makan,” kata Ibu setengah-setengah yang menjelaskan soal lubang di bagian dapur.


Ini di bagian dapur yang menghubungkan dengan ruang istirahat. Ada dipan tempat tidur Pelayan Warsen yang kalo lagi cape bisa ngaso di situ. Perhatikan di samping lemari, ada lubang berdiameter 5 cm. Itu lubang udah ada sejak dahulu kala. Entah berapa juta rupiah transaksi yang terjadi lewat lubang itu. Yang pasti itu lubang halal toyyiban.


Lubang itu boleh jadi lubang sejarah. Soalnya umurnya udah lama. Sejak gw terakhir makan di Warsen ini tahun 2004-an, lubang itu dibiarkan berlubang sampai tahun udah memasuki 2009. Entah udah berapa rupiah yang dihasilkan Warsen ini via transaksi lubang. Untung lubang itu halal. Artinya transaksi yang terjadi via lubang, menghasilkan uang yang diridhoi Tuhan. Coba kalo lubang yang dimaksud adalah lubang maksiat, mau harga lubangnya selangit tetap aja duit yang diterima adalah duit panas alias nggak halal.

Kini, di tengah-tengah persaingan para Caleg yang narsis, Warsen masih eksis. Terus terang gw bersyukur masih bisa menikmati tahu goreng atau sayur labu siem yang maknyos di warung ini. Gw juga masih menikmati sambal yang dari tahun 1999 sampai 2009 ini racikannya masih sama. Pedas-pedas endang! Gw berdoa, semoga Ibu setengah-setengah ini bisa mewarisi Warsen ini dari Ibu Mimi yang kebetulan gw nggak sempat melihat lagi wujudnya. Katanya sih masih hidup dan tinggal di Cirebon.

“Ngomong-ngomong Mas pernah ngutang di warung ini nggak ya?”

Terus terang, ditodong begitu gw jadi minder. Antara yakin nggak yakin punya utang. Tapi gw sempat mempertanyakan di luar masalah utang, yakni soal Seniman. Harusnya gw nggak makan di warung ini, karena gw bukan Seniman. Gw cuma Manusia biasa yang penuh bergelimangan dosa. Jadi, maafkan daku kalo dianggap masih punya utang. Moga-moga ada yang ikhlas mau bayarin gw. At least nanti gw bayar setelah dapat bonus dari kantor gw.

“Emang situ dapat bonus?”

all photos by Brillianto K. Jaya

Thursday, February 12, 2009

MEMPERTANYAKAN OBJEKTIVITAS DOKTER

Waktu kecil gw sempat ditanya Mama dan Papa. Biasalah, pertanyaan klise, soal cita-cita. Mau jadi apa kalo gw udah besar nanti? Sebenarnya pertanyaan orangtua gw yang tercinta ini kayak pertanyaan jebakan. Lho jebakan? Iya! Mereka pasti udah tahu kalo udah besar, gw tetap jadi Manusia, bukan jadi Monyet.

Gw terlahir bukan kayak anak kecil biasa. Yang kalo ditanya soal cita-cita, jawabannya pasti klise. Kalo nggak mau jadi Dokter, Insinyur, ya biasanya mau jadi Pilot. Ada juga sih ada anak-anak yang lebih pintar. Ketika ditanya mau jadi apa, jawabannya mau jadi Astronot. Keren banget kan cita-cita jadi Astronot? Bisa pergi ke bulan. Padahal kalo nggak sempat ke bulan, anak-anak berjenis kelamin Wanita, nggak perlu risau kalo nggak sempat jadi Astronot dan pergi ke bulan. Kenapa? Soalnya saban bulan, pasti Wanita akan dapat bulan. Kecuali Wanita itu sebenarnya berwujud Pria kayak Dorce.

Ada juga sih yang mau jadi Polisi atau Tentara. Ini profesi yang luar biasa. Sempat-sempatnya kepikiran ya anak-anak kecil? Mungkin anak-anak ini udah bisa melihat, profesi ini bakal laku keras di pasaran. Maksudnya? Kalo Polisi ini memang dibutuhkan saat-saat ini. Nggak cuma di Jakarta, tapi di Sumatera Utara, maupun kota-kota lain. Jumlah Polisi yang belum seimbang sama warga masyarakat, membuat lowongan menjadi Polisi terbuka lebar.

Tanpa Polisi, nggak mungkin demonstrasi anarkis yang dilakukan Mahasiswa atau LSM bisa selesai. Polisi kudu turun menangani Intelektual Muda yang norak-norak itu. Norak gara-gara demontrasinya sampai menghancurkan fasilitas umum. Polisi juga kudu menangani masalah perang antarkampung yang kerap terjadi dan menjadi bagian budaya primitif Indonesia.


Malaikat kecil gw lagi main dokter-dokteran, karena cita-cita mereka jadi Sutradara atau Animator. Apa hubungannya? Emang nggak ada! Yang satunya lagi cita-citanya jadi President. Tapi gw pesan, kalo jadi Presiden jagan kebanyakan promosi dan korupsi


Lalu kalo ditanya cita-cita apa jawaban gw?

Sebagai anak kecil, gw udah sempat berpikir besar. Gw ingin jadi Medical Representative. Apaan tuh? Nah, elo-elo ini jangan udik dan norak deh. Masa nggak tahu profesi yang selalu dekat dengan Dokter ini? Coba deh sekali waktu elo sakit dan nunggu di rumah sakit. Beberapa orang yang berpakaian rapi yang duduk di situ, bukanlah pasien. Jarang banget pasien dandan pas ke dokter. Yang rapi itu nggak lain adalah Medical Representative alias seorang wakil dari perusahaan farmasi yang menjual produk obat-obatan. Kita sebut dia dengan akronim MR.

Selain dandan, ciri-ciri MR adalah membawa tas. Ada yang pakai tas ransel, tas genggam, dan tas gendong. Gw nggak akan jelaskan satu per satu tas-tas itu. Nggak penting. Yang penting cerita soal si MR itu, ya nggak?

Di dalam tas-tas itu, biasanya ada brosur-brosur produk yang mereka wakili. Tergantung dari perusahaan tempat si MR ini kerja. Kalo di perusahaan ada banyak produk, otomomatis brosurnya banyak. Kalo di perusahaannya cuma ada satu produk, ya brosurnya cuma satu. Supaya nggak terlihat miskin brosur, makanya di tas MR dimasukin brosur-brosur lain, mulai dari brosur apartemen, rumah makan, dan brosur promo toko elektronik.




Target MR menjual sebanyak-banyaknya produk dari perusahaannya. Semakin banyak terjual, semakin memungkinkan mereka mendapatkan bonus. Ada strategi yang udah lazim digunakan agar target penjualan si MR tinggi, yakni bekerjasama dengan Dokter. Di sinilah beberapa Dokter “bermain”.

“Terserah mau pilih apa: mau mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan ke luar negeri?”



Pilihan-pilihan menarik kayak begitu, seringkali ditawarkan perusahaan farmasi via MD. Siapa yang nggak tergiur dengan tawaran tersebut? Buat Dokter yang belum punya rumah, tentu akan pilih rumah baru. Buat yang udah sering jalan-jalan ke luar negeri tapi nggak punya rumah, jelas akan pilih mengganti mobil lama menjadi mobil baru.

“Kalo udah punya mobil, rumah, dan jalan-jalan ke luar negeri milih apa dong?”

“Istri baru kali!”

Entahlah, ada nggak Dokter yang punya permintaan kayak begitu. Mungkin juga sih Dokter melakukan poligami. Bukankah Dokter juga manusia? Anyway, barangkali ada yang bertanya-tanya apa yang melatarbelakangi Dokter ditawari hal-hal menarik dari perusahaan farmasi?

• Ucapan Dokter seringkali kayak ucapan “Tuhan”. Maksudnya, mayoritas Pasien akan menelan mentah-mentah apa yang Dokter ucapkan. Dokter memberi saran A, Pasien akan menjalankan saran A itu. Apalagi kalo si Pasien udah jadi pelanggan tetap Dokter tertentu, wah ini udah pasti Dokter itu akan jadi “Tuhan”-nya si Pasien itu. Padahal ucapan Dokter nggak boleh ditelan mentah-mentah. Uniknya, saran Dokter A belum tentu sama dengan saran Dokter B. “Mungkin lain Universitas, lain sarannya kali,” kata seorang Pasien yang agak goblok tapi tolol.

• Persaingan antarperusahaan farmasi membuat perusahaan-perusahaan ini melancarkan strategi “perang dagang”. Kalo nggak mampu berperang, udah pasti perusahaan farmasi itu akan gagal dan ujung-ujungnya gulung tikar. Oleh karena itu, sebagai garda terdepan produk perusahaan farmasi, MR dikasih target. Target MR akhirnya juga menjadi target Dokter. Kalo Dokter mampu menjual produk tertentu, maka akan mendapatkan imbalan. Imbalannya ya itu tadi: mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan keluar negeri

Tulisan ini bukan bermaksud mendeskriditkan profesi Dokter. Buat gw, Dokter adalah profesi terhormat. Tanpa Dokter, nggak mungkin orang-orang sakit bisa mendapatkan clue atau solusi, penyembuhan penyakit yang mereka derita. Ya nggak? Namun, tulisan ini adalah refleksi dari pengalaman gw dan hasil gw mendengar dari teman-teman gw yang kebetulan udah pernah berhubungan dengan Dokter.

Berbeda kasus dengan Dokter yang ikutan Multi Level Marketing (MLM). Dokter jenis ini nggak mau dikasih target oleh MR. Buat doi, kalo terget MR terlampaui, itu sama aja mensukseskan perusahaan farmasi milik orang lain. Lho kan Dokter yang memenuhi target tetap dapat kompensasi? Iya sih mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan ke luar negeri.



“Tapi kalo sukses di MLM, hasilnya buat diri sendiri dan keluarga,” kata temen gw sok tahu. “Hasilnya pun bisa diwariskan buat anak dan cucu”.

Kalo dipikir memang enak sukses di MLM ketimbang mensukseskan target perusahaan farmasi. Dalam MLM, Dokter nggak menjual obat-obatan. Biasanya MLM menjual food supplement. Apa itu food supplement? Food supplement sebenarnya beda banget sama vitamin. Namun banyak orang menyamakan food supplement dengan vitamin, termasuk beberapa Dokter.

Menurut buku yang gw baca, food supplement adalah “makanan tambahan”. Maksudnya, “makanan” yang dibuat kayak vitamin yang berfungsi buat menambah kebutuhan yang kurang di tubuh kita. Setiap manusia beda-beda kebutuhannya. Ada yang nggak suka sayur. Ada yang nggak suka buah. Ada yang kurang vitamin A. Ada yang suka ngerokok dan butuh antioksidan. Nah, di tubuh mereka kudu disupply “makanan” yang memenuhi kekurangan-kekurangan itu.

Data World Health Organitation (WHO), konsumsi buah dan sayuran penduduk Indonesia cuma 2,5 porsi sehari. Padahal yang disarankan sebanyak 5-9 porsi setiap hari. Nah, food supplement membantu memenuhi asupan gizi orang. Kasus lain, lingkungan yang tercemar polusi udara trus ditambah aktivitas manusia yang padat, memproduksi jutaan radikal bebas. Kasus ini banyak terjadi di kota-kota besar, Oleh karena itu, dibutuhkan antioksidan buat memperbaiki sel-sel yang rusak, yakni food supplement yang mengandung asupan vitamin A, C, dan E.

“Tapi gw nggak butuh food supplement!” kata Pasien yang lebih mempercayai ucapan dokter dari fakta-fakta soal food supplement. “Kata Dokter gw, yang penting kita menjaga pola makan kita.” Aneh!


Kata sebagian Dokter, yang penting jaga pola makan. Nggak perlu food supplement. Dokter mana yang bisa menjamin si Pasien selalu punya pola makan sehat? Kalo si Pasien suka makanan kayak begini, kayak-kayaknya food supplement tetap penting deh!

Berdebat soal food supplement memang nggak akan habisnya. Lagi pula kita nggak akan membahas banyak soal food supplement panjang kali lebar kali tinggi di sini. Kita membahas soal hubungan Dokter dan perusahaan farmasi. Kita balik lagi ya? Jadi, sekali lagi Dokter lebih suka sukses di MLM ketimbang produk dari perusahaan farmasi. Food supplement yang direkomendasikan Dokter ke Pasien menjadi alternatif menjaga kesehatannya. Ingat! Bukan untuk mengobati, karena food supplement bukan obat. Nah, kalo rekomendasi Dokter diterima Pasien, otomatis penjualan food supplement akan meningkat. Dari penjualan itu, ada rabat atau selisih keuntungan berupa cash. Kalo yang cash biasanya non-member dari perusahaan MLM. Tapi kalo yang member, ada point-point yang jika terkumpul akan menghasilkan bonus dari si Dokter. Bayangkan kalo member si Dokter jumlahnya puluhan ribu orang? Puluhan ribu orang itu setiap bulan membeli food supplement dan menyumbang point-point buat si Dokter?

“It’s gonna be passive income!”

Namun, Dokter yang ikut MLM nggak terlalu maksa Pasien. Maklum, food supplement bukan obat. Food supplement is only food supplement yang tujuannya mencegah sebuah penyakit berkembang lebih besar atau mencegah agar Pasien nggak terserang penyakit. Intinya, mencegah. Jadi kalo ada perusahaan MLM yang bilang food supplement-nya bisa mengobati, itu bukan kategori food supplement tapi udah obat. Kalo obat, itu artinya nggak dibuat dari bahan alami lagi (non-organik), tapi udah tercampur bahan kimia.

Terlepas dari produk farmasi atau MLM, banyak orang yang mempertanyaan soal objektivitas Dokter. Maksudnya? Kayak yang udah dijelaskan di atas, ucapan Dokter kayak ucapan “Tuhan”, biasanya obat-obatan yang nggak diperlukan Pasien terpaksa diberikan. Pasien jadi nggak punya hak buat memilih obat. Semua berdasarkan resep si Dokter. Resep Dokter ditelan mentah-mentah oleh si Pasien.

“Makanya gw paling sebel kalo ketemu Dokter yang sok nggak punya waktu,” protes temen gw. “Dokter nggak bisa ditanya-tanya soal penyakit si Pasien. Doi cuma periksa badang gw sebentar, trus nulis resep, dan gw langsung diusir keluar. Soalnya banyak pasien yang menunggu.”

“Makanya cari Dokter yang cuma terima Pasien dikit,” kata temen gw yang katanya punya Dokter langganan yang selalu membatasi jumlah pasien.



Dokter membatasi pasien? Mungkin elo nyangka, Dokter ini Dokter nggak laku. Mana ada Dokter membatasi jumlah Pasien? Yang ada Dokter mencari Pasien sebanyak-banyaknya, ya nggak? Salah! Ada beberapa Dokter yang memang idealis. Dokter ini nggak mau periksa banyak Pasien. Dalam sehari, Dokter model begini membatasi jumlah Pasiennya per hari. Ini tujuannya supaya hubungan si Dokter dan Pasien lebih dekat. Artinya, komunikasi nggak tergesa-gesa. Pasien mau tanya apa aja, dijawab dengan waktu yang cukup melegakan si Pasien. Pokoknya Dokter idealis nggak kejar setoran atau kalo istilah televisi kejar tayang.

Selain nggak ngejar setoran, Dokter idealis ini juga memberikan kebebasan si Pasien. Mau pake food supplement silahkan, mau pake produk dari perusahaan farmasi monggo. Sing penting, hidup Pasien nggak ditangan sang Dokter. Tapi atas diskusi antara Dokter dan Pasien. Indah bukan?

all photos by Brillianto K. Jaya

AN EVENING AT BALAI KARTINI - a video version




video by Brillianto K. Jaya

Tuesday, February 10, 2009

THE VERY BEST VAN HALEN

Lagu Pretty Woman dinyanyikan di US Festival tahun 1983...



Ini versi video klip asli Jump, dimana masih ada David Lee Roth...






Nah, ini lagu Panama yang dinyanyikan oleh Sammy Haggar ketika Van Halen live di Tokyo Dome tahun 1989...



Ini ketika Van Halen live di Toronto Canada tahun 1995...



Van Halen ketika vokalinya Gary Cherone (vokalis Extreem), live pada tahun 1998 di Australia...

Monday, February 9, 2009

DO YOU REMEMBER ME?

Umur memang nggak bisa diprediksi. Entah itu manusia atau bisnis, kalo umur udah diharuskan tamat, mengakhiri hidup alias mati, ya matilah. Ini dialami sendiri oleh Bale Air Food Village. Vanue yang di tahun 2000-an sempat dikeramatkan sebagai one of best tongkrongan at Jakarta, eh akhirnya bernasib mengenaskan. Padahal di sini dulu ada jibunan resto. Ada Banana Cafe, Flame Wine And Grill, Kentucky Fried Chicken, Boutique Cafe, Dapur Tempo Doeloe, Resto Sunda Kelapa,dan tentu saja Dapur Sunda.

Kini Bale Air Food Village yang dahulu nan jaya tinggal puing-puing berserakan. Air mancur nggak lagi mengucur. Air PAM-nya udah diputus. Kalo PLN, masih ada sedikit watt buat menerangi beberapa spot. Padahal dulu bayar listrik sampai 40 juta, bo! Saluran telepon (021) 520442 dan 5204253 juga nggak bakal nyambung. Kecuali Anda nekad menghubungi nomor itu, bisa jadi Anda akan mendengar suara Sundel Bolong atau Hantu Gatot Subroto (Hantu Gatsu yang masih temenan sama Hantu Jeruk Purut).

Do you remember me? One of a great place to hang out?


Pintu masuk Bale Air yang letaknya di jalan Gatot Subroto kav 18. Pesis di apit sama gedung Menara Jamsostek dan Museum ABRI Satria Mandala.


Dahulu ini resto di depan Dapur Sunda. Gw lupa nama resto itu, karena nggak ada Tuyul atau Mbak Yul yang bisa gw tanyain.


Petunjuk arah, dimana akan memberikan arah kemana elo mau makan. Kalo sekarang petujuk kemana arah elo mau ketemu Setan. Ke Utara ketemu Setan Utara, ke Selatan ketemu Setan Selatan. Which one do you choose?


Di depan pot-pot ini dahulu ada air mancur. Sekarang cuma ada genangan air bekas hujan yang nggak mancur-mancur.


Papan petunjuk again yang letaknya ada di depan. Pas elo parkirin mobil, papan petunjuk ini udah ada. Sekarang papan petunjuk ini pun udah ada, tinggal elo mau parkirin mobil di reruntuhan eks Bale Air ini apa nggak?


Sisa bale-bale yang dahulu jadi incaran orang-orang buat leye-leye. Maksudnya duduk, makan, dan menikmati angin sepoi-sepoi. Sekarang, boro-boro bisa dinikmati, pantat elo bisa ketusuk paku kalo bale ini diduduki.


Konon bekas sisa-sisa beton ini tercium bau ayam goreng. Artinya, dahulu di sini berdiri salah satu outlet Kentucy Fried Chicken yang dikomandoi oleh seseorang yang pangkatnya nggak naik-naik dari dulu sampe sekarang, yakni Kolonel Sanders. Harusnya udah jadi Jenderal Sanders?


all photos by Brillianto K. Jaya

JEMBATAN BUNTU



Bisa dibilang lucu, bisa dibilang unik. Sebuah jembatan menghubungi satu lokasi ke lokasi lain, melewati sebuah kali. Dahulu pasti sebuah tempat yang menjadi akses untuk orang jalan. Sekarang nggak ada akses, karena nggak ada jalan. Yang ada sebuah seng warna biru yang mengitari tanah yang udah ditumbuhi pohon-pohon yang menjadi semak belukar.

Konon dahulu tempat itu adalah Gelanggang Remaja Cikini. Lokasinya persis di samping kompleks Taman Ismail Marzuki. Dahulu juga jadi akses orang yang ingin berenang di Gelanggang itu. Kini verboden. Yang boleh melewati jembatan itu cuma Tuyul atau Mbak Yul. Kecuali ada yang mau nekad masuk ke tanah yang seharusnya aset Pemda DKI yang jangan-jangan kini udah digadaikan jadi aset Swasta.

photo by Brillianto K. Jaya

Saturday, February 7, 2009

KETIKA NARSIS MENJADI PILIHAN HIDUP KITA

Seolah hari-hari dalam kehidupan kita penting buat diketahui semua orang. Seakan segala sesuatu yang kita kerjakan setiap detik penting buat disosialisasikan ke khalayak ramai. Begitulah wabah yang sekarang lagi ngetren di tanah air dan (mungkin) terjadi di seluruh dunia dan tanpa sadar menjajah hidup kita: Narsis! Sebagai provokator wabah Narsis nggak lain nggak bukan adalah Facebook!

“Lagi nonton film BF di bioskop sama pacar nih.....”

“Jalan-jalan sama Mas ke Komdak beli BH dan CD baru....”

“Lagi mau cebok di WC. Kira-kira ada yang mau cebokin nggak ya?”

“Kepala gw lagi pusing nih. Kira-kira kalo minum Baygon pusingnya hilang nggak ya?”

Kalimat-kalimat narsis itu bisa kita jumpai dengan mudahnya setiap menit setiap detik di Facebook. Tepatnya di fitur Status Updates para anggotanya. Entah siapa yang memprakarsai kalo Status Updates akhirnya akan kayak begitu, menginfokan detik per detik hidup kita agar teman-temannya tahu. Atau memang tujuannya begitu? Apakah semua orang peduli sama aktivitas Anda?



“Ya emang begitu tolol! Namanya juga Status Updates, jadi artinya status kita yang di-update-in,” jelas temen gw panjang lebar. “Karena kudu di-update-in terus, jadi dimana pun elo berada, apapun yang elo lakukan, kudu dilaporkan. Lagi berak kek, lagi kencing kek, lagi cium ketek kek, elo kudu update-in. Ini juga berlaku dengan foto yang juga kudu di-update.”


“….”

Sekali lagi, posisikan gw sebagai mahkluk Tuhan yang paling tolol. Nggak punya ilmu yang banyak sebagaimana Anda semua di dunia ini. Nggak punya pengetahuan yang konprehensif soal tren dunia saat ini. Mohon jelaskan soal Narsisme. Ilmu yang sebenarnya sudah lama muncul dan kini menjadi trensetter warga Indonesia dan warga dunia. Mari kita tengok sejarah kata “Narsis” itu sendiri.

Kata narsis konon berasal dari mitologi Yunani. Yakni dari nama seorang pemuda yang katanya ganteng bernama Narsisus. Gara-gara ketampanannya, banyak gadis-gadis yang ngiler begitu melihatnya. Noraknya lagi, si Narsisus menggagumi bayangannya sendiri yang doi lihat di air sungai. Kok air sungai? Dahulu kan belum ada kaca, jadi kalo ngaca ya lewat air yang tenang yang bisa merefleksikan bayangan kita. Ngerti?

Salah satu pengagum Narsisus adalah Echos. Siapakah dia? Echos adalah seorang Peri yang ternyata jatuh cinta pada Narsisus. Sayang, gayung nggak bersambut. Artinya cinta Echos cuma bertepuk sebelah tangan. Narsisus nggak menyambut cinta Echos. Sekali lagi, Narsisus lebih mengagumi ketampanannya dibanding Echos.

Merasa terhina, Echos menangis. Doi sakit hati. Gara-gara sakit hati, doi mengadu ke Dewi Nemesis. Pengaduan Echos membuat marah Dewi Nemesis pula. Nggak heran, buat mengobati sakit hati Echos, Dewi merencanakan pembunuhan terhadap Narsisus. Caranya? Ketika Narsisus ngaca di air sungai dalam rangka mengagumi dirinya, Dewi menenggelamkannya. Tamat deh!


Is it really a part of social networking? Should be Narsis? Malu, Ah!


Narsis beda dengan percaya diri (PD). Kalo Anda seringkali ngaca berjam-jam, karena mengagumi diri sendiri, lebih baik segera berangkat ke Psikiater buat diperiksa. Periksa kenapa? Anda udah masuk ke golongan manusia Narsis! Lho memang nggak boleh menggagumi ciptaan Tuhan? Ya, boleh. Tapi kalo Anda menggagumi atau mencintai diri sama saja mengkultuskan diri Anda daripada Tuhan.

Penderita Narsis masuk dalam kategori Abnormal Psikolog. Kenapa? Biasanya orang Narsis sensitif terhadap komentar negatif orang lain. Maksudnya, si Narsis nggak boleh dikritik tentang dirinya. Semua komentar soal diri si Narsis kudu yang bagus-bagus.

“Elo marah nggak kalo dibilang wajah loe kok jelek banget sih?”

“Enggak...”

“Yaiyalah! Elo nggak mungkin akan marah juga, wong wajah loe emang jelek sih...”

“Hehehehe. Tahu aja loe..”

Apa ciri-ciri orang Narsis?

• Merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal orang lain. Sebagian besar Selebriti masuk dalam katogori ini. Hal-hal nggak penting, jadi bahan berita. Hal-hal nggak penting itu sebagian besar kadang bukan ciptaan Wartawan Infotainment, lho, tapi hasil kreasi Selebriti itu sendiri. Status updates yang ada di Facebook yang selalu diisi para anggotanya juga begitu. Merasa dirinya penting, sampai-sampai aktivitasnya perlu dibocorkan ke khalayak umum. Padahal nggak semua orang suka, bahkan mayoitas anggota mau muntah membaca Status Updates-nya. Lagian mau nonton televisi aja diinfokan, mau tidur diberitakan, aneh! Is it a social networking via internet? Kayaknya nggak gitu-gitu amat deh!

• Merasa yakin dirinya memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding orang lain. Misalnya, gara-gara wajahnya unik kayak jebakan tikus, foto-fotonya dipajang dimana-mana. Nggak cuma di tembok rumah. Tapi di meja kantor, WC umum, dan ruang rias penganten.

• Orang yang Narsis selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Kalo dipuji buat hal-hal yang sangat istimewa sekali-sekali sih no problemo. Tapi keinginan dipuji terlalu berlebihan. Ketika pekerjaannya diselesaikan dengan tepat waktu, penderita Narsis minta dipuji. Padahal namanya pekerjaan yang tepat waktu udah sebuah kewajiban, ya nggak? Atau ketika kencingnya udah bisa lurus (sebelumnya bengkok), si Narsis minta dipuji.

• Merasa sombong. Kenapa? Ada sesuatu yang dia ingin sampaikan atau perlihatkan (show off) sekecil apapun, apalagi hal-hal yang besar. Kalo nggak menyampaikan sesuatu, kayaknya belum afdol. Misalnya baru ke Mal beli wardrobe branded diinfokan, baru nonton film terbaru diberitakan, punya pacar baru yang keren dan kaya raya disebarluaskan, sampai-sampai berita nggak penting kayak mau tidur diinfokan. Gokil nggak sih? Blackbarry boleh jadi sumber kesombongan seseorang. Mohon maaf, bukan karena nggak mampu Blackbarry jadi dianggap subjektif, tapi ini kenyataan, kok. Semua hal di-update. Mau hal nggak penting, pokoknya kudu di-update.


• Oleh karena lebih banyak memikirkan diri sendiri, orang yang Narsis jarang mikirin orang. Nah, ini terjadi di kantor gw. Ada orang Narsis yang selalu ingin tampil, padahal wajahnya udah nggak komersil lagi (ini buat menggantikan kata yang menyakitkan: “udah tua bangka”). Doi jadi egois. Nggak peduli dengan partner kerjanya. Nggak peduli sikap atau keputusannya bikin sakit hati everybody. Saking egoisnya, lagaknya kayak Tuhan. Padahal Tuhan aja mau muntah kalo ngelihat muka dan suaranya yang nggak jelas itu.


Sekali lagi, penderita Narsis sangat impulsif. Kala ciri-ciri di atas nggak terpenuhi, maka si Narsis akan marah besar. Bisa-bisa apa yang ada di depan matanya akan dibanting, diobrak-abrik, dihancurkan, dan aktivitas vandal lain. Norak nggak sih? Kayak anak kecil ya? Ya begitulah! Ketika nggak ada pujian buat dirinya, ketika dirinya nggak dianggap penting oleh lingkungannya, ketika dirinya dianggap nggak istimewa, jiwa impulsifnya pun akan muncul sebagai Monster yang menakutkan.

Penderita Narsis katanya manusia-manusia yang berjiwa rapuh. Mereka menutupi diri dari kekurangannya. Kekurangan bukan cuma kekurangan secara fisik, tapi juga mental. Maksudnya, boleh jadi penderita Narsis wajahnya cantik atau tampan. Namun di balik kecantikan atau ketampanannya tersimpan sifat yang negatif, misalnya iri, dengki, mau menang sendiri, nggak boleh ada yang lebih baik darinya, egois, dan lain sebagainya.

“Kalo Caleg yang poster dan spanduknya sekarang ini banyak beredar masuk Narsis nggak?”

“Masuk!”

Kompas pernah menulis dengan judul Narsisme Politik. Maksudnya budaya Narsis sudah masuk ke dunia politik. Semua tampang-tampang jelek jadi cakep di poster dan spanduk. Tiba-tiba semua manusia yang menjadi Caleg itu menjadi Malaikat, karena mengganggap dirinya paling jujur, paling adil, paling bijaksana, paling sosialis, paling demokratis, dan paling-paling lain.

Dengan berbagai cara, Caleg-Caleg ini membuat dirinya sok dikenal. Ini tujuannya nggak lain buat menarik orang, di luar simpatisannya, agar mau memilih dirinya. Iklan caleg yang menjadi fenomena dan jadi pembicaraan adalah iklan Caleg Bapaknya Chinthia Lamusu. Nggak tahu apakah Bapaknya memaksa Cynthia agar fotonya bisa disandingkan bersama-sama? Nggak tahu apakah poster itu atas inisiatif Cynthia sebagai upaya balas budi terhadap orangtuanya yang udah melahirkannya? Nggak tahu juga apakah seluruh keluarganya menyuruh Cynthia agar mau membantu orangtuanya? Yang pasti bukan Surya Saputra yang meminta Cynthia melakukan itu.



“Moga-moga bukan gara-gara poster itu Cynthia harus keluar dari AB Three ya?”

“Moga-moga juga Cynthia nggak nangis tujuh hari tujuh malam gara-gara foto yang dipanjang pake baju seksi yang bikin lelaki ngiler?

Narsisme kini memang udah menjadi bagian hidup kita. Nggak cuma Caleg-Caleg itu tadi. Tapi mereka yang tergabung dalam komunitas Facebook, masuk dalam kategori Narsis. Kenapa? Ya itu tadi, merasa dirinya paling penting dan minta diperhatikan. Ini bisa kita perhatikan di Status Updates yang tiap detik berubah.

“Tapi gw enggak lho?”

“Soalnya elo nggak punya Blackbarry, bro!”

“Ah, yang nggak pake Blackbarry kalo emang dasarnya narsis ya narsis aja kalee...”

“Iya, sih...”

Jangan-jangan kegokilan Narsis ini makin menjadi-jadi. Tanpa sadar, karena jadi udah kebiasaan, hal-hal yang nggak patut diungkap, jadi terungkap. And fitur Status Updates menjadi ajang yang mengerikan, apalagi kalo ditambah dengan foto-foto yang menjelaskan Status Updates itu.

“Habis ML sama Istri gw, nih! Nikmaaaaattttt....”

“Anto is habis main sama cewek tapi kondom gw bocor....”

“Jaya is lagi nunggu Perek di kamar 502. Katanya ceweknya seksi dan toketnya gede...”

“Ternyata cewek Universitas A itu memang mak nyus banget goyangannya! Gw udah ngerasain sendiri. Ada yang mau?”

Thursday, February 5, 2009

WHO CARES?

Membicaran masalah gedung-gedung tua, seperti mempertanyakan kolor gw yang baru dijemur dan kemudian hilang entah kemana. Kenapa? Kolor itu kayak barang nggak bernilai, tapi sebenarnya fungsional. Sama kayak gedung tua yang punya nilai sejarah. Di satu sisi, zaman udah modern. Kata orang kita nggak boleh melihat kebelakang, kudu punya visi jauh ke depan. Don't look back, karena sama aja mundur ke belakang. Di sisi lain, ada ungkapan dari Founding Father kita Presiden Soekarno, yakni Jas Merah atau "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah".

Gimana dong? Mari kita bicara celana kolor dahulu sebelum berbicara masalah gedung tua.



Ketika pengatur suara dan magnet berhasil dipersatukan dan kemudian menghantarkan bunyi, sejak saat itu nama Alexander Graham Bell dikenal sebagai penemu telepon. Sebuah penemuan luar biasa abad itu, dimana penemuan itu sangat berguna bagi umat manusia sampai saat ini . Peristiwa penemuan itu sendiri terjadi 2 Juni 1875.

Lain Bell, lain pula dengan James Watt. Pria kelahiran Greennock, Scotlandia ini berhasil menemukan mesin uap dan kondensor pada tahun 1782. Last but not least, ada Nicholaus August Otto yang berhasil menemukan mesin empat dorongan pembakaran atau mesin 4 tak pada tahun 1876. Mereka sudah pasti luar biasa! Hebat! Tapi ada penemuan kecil yang elo-elo semua barangkali nggak pernah memikirkannya (pastinya!).




“Siapa sih penemu celana kolor, Pak?” tanya seorang mahasiswa pada Dosen mata kuliah Sejarah.

“Hmmm...siapa ya?”

Sudah berabad-abad ini, celana kolor tetap dianggap underdog, nggak dianggap. Dalam dunia olahraga underdog itu benar-benar dipandang sebelah mata, diremehkan, tapi lawan tetap kudu hati-hati, karena “under” bisa jadi “above”. Contohnya Piala Dunia zaman bahuela, negara Kamerun yang underdog, berhasil mengejutkan negara-negara lain.

Gara-gara dianggap underdog, celana kolor pas dialih bahasakan ke dalam bahasa Inggris juga menggunakan kata “under”, kepanjangannya “underwear”. “Under” di sini berarti “berada di dalam”, sedang “wear” tetap berarti “pakaian”: pakaian yang diakai di dalam. Di sini, kolor Superman yang merah gemilang nan jaya abadi itu nggak masuk kategori underwear, karena dipakai di luar. Kolor Superman dikategorikan “outsidewear”, ato “redwear”, ato “wer-kewer-kewer”.



Kalo saja celana kolor bisa bicara, pasti dia akan protes tujuh keliling. Kenapa nggak dianggap? Terlebih lagi kenapa orang-orang nggak aware, nggak care dengan penemuan celana kolor yang sungguh fantastis itu. Penemuan yang seharusnya menjadi puncak dari peralihan manusia yang primitif menjadi manusia modern.

Elo kebayang nggak sih kalo nggak ada orang yang menemukan celana kolor? Pasti lucunya nggak ketulungan. Elo pergi ke kantor dengan celana jins ketat tapi nggak pake calan kolor. Pasti ada sesuatu yang aneh di “tengah-tengah”. Sometimes “burung” loe miring ke kiri, sometime ke kanan. Elo sibuk membetulkan “burung” loe itu agar selalu tepat berada di tengah. Yang paling menyebalkan kalo tiba-tiba elo ereksi, “burung” loe pasti akan susah terendali. Kalo ada celana kolor, kejadian-kejadian itu masih bisa diselesaikan secara jantan.

Contoh di atas itu untuk pria, gimana kalo wanita? Adakah hal yang menyebalkan kalo nggak pake celana dalam? Ya jelas ada dong. Malahan lebih gawat! Bayangin kalo wanita nggak pake celana dalam tapi pake rok, angin akan berhenbus kencang langsung masuk ke “lorong-lorong” yang gelap gulita dong, ya nggak? Masih mending cuma masuk angin, “lorong-lorong” itu bisa dikasih kaca nako (maksudnya supaya kalo angin kencang, kacanya ditutup, kalo kegerahan kacanya dibuka). Coba banyangkan kalo “lorong-lorong” itu dimasukkan semut? Dimasukkan kecoa? Kemasukan botol minuman? Wah, itu gokil abis kan? Meski wanita pakai celana jins kalo nggak pake celana kolor, pasti tetap akan menemukan masalah.




Ironis memang kita nggak bisa mengetahui siapa penemu celana kolor. Apa tujuan celana kolor diciptakan, bagaimana awal penciptaannya, apa lagu soundtrack-nya ketika celana kolor diciptakan? Pertanyaan-pertanyaan yang belum gue temukan itu (termasuk di Google atau Wikipedia) relevan dengan apa yang sering kita alami. Bahwa kita selalu meremehkan sesuatu yang “dianggap” kecil dan kemudian selalu kita lupakan. Kita bahkan nggak mau tahu kenapa begini kenapa begitu.

“Pokoknya saya bertekad meriset agar Penemu celana kolor bisa dihargai,” kata gw dalam hati.



Setiap penemu, pasti mengabadikan namanya pada hasil penemuan tersebut. Misalnya James Watt si penemu mesin uang yang kemudian menemukan listrik. Nama Watt diabadikan sebagai nama voltase listrik dengan ukuran watt. Nah, untuk penemu kolor, pasti namanya nggak jauh-jauh dari “underwear”. Bisa jadi namanya James Underwear atau Albert Underwear atau mungkin Underwear Hutapea.

“Apakah nama belakang Bapak adalah underwear?” tanya gw mencoba melacak jejak Mr Underwear.

“Bukan. Nama belakang saya Sutikno,” jawab salah seorang responden.

Berpuluh-puluh responden nggak ada yang menunjukan nama belakang “underwear”. Suatu ketika dalam sebuah literatur, gw menemukan titik terang. Bahwa underwear memang diciptakan oleh masing-masing individu di setiap negara. Khusus di negara kita, “underwear” tercipta oleh dua orang penjahit yang bernama Pak Ko dan Pak Lor. Karena untuk mempersingkat kata agar lebih eye cathcing, dua nama dijadikan satu menjadi Pak Kolor.

But who cares? Siapa yang peduli dengan penemu celana kolor? Atau mungkinkan Pak Kolor dapat dikategorikan penumu kolor? Ketidakpedulian soal celana kolor ini, berlangsung juga pada ketidakpedulian warga negara Indonesia pada eksistensi bangunan tua. Realita ini bisa kita saksikan di Medan. Sekitar 550 bangunan bernilai sejarah terancam punah. Bangunan-bangunan tersebut antara lain gedung eks Departemen Tenaga Kerja di Jalan Hindu, eks Gedung Inspektrorat Pajak di Jalan Palang Merah, dan kantor Sipef di Jalan S.Parman Medan. Kenapa terancam punah? Nggak lain nggak bukan atas nama modernisasi.

Perda No 6 tahun 1988 tentang bangunan bersejarah yang diterbitkan Pemko Medan perlu segera direvisi menyusul terancam punahnya sekitar 550 bangunan bernilai sejarah ditengah pesatnya pembangunan.

Menurut Ketua Badan Warisan Sumatra, Soehardi Hartono di Medan, Pemerintah Kota (Pemko) Medan perlu merevisi Peraturan Daerah (Perda) No.6 tahun 1988 tentang bangunan bersejarah yang dilindungi. Kenapa? Soalnya, di Perda itu cuma mencantumkan 40 bangunan dan dua kawasan (kawasan Kesawan dan Pusat Pasar) yang dianggap dilindungi. Nah, lho?! Jauh banget dari angka 40 ke 550? Padahal, kata Soehardi, berdasarkan survei yang dilakukan Badan Warisan Sumatra, kira-kira ada sekitar 600 bangunan tua berumur 50 tahun lebih yang ada di Medan yang perlu dilindungi.

Merevisi Perda jelas penting, namun apakah Perda, Surat Keputusan (SK) Menteri, atau yang jelas-jelas kedudukan lebih tinggi kayak Undang-Undang (UU) bisa mempan menjaga eksistensi gedung tua? Mari kita lihat kejadian yang menimpa kasus gedung Candranaya.

Kasus Gedung Candranaya menjadi bukti betapa lemah upaya perlindungan bangunan tua dan bersejarah. Gedung yang dulu bernama Sin Ming Hui ini udah dirusak dan kini diapit proyek apartemen di Jalan Gajah Mada 188, Jakarta Barat. Padahal gedung ini dilidungi oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan. Padahal juga gedung ini bukan cuma peninggalan Peranakan Tionghoa. Tapi juga pernah jadi markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang katanya menjadi motor Angkatan 66.

Kasus hampir serupa terjadi di kota Cirebon. Rumah bersejarah peninggalan Mayor Tionghoa diruntuhkan buat bangunan show room mobil. Tapi pemilik show room nggak salah juga sih. Soalnya, waktu rumah Mayor itu diruntuhkan, Walikotanya bego atau pura-pura bego, nggak tahu kalo ada UU Perlindungan Benda Cagar Budaya No 5 tahun 1992. Dasar!

Soal pura-pura bego juga terjadi pada Pemda Solo. Bangunan di dalam benteng Vastenburg di Kota Sola, Jawa Tengah, yang seluas 5,4 hektar itu, kini dimiliki oleh pihak swasta dan udah rata dengan tanah. Seharusnya, perataan bangunan bersejarah ini melanggar UU Perlindungan Benda Cagar Budaya. Yang bego siapa ya? Sekedar info, benteng Vastenburg dibangun tahun 1775. Dari 279 benteng bekas peninggalan Belanda di Indonesia, benteng Vasternburg lah yang paling besar dan megah. Benteng Rotterdam di Makassar dan Benteng Malborough di Bengkulu masih kalah besar dan megah dibanding Vasterburg.

Di tengah-tengah kepusingan Pemerintah, ada cerita menarik soal perlindungan peninggalan sejarah ini. Ada sebagian warga, secara swadaya berhasil menyelamatkan situs kuburan Kapiten Souw Beng Kong dengan membebaskan 200 meter lahan di kompleks kuburan yang aslinya memiliki luas 2 hektar itu. Kapiten ini termasuk perintis Kota Batavia modern. Warga berharap pihak yang merusak, dapat dikenai UU nomor 5 itu tadi.

"Istri gw punya ide nih, Jul!" kata Pailul yang coba mengutarakan gagasan dalam rangka melestarikan bagunan tua. Gagasan itu dari sang istri tercinta.

"Apaan idenya Lul?"



"Imbarat kata, memompa semangat Pengusaha buat terus melakukan usaha. Tapi juga Pengusaha itu sekaligus membantu kepusingan Pemerintah..."

"OK, lanjut..."

"Nah, Pemerintah bisa menyewakan bangunan tua yang ada ke para Pengusaha. Mereka bisa mengunakan bangunan tua sebagai kantor. Harga sewanya murah meriah. Mereka dipajakin, tapi pajaknya cuma 50% aja. Sisanya, si Pengusaha itu disuruh mengurus bangunan tua itu, termasuk ngecat temboknya. Asal struktur bangunan dan segala hal yang bernilai sejarah di gedung itu nggak hilang. Gimana menurut loe?"

"Kalo Pengusaha nggak mau?"

"Bikin Undang-Undang yang melarang pendirian bangunan baru kayak apartemen atau ruko. Kecuali bangunan lama udah full booked oleh para Pengusaha, baru Undang-Undang tersebut dicabut,"

"Jenius!"

"Thanks to my Wife!"

"Masalahnya mau nggak ya Pengusaha menyewa bangunan yang udah tua? Mau nggak ya Pemerintah menawarkan gagasan yang luar biasa ini? Bukankah lebih asyik ngurusin proyek baru darpada bangunan kuno?"

"....."



all photo by Brillianto K. Jaya

Wednesday, February 4, 2009

AROMANYA MASIH TERASA NIKMAT...




video by Brillianto K. Jaya

MEMBERSIHKAN KOTORAN

Manusia normal dimana pun di dunia ini selalu ingin hidup bersih. Konon katanya, kebersihan adalah sebagian dari iman. Buat yang nggak tahu maksudnya iman, percaya aja kalo ada pepatah begitu. Pepatah yang dimaksudkan agar kita selalu hidup bersih.

Agar bersih, kita harus membersihkan diri. Nggak cuma sekali dua kali. Tapi harus sesering mungkin kita membersihkan diri. Mandi kalo perlu nggak cuma dua kali dalam sehari. Kalo perlu selain mandi pagi dan sore, kita kudu mandi siang dan tengah malam. Yang udah dilakukan manusia di luar dari kebiasaan adalah menggosok gigi. Kalo lazimnya kita menggosok gigi bertepatan dengan jumlah kita mandi, ada sebagian orang menggosok gigi tiap kali makan. Kalo jumlah makannya tiga kali, ya tiga kali gosok gigi. Kalo jumlah makannya lima kali, ya gosok gigi lima kali. Jumlah segitu belum termasuk makan dalam kategori ngemil.

"Selain gigi cemerlang, bekas-bekas makanan segera hilang," kata temen gw penikmat gosok gigi ba'da makan.

"Gigi loe boleh cemerlang, tapi hati-hati email yang ada di gigi loe itu bakal hilang," ucap gw. Gw nggak asal jeplak ngomong. Kata dokter, email yang ada di gigi itu kudu dijaga. Kalo nggak dijaga, gigi loe akan ngilu. Oleh karena itu, nggak disarankan gosok gigi kebanyakan. Lagipula hidup loe akan boros, bo! Boros beli odol.



Soal bersih-bersih juga berlaku di mobil yang elo miliki. Udah dijadwalkan, minimal seminggu sekali, gw cuci mobil. Kalo tiap hari cuma dibilas-bilas pake sedikit air, giliran weekend, mobil kudu dibanjur pake banyak air. Byur! Kasihan lah yau mobil nggak dimandiin. Sebenarnya memandikan mobil cuma weekand-an juga nggak patut dicontoh. Kenapa? Wong orang mandi sehari dua kali, sebaiknya mobil tiap hari dimandiin. Apalagi di musim hujan kayak begini. Soalnya, kalo kelamaan didiamkan, kotoran-kotoran bekas cipratan nggak bagus terlalu lama nempel di bawah mobil atau di body mobil.

"Kalo mobil bisa garuk-garuk, pasti doi akan menggaruk-garuk kayak manusia menggaruk kalo lagi gatel".

Manusia bersih, mobil bersih. Itu sesuatu yang sangat sempurna. Namun kenyataannya, manusia nggak akan pernah bersih. Biar kita udah mandi tujuh kali dalam sehari. Biar gigi kita digosok sesering kita makan, tapi yang namanya manusia pasti nggak akan pernah bersih. Apalagi kalo manusia itu udah memutuskan masuk ke dunia politik. Maaf banget, mereka yang sebenarnya awalnya jujur, terpaksa kudu membelokkan nilai-nilai kejujurannya agar bisa sukses berhubungan dengan lawan politik atau warga masyarakat.

"Jadi gimana dong supaya mereka yang jujur akan tetap jujur ketika masuk ke dunia politik? atau mereka yang udah lama terjun ke politik dan dianggap kotor menjadi bersih lagi, jujur lagi?"

"......."


video by Brillianto K. Jaya

Monday, February 2, 2009

POLISI: DIRINDU DAN DIKRITISI

Polisi adalah profesi yang dilematis. Kenapa begitu? Di kala traffic light sedang melakukan sebuah pemogokan alias nggak berfungsi, Polisi begitu dicari-cari. Maklum, manusia-manusia yang berkendaraan pribadi seringkali nggak punya kesabaran. Buah dari tidak kesabaran adalah sebuah kemacetan.



Polisi turun, semua beres. Jadi ingat pepatah lawas zaman Orde Baru, yakni SDSB. Kepanjangan dari Sudomo Datang Semua Beres. Di tengah kemacetan, di tengah gejolak jiwa manusia-manusia nggak sabar, Polisi menjadi semacam angin kesejukan.

Namun Polisi sering dikritisi. Polisi dianggap main askap alias asal tangkap. Padahal seharusnya ada peraturan, kalo mau melakukan penangkapan, Polisi kudu mendirikan sebuah plang informasi yang judulnya: "Ada Razia". Yang terjadi, tiba-tiba Polisi muncul dari balik semak-semak dan meminta SIM atau STNK.

"Beruntunglah gw belum pernah ditangkap Polisi seumur hidup," kata teman gw.

"Kok bisa?"

"Soalnya setiap mengendarai motor atau mobil, SIM, KTP, dan STNK selalu gw tempelkan di jidat..."

Maklum, jidat temen gw cukup lebar. Mirip landasan Helipet.

Begitulah Polisi, sering dirindukan sering pula dicacimaki.Satu yang pasti, menurut data dua bulan lalu, jumlah anggota Polri di seluruh Indonesia, masih minim buat melayani 250 juta Penduduk di Indonesia. Saat ini, jumlah Polsi tercatat 363.000 orang. Ketimpangan rasio jumlah polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk total, yaitu 1:1500. Ini arti apa? Artinya satu polisi mengawasi 1500 orang di negeri ini. Gokil nggak, bo?! Padahal standar PBB menyebutkan standar ideal itu adalah 1:400 atau 1:300.

Menurut pakar dunia Polisi dan dunia Akhirat, rasio tersebut di atas boleh jadi menjadi relatif, kalo saja warga negara tercinta ini nggak macam-macam. Maksudnya?

1. Polisi nggak perlu menurunkan terlalu banyak personil untuk ngurusin masalah demo mahasiswa atau LSM. Bukan rahasia umum lagi, hampir tiap kali demo, mereka rada anarkis, brutal, dan vandal. Nggak cuma meneriakkan aspirasi, tapi seringkali merusak fasilitas umum. Merubuhkan pagar gedung MPR/ DPR atau pagar jalan tol. Membocorkan genteng-genteng rumah orang. Membakar-bakar apa yang bisa dibakar di jalan.

2. Polisi nggak selalu meredam tawuran gara-gara hal sepele. Supporter A adu jotos dengan Supporter B lantaran tim sepakbola salah satu Supporter itu kalah. Atau tawuran antarsupir angkot yang mogok mengangkut Penumpang atau menolak pencabutan trayek "basah". Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa yang katanya intelektual itu, antarwarga kampung, antarpendukung cagub/cabup/calur, dan hal sepele lain.

3. Polisi seharusnya nggak ikut-ikutan membantu Satpol PP dalam menggusur pedagang kaki lima, warung remang-remang, dan warung terang-terang. Polisi harusnya melakukan pekerjaan yang lebih elit, yakni mengejar pelaku narkoba, sindikat uang palsu, obat palsu, pembajak DVD, dll.

Sayang, warga negara Indonesia mayoritas masih berjiwa "primitif". Kalo nggak ada polisi bisa seenak udel, kayak nggak ada hukum yang diberlakukan. Nggak pake helm, seenaknya menerobos lampu merah, berak sebarangan, dll. Eh, giliran ada polisi, sok alim. Dasar!

video by Brillianto K. Jaya

ONDEL-ONDEL NYEBRANG

Oh, betapa indahnya melihat Ondel-Ondel menyebrang. Bagai melihat Bidadari mandi di kali. Sore itu, tanpa sengaja, aku memandangi sekelompok anak-anak tanggung yang membunyikan alat-alat musik. Nadanya nggak jelas. Tapi tetap mengeluarkan bunyi. Eh, ternyata di balik anak-anak tanggung itu, ada Ondel-Ondel. Entah anak-anak tanggung itu perwujudan Ondel-Ondel atau sebaliknya Ondel-Ondel perwujudan dari si anak-anak tanggung.



Oh, suatu kehormatan aku bisa melihat Ondel-Ondel menyeberang. Biasanya aku hanya melihat manusia-manusia yang menyeberang dari titik A ke titik B. Menyeberangnya pun kadang sembarangan, nggak di atas jembatan penyeberangan dan juga nggak di zebra cross. Lihatlah Ondel-Ondel itu. Meski dia diseberangi oleh orang, tapi tetap menyeberang di zebra cross. Very disiplin.

Mari kita berdoa agar Ondel-Ondel tetap bisa menyeberang atau diseberangi orang. Kalo nggak mendoakan Ondel-Ondel, itu sama saja kita berada pada jalan yang sesat sebagaimana aliran Satria Paninggit. Kenapa? Itu sama saja kita membiarkan Ondel-Ondel bisa tertabrak metromini atau mobil pribadi atau motor pribadi atau bajaj yang hilir mudik di jalan itu. Kalo Ondel-Ondel ditabrak, siapa yang mau bawa dia ke Rumah Sakit? Kalo aku mah ogah!

video by Brillianto K. Jaya

WHAT'S IN A NAME?

“Aguuuuuuuuuuuuung! Ayo cepat mandi!” teriak gw dari ruang tamu.

Itu adalah teriakan gw pada anak gw. Nggak mungkin gw berteriak ke tetangga gw. Kalo berteriak ke anak tetangga, pasti Bapaknya si anak tetangga itu akan marah-marah. Kalo marah-marah hubungan pertetanggaan jadi runyam. Gw nggak akan bisa lagi nitip kunci kalo mo pergi ke luar kota. Nggak bisa lagi nitip rumah kalo mo pergi kerja. Lagian ngapain juga ya gw nitip-nitip rumah? Bukankah rumah nggak kemana-mana? Ada-ada aja tuh tetangga! Mau-mauan dititip-titipin rumah plus kuncinya sama gw.

Anak gw yang gw teriakin dengan nada 4 oktaf itu bernama Agung. Nggak ada nama panjangnya, cukup Agung. Alasan gw kenapa nggak diperpanjang namanya, karena takut keberatan nama. Kalo keberatan nama, kasian anaknya menanggung nama yang berat.



Banyak anak-anak yang keberatan nama, misalnya Galunggung Putra Petir. Itu anak sudah menanggung gunung Galunggung yang ada di Tasik, Jawa Barat, juga turut menanggung Petir yang ada tiap kali hujan muncul. Mungkin orangtuanya ingin anaknya setegar gunung dan semenggelegar petir dalam mengarungi hidup. Sayang, gunung sekarang banyak yang gundul, akibat pohon-pohonnya ditebangin sama manusia rakus. Mungkin gara-gara menyambut gunung yang gundul, kepala si anak yang bernama Galunggung Putra Petir itu kepalanya botak. Struktur kepalanya pun mirip gunung yang menurun dan menanjak.

Ada pula anak yang bernama Cahaya Indah Sentosa. Nah, ini mirip toko kaca. Tapi artinya bukan toko kaca. Artnya “sinar luar biasa yang abadi”. Lagi-lagi anak yang punya nama ini harus menanggung malu dengan namanya. Orangtua juga kudu hati-hati ngasih nama ke anak-anaknya. Kenapa? Dengan nama seperti Cahaya Indah Sentosa itu, anak kudu diharapkan sebagai sinar buat keluarga. Membanggakan orangtua. Namun kalo kenyataannya anaknya nggak bersinar-sinar, otaknya tolol, kelakuannya minus, dan hidungnya pesek, wah itu mah memalukan malah keluarga.

“Aguuuuuuuuuuuuuuuuung! Ayo dong mandi! Udah siang nih!” teriak gw lagi, saat ngeliat anak gw yang belum juga mandi-mandi.

Kata Shakespeare: What’s in a name? Itu dimaksudkan buat diri gw kali ya. Tahu aja si mas Shakespear ini. Gw udah mengantisipasi soal nama anak gw. Maksudnya, gw nggak mau membebani anak gw dengan nama-nama yang teralu berat. Boleh sih orangtua berharap positif, agar anaknya kelak menjadi anak berbakti pada orangtua dan agama. Tapi nggak harus dari nama kan? Percuma juga kan, kalo nama anaknya selangit, cara orangtua ngajarin anaknya nggak positif. Orangtua nggak ngasih contoh yang bener, misalnya buang sampah sembarangan dari kaca jendela mobil, ngerokok di lokasi yang bertanda dilarang merokok, kentut nggak pada tempatnya, nggak sabaran saat ngantri di loket atau di lampu merah, atau korupsi.

Bicara korupsi relevan sekali dengan topik soal nama. Coba elo baca koran, lihat nama-nama koruptor di negeri ini. Nama-nama mereka indah dan luar biasa bukan? Namun sayang, mereka keberatan nama. Yang paling menjengkelkan kalo ada koruptor yang depannya pakai nama Muhammad. Itu jelas-jelas melecehkan keagungan nama Rasul umat Islam, yang nggak lain ya Rasul agama gw. Harusnya orang yang dengan nama Muhammad yang korup, kudu ditembak mati. Nggak cuma si pemilik nama, tapi juga Bapak-nya. Kenapa ngasih nama berat-berat?! Kalo memang mau ngasih nama berat ya harus mempertanggungjawabkan kelakuan anaknya dong?!

“Kenapa nama kamu Harto?” tanya Bapak kepada anaknya.

“Lha?! Mana saya tahu Pak? Bapak kan yang menamakan saya Harto?”

“Ah, masa sih?! Memangnya kamu keluar belakangan dari Bapak?”

“Yaiyalah masa yaiyadong? Duren aja dibelah, masa dibedong?” kata anaknya si Bapak itu.

“Hush! Itu lagunya Project Pop! Jangan ngebajak?”

“Habis Bapak nanyain nama aku. Udah gitu, mempertanyakan siapa yang keluar belakangan. Bapak itu adalah Bapak saya. Artinya, Bapak lah yang berbuat dengan Ibu sehingga menghasilkan saya. Soal nama, ya itu perbuatan Bapak dan Ibu. Kenapa saya dinamakan Harto....”

“Tapi kamu nggak korupsi kan?”

“Ya enggak lah! Saya kan masih anak-anak? Nanti kalo udah gede, ya tinggal lihat kesempatan aja. Apakah ada kesempatan korupsi atau nggak...”

“Bagus! Bagus! Itu namanya anak Koruptor,” kata sang Bapak sambil kepalanya diangguk-anggukan.

Kalo mau ngasih nama anak, please pikir dua kali deh. Buat mereka yang sedang halim, eh hamil cari nama sesuai visi anak kita nantinya mau dijadikan seperti apa. Mau dijadikan Politisi yang koruptor kah? Atau Selebriti yang suka kawin cerai-kawin cerai? Nggak usah pakai nama-nama Nabi yang sangat suci itu, kalo elo memang nggak menjalankan apa yang Nabi jalankan. Lebih baik cari nama lain.

Buat menghindari keberatan nama, banyak pasangan suami istri memberi nama anaknya sesuai dengan minat mereka. Kalo anaknya mau dijadikan musisi, ya cari nama-nama yang berhubungan dengan instrumen musik, misalnya Gitarius Sinartya atau Bastuti Senarwati. Kalo anaknya mau dijadikan dokter, pilih nama-nama obat yang cocok dengan jenis kelamin anak elo. Antimowan, misalnya. Atau Decoldinto.

“Ma, karena kita berdua menyukai sepakbola, maka kita namanya anak kita Sunayan Bolantino. Keren kan? Kayak nama Italiano,” jawab seorang Ayah yang baru saja mendapatkan anak pertama.

“Kenapa nggak nama-nama pemain sepakbola nasional, Pa? Kayak Kurniawan Dwiyulianto, Budi Sudarsono, Ponaryo Astaman, atau Bambang Pamungkas gitu?” tanya istri seorang Ayah itu.

“Males, ah! Nanti kalah terus. Tahu dong PSSI nggak pernah menang? Nanti hidup anak kita jadi seperti PSSI. Yang pengurus berantem terus, yang pemain juga ikut-ikutan berantem, apalagi supporternya...”

“Atau namanya Sayful Lewenusa gitu...”

“Itu kan nama pemain bola juga kan?”

“Iya...”

“Yang dari PSP Padang kan?”

“Iya...”

“Ah, ada-ada saja kamu. Semua pemain PSP Padang itu belum digaji sejak delapan bulan. Memangnya anak kita mau dijadikan pemain bola miskin? Mending anak kita dinamakan Ronaldinho kek, David Beckham kek, atau Christiana Ronaldo. Soalnya gaji pemain-pemain itu gokil-gokil. Siapa tahu gara-gara ada nama mereka anak kita jadi kecipratan kaya...”



Orangtua-orangtua lain boleh menamakan anak-anak mereka setinggi langit. Namun anak gw cukup bernama Agung. Memang cuma satu kata: AGUNG. Namun makna dari kata itu luar biasa. Secara harfiah, Agung adalah besar, gede, big, atau bahasa Jermannya gross. Dengan satu nama itu, gw berharap anak gw berpikir dan berjiwa besar. Bukan cuma pikirannya atau bodynya yang besar, rezekinya kudu besar juga. Tapi jangan sampe semuanya jadi ikut-ikuatan besar, misalnya matanya besar, kupingnya besar, mulutnya besar, hidungnya besar, dan maaf “burung”-nya besar.

Di kantor gw, ada manusia bernama Agung. Orangnya selain besar “kemaluan”-nya, juga besar nafsunya. Entah kenapa birahi-nya selalu muncul. Kalo udah muncul, penyalurannya cuma satu: melakukan aktivitas yang nggak seharusnya dilakukan. Kenapa? Karena yang biasa dilakukan oleh si Agung, aktivitas dosa! Mending kalo ngaji atau ceramah, ini mah main ke tempat mesum.

“Namanya anak muda, Pak,” papar si Agung enteng. “Mumpung masih muda dan belum married, dipuas-puaskan hidupnya”.

“Hati-hati aja kepatil,” pesan gw. Maksudnya “kepatil”, “burung” si Agung kena penyakit. Kalo nggak penyakit flu, ya AIDS.

Ada juga temen gw yang bernama Antariksa. Gw yakin, orangtuanya ingin anaknya menjadi astronot atau antariksawan yang terbang ke bulan. Namun bukan mendarat ke bulan, teman gw yang bernama Antariksawan ini mendarat di Kawasan Industri Pulogadung.

Mari kita tinggalkan si Agung yang mesum dan Antariksawan yang mendarat di Pulogadung. Sekarang gw dah berada di depan tempat tidur anak gw. Tapi udah dua kali teriak, anak gw satu ini belum juga beranjak dari ranjangnya. Padahal kupingnya nggak budeg. Padahal hari udah siang. Jam udah menunjukan pukul 06:30 AM. Ini artinya, udah seharusnya ada di sekolah. Bukankah hari ini bukan hari libur? Anak ini memang pemalas sekali. Tadinya gw mau guyur pakai air, tapi nggak tega juga sih.

“Agung! Agung! Kamu ngeselin banget sih?!” kata gw.

“Ya maaf Pap. Aku kan masih pengen tidur Pa,” papar Agung dengan nada suara kasur. Serak-serak becek.

“Mulai hari ini nama kamu Papa ganti deh! Ini supaya kebiasaan kamu bangun siang bisa musnah ditelan rembulan”.

“Ganti nama?! Katanya Papa What’s in a name?”

“Nggak bisa! Papa tetap ganti nama kamu! Nama kamu Papa ganti jadi Suparman!”

“Suparman?!”

“Papa berharap kamu akan kuat dan tegar seperti Superman,” jelas gw.

“Berarti mulai hari ini aku pakai kolor di luar ya Pa? Terus kalo ke sekolah pake sayap, biar bisa terbang,”