Thursday, February 12, 2009

MEMPERTANYAKAN OBJEKTIVITAS DOKTER

Waktu kecil gw sempat ditanya Mama dan Papa. Biasalah, pertanyaan klise, soal cita-cita. Mau jadi apa kalo gw udah besar nanti? Sebenarnya pertanyaan orangtua gw yang tercinta ini kayak pertanyaan jebakan. Lho jebakan? Iya! Mereka pasti udah tahu kalo udah besar, gw tetap jadi Manusia, bukan jadi Monyet.

Gw terlahir bukan kayak anak kecil biasa. Yang kalo ditanya soal cita-cita, jawabannya pasti klise. Kalo nggak mau jadi Dokter, Insinyur, ya biasanya mau jadi Pilot. Ada juga sih ada anak-anak yang lebih pintar. Ketika ditanya mau jadi apa, jawabannya mau jadi Astronot. Keren banget kan cita-cita jadi Astronot? Bisa pergi ke bulan. Padahal kalo nggak sempat ke bulan, anak-anak berjenis kelamin Wanita, nggak perlu risau kalo nggak sempat jadi Astronot dan pergi ke bulan. Kenapa? Soalnya saban bulan, pasti Wanita akan dapat bulan. Kecuali Wanita itu sebenarnya berwujud Pria kayak Dorce.

Ada juga sih yang mau jadi Polisi atau Tentara. Ini profesi yang luar biasa. Sempat-sempatnya kepikiran ya anak-anak kecil? Mungkin anak-anak ini udah bisa melihat, profesi ini bakal laku keras di pasaran. Maksudnya? Kalo Polisi ini memang dibutuhkan saat-saat ini. Nggak cuma di Jakarta, tapi di Sumatera Utara, maupun kota-kota lain. Jumlah Polisi yang belum seimbang sama warga masyarakat, membuat lowongan menjadi Polisi terbuka lebar.

Tanpa Polisi, nggak mungkin demonstrasi anarkis yang dilakukan Mahasiswa atau LSM bisa selesai. Polisi kudu turun menangani Intelektual Muda yang norak-norak itu. Norak gara-gara demontrasinya sampai menghancurkan fasilitas umum. Polisi juga kudu menangani masalah perang antarkampung yang kerap terjadi dan menjadi bagian budaya primitif Indonesia.


Malaikat kecil gw lagi main dokter-dokteran, karena cita-cita mereka jadi Sutradara atau Animator. Apa hubungannya? Emang nggak ada! Yang satunya lagi cita-citanya jadi President. Tapi gw pesan, kalo jadi Presiden jagan kebanyakan promosi dan korupsi


Lalu kalo ditanya cita-cita apa jawaban gw?

Sebagai anak kecil, gw udah sempat berpikir besar. Gw ingin jadi Medical Representative. Apaan tuh? Nah, elo-elo ini jangan udik dan norak deh. Masa nggak tahu profesi yang selalu dekat dengan Dokter ini? Coba deh sekali waktu elo sakit dan nunggu di rumah sakit. Beberapa orang yang berpakaian rapi yang duduk di situ, bukanlah pasien. Jarang banget pasien dandan pas ke dokter. Yang rapi itu nggak lain adalah Medical Representative alias seorang wakil dari perusahaan farmasi yang menjual produk obat-obatan. Kita sebut dia dengan akronim MR.

Selain dandan, ciri-ciri MR adalah membawa tas. Ada yang pakai tas ransel, tas genggam, dan tas gendong. Gw nggak akan jelaskan satu per satu tas-tas itu. Nggak penting. Yang penting cerita soal si MR itu, ya nggak?

Di dalam tas-tas itu, biasanya ada brosur-brosur produk yang mereka wakili. Tergantung dari perusahaan tempat si MR ini kerja. Kalo di perusahaan ada banyak produk, otomomatis brosurnya banyak. Kalo di perusahaannya cuma ada satu produk, ya brosurnya cuma satu. Supaya nggak terlihat miskin brosur, makanya di tas MR dimasukin brosur-brosur lain, mulai dari brosur apartemen, rumah makan, dan brosur promo toko elektronik.




Target MR menjual sebanyak-banyaknya produk dari perusahaannya. Semakin banyak terjual, semakin memungkinkan mereka mendapatkan bonus. Ada strategi yang udah lazim digunakan agar target penjualan si MR tinggi, yakni bekerjasama dengan Dokter. Di sinilah beberapa Dokter “bermain”.

“Terserah mau pilih apa: mau mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan ke luar negeri?”



Pilihan-pilihan menarik kayak begitu, seringkali ditawarkan perusahaan farmasi via MD. Siapa yang nggak tergiur dengan tawaran tersebut? Buat Dokter yang belum punya rumah, tentu akan pilih rumah baru. Buat yang udah sering jalan-jalan ke luar negeri tapi nggak punya rumah, jelas akan pilih mengganti mobil lama menjadi mobil baru.

“Kalo udah punya mobil, rumah, dan jalan-jalan ke luar negeri milih apa dong?”

“Istri baru kali!”

Entahlah, ada nggak Dokter yang punya permintaan kayak begitu. Mungkin juga sih Dokter melakukan poligami. Bukankah Dokter juga manusia? Anyway, barangkali ada yang bertanya-tanya apa yang melatarbelakangi Dokter ditawari hal-hal menarik dari perusahaan farmasi?

• Ucapan Dokter seringkali kayak ucapan “Tuhan”. Maksudnya, mayoritas Pasien akan menelan mentah-mentah apa yang Dokter ucapkan. Dokter memberi saran A, Pasien akan menjalankan saran A itu. Apalagi kalo si Pasien udah jadi pelanggan tetap Dokter tertentu, wah ini udah pasti Dokter itu akan jadi “Tuhan”-nya si Pasien itu. Padahal ucapan Dokter nggak boleh ditelan mentah-mentah. Uniknya, saran Dokter A belum tentu sama dengan saran Dokter B. “Mungkin lain Universitas, lain sarannya kali,” kata seorang Pasien yang agak goblok tapi tolol.

• Persaingan antarperusahaan farmasi membuat perusahaan-perusahaan ini melancarkan strategi “perang dagang”. Kalo nggak mampu berperang, udah pasti perusahaan farmasi itu akan gagal dan ujung-ujungnya gulung tikar. Oleh karena itu, sebagai garda terdepan produk perusahaan farmasi, MR dikasih target. Target MR akhirnya juga menjadi target Dokter. Kalo Dokter mampu menjual produk tertentu, maka akan mendapatkan imbalan. Imbalannya ya itu tadi: mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan keluar negeri

Tulisan ini bukan bermaksud mendeskriditkan profesi Dokter. Buat gw, Dokter adalah profesi terhormat. Tanpa Dokter, nggak mungkin orang-orang sakit bisa mendapatkan clue atau solusi, penyembuhan penyakit yang mereka derita. Ya nggak? Namun, tulisan ini adalah refleksi dari pengalaman gw dan hasil gw mendengar dari teman-teman gw yang kebetulan udah pernah berhubungan dengan Dokter.

Berbeda kasus dengan Dokter yang ikutan Multi Level Marketing (MLM). Dokter jenis ini nggak mau dikasih target oleh MR. Buat doi, kalo terget MR terlampaui, itu sama aja mensukseskan perusahaan farmasi milik orang lain. Lho kan Dokter yang memenuhi target tetap dapat kompensasi? Iya sih mobil baru, rumah baru, atau jalan-jalan ke luar negeri.



“Tapi kalo sukses di MLM, hasilnya buat diri sendiri dan keluarga,” kata temen gw sok tahu. “Hasilnya pun bisa diwariskan buat anak dan cucu”.

Kalo dipikir memang enak sukses di MLM ketimbang mensukseskan target perusahaan farmasi. Dalam MLM, Dokter nggak menjual obat-obatan. Biasanya MLM menjual food supplement. Apa itu food supplement? Food supplement sebenarnya beda banget sama vitamin. Namun banyak orang menyamakan food supplement dengan vitamin, termasuk beberapa Dokter.

Menurut buku yang gw baca, food supplement adalah “makanan tambahan”. Maksudnya, “makanan” yang dibuat kayak vitamin yang berfungsi buat menambah kebutuhan yang kurang di tubuh kita. Setiap manusia beda-beda kebutuhannya. Ada yang nggak suka sayur. Ada yang nggak suka buah. Ada yang kurang vitamin A. Ada yang suka ngerokok dan butuh antioksidan. Nah, di tubuh mereka kudu disupply “makanan” yang memenuhi kekurangan-kekurangan itu.

Data World Health Organitation (WHO), konsumsi buah dan sayuran penduduk Indonesia cuma 2,5 porsi sehari. Padahal yang disarankan sebanyak 5-9 porsi setiap hari. Nah, food supplement membantu memenuhi asupan gizi orang. Kasus lain, lingkungan yang tercemar polusi udara trus ditambah aktivitas manusia yang padat, memproduksi jutaan radikal bebas. Kasus ini banyak terjadi di kota-kota besar, Oleh karena itu, dibutuhkan antioksidan buat memperbaiki sel-sel yang rusak, yakni food supplement yang mengandung asupan vitamin A, C, dan E.

“Tapi gw nggak butuh food supplement!” kata Pasien yang lebih mempercayai ucapan dokter dari fakta-fakta soal food supplement. “Kata Dokter gw, yang penting kita menjaga pola makan kita.” Aneh!


Kata sebagian Dokter, yang penting jaga pola makan. Nggak perlu food supplement. Dokter mana yang bisa menjamin si Pasien selalu punya pola makan sehat? Kalo si Pasien suka makanan kayak begini, kayak-kayaknya food supplement tetap penting deh!

Berdebat soal food supplement memang nggak akan habisnya. Lagi pula kita nggak akan membahas banyak soal food supplement panjang kali lebar kali tinggi di sini. Kita membahas soal hubungan Dokter dan perusahaan farmasi. Kita balik lagi ya? Jadi, sekali lagi Dokter lebih suka sukses di MLM ketimbang produk dari perusahaan farmasi. Food supplement yang direkomendasikan Dokter ke Pasien menjadi alternatif menjaga kesehatannya. Ingat! Bukan untuk mengobati, karena food supplement bukan obat. Nah, kalo rekomendasi Dokter diterima Pasien, otomatis penjualan food supplement akan meningkat. Dari penjualan itu, ada rabat atau selisih keuntungan berupa cash. Kalo yang cash biasanya non-member dari perusahaan MLM. Tapi kalo yang member, ada point-point yang jika terkumpul akan menghasilkan bonus dari si Dokter. Bayangkan kalo member si Dokter jumlahnya puluhan ribu orang? Puluhan ribu orang itu setiap bulan membeli food supplement dan menyumbang point-point buat si Dokter?

“It’s gonna be passive income!”

Namun, Dokter yang ikut MLM nggak terlalu maksa Pasien. Maklum, food supplement bukan obat. Food supplement is only food supplement yang tujuannya mencegah sebuah penyakit berkembang lebih besar atau mencegah agar Pasien nggak terserang penyakit. Intinya, mencegah. Jadi kalo ada perusahaan MLM yang bilang food supplement-nya bisa mengobati, itu bukan kategori food supplement tapi udah obat. Kalo obat, itu artinya nggak dibuat dari bahan alami lagi (non-organik), tapi udah tercampur bahan kimia.

Terlepas dari produk farmasi atau MLM, banyak orang yang mempertanyaan soal objektivitas Dokter. Maksudnya? Kayak yang udah dijelaskan di atas, ucapan Dokter kayak ucapan “Tuhan”, biasanya obat-obatan yang nggak diperlukan Pasien terpaksa diberikan. Pasien jadi nggak punya hak buat memilih obat. Semua berdasarkan resep si Dokter. Resep Dokter ditelan mentah-mentah oleh si Pasien.

“Makanya gw paling sebel kalo ketemu Dokter yang sok nggak punya waktu,” protes temen gw. “Dokter nggak bisa ditanya-tanya soal penyakit si Pasien. Doi cuma periksa badang gw sebentar, trus nulis resep, dan gw langsung diusir keluar. Soalnya banyak pasien yang menunggu.”

“Makanya cari Dokter yang cuma terima Pasien dikit,” kata temen gw yang katanya punya Dokter langganan yang selalu membatasi jumlah pasien.



Dokter membatasi pasien? Mungkin elo nyangka, Dokter ini Dokter nggak laku. Mana ada Dokter membatasi jumlah Pasien? Yang ada Dokter mencari Pasien sebanyak-banyaknya, ya nggak? Salah! Ada beberapa Dokter yang memang idealis. Dokter ini nggak mau periksa banyak Pasien. Dalam sehari, Dokter model begini membatasi jumlah Pasiennya per hari. Ini tujuannya supaya hubungan si Dokter dan Pasien lebih dekat. Artinya, komunikasi nggak tergesa-gesa. Pasien mau tanya apa aja, dijawab dengan waktu yang cukup melegakan si Pasien. Pokoknya Dokter idealis nggak kejar setoran atau kalo istilah televisi kejar tayang.

Selain nggak ngejar setoran, Dokter idealis ini juga memberikan kebebasan si Pasien. Mau pake food supplement silahkan, mau pake produk dari perusahaan farmasi monggo. Sing penting, hidup Pasien nggak ditangan sang Dokter. Tapi atas diskusi antara Dokter dan Pasien. Indah bukan?

all photos by Brillianto K. Jaya

No comments: