Monday, February 2, 2009

POLISI: DIRINDU DAN DIKRITISI

Polisi adalah profesi yang dilematis. Kenapa begitu? Di kala traffic light sedang melakukan sebuah pemogokan alias nggak berfungsi, Polisi begitu dicari-cari. Maklum, manusia-manusia yang berkendaraan pribadi seringkali nggak punya kesabaran. Buah dari tidak kesabaran adalah sebuah kemacetan.



Polisi turun, semua beres. Jadi ingat pepatah lawas zaman Orde Baru, yakni SDSB. Kepanjangan dari Sudomo Datang Semua Beres. Di tengah kemacetan, di tengah gejolak jiwa manusia-manusia nggak sabar, Polisi menjadi semacam angin kesejukan.

Namun Polisi sering dikritisi. Polisi dianggap main askap alias asal tangkap. Padahal seharusnya ada peraturan, kalo mau melakukan penangkapan, Polisi kudu mendirikan sebuah plang informasi yang judulnya: "Ada Razia". Yang terjadi, tiba-tiba Polisi muncul dari balik semak-semak dan meminta SIM atau STNK.

"Beruntunglah gw belum pernah ditangkap Polisi seumur hidup," kata teman gw.

"Kok bisa?"

"Soalnya setiap mengendarai motor atau mobil, SIM, KTP, dan STNK selalu gw tempelkan di jidat..."

Maklum, jidat temen gw cukup lebar. Mirip landasan Helipet.

Begitulah Polisi, sering dirindukan sering pula dicacimaki.Satu yang pasti, menurut data dua bulan lalu, jumlah anggota Polri di seluruh Indonesia, masih minim buat melayani 250 juta Penduduk di Indonesia. Saat ini, jumlah Polsi tercatat 363.000 orang. Ketimpangan rasio jumlah polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk total, yaitu 1:1500. Ini arti apa? Artinya satu polisi mengawasi 1500 orang di negeri ini. Gokil nggak, bo?! Padahal standar PBB menyebutkan standar ideal itu adalah 1:400 atau 1:300.

Menurut pakar dunia Polisi dan dunia Akhirat, rasio tersebut di atas boleh jadi menjadi relatif, kalo saja warga negara tercinta ini nggak macam-macam. Maksudnya?

1. Polisi nggak perlu menurunkan terlalu banyak personil untuk ngurusin masalah demo mahasiswa atau LSM. Bukan rahasia umum lagi, hampir tiap kali demo, mereka rada anarkis, brutal, dan vandal. Nggak cuma meneriakkan aspirasi, tapi seringkali merusak fasilitas umum. Merubuhkan pagar gedung MPR/ DPR atau pagar jalan tol. Membocorkan genteng-genteng rumah orang. Membakar-bakar apa yang bisa dibakar di jalan.

2. Polisi nggak selalu meredam tawuran gara-gara hal sepele. Supporter A adu jotos dengan Supporter B lantaran tim sepakbola salah satu Supporter itu kalah. Atau tawuran antarsupir angkot yang mogok mengangkut Penumpang atau menolak pencabutan trayek "basah". Tawuran antarpelajar, antarmahasiswa yang katanya intelektual itu, antarwarga kampung, antarpendukung cagub/cabup/calur, dan hal sepele lain.

3. Polisi seharusnya nggak ikut-ikutan membantu Satpol PP dalam menggusur pedagang kaki lima, warung remang-remang, dan warung terang-terang. Polisi harusnya melakukan pekerjaan yang lebih elit, yakni mengejar pelaku narkoba, sindikat uang palsu, obat palsu, pembajak DVD, dll.

Sayang, warga negara Indonesia mayoritas masih berjiwa "primitif". Kalo nggak ada polisi bisa seenak udel, kayak nggak ada hukum yang diberlakukan. Nggak pake helm, seenaknya menerobos lampu merah, berak sebarangan, dll. Eh, giliran ada polisi, sok alim. Dasar!

video by Brillianto K. Jaya

No comments: