Monday, February 2, 2009

WHAT'S IN A NAME?

“Aguuuuuuuuuuuuung! Ayo cepat mandi!” teriak gw dari ruang tamu.

Itu adalah teriakan gw pada anak gw. Nggak mungkin gw berteriak ke tetangga gw. Kalo berteriak ke anak tetangga, pasti Bapaknya si anak tetangga itu akan marah-marah. Kalo marah-marah hubungan pertetanggaan jadi runyam. Gw nggak akan bisa lagi nitip kunci kalo mo pergi ke luar kota. Nggak bisa lagi nitip rumah kalo mo pergi kerja. Lagian ngapain juga ya gw nitip-nitip rumah? Bukankah rumah nggak kemana-mana? Ada-ada aja tuh tetangga! Mau-mauan dititip-titipin rumah plus kuncinya sama gw.

Anak gw yang gw teriakin dengan nada 4 oktaf itu bernama Agung. Nggak ada nama panjangnya, cukup Agung. Alasan gw kenapa nggak diperpanjang namanya, karena takut keberatan nama. Kalo keberatan nama, kasian anaknya menanggung nama yang berat.



Banyak anak-anak yang keberatan nama, misalnya Galunggung Putra Petir. Itu anak sudah menanggung gunung Galunggung yang ada di Tasik, Jawa Barat, juga turut menanggung Petir yang ada tiap kali hujan muncul. Mungkin orangtuanya ingin anaknya setegar gunung dan semenggelegar petir dalam mengarungi hidup. Sayang, gunung sekarang banyak yang gundul, akibat pohon-pohonnya ditebangin sama manusia rakus. Mungkin gara-gara menyambut gunung yang gundul, kepala si anak yang bernama Galunggung Putra Petir itu kepalanya botak. Struktur kepalanya pun mirip gunung yang menurun dan menanjak.

Ada pula anak yang bernama Cahaya Indah Sentosa. Nah, ini mirip toko kaca. Tapi artinya bukan toko kaca. Artnya “sinar luar biasa yang abadi”. Lagi-lagi anak yang punya nama ini harus menanggung malu dengan namanya. Orangtua juga kudu hati-hati ngasih nama ke anak-anaknya. Kenapa? Dengan nama seperti Cahaya Indah Sentosa itu, anak kudu diharapkan sebagai sinar buat keluarga. Membanggakan orangtua. Namun kalo kenyataannya anaknya nggak bersinar-sinar, otaknya tolol, kelakuannya minus, dan hidungnya pesek, wah itu mah memalukan malah keluarga.

“Aguuuuuuuuuuuuuuuuung! Ayo dong mandi! Udah siang nih!” teriak gw lagi, saat ngeliat anak gw yang belum juga mandi-mandi.

Kata Shakespeare: What’s in a name? Itu dimaksudkan buat diri gw kali ya. Tahu aja si mas Shakespear ini. Gw udah mengantisipasi soal nama anak gw. Maksudnya, gw nggak mau membebani anak gw dengan nama-nama yang teralu berat. Boleh sih orangtua berharap positif, agar anaknya kelak menjadi anak berbakti pada orangtua dan agama. Tapi nggak harus dari nama kan? Percuma juga kan, kalo nama anaknya selangit, cara orangtua ngajarin anaknya nggak positif. Orangtua nggak ngasih contoh yang bener, misalnya buang sampah sembarangan dari kaca jendela mobil, ngerokok di lokasi yang bertanda dilarang merokok, kentut nggak pada tempatnya, nggak sabaran saat ngantri di loket atau di lampu merah, atau korupsi.

Bicara korupsi relevan sekali dengan topik soal nama. Coba elo baca koran, lihat nama-nama koruptor di negeri ini. Nama-nama mereka indah dan luar biasa bukan? Namun sayang, mereka keberatan nama. Yang paling menjengkelkan kalo ada koruptor yang depannya pakai nama Muhammad. Itu jelas-jelas melecehkan keagungan nama Rasul umat Islam, yang nggak lain ya Rasul agama gw. Harusnya orang yang dengan nama Muhammad yang korup, kudu ditembak mati. Nggak cuma si pemilik nama, tapi juga Bapak-nya. Kenapa ngasih nama berat-berat?! Kalo memang mau ngasih nama berat ya harus mempertanggungjawabkan kelakuan anaknya dong?!

“Kenapa nama kamu Harto?” tanya Bapak kepada anaknya.

“Lha?! Mana saya tahu Pak? Bapak kan yang menamakan saya Harto?”

“Ah, masa sih?! Memangnya kamu keluar belakangan dari Bapak?”

“Yaiyalah masa yaiyadong? Duren aja dibelah, masa dibedong?” kata anaknya si Bapak itu.

“Hush! Itu lagunya Project Pop! Jangan ngebajak?”

“Habis Bapak nanyain nama aku. Udah gitu, mempertanyakan siapa yang keluar belakangan. Bapak itu adalah Bapak saya. Artinya, Bapak lah yang berbuat dengan Ibu sehingga menghasilkan saya. Soal nama, ya itu perbuatan Bapak dan Ibu. Kenapa saya dinamakan Harto....”

“Tapi kamu nggak korupsi kan?”

“Ya enggak lah! Saya kan masih anak-anak? Nanti kalo udah gede, ya tinggal lihat kesempatan aja. Apakah ada kesempatan korupsi atau nggak...”

“Bagus! Bagus! Itu namanya anak Koruptor,” kata sang Bapak sambil kepalanya diangguk-anggukan.

Kalo mau ngasih nama anak, please pikir dua kali deh. Buat mereka yang sedang halim, eh hamil cari nama sesuai visi anak kita nantinya mau dijadikan seperti apa. Mau dijadikan Politisi yang koruptor kah? Atau Selebriti yang suka kawin cerai-kawin cerai? Nggak usah pakai nama-nama Nabi yang sangat suci itu, kalo elo memang nggak menjalankan apa yang Nabi jalankan. Lebih baik cari nama lain.

Buat menghindari keberatan nama, banyak pasangan suami istri memberi nama anaknya sesuai dengan minat mereka. Kalo anaknya mau dijadikan musisi, ya cari nama-nama yang berhubungan dengan instrumen musik, misalnya Gitarius Sinartya atau Bastuti Senarwati. Kalo anaknya mau dijadikan dokter, pilih nama-nama obat yang cocok dengan jenis kelamin anak elo. Antimowan, misalnya. Atau Decoldinto.

“Ma, karena kita berdua menyukai sepakbola, maka kita namanya anak kita Sunayan Bolantino. Keren kan? Kayak nama Italiano,” jawab seorang Ayah yang baru saja mendapatkan anak pertama.

“Kenapa nggak nama-nama pemain sepakbola nasional, Pa? Kayak Kurniawan Dwiyulianto, Budi Sudarsono, Ponaryo Astaman, atau Bambang Pamungkas gitu?” tanya istri seorang Ayah itu.

“Males, ah! Nanti kalah terus. Tahu dong PSSI nggak pernah menang? Nanti hidup anak kita jadi seperti PSSI. Yang pengurus berantem terus, yang pemain juga ikut-ikutan berantem, apalagi supporternya...”

“Atau namanya Sayful Lewenusa gitu...”

“Itu kan nama pemain bola juga kan?”

“Iya...”

“Yang dari PSP Padang kan?”

“Iya...”

“Ah, ada-ada saja kamu. Semua pemain PSP Padang itu belum digaji sejak delapan bulan. Memangnya anak kita mau dijadikan pemain bola miskin? Mending anak kita dinamakan Ronaldinho kek, David Beckham kek, atau Christiana Ronaldo. Soalnya gaji pemain-pemain itu gokil-gokil. Siapa tahu gara-gara ada nama mereka anak kita jadi kecipratan kaya...”



Orangtua-orangtua lain boleh menamakan anak-anak mereka setinggi langit. Namun anak gw cukup bernama Agung. Memang cuma satu kata: AGUNG. Namun makna dari kata itu luar biasa. Secara harfiah, Agung adalah besar, gede, big, atau bahasa Jermannya gross. Dengan satu nama itu, gw berharap anak gw berpikir dan berjiwa besar. Bukan cuma pikirannya atau bodynya yang besar, rezekinya kudu besar juga. Tapi jangan sampe semuanya jadi ikut-ikuatan besar, misalnya matanya besar, kupingnya besar, mulutnya besar, hidungnya besar, dan maaf “burung”-nya besar.

Di kantor gw, ada manusia bernama Agung. Orangnya selain besar “kemaluan”-nya, juga besar nafsunya. Entah kenapa birahi-nya selalu muncul. Kalo udah muncul, penyalurannya cuma satu: melakukan aktivitas yang nggak seharusnya dilakukan. Kenapa? Karena yang biasa dilakukan oleh si Agung, aktivitas dosa! Mending kalo ngaji atau ceramah, ini mah main ke tempat mesum.

“Namanya anak muda, Pak,” papar si Agung enteng. “Mumpung masih muda dan belum married, dipuas-puaskan hidupnya”.

“Hati-hati aja kepatil,” pesan gw. Maksudnya “kepatil”, “burung” si Agung kena penyakit. Kalo nggak penyakit flu, ya AIDS.

Ada juga temen gw yang bernama Antariksa. Gw yakin, orangtuanya ingin anaknya menjadi astronot atau antariksawan yang terbang ke bulan. Namun bukan mendarat ke bulan, teman gw yang bernama Antariksawan ini mendarat di Kawasan Industri Pulogadung.

Mari kita tinggalkan si Agung yang mesum dan Antariksawan yang mendarat di Pulogadung. Sekarang gw dah berada di depan tempat tidur anak gw. Tapi udah dua kali teriak, anak gw satu ini belum juga beranjak dari ranjangnya. Padahal kupingnya nggak budeg. Padahal hari udah siang. Jam udah menunjukan pukul 06:30 AM. Ini artinya, udah seharusnya ada di sekolah. Bukankah hari ini bukan hari libur? Anak ini memang pemalas sekali. Tadinya gw mau guyur pakai air, tapi nggak tega juga sih.

“Agung! Agung! Kamu ngeselin banget sih?!” kata gw.

“Ya maaf Pap. Aku kan masih pengen tidur Pa,” papar Agung dengan nada suara kasur. Serak-serak becek.

“Mulai hari ini nama kamu Papa ganti deh! Ini supaya kebiasaan kamu bangun siang bisa musnah ditelan rembulan”.

“Ganti nama?! Katanya Papa What’s in a name?”

“Nggak bisa! Papa tetap ganti nama kamu! Nama kamu Papa ganti jadi Suparman!”

“Suparman?!”

“Papa berharap kamu akan kuat dan tegar seperti Superman,” jelas gw.

“Berarti mulai hari ini aku pakai kolor di luar ya Pa? Terus kalo ke sekolah pake sayap, biar bisa terbang,”

No comments: