Sunday, May 31, 2009

TOKAI DI KOLAM ANAK

Terus terang udah lama saya dan keluarga nggak rekreasi kolam renang. Istilah rekreasi kolam renang, saya ciptakan buat membedakan antara berenang beneran dan berenang bohong-bohongan.

Kalo berenang beneran, kita kudu melakukan standar operational procedure (SOP) yang benar. Melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum berenang, misalnya. Ini dilakukan agar saat renang kita nggak keram kerontang (istilah “kerontang” kayaknya nggak cocok kalo dipadankan dengan “keram” ya? Lebih cocok dengan kata “kering”, supaya menjadi “kering kerontang”). Bahkan sebelum pemanasan, 15-30 menit sebelumnya, kita diancurkan makan terlebih dahulu. Tapi makannya jangan banyak-banyak. Bukan makan ala kuli yang pake nasi sebakul, cing! Cuma makan buat mengisi perut kita supaya nggak terjadi huru-hara alias keroncongan saat ngambang di atas air.


Gara-gara iklan, gw tertipu. Saya pikir, snow yang ada di SnowBay bener-bener snow. Maklumlah, sebelumnya Ice World bisa bikin ice serasa kita berada di Kutub Utara. Nah, saya pikir SnowBay melakukan itu. Eh, ternyata warna putih-putih di sekitar kolam bukan salju, tapi plesteran semen yang dicat putih. Salju bohongan! Wah, saya tertipu. Dua beruang Kutub yang cantik-cantik ini pun bukan beruang beneran. Tapi nggak mungkin juga ada beruang beneran di lepas di kolam kali ya? Yang ada kalo beneran, semua Pengunjung bukannya berenang malah kocar-kacir.

Berenang beneran ini adalah berenang yang memang benar-benar berenang, yakni berenang dalam rangka mau berolahraga. Oleh karena beneran, maka teknik berenang dipergunakan. Mau gaya dada kek, gaya punggung kek, gaya pinggul kek, gaya pundak kek, atau gaya-gaya lain, kita gerakkan selama berenang. So, berenang beneran benar-benar buat olahraga.

Berbeda dengan berenang beneran, berenang bohong-bohongan tujuannya cuma buat rekreasi. Nggak ada maksud terselubung dalam berenang bohong-bohongan. Maksudnya terselubung, nggak ada maksud buat olahraga. Sekali lagi tujuannya 100% cuma buat bersenang-senang. So, nggak perlu pakai SOP dan nggak perlu pake makan terlibih dahulu. Soalnya target olahraga nggak ada. Kalo memang cape, ya istirahat. Kalo lapar dan perut terasa krucuk-krucuk (ini bunyi perut kalo lapar versi saya), ya naik aja ke kolam dan cari makanan di tempat makan yang ada di situ.



Sejak tahun 80-an, kolam arus ini udah eksis. Pertama kali di Ancol. Sampai sekarang, semua Waterpark menggunakan konsep ini. Meski nggak baru lagi, wahana ini tetap menarik buat para Pengunjung. Ya, nggak perlu merasakan terhanyut di laut lepas, cukup di Waterpark aja.

Berenang dalam rangka rekreasi kali ini saya dan keluarga putuskan ke venue baru. Snow Bay Waterpark, namanya lokasi berenang kami. Lokasinya berada di dalam Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Kalo sebelumnya kita mengenal TMII sebagai pusat wisata budaya dan edukasi, karena beraneka macam kebudayaan di Indonesia ada di situ (saat diresmikan oleh alm.Ibu Tien Seharto, di TMII masih cuma 27 Propinsi. Kalo sekarang udah nggak update lagi, karena Propinsi udah 33), kini ada wisata lain, yakni wisata air.

SnowBay Waterpark ini sebenarnya nggak jauh beda sama waterpark-waterpark yang udah ada sebelumnya, kayak Waterboom Cikarang, OceanPark, Waterpark Depok, The Jungle, atau yang terakhir tahun lalu di-launching Waterboom Pantai Indah Kapuk. Kenapa saya bilang sama, ya wahana-wahana yang tersedia sami mawon. Ada Tube Coaster, yakni perosotan yang dialiri air dan berbentuk melingkat-lingkar. Ada Typhoon River, yakni kolam arus panjang yang mengelilingi area Waterpark, dimana selama keliling, kita menggunakan ban bebentuk bulat atau angka delapan. Ada pula ember raksasa yang bisa menumpahkan air begitu ember udah terisi penuh air.

Wahana-wahana yang sekarang ada di Waterpark-Waterpark sebenarnya udah lama dimunculkan di kolam renang tahun 90-an. Bahkan kolam renang Ancol lebih lama lagi, yakni tahun 80-an. Ancol memang menjadi kolam renang pertama ala Waterpark yang sedang lagi digandrungi. Ancol udah mengenalkan beberapa wahana. Kolam luncur yang dialiri air, dimana tingkat ketinggiannya lebih dari 20 meter, udah saya naiki sekitar tahun 80-an. Kolam arus juga udah ada. Bahkan kolam ombak juga udah ada. Sejak direnovasi dan menjadi Atlantis, kolam renang Ancol pun nggak banyak menambah wahana. Look-nya sih udah mantap. Maksudnya kolam renangnya nggak kumuh lagi kayak zaman dahulu kala.


Kolam ombak ini pun udah ada sejak Ancol berdiri. Bedanya cuma size kolam ombaknya aja. Kalo di Ancol nggak gede, yang di Waterpark-Waterpark baru lebih besar. Tapi gelombang ombaknya sih sami mawon.

Setelah Ancol, saya pikir kolam renang yang memiliki wahana yang variatif adalah kolam renang Pondok Indah Mal (PIM). Memang sih, wahananya nggak jauh beda dengan kakaknya: Ancol, tapi tahun 90-an udah lebih modern (sebelum Ancol berubah jadi Atlantis). Di kolam ini masih dibuatkan fasilitas kolam renang buat mereka yang mau berenang beneran. Meski belakangan, kolam renang beneran sekarang banyak dipergunakan buat arena pacaran. Maksudnya, mereka berenang sambil pacaran dengan sang kekasih. Tapi ada fasilitas lain di kolam renang PIM, yakni kolam luncur model spiral.

Meski mayoritas wahana di Waterpark sama, toh di tiap Waterpark kelihatannya membuat satu atau dua wahana yang beda. Ini dalam rangka beda satu dengan yang lain aja. Misalnya di Jungle ada wahana lapangan buat main bola, dimana para pemainnya bisa main bola sambil dihujan-hujani oleh air. Nah, di SnowBay ada wahana yang bernama Hurricane. Kalo saya banding-badingkan, Hurricane ini mirip kayak Kora-Kora di Dunia Fantasi. Andrenaline kita kayak diaduk-aduk. Bayangkan, pertama kita cuma merosot dengan turunan biasa. Merosotnya dengan menggunakan ban, lho. Namun pada satu titik, turunannya sangat menukik dan membuat ban kita jatuh mendarat ke sebuah lingkaran besar mirip corong minyak. Ban tersebut masih diajak naik dan turun dan memutar-mutarkan badan kita, sampai akhirnya jatuh di sebuah kubangan air. Byur!!!



Hurricane kayaknya cuma satu-satunya wahana yang baru dan cukup seru lah! Kalo belum jantungan dan mau ngetes adrenalin, Anda harus merasakan wahana ini di SnowBay. Wahana ini mirip Kora-Kora yang ada di Dufan. Bedanya, satu di darat, satu lagi di kolam renang.


Buat saya, wahana Hurricane cukup seru. Barangkali satu-satunya wahana di SnowBay yang menurut saya beda, ya Hurricane ini. Ada juga sih Flush Bown. Tapi konsepnya nggak jauh beda dengan kolam luncur, dimana setelah meluncur di lorong panjang, badan kita dijatuhkan di sebuah mangkuk besar. Namun buat saya, wahana Hurricane tetap yang paling mantap! Oh iya, mereka yang ingin main di wahana Hurricane, kudu menggunakan ban. Ada band khusus dua orang, dimana cara menggunakannya dua orang saling bertemu pandang dan kaki mereka dijepitkan di tangan masing-masing pasangan. Ada ban yang khusus buat empat orang.

Sebenarnya SnowBay belum resmi dibuka. Soft launching-nya aja baru dilakukan Sabtu, 06 Juni 2009. Anehnya, ketika memasuki areal SnowBay, ada spanduk bertuliskan kolam rekreasi ini udah dibuka sejak 02 Mei 2009. Nggak konsisten! Hebatnya lagi, pekerjaan proyek SnowBay belum rampung, Pengunjung udah boleh menikmati tempat ini. Jangan heran kalo selama berenang, Anda akan melihat kuli-kuli bangunan lalu lalang di sekitar kolam. Ada kayu-kayu bekas pembangunan yang belum diberesin. Ada tangga yang kayak-kayaknya buat manjat kuli-kuli itu (kayaknya tangga memang buat manjat bukan?). Ada patung ikan paus yang belum “hidup” di tengah kolam ember raksasa. Ada pula tembok yang belum kering persis di dekat kolam luncur. Gara-gara belum kelar, banyak lantai di sekitar situ perlu disiram oleh Petugas SnowBay gara-gara berpasir.


Nggak ada yang mau rugi, termasuk di beberapa Waterpark. Para Pengunjung nggak boleh membawa makanan dan minuman dari luar. Kalo lapar dan haus, dipaksa makan di cafe yang ada di sekitar kolam. Padahal strategi ini belum tentu berhasil juga, kok. Kalo memang mau makan dan minum, ya sebelum atau sesudah berenang juga bisa, ya nggak? Manusia itu selalu punya cara. Intinya, kalo memang udah rezeki, ya nggak perlu digeledahin tas para Pengunjung. Norak banget tahu!

Saya jadi curiga kenapa SnowBay belum kelar, pasti Kontraktor-nya udah melebihi deadline. Sementara sang Investor udah keluar duit banyak dan butuh duit sesuai dengan rencana pembukaan tempat ini. Gara-gara belum rampung benar, ketika saya dan keluarga ke SnowBay kemarin, para Penggunjung mendapatkan potongan 40% dari tiket sesungguhnya Rp 120.000 per Pengunjung. Kami dan Pengunjung lain cuma bayar Rp 72.000. Itu udah termasuk mendapatkan ban berapa pun jumlahnya. Tapi belum termasuk deposit locker sebesar sepuluh ribu yang akan dikembalikan begitu kita pulang.

Sebagai Waterpark, SnowBay pasti bakal banyak yang melirik. Pertama, udah pasti karena venue ini menjadi WaterPark baru, dimana menjadi fasilitas baru pula di TMII. Sebelumnya Wisatawan cuma mengenal TMII sebagai wisata budaya. Dengan adanya SnowBay, image itu sedikit terobati. TMII kayak-kayaknya ingin bersaing dengan rekreasi Ancol.



Banyak sudut di SnowBay yang belum rampung pekerjaannya. Nggak heran banyak kuli yang hilir mudik selama kita berenang atau Tukang-Tukang yang cuek bekerja di pingir wahana. Nggak heran kalo sebelum diberlakukan harga tiket resmi, ada potongan 40% buat Pengunjung.


Alasan kedua, konsep WaterPark yang ber-snow alias bersalju menjadi “konsep baru”. Ini juga salah satu alasan saya berniat pergi ke SnowBay. Terpedaya oleh iklan di koran Media Indonesia. Maklumlah, saya ini suka banget dengan salju. Saya berharap, dengan kedatangan di SnowBay, saya bisa mengobati kekangenan saya terhadap salju. Eh, ternyata saya tertipu! Keluarga saya juga tertipu! Salju yang ada di sekitar SnowBay cuma “salju-saljuan” yang sebenarnya adalah plesteran tembok yang dicat warna putih kayak salju. Huh?! Dasar!

Di SnowBay ada juga kolam anak. Nah, soal kolam anak ini, anda kudu hati-hati. Kenapa? soalnya ada kejadian yang pernah kami alami di kolam anak di salah satu Waterpark. Ada tokai di kolam anak, cong! Awalnya saya nggak percaya. Tapi istri saya melihat dengan mata kepala sendiri.

“Awalnya aku pikir makanan yang jatuh ke kolam,” kata istri saya waktu itu. “Karena penasaran, aku injak-injak, eh ternyata bukan makanan, tapi kotoran manusia. Begitu tahu itu kotoran, langsung saja aku angkat si Khaira dari kolam itu”. Khaira itu salah satu nama anak saya.

Kalo dipikir-pikir, kolam anak-anak Batita memang rentan menyebarkan kotoran atau air seni. Coba siapa yang menjamin ketika anak Betita menyeburkan diri di kolam tiba-tiba pup? Coba siapa yang menghalangi anak Betita tiba-tiba pipis di kolam renang? Kecuali Anda dan keluarga suka makan tokai dan minum air seni, itu mah lain lagi masalahnya.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

SING PENTING BISA TETAP USAHA

Menurut Dosen saya yang mengajar mata kuliah Film dan Masyarakat, paska kehancuran Sovyet, ada 4 musuh besar rakyat Rusia. Keempat musuh itu adalah oligarki, tentara, polisi, dan mereka yang non-Rusia. Dalam tulisan ini, saya nggak akan bahas soal mengapa tentara, polisi, maupun orang-orang non-Rusia dimusuhi. Saya cuma mau meneruskan cerita soal oligarki.

“Takut loe sama tentara?”

“Bukan takut, tapi tulisan jadi terlalu panjang...”

“Tapi boleh kan membahas sedikit soal tentara?”

“Begini deh, tentara itu jadi musuh gara-gara mereka menjual peralatan bekas Sovyet yang canggih-canggih itu. Mulai dari menjual senjata, sampai uranium. Cukup sampai di situ ceritanya ya?”

“Baiklah my brother!”

Cerita lalu, Rusia di bawah Putin. Masih ingat? Di bawah Putin, perekonomian Rusia membaik. Rusia mulai memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Hebatnya, Rusia menjadi salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada bantuan IMF. Hebat nggak tuh? Rusia nggak sekadar bangkit dari keterpurukan, tapi berani menantang dominasi Amrik yang seringkali sok membantu negara-negara miskin yang perekonomiannya amblas. Catatan keberhasilan itulah yang menempatkan Putin masuk sebagai Tokoh Dunia tahun 2007 versi majalah Time.

“Indonesia kayaknya perlu belajar banyak dari keberhasilan Rusia, deh!”

“Harusnya begitu!”

“You know what? Di saat Rusia mulai curiga dengan IMF pada tahun 1998, Indonesia justru sangat antusius menerima bantuan IMF.”

“Yo’i!”

“Di saat Rusia menikmati kekayaan dari sektor migas, Indonesia justru mengalami nasib sebaliknya.”

“Yo’i!”

“Tapi masalahnya bisa nggak oligarki kita basmi?”

“Yo’i!”

“Halah!!! Yo’i-yo’i terus sih loe!”

“Habisnya apa dong? Yo’a?”

“Terserah loe aja deh!”

Oligarki di Indonesia kayaknya udah terstruktur alias sistematis. Gara-gara terstruktur, fondasinya udah kuat. Cikal bakalnya dimulai era Orde Baru (selanjutnya Orba). Kita tahu, sistem negara era Orba sangat sentralistis. Oleh karena sentralistik, maka Presiden bisa sewenang-wenang menunjuk Pengusaha yang menjadi mitra dalam pembangunan. Nggak heran kalo Pengusaha-Pengusaha yang dekat dengan kekuasaan menjadi kaya raya. Ini beda banget kala era 70-an, dimana kelompok nasionalis mendominasi kekuasaan. Sementara 80-an, justru kaum kapitalis yang mencoba masuk ke lingkup pemerintah dan menguasai perekonomian nasional.

“Itulah oligarki ala Indonesia!”

Pada tahun 80-an dan 90-an, oligarki mencapai puncak. Kala Indonesia mengalami krisis ekonomi, kelompok teknokrat meminta restu Soeharto buat menjalankan kebijakan deregulasi ekonomi. Deregulasi ini buat mendorong ekspor, meningkatkan investor asing, membangun sektor nonmigas, serta meliberalisasi sektor keuangan.

“Kebijakan deregulasi mengubah perekonomian Indonesia jadi lebih berorientasi ekspor.”

“Bagus dong? Bukankah dengan berorientasi ekspor, kita jadi bisa mengumpulkan cadangan devisi which is dolar kita lebih banyak, ya nggak?”

“Iya sih! Tapi elo kudu perlu tahu kebijakan deregulasi itu ternyata banyak menguntungkan kroni-kroni Soeharto, yang nggak lain nggak bukan Pengusaha-Pengusaha kelas kakap.”

“Apa yang mereka lakukan cong?”

“Mereka memonopoli pasar domestik dengan membentuk kartel-kartel di hampir semua sektor perekonomian, mulai dari beras, terigu, minyak goreng, perbankan, hingga transportasi.”

“Dari hulu sampai hilir?”

“Yap! Sepak terjang mereka didukung oleh kontrol lembaga-lembaga negara yang mengeluarkan semua perizinan dan lisensi buat mereka berbisnis. Akibatnya, kebijakan deregulasi hanya memindahkan monopoli negara (melalui BUMN) menjadi monopoli swasta.”

“Gokil!!!!”

Struktur ekonomi Indonesia yang monopolistis memperparah ekonomi Indonesia. Nggak heran ketika terjadi krisis moneter alias krismon, Indonesia terpaksa harus jadi Pengemis. Selain minta duit ke negara-negara industri Barat dan Asia lainnya, Indonesia juga minta duit dari IMF maupun World Bank.

“Beda banget ya dengan apa yang udah dilakukan Putin saat Rusia terpuruk?”

“Ya gitu deh!”

Krisis menghantam kaum oligarki Indonesia. Hutang-hutang mereka yang semuanya dalam bentuk dolar, membuat mereka sesak nafas. Nggak heran kalo sebagian dari mereka banyak yang gulung tikar. Bagi kaum oligarki yang pintar, mereka langsung menyusup ke partai politik. Mereka bermain politik praktis. Tujuannya nggak lain nggak bukan, agar mereka sebagai kaum oligarki bisa tetap eksis.

Kaum oligarki mencoba beradaptasi dengan kaum reformis. Mereka sok cari muka agar dianggap “orang baik”. Padahal kalo kita lacak track record-nya, merekalah yang membuat fundamental perekonomian kita carut-marut. Hancur lebur. Namun, rupanya masyarakat Indonesia lebih suka menerima duit daripada hati nurani. Jangan heran, rakyat nggak lagi peduli oligarki atau bukan, sing penting bisa hidup. Bisa makan cukup, minum cukup. Bisa sekolah, syukur-syukur bisa gratis.

“Siapa sih yang nggak butuh duit?”

“Iya sih.”

“Rakyat nggak peduli oligarki kek atau neolib kek, sing penting tetap bisa usaha!”

“Iya juga sih.”

“Buat mereka, sing penting jangan pernah mengusir mereka saat dagang di trotoar, bisa aman tentram, dan anak-anak bisa sekolah. Mereka nggak peduli dagangnya di tempat yang bikin Pejalan Kaki jadi terusir. Mereka nggak peduli tiap kali dagang di jalan selalu memberikan biaya siluman ke aparat. Mereka juga nggak peduli dagangan mereka layak dikonsumsi atau enggak, sing penting bisa dimakan.”

“Kayaknya fundamental ekonomi kita lebih banyak dibangun dengan rasa ketidakpedulian ya?”

“Iya kali ya.”

Friday, May 29, 2009

BE CAREFULL MY FRIENDS! TERNYATA SEMUA CAPRES/ CAWAPRES PENGANUT NEOLIBERALIS JUGA, KOK!

Dalam perjalanan ke Pasar Festival Kuningan, saya mendapat pencerahan lagi. Kebetulan saya berjumpa dengan seorang teman yang sampai kini konsisten menjadi wartawan khusus ekonomi. Dari beliau lah saya mendapat kuliah gratis soal neo-liberalisme, yang barangkali nilainya lebih dahsyat dari kuliah on line atau kuliah tatap muka. Kuliahnya gaya baru, di atas busway!

Berita di media saat ini memang lagi menghanggat soal faham neo-liberalisme. Isu ini mencuat gara-gara dipilihnya Boediono sebagai Cawapres. Kabar yang santer beredar, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu mengagung-agungkan faham yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan. Tuduhan semakin mengerucut dengan diposisikannya Boediono sebagai antek-antek International Monetary of Fund (IMF), World Bank, dan Amerika Serikat. Gara-gara kebijakan BI yang diamini oleh Pemerintah pro lembaga itu semua, bukan pro rakyat.

Terus terang saya nggak mudeng dengan faham-faham dalam dunia ekonomi. Sebenarnya hal ini bisa dimaklumi, karena latarbelakang pendidikan saya memang bukan dari ekonomi. Lebih dari itu, perjalanan perekonomian Indonesia nggak pernah satu dekade pun yang saya rasakan sebagai ekonomi kerakyatan. Setahu saya (ini sangat tolol!), ekonomi dari dulu ya begini-begini aja. Mal-Mal tumbuh, jalan tol berkembang, outlet-outlet yang menjual franchise menjamur, mobil-mobil built up beredar di jalanan, dan masih banyak contoh lain.


Tukang Getek ini ikut-ikutan mekanisme pasar nggak ya? Kalo di pasaran harga sekali naik getek Rp 1.000 perak, sementara Tukang ini menaikan harga Rp 2.000 gara-gara rute kalinya lebih berat (banyak sampah dan kalinya cukup dalam sehingga kalo ada Konsumen kecebur siap-siap nyebur juga). Eh, ternyata pasar menginginkan juga tarif getek dinaikkan jadi Rp 2.000 perak. Apakah ini disebut neo-liberalis atau ekonomi kerakyatan?

Sejak dahulu sampai sekarang, saya nggak merasakan ada ekonomi yang mengarah ke rakyat, deh. Kebetulan saya nggak lahir di zaman Bung Karno. Kalo pun ada, rakyat yang mana? Bukankah semua yang ada di Indonesia ini masuk kategori rakyat? Apakah subsidi yang selama ini dianggap mewakili ekonomi kerakyatan? Setahu saya, ekonomi subsidi malah justru mengajari rakyat menjadi malas bukan? Membebani negara dengan subsidi, tapi pergerakan menuju kemandirian nggak begitu signifikan berkembang. Bukankah esensi subsidi adalah sebelum kita mampu membayar mahal, pemerintah akan terus menerus menalangi ketidakmampuan rakyat? Tapi sampai kapan mampunya?

Saya nggak antiekonomi subsidi. Tapi saya antiekonomi yang membuat rakyat jadi terlena dan jadi nggak mau berkerja keras dan berubah. Analoginya, saya nggak mampu beli rumah. Sebelum mampu beli rumah, saya tinggal di Pondok Mertua Indah (PMI). Sebagai orang waras, selama tinggal di PMI, saya harus menabung agar bisa membeli rumah dan keluar dari PMI. Tapi ada banyak orang nggak waras, selama bertahun-tahun tetap tinggal di PMI. Ini namanya menantu yang keterlaluan! Disubsidi (analoginya tinggal di PMI), bukannya berusaha menabung, eh ketergantungan terus menerus.

Jadi apa sih yang dimaksud ekonomi kerakyatan? Apa pula dengan faham neo-liberalisme?

Kata teman saya, faham neo-liberalisme ini selalu bertitik tolak pada pasar. Segala hal berdasarkan ekonomi pasar. Ketika harga pasar Rp 10,-, maka harga menjadi Rp 10,-. Kalo ekonomi subsidi meski harga pasar Rp 10,-, Pemerintah akan menalangi Rp 5,-, sehingga rakyat cuma bayar Rp 5,-. Katanya, enonomi yang disubsidi seperti itu disebut ekonomi berbasis kerakyatan.


Apakah dengan menganut ekonomi kerakyatan otomatis Tukang Jagung ini otomatis akan hidup makmur? Apakah denga mengikuti ekonomi kerakyatan lantas serta merta Tukang Jagung ini nggak ikut-ikut makenisme pasar yang dianut faham neo-liberalis?

Menurut teman saya, pemerintahan SBY-JK sangat pro-Pengusaha. Indikatornya, hutang-hutang Pengusaha, ditalangi oleh Pemerintah. Kalo berbicara “ditalangi”, ini artinya pakai duit negara. Kalo pake duit negara, logikanya duit negara jadi berkurang gara-gara dipergunakan buat bayar hutang itu tadi. Salah satu cara agar negara nggak bangkrut, ya mencabut subsidi berberapa item yang seharusnya dinikmati rakyat. Lalu privatisasi BUMN atau perusahaan-perusahaan Pemerintah Daerah (Pemda), kayak PAM, sekolah, rumah sakit, dll. Lah? Ini bukannya memang udah ada sejak zaman Soeharto? Zaman Gus Dur juga nggak diberantas. Zaman Megawati? Juga nggak diutak-atik sebagai faham neo-liberalisme. Bahkan waktu pemerintahan Megawati, Menteri BUMN Laksamana Sukardi yang selalu berkampanye sebagai “Lokomotif Perubahan” itu sempat menjual Indosat ke perusahaan asing. Ini disebut ekonomi kerakyatan atau neo-liberalisme?

Adalah Sumitro Djojohadikusumo yang menjadi perintis neo-liberalisme. Ayah Prabowo ini barangkali nggak pernah berpikir kalo pemikiran soal neo-liberalisme dihujat sebagian orang. Selain Sumitro, ada sekitar 40 Ekonom yang juga menganut faham neo-liberalisme. Mereka itu antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh dan Radius Prawiro. Mereka dikenal sebagai “Mafia Berkley”.

Rakyat memang harus dinomorsatukan. Namun isu neo-liberalisme ini jangan-jangan dihembuskan gara-gara banyak orang yang takut kerja keras. Etos kerja yang selama ini adem-adem aja, jadi panik. Sebagai contoh, Pertamina yang selama ini dikenal sebagai sarang korupsi mulai dari hulu sampai hilir, ketakutan dengan masukkan Shell atau perusahaan bahan bakar asing. Kenapa? Dahulu ketika masih monopoli, pom bensin Pertamina banyak yang curang. Angka yang ada di petunjuk nggak sesuai dengan aliran bensin. Orang-orang lebih percaya pom bensin asing soal kejujuran takaran bensin. Nggak mungkin dong Shell bohong-bohongin Konsumen? Nah, persaingan bebas inilah yang membuat Pertamina akhirnya mengkampanyekan slogan “Pasti Pas”. Dahulu berarti slogannya “Enggak Pas”.

Selama 32 tahun, beberapa BUMN terlena dengan kinerja mereka yang buruk. Pemerintah terlalu baik memberikan subsidi ke BUMN yang nggak perform itu. Padahal duit itu bisa digunakan buat subsidi pendidikan atau kesehatan rakyat. You know what? Performance BUMN yang buruk itu mayoritas gara-gara etos kerja Direksi serta para Karyawan. Selain etos kerja yang lebih banyak santainya ketimbang jiwa kompetitif, iklim korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. Begitu era pasar bebas yang dikatakan sebagai bentuk neo-liberalis, para Pejabat di BUMN seolah kebakaran jenggot.

Selain soal kemalasan dan takut bersaing, ada satu hal yang kudu kita fahami bersama. Indonesia kan udah jadi bagian negara global. Artinya apa? Artinya, Indonesia juga mengeksport produk-produk lokal ke dunia. Itu artinya, produk Indonesia masuk ke pasar dunia. Itu artinya apa lagi? Mekanisme pasar dunia akan membeli atau menolak produk Indonesia. Kalo berkualitas dibeli, kalo enggak berkualitas direject. Nah, mengikuti mekanisme pasar kayak gitu, artinya bukan menjalani faham neo-liberalis? Ingat sekali lagi ya, saya bukan penganut faham neo-liberalis! Saya cuma mengharapkan negara ini menjadi negara makmur, korupsinya sedikit (karena nggak mungkin kalo nggak ada korupsi), dan yang terpenting diakui di seluruh dunia sebagai salah satu negara terbaik.


Apakah kita yakin dengan menjalankan ekonomi kerakyatan mega-supermarket kayak Carrefour ini bakal nggak ada lagi? Yakin dengan menggunakan ekonomi kerakyatan outlet-outlet yang menjalankan sistem franchise yang notabene asalnya dari faham neo-liberalis dan kapitalis bisa dibabat habis? Yakin juga nggak dengan menggandalkan pasar tradisional negara kita bisa menjadi bagian dari negara global yang jelas-jelas menganut faham neo-liberalis?


Pagi itu sebelum saya naik busway, dua orang Pengamen Cilik sedang bercakap-cakap. Percakapan mereka bukan soal duit ngamen mereka yang cekak atau lagu yang akan mereka nyanyikan di bus lain. Mereka mempersoalkan bagaimana di masa pemerintahan SBY-JK seringkali terjadi pengusiran terhadap kaum marjinal: Pengamen, Pengemis, Pedagang Asongan, dan lain-lain. Mereka diperlakukan bagai Maling dan Musuh. Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggal gara-gara tindakan Kamtib menertibkan kaum marjinal ini.

“Mending ketika Megawati jadi Presiden deh,” kata Ratna, salah satu Pengamen yang masih duduk di kelas 4 SD di salah satu sekolah di Tanjung Duren, Jakarta Barat. “Dikit-dikit ditertibkan, dikit-dikit ditertibkan. Begitu ditangkap, langsung dimasukkan ke Panti Sosial. Padahal saya kan masih sekolah,” ungkap Ratna lagi.


Ratna (kiri) dan Lia (kanan) mengaku lebih suka kalo Presiden RI tahun 2009 ini Megawati. Mereka nggak bilang soal Megawati menjalankan ekonomi kerakyatan apa menjalankan faham neo-liberalis, tapi mereka concern soal pengusiran yang selalu dilakukan Kamtib di era SBY-JK.

Baik Ratna maupun Lia mengaku, menjadi Pengemen bukanlah keinginan mereka. Kondisi hidup yang “menjerumuskan” mereka ke dalam dunia ngamen-mengamen. Ibu Ratna yang nggak bekerja tetap, kadang mengambil cucian dari tetangga, kadang nganggur, nggak bisa membiayai sekolah. Untung Ratna mendapatkan beasiswa, sehingga masih tetap bisa bersekolah.

“Saya ngamen untuk membantu Ibu,” kata Lia. “Saya diizinkan untuk ngamen. Ya, buat bantu-bantulah. Soalnya Bapak saya sudah meninggal”.

Saya cukup beruntung berjumpa dengan mereka dan cukup beruntung masih diberikan rezeki dari Allah. Mendengar cerita mereka di atas bus sambil sedikit berteriak-teriak karena suara bus dan lalu lintas sekitar mengalahkan suara kami, sangatlah memilukan. Saya berdoa semoga anak-anak saya nggak mengalami kondisi kayak Ratna dan Lia ini. Dengan sisa duit hasil gajian yang ada di kantong, saya memberikan sedikit rezeki saya pada mereka.

“Terima kasih ya Om!” kata Lia. “Semoga Om dimurahkan rezekinya!”

Ah, nikmat juga didoakan oleh orang-orang kecil ini. Saya percaya, doa “orang tertindas” akan diterima oleh Allah. Terima kasih Ratna! Terima kasih Lia!

Sekarang, saya jadi bingung mau pilih siapa di Pilpres nanti? Pilih yang satu, disangka ikut faham neo-liberalis. Pilih yang satu lagi, kok kayak-kayaknya nggak cocok penganut faham ekonomi kerakyatan, karena punya saham di luar negeri, yang artinya ikut-ikutan menganut pasar bebas dong. It means neo-liberalis juga kan? Udah gitu konon kata orang-orang, kuda miliknya yang berharga 3 milyar. Busyet! Semua Capres dan Cawapres menyimpan saham atau dollar U$ pula. Lha?! Bukannya itu faham neo-liberalis dan kapitalis? Yang terakhir, bingung juga dibilang nggak penganut neo-liberalis, nyatanya doi Pengusaha yang jelas-jelas ikut mekanisme harga pasar. Harga pasar Rp 10, tanpa intervensi produk yang dijual juga Rp 10,-.

Kalo gw simpulkan, ternyata ketiga Capres dan Cawapres ini sama-sama penganut neo-liberalis, kok. Duh, bingung-bingung!!!!!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

NGGAK PANTAS SOMBONG

Mempertanyakan manusia memang nggak ada habis-habisnya. Ibaratnya kita mengupas kulit bawang satu per satu. Belum menemukan inti bawangnya, mata kita udah lebih dulu pedih. Pedih lantaran udara yang dikeluarkan dari bawang, yakni berupa sekumpulan air dan gas tersebut, bikin perih mata. Manusia, ketika kita kuliti tabiat dan prilakunya, juga kerapkali bikin pedih hati.

Salah satu prilaku manusia paling memuakkan adalah sombong! Kenapa sih manusia punya rasa sombong? Pertanyaan tersebut barangkali bisa kita pertanyakan lagi ke Allah, kenapa Allah memberikan sifat sombong pada manusia? Memangnya apa yang disombongkan oleh manusia sih?

Sesungguhnya apa yang diciptakan Allah pasti ada maksudnya. Saya nggak akan membahas ayat-ayat suci yang banyak sekali membahas soal kesombongan manusia. Saya juga nggak akan membahas kisah-kisah zaman Nabi yang juga menceritakan soal kesombongan lawan-lawan Nabi yang pada akhirnya kalah dengan kesombongan mereka. Dalam note di Juma’t yang cerah ceria ini, saya lebih suka membahas realita kesombongan yang dilakukan manusia, terutama diri saya yang hina ini.


Kalo mau sombong, sebenarnya saya memungkinkan untuk itu. Sejak kecil, saya udah jadi anak Konglomerat. Tapi biarlah, mereka yang sok kaya saja yang bersombong-sombong ria. Saya cukup naik mobil Hammer dan pacaran dengan Selebriti.


Sebagaimana anak-anak Konglomerat lain, saya selalu memiliki naluri show off alias pamer. Buat saya, mobil Kijang Innova atau Grand Livina bukanlah representasi seorang anak Konglomerat. Mobil-mobil kayak gitu lebih pantas dimiliki mereka yang stratanya di kelas menengah-bawah, dimana gajinya sebulan Rp 10 juta ke bawah. Ketika memiliki mobil-mobil jenis itu pun harus leasing atau kredit atau mencicil.

Saya lebih suka naik mobil Hammer. Buat saya, Hammer pantas menjadi mobil anak Konglomerat. Maklumlah, Hammer itu mobil build up, yakni mobil yang nggak dibuat atau dirakit di Indonesia. Mobil yang kalo beli pajak pembeliannya gede minta ampun. Pajaknya aja barangkali bisa beli satu mobil jenis city car, apalagi harga mobil Hammer itu sendiri.

Saya nggak peduli harga Hammer bisa membeli sebuah rumah, dimana sebuah rumah itu barangkali bisa menjadi rumah singgah para gelandangan di kolong jembatan. Saya juga nggak peduli harga Hammer bisa menyekolahkan anak-anak putus sekolah yang ada di pedalaman Kalimantan atau Irian Jaya. Buat apa saya peduli? Wong Pemerintah saja nggak peduli? Lagipula pajak-pajak yang diporoti Pemerintah pada diri saya dan orangtua saya harusnya buat kepentingan orang-orang miskin bukan? Itu artinya, saya secara tidak langsung juga peduli sama orang-orang miskin, bukan begitu?

Terkadang sebagai anak Konglomerat saya sebal. Hidup saya seperti berada di dalam sebuah akuarium. Saya adalah salah satu ikan hias berharga mahal yang diperhatikan manusia-manusia. Setiap langkah saya, selalu mendapat perhatian ekstra. Entah salah atau benar, saya selalu jadi pusat perhatian. Harusnya saya bisa bebas berekspresi. Bebas membeli rumah berapa pun jumlah dan harganya. Bebas memilih Wanita-Wanita cantik sebagai pacar-pacar saya, selama mereka suka dengan materi-materi yang saya berikan. Wajar bukan kalo mereka butuh materi, butuh segala hal yang mereka butuhkan dalam hidup ini? Believe me! I can afford everything about it! Saya bisa mendapatkan hal itu semua.

Ketika teman-teman saya punya Blackberry, naluri iri saya muncul. Memang aneh, anak Konglomerat kok iri sama kaum Proletar. Tapi ya begitulah manusia, sekaya-kayanya kita, pasti naluri iri, sirik, dengki, dan sombong selalu menyertai. Padahal saya bisa beli jutaan Blackberry yang saya bisa berikan pada Pengamen-Pengamen yang biasa mangkal di perempatan Coca-Cola itu. Padahal saya bisa berikan cuma-cuma ke ratusan Bencong Taman Lawang yang belakangan aktivitasnya menurun lantaran nggak punya show room lagi buat mejeng. Padahal saya juga bisa berikan Blackberry-Blackberry itu pada seluruh saudaranya Bu Brindil agar bisa cepat pesan makanan via Blackberry.

Katanya Indonesia sedang krisis ekonomi. Tapi saya senang, pusat perbelanjaan masih tetap penuh. Orang-orang keluar-masuk Mal sambil membawa kantong berlogo Calvin Klein, Gucci, atau Dolce & Gabbana. Katanya banyak orang Indonesia di pingiran sana yang kelaparan. Tapi saya nggak melihat kondisi itu tuh! Saya tetap menikmati nongkrong bersama ratusan orang-orang di Cafe Paladian Park, dimana saya bisa menikmati sop buntut atau tom yam. Atau di Spice Garden, Sogo dimana saya puas mengunyah tahu gejrot yang sebenarnya bisa saya beli di jalanan, tapi hal tersebut nggak mungkin, karena saya anak Konglomerat. Atau nongkrong berjam-jam di Urban Kitchen sambil tertawa sendirian bersama Blackbarry-nya yang digunakan cuma buat chatting or menulis status updates.


Blackberry udah bukan lagi gadget buat Pengusaha atau Pejabat yang butuh kecepatan dalam melakukan transaksi bisnis atau negoisasi harga. Blackberry kini cuma mengelabui orang agar status sosial meningkat dan memberbarui status updates yang ada di Facebook. Nggak peduli beli Blackberry-nya ngutang atau didapat dari pasar ilegal, yakni dari black market.

Apakah saya nggak boleh sombong?

Sebenarnya nggak ada aturan manusia nggak boleh sombong. Sekali lagi, pasti Allah punya maksud kenapa manusia diberikan kesombongan. Dalam Yin dan Yan, kita mengerti soal keseimbangan. Bahwa tanpa adanya kesombongan, maka akan ada ketimpangan. Cuma kesederhanaan yang ada di dunia ini. Apa menariknya yang muncul cuma orang-orang sederhana? Orang-orang yang nggak pernah berganti handset HP-nya dari tahun ke tahun. Apa enaknya melihat Wanita-Wanita cantik dan seksi tapi dari dahulu sampai sekarang pakainya kebaya dan konde.

Keseimbangan perlu. Harus ada orang sombong dan orang nggak sombong. Orang sombong menyombongkan diri pada orang-orang yang nggak sombong. Kalo orang nggak sombong ada yang konsisiten dengan sikap mereka untuk tidak ikut-ikutan sombong, meski sebetulnya mereka pantas sombong. Yang parah, kebanyakan orang-orang dari kelas menengah-bawah yang kesombongannya melebihi saya yang anak Konglomerat ini. Masih naik ojek atau mobil cicilan, tapi gadget-nya melebihi harga spare part kendaraan bermotornya.

Saya mengaku sombong, tapi kesombongan saya nggak norak kayak Syekh Puji. Duitnya yang milirian rupiah itu dipertontonkan ke khalayak ramai. Mobilnya yang udah banyak itu diperlihatkan ke semua pasang mata, bahkan ketika membeli mobil, dia pun nggak kuasa menahan diri untuk sombong. Belum cukup, dia mengganggap, dengan duitnya yang banyak, dia bisa berbuat apa saja, termasuk mengawini anak di bawah umur. Sombong sekali beliau. Kalo saya mau, saya bisa kawin dengan lebih banyak Wanita daripada beliau. Nggak perlu kawin dengan anak kecil yang masih polos, tapi dengan Wanita-Wanita dewasa, kalo perlu mereka yang dikenal sebagai Selebriti.

Dalam dunia politik, saya juga seringkali sebal dengan mereka yang merasa dirinya paling pantas menjadi Pemimpin. Orang kayak begini masuk kategori sombong. Merasa dirinya benar, nggak korup, selalu jujur, berlandaskan hati nurani, dan yang sekarang lagi happening antiekonomi neo-liberalisme. Padahal hidup Politisi-Politisi ini juga sama seperti saya, suka mengumpulkan harta-benda, hendon, dan menikmati kehidupan neo-liberalis yang terjadi sekarang ini. So, mereka itu nggak cuma sombong tapi ternyata hipokrit juga.

Saking sombongnya juga, buat mengejar posisi sebagai RI 1, ada Politisi yang mau membeli "suara" dan ditukar dengan sebagian kecil harta yang dimilikinya. Maksudnya "suara" pemilih yang udah masuk ke Partai, bisa dibeli gitu, cong! Inilah yang merusak demokrasi, objektivitas, dan sikap jujur-adil.

Manusia, terutama saya, sepatutnya nggak pantas sombong. Harusnya saya bisa menahan diri menjadi manusia sederhana. Biarlah orang-orang yang jauh di bawah saya saja yang menyombongkan diri. Barangkali dengan mereka bersombong-sombong ria, mereka akan bahagia. Barangkali dengan memiliki Blackberry cicilan atau second atau pembelian dari black market, mereka bisa menutupi kekurangan dari hidup mereka. Harusnya saya nggak tergoda dengan tingkah laku mereka. Harusnya saya tetap mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya dan apabila sudah berlebihan saya berikan pada mereka yang miskin. Bukankah hal tersebut lebih terhormat ketimbang menunjukan kekayaan diri saya dan bersaing dengan orang-orang yang bukan level saya?

Thursday, May 28, 2009

KAMI SIAP DIGUSUR PEMDA KAPAN SAJA...

Mungkin judul tersebut agak sedikit menantang. Namun itulah pernyataan yang diungkapkan jujur oleh Pak Asmana, Pemilik keramba air tawar di daerah Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Buat beliau, kapan pun pihak Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bogor menggusur alias membongkar keramba-keramba miliknya, dia ikhlas dan nggak masalah.

“Wong kami nggak punya izin dan surat-surat resmi, kok,” kata pria yang rambut dan kumisnya sudah ditumbuhi uban ini.

Sebagai orang pertama yang melakukan budidaya keramba, awalnya Pak Asmara cuma memanfaatkan arus sungai yang ada di dekat rumahnya, tepatnya di pingir jalan Cisarua. Dia mengaku, tanpa izin Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, beliau membuat sebuah keramba. Kelak keramba itu merupakan keramba yang pertama di sungai itu.

Memang nggak ada yang menyangka dari sebuah keramba, Pak Asmana berhasil “memanen” ikan air tawar ini, yang tentu saja menghasilkan uang. Nggak heran, beliau menseriusi usaha pembudidayaan ikan tawar dari keramba ini. Setiap pagi, beliau memberi makan ikan, yakni campuran dedek plus teri. Dedek-dedek itu dibentuk sebesar kentang dan dimasukkan ke sebuah keranjang.

Selain memberi makan, ada aktivitas lain yang wajib dilakukan, yakni menyingkirkan sampah-sampah yang ada di sekitar sungai. Hal tersebut bertujuan agar arus kali tetap deras. Dengan begitu, ikan-ikan akan terus bergerak melawan arus kali. Menurut pakar ikan air tawar, ikan yang bergerak akan meningkatkan pertumbuhan ikan tersebut. Jangan heran, ikan-ikan yang ada di keramba Pak Asmana dan teman-temannya itu gemuk-gemuk.

“Makanya kali yang ada kerambanya, pasti bersih dari sampah-sampah,” ucap Pak Asmara sambil memunggut sampah plastik dengan menggunakan batang pohon.

Aktivitas Pak Asmana rupanya dilihat beberapa orang di sekitar kali. Nggak heran dalam tempo nggak terlalu lama, satu demi satu warga sekitar situ ikut-ikutan membuat keramba. Tentu beliau nggak bisa melarang orang-orang tersebut agar jangan membuat keramba. Pertama, kali tersebut milik umum. Kedua, baik Pak Asmana dan mereka itu sama-sama nggak punya izin. Nggak heran kalo kini di kali tersebut sudah ada sekitar sepuluh keramba.

“Siapa cepat, dia dapat,” kata Pak Asmana sambil tersenyum. “Anehnya, ada sebuah tempat lowong yang masih bisa dibuat keramba, tapi ketika ada orang yang sudah mau dibangun sebuah keramba, ada orang yang marah. Orang ini katanya orang yang pertama sudah lebih dulu mengambil lokasi yang masih kosong itu.”

Sebenarnya pembudidayaan ikan dengan menggunakan keramba bukan baru ini saja terjadi. Konon aktivitas ini pertama kali dilakukan di Bandung dengan cara kebetulan. Saat itu Pedagang ikan hidup di daerah Bandung bingung menampung ikan-ikan dagangannya yang belum laku dijual. Tanpa sengaja, ikan-ikan tersebut disimpan di dalam keramba dekat rumah mereka. Tanpa mereka sadari, ikan-ikan tersebut tetap hidup dan bahkan bertambah besar. Kejadian itulah yang menimbulkan ide para Pedagang untuk membudidayakan ikan dalam keramba.

Ada dua bentuk keramba. Ada yang berbentuk empat persegi dan bundar panjag. Bahan keramba yang berbentuk empat persegi maupun kotak ada yang berbahan, sebagai bahan bambu maupun papan. Kalo punya Pak Asmana dan teman-temannya terbuat dari plesteran semen yang dibeton. Sedangkan keramba berbentuk bundar panjang, yang menyerupai bubu pada umumnya terbuat dari bilah bambu.

Cara pemasangan atau penempatan keramba, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga hal. Yang pertama, keramba yang direndam secara menyeluruh. Kira-kira 20 cm di bawah permukaan air dan posisinya memanjang mengikuti arus air. Yang kedua, keramba yang cuma direndam sebagian atau kurang lebih 10 cm di atas permukaan air. Biasa keramba ini yang berbentuk enam sisi, dimana empat sisinya memanjang dan dua sisi melintang. Jenis keramba ini cocok dipasang di perairan dalam dan luas, seperti di sungai, danau, waduk dan rawa. Terakhir, keramba pagar. Keramba ini berbentuk pagar yang bambunya mengelilingi dan langsung ditancapkan ke dasar air.

Modal membuat sebuah keramba berukuran 1,5 kali 1 meter dan berbahan beton kira-kira sekitar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Namun, Pak Asmana sempat membeli sebuah keramba dari seseorang seharga Rp 2 juta. Namun itu termasuk ikan-ikan yang ada di dalamnya. Jadi sebenarnya harga Rp 2 juta nggak terlalu mahal juga.

Soal ukuran keramba, sebenarnya tergantung dari lebar sungai yang ada di situ. Kebetulan lebar sungai di dekat Pak Asmana cuma dua meter, maka ukuran keramba harus disesuaikan dengan lebar keramba. Kalo lebar sungai dua meter, maka lebar keramba nggak boleh lebih dari satu meter, karena satu meter sisanya buat aliran air sungai. Arus air sungai memang nggak boleh dibendung. Oleh karena itulah, keramba itu dibuat pagar-pagar seperti penjara. Semakin cepat aliran air sungai, semakin baik buat pertumbuhan ikan. Nah, berhubung sungai tempat Pak Asmana cukup deras, ikan-ikan yang ada di dalam keramba, badannya besar-besar, barangkali paling kecil sebesar paha anak usia lima tahun.

Ikan yang dibudidayakan di keramba ada bermacam-macam. Ada ikan karper (Chprinus carpio L.). Jenis ikan ini sangat cocok untuk dikembangkan di daerah yang mempunyai ketinggian antara 150-600 meter di atas permukaan laut. Lalu jenis ikan tawes (Punctius javanicus Blkr) yang tumbuh dengan baik pada ketinggian antar 25-3°C. Sisanya ada ikan mujair (Tilapia masambica), ikan sepat siem (Trichogaster pectoralis egen), maupun ikan gurami (Osphronemus gouramy L.). Kebetulan ikan yang dibudidayakan Pak Asmana adalah jenis ikan gurami.

“Ya, iseng-iseng aja daripada nganggur,” kata Pak Asmana soal aktivitasnya mengelola tiga kerambanya.

Sebagai Pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, apa yang dilakukan Pak Asmana tentu bukan sekadar iseng, tapi menghasilkan lumayan. Menurutnya, kalo rezeki sedang bagus, dia bisa menghasilkan pemasukkan sekitar satu juta sampai dua juta perak per bulan dari satu keramba. Bayangkan kalo kerambanya ada tiga buah seperti sekarang, maka beliau bisa mengantongi tiga sampai enam juta perak per bulan. Lumayan buat Pensiunan bukan?

“Tapi pernah pula dalam sebulan nggak ada sama sekali yang membeli ikan-ikan saya,” aku Pak Asmana sambil membuka gembok pintu keramba dan memberi makan ikan-ikannya.

VIEW FROM TOWER OF EX-BANDARA KEMAYORAN




video copyright by Brillianto K. Jaya

BAND KUBURAN: KECEWA WAJAH ASLI MEREKA SEMPAT DIPERLIHATKAN

Begitu pertama masuk ke studio, sang Manager langsung lega melihat di ruang wardrobe studio ada sebuah sajadah yang ada di atas karpet. Awalnya saya nggak ngerti maksudnya apa? Soalnya kadangkala para Talent (baca: Pengisi Acara) menggunakan sajadah atau sejenisnya sebagai properti.

Kalo sajadah bisa digunakan sebagai ciri khas seorang Ustadz atau Pemuka agama. Coba saja sajadah dilipat kecil, lalu dikalungkan ke leher kita atau di letakkan di pundak kanan kita, pasti kita akan mencirikan "orang suci". Pasti kalo nggak rajin sholat, ya rajin membawa sajadah kemana-mana. Ternyata eh, ternyata, anggota band Kuburan ini juga rajin sholat.

Rajin sholat kenapa penampilannya kayak setan?



Wajahnya mereka memang mengerikan. Ini memang nggak bisa disangkal lagi, mirip setan. Terus terang, gw sendiri belum pernah ketemu dengan setan yang asli dan nggak akan mau ketemu. Namun, kebiasaan sholat yang dilakukan personil dan kru di band Kuburan cukup membuahkan paradoks. Di satu sisi harus tampil layaknya setan, di sisi lain tetap melakukan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Sejak ngetop, Kuburan nggak mengizinkan siapa pun juga mengambil gambar atau foto wajah asli mereka. Tampilan mereka itu udah menjadi komoditi lah yau. Kalo wajah asli mereka diumbar, ya udah nggak surprise lagi. Nggak heran kalo Kuburan sangat marah pada program Ceriwis yang ditayangkan di TransTV. Kenapa? Ketika menampilkan Kuburan sebagai Tamu, konsep program ini adalah memperlihatkan wajah asli. Tahu nggak gimana caranya? KTP anggota Kuburan di-scan, sehingga foto yang ada di KTP bisa mereka perbesar. Ini tentu dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.



Menurut gw kalo memang terjadi, apa dilakukan Ceriwis sangat kejam. Why? Yaiyalah! Maksud hati, Ceriwis ingin menampilkan unsur surprising dalam episode tersebut. Ini tentu saja demi rating. Tapi surprising tim Ceriwis membuat band Kuburan juga surprise. Mereka kaget dan kecewa. Buat gw kekagetan dan kekecewaan mereka ini beralasan. Seperti yang gw udah tulis di atas, penampilan mereka kayak setan itu adalah sumber duit. Nah, kalo sumber duitnya aja udah diketahui orang banyak, ya buat apa lagi berpenampilan kayak gitu, ya nggak?

Gw beruntung sempat melihat wajah-wajah mereka. Ketika melakukan pemotretan di ruang make up dan wardrobe, gw juga minta izin mereka buat foto-foto. Kalo dengan cara baik-baik, gw yakin mereka welcome banget. Terus terang gw juga punya gimmick dan surprising buat penonton ketika mengundang band Kuburan. Ini sekali lagi demi rating. Tapi barangkali cara gw lebih sopan, karena lebih dulu dikomunikasikan ke teman-teman band Kuburan.

Kalo pintar mah ada banyak gimmick yang bisa dilakukan buat band Kuburan. Nggak harus menggunakan cara-cara nggak santun, karena bakal membuat kemarahan. Gw kasih dua contoh, tapi ini udah gw buat, yakni mereka sudah bermake-up, tapi baru setengah make up. Setengah wajahnya masih wajah asli. Gimmick ke-2, menampilkan foto-foto kecil mereka dan membuat perbandingan dalam sebuah still photo. Di layar televisi ada dua frame. Frame sebalah kiri wajah anggota Kuburan yang udah make up, sedang frame ke-2 wajah orang-orang yang nggak dikenal tanpa make up. Kita coba menebak-nebak apakah orang-orang yang nggak dikenal itu seolah meng-klop-kan wajah asli personil band Kuburan. Masih banyak kok gimmick-gimmick yang bisa dibuat!

Memang sih kalo mau egois, kita nggak peduli alias bodo amat dengan kemarahan Kuburan. Sing penting program dapat rating, yang buat program dapat bonus. Tapi di balik itu semua, ada band yang barangkali nggak bisa makan lagi gara-gara wajah aslinya udah banyak yang mengenali. Sumber duit, yakni penampilan di atas panggung jadi nggak surprise lagi. Kasihan nggak sih?


video copyright by Brillianto K. Jaya

IN THE NAME OF LOVE AND MATRIALISM

Cinta dan harta itu beda tipis. Segoblok-gobloknya kita, kita mengerti dua kata tersebut punya arti beda. Kata pertama mengacu pada sebuah perasaan sayang seseorang terhadap sesuatu hal. Sesuatu di sini bisa berwujud kebendaan, bisa pula mahkluk hidup, salah satunya manusia.

Manusia bisa mencinta matahari. Ini dilakukan oleh orang-orang Jepang. Salahkah mereka melakukan hal tolol kayak begitu? Menurut mereka sih enggak! Matahari diposisikan kayak Dewa atau Tuhan. Kenapa matahari? Benda yang dikategorikan sebagai bintang kecil ini merupakan sebuah simbolisasi pencerahan. Bahwa segala yang diawali dengan hal yang cerah, prosesnya akan luar biasa, dan berakhir dengan happy ending.

Memang nggak ada yang mengelak kalo matahari menghasilkan sumber cahaya. Lewat cahaya, akan mencerahkan seluruh pelosok yang ada di bumi ini. Ini kita baru ngomongin sinar matahari sebagai cahaya. Belum kita ngomong soal, sinar matahari sebagai sebuah proses tumbuhan berkembang, yakni dengan melakukan fotosintesis. Lalu kita bicara soal bagaimana sel surya dapat menghasilkan energi listrik atau tenaga yang mampu menggerakkan aspek-aspek yang berhubungan dengan teknis. Kaca solar dari tenaga sinar matahari, misalnya. Energi yang terkandung dalam batu bara dan minyak bumi pun sebenarnya juga berasal dari matahari.


Demi mengejar waktu, mobil ini rela mengorbankan kedisiplinan berlalulintas. Kata si Pemilik mobil, waktu adalah uang. Lagi-lagi uang, matrialistik. Ya, begitulah. Demi uang, si Pemilik mobil ini nggak peduli otaknya disamakan dengan otak Sopir angkutan umum yang melakukan hal yang sama: nggak disiplin!

Dalam dunia kesehatan, sinar matahari juga memiliki banyak kontribusi. Sinar ultraviolet-nya yang dipancarkan ke tubuh kita dari jam 6-9 pagi, akan mengubah kolesterol yang ada di bawah kulit menjadi vitamin D. Makanya kenapa banyak orang menjemurkan badan mereka ke matahari pagi-pagi, ya gara-gara alasan vitamin D itu. Bahwa kalo tubuh kita disinari matahari selama 5 menit, akan memberikan 400 IU (international unit) vitamin D. Menurut peraturan Recommended Dietary Allowances (RDA) yang bermarkas di Amrik, kita perlu 400 IU perhari.

Ibarat insulin, sinar matahari memudahkan penyerapan glukosa menerobos masuk ke dalam sel-sel tubuh. Aktivasi penyusupan yang dilakukan oleh cahaya matahari inilah yang merangsang tubuh buat mengubah gula darah (glukosa) menjadi gula yang tersimpan (glikogen) di hati dan otot. Hal tersebut akan bisa menurunkan kadar gula darah.

“Kalo dijabarin satu persatu, banyak manfaat kesehatan yang memanfaatkan energi matahari!”

Terik matahari memungkinkan buat kita menjemur segala sesuatu yang basah, salah satunya kolor kita. Buat anak-anak kos, kolor kering menjadi idaman. Maklumlah, kuantitas kolor anak-anak kos sedikit. Paling banyak punya enam kolor sebagaimana hari kuliah Senin-Sabtu. Senin pake kolor A, Selasa pake kolor B. Ketika kolor A dan B dijemur, pake kolor C. Kalo belum kering, ya dipake lagi side B-nya. Kalo matahari malu-malu menunjukan”batang hidungnya” alias mendung, ya terpaksa nggak pake kolor.

“Tapi kalo yang disembah matahari, ya tolol namanya cong!”

Penyembahan terhadap matahari, itu masuk dalam masalah cinta. Ada lagi masalah cinta yang seringkali membuat keblinger mahkluk ciptaan Tuhan, yakni cinta harta. Dua kata ini sangat melekat belakangan ini dalam kehidupan kita. Antara cinta dan harta hampir nggak bisa dipisahkan. Padahal makna cinta dan harta kalo dipisahkan beda. Harta sifatnya kebendaan, sementara cinta lebih kepada perasaan hati.

Kalo cinta dipertemukan dengan harta, maka melahirkan sebuah semiotika baru, yakni matrialism atau matrialistik. Kata matrialistik merujuk pada sebuah pola tingkah mahkluk hidup (dalam konteks ini manusia yang punya akal dan budi) yang lebih mencintai hal-hal yang sifatnya kebendaan daripada mencintai Tuhan mereka. Kalo dirinci, kebendaan yang dimaksud antara lain duit, duit, dan duit.

“Kok duit doang cong?”

“Yaiyalah! Semua benda bisa dibeli dengan duit! Coba sebutkan benda yang bisa dibeli dengan daun?”

“Apa ya?”

“Nggak ada kan? Semua pake duit!”

“Beli mobil?”

“Pake duit!”

“Beli stasiun televisi?”

“Pake duit!”

“Beli nasi di Bu Brindil?”

“Pake duit, meski bisa ngutang dulu...”

“Kuliah di IKJ?”

“Pake duit, meski bayarnya bisa nyicil sih...”

“Kawin dengan Perawan atau Janda?”

“Pake duit!”

“Eit! Khusus kawinin Janda dan Perawan, meski respsinya pake duit, tapi kalo kita nggak punya alat vital, si Perawan dan Janda nggak bakal mau kawinin kita kelee!!!!”

Duit menjadi representasi dunia matrialistis. Padahal duit juga bisa membeli sebuah jabatan. Terus terang, gw belum begitu yakin 100% jabatan itu masuk dalam kategori matrialis atau bukan. Kalo dalam bahasa Inggris sih, jabatan atau “position” masuk kategori “noun” atau kata benda. Kalo kita sepakat jabatan adalah “noun”, maka mereka yang mengejar jabatan, masuk sebagai manusia yang matrialistis.

Pertarungan buat merebut jabatan sebagai RI 1 merupakan contoh nyata bagaimana aktivitas manusia matrialistis. Bahwa kalo kemudian ada yang mengecap diri, jabatan adalah adalah amanah itu cuma sebuah kamuflase yang udah basi. Jabatan is kekuasaan. Power is everything. Dengan memiliki kekuasaan, kita bisa melakukan segala hal dan ujung-ujungnya pasti hal-hal yang sifatnya matrialistik. Begitulah karakter manusia yang udah menetapkan diri punya konsep hidup serba matrialis.

Dengan pola matrialistik, agama udah nggak ada gunaanya. Agama jadi dianaktirikan alias bukan lagi menjadi sesuatu yang sakral atau menjadi “tabungan akhirat”. Agama bisa ditukar dengan kematrialistikan. Gara-gara miskin, orang yang tadinya beragama A dengan enteng bisa masuk ke agama B. Mending bujuk rayuan masuk ke agama barunya ini nilai transfernya gede, kayak pemain bola profesional yang trilyunan rupiah itu. Kata teman gw, ada temannya yang sebelumnya beragama C pindah agama ke agama D cuma gara-gara pagar rumah.

“Hah?! Pagar rumah?!”

Jadi si pemilik agama C pengen rumahnya ada pagar yang keren, kayak orang-orang kaya gitu. Nah, someday ada temannya membujuk kalo mau punya pagar kayak gitu, kudu masuk dulu ke agama D. Dengan masuk agama D, beliau akan diberikan sumbangan berupa duit buat membangun pagar rumah. Eh, ternyata orang yang beragama C mau, ya jadilah dia kini beragama D. Edan nggak tuh?!

Pindah-pindah agama udah kayak gonta-ganti WTS. Manusia-manusia “pindah-pindah” ini udah nggak menganggap pindah agama sebagai sesuatu yang berdosa. What a hell! They don’t care about sin! Yang mereka peduli tetap matrialistik. Kalo tadi contohnya pindah agama gara-gara mau buat pagar rumah, ada banyak kasus pindah agama gara-gara pengen mobil baru, rumah baru, dan terakhir pasangan baru.

Demi seorang Wanita, seorang Pria rela pindah agama. Contoh yang masih melekat di otak gw, yakni ketika (maaf!) Indra Lesmana menikahi Sophia Latjuba. Buat gw, Sophia cantik bak Bidadari yang turun dari Gunung Kidul. Gara-gara kecantikan Wanita, otak Pria jadi nggak bekerja dengan sempurna, dan kuping yang berfungsi sebagai saluran pendapat atau kritikan tertutup rapat. Dengan enteng, Pria mau meninggalkan agama asli ke agama baru. Ini namanya in the name of love! Eh, setelah cerai dengan Sophia, Indra balik lagi ke agama yang dahulu, karena Istrinya kebetulan agamanya itu.

Pasti bukan cuma Indra yang melakukan itu. Ada banyak Indra lain yang in the name of love atau in the name of matrialism, kita pindah-pindah agama. Hi man! Please deh, think about it ekstra keras! Tapi kalo konsep hidup kita memang cinta harta, cinta tahta, cinta wanita, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia matrialistik, ya itu mah beda lagi. Better loe ke laut ajah!


photo copyright by Brillianto K. Jaya

Monday, May 25, 2009

A DAY WITHOUT CAR




A day without car, it means we must go by bus.

Terminal Blok M ini dibangun tahun 1993. Pembangunan ini atas dasar menertibkan kendaraan umum di terminal yang sebelumnya sempat semerawut. Maklum, antara jumlah kendaraan dan luas terminal nggak sebanding. Selain menertibkan kendaraan umum, juga menertibkan para Penumpang.

Dahulu Blok M dikenal dengan istilah CSW. Akronim ini kepanjangannya: Centrale Stichting Wederopbouw. Ini karena kantor CSW terletak di area Blok M, persis di depan Kejaksaan Agung.

Kantor CSW didirikan pada Agustus 1948. Peletakkan batu pertama dilakukan pada 8 Maret 1949. Enam tahun kemudian, kantor CSW baru kelar. Orang yang berjasa merancang tata kota Blok M dan sekitarnya adalah H Moh. Soesilo. Beliau nggak lain nggak bukan murid Thomas Karsten, seoran Arsitek Hindia Belanda yang turut andil mendisain kota Bandung, Malang, dan Bogor.


You will never know if you don't ever go by bus. It actually transports you to your venue, whatever it looks bad and dirty. It actually brings you wherever you want to go. Maybe it will make you smile or mad you while you are there with those people. Sometimes it surprises you. Wierd? No! You will use to it!

Dahulu di seberang Pasar Raya Sarinah, ada apartemen Departement Luar Negeri. Tapi sekarang udah lenyap, karena dijadikan tempat parkir mobil-mobil yang mau belanja di Sarinah.

Mereka yang kere alias miskin, pasti naik bus atau metromini. Nah, metromini zaman dahulu, atapnya pendek-pendek. Kalo tinggi loe lebih dari 150 cm dan nggak dapat tempat duduk, udah pasti kamu bakal sedikit berbungkuk pada saat berdiri. Kelapa loe nggak bakal mampu menembus atap bus. Soalnya terbuat dari besi. Kecuali elo Superhero.




A day without car, it means we don't use a car.

Meski cuma naik bus, dahulu kita dapat tiket yang ukurannya sekecil peron tiket kereta api. Tahu kan? Kalo nggak tahu juga gedenya kayak kartu gaple. Nah, tiket ini dibuat dari kertas dan dibagikan oleh Kondektur pas bus jalan. Nggak dibagikan gratis kalee! Dibagikan kalo elo bayar pake duit. Ingat! Pake duit! Bukan pake daun.

Zaman dahulu, tiket bus juga dicaloin, cong! Banyak calo tiket yang berkeliaran di Blok M. Tapi sejak bus nggak pake lagi tiket, calo-calo ini kayak-kayaknya beralih ke calo tiket konser musik atau pertunjukan yang ada di JCC atau GKJ.

You don't want to know what wrong with car of mine, do you? What you concern is only how fast could you have much money. And you don't care where did you get those money, do you? Corruptors never go by bus. They always go by cars, which are from dirty money.

Dahulu Mal yang paling bergensi adalah Aldiron Plaza. Wah, kalo kita udah pernah ke Aldiron Plaza kita serasa orang kaya. Pokoknya dahulu, kata "Plaza" itu mempersonifikasikan kalangan jenset yang bisa masuk ke situ. Orang-orang udah nggak mungkin berani masuk ke situ. Eh, sejak ada Melawai Plaza dan Pasaraya, Aldiron nggak ada apa-apanya. Malah terlihat kumuh. Sekarang, orang yang masih memamaksakan diri masuk ke Aldiron Plaza, dianggap udah ketinggalan zaman. Pasti dicap sebagai orang jadul dan udik.

Sekarang di sekitar Blok M udah banyak Mal. Nggak cuma Pasaraya Grande, ada juga Blok M Plaza. Bahkan nggak jauh dari Blok M juga, tepatnya di Sudirman, Mal tumbuh bak jamur di musim hujan. Mulai dari Plaza Senayan, Senayan City, FX Grande, dan lain-lain.

Di dekat terminal Blok M (tepatnya di Blok M Sqare), ada para Pedagang kue Subuh. Pedagang ini mirip Pedagang kue Subuh di Senen. Ada sekitar 180 Pedagang yang berjualan di kawasan situ dari pukul 05.00-08.00 setiap hari. Meskipun cuma dagang selama 3 jam, namun omzet mereka mencapai Rp 500 juta per hari. Gokil nggak cong?! Inilah kenapa Preman masih tumbuh subur di Blok M.



A day without car, it makes me happy, because I don't see a traffic jam with my car. Let the bus driver drives me on the terrible things on the street.

Di terminal Blok M ada sebuah menara pengendali. Menara pengendali ini dipimpin oleh seorang Kepala Operasi Pengendalian Lalu Lintas Wilayah Jakarta Selatan, yang berada di Departemen Perhubungan DKI Jakarta.

Selain Organda, ada yang mengatur di terminal. Profesi ini bernama Timer. Tugasnya mengatur waktu dan nomor kendaraan yang keluar dari terminal. Ini tujuannya supaya bus-bus nggak saling serobot-serobotan mencari Sewa (istilah buat menggani kata Penumpang). Menurut temen gw yang pernah jadi Timer, ada dua Timer. Ada Timer legal, ada Timer liar. Pada tahun 80-an, Timer-Timer legal ini berhonor Rp 1.500 per hari. Timer legal ini terdiri dari beberapa suku, mulai dari Medan, Padang, sampai Palembang.

A day without car, feel so good!

Terminal Blok M menggunakan konsep alley atau lorong bawah tanah. Alley ini berfungsi buat Penumpang bus yang ingin berganti tujuan. Idealnya, bus menurunkan penumpang di halte yang khusus menurunkan Penumpang. Nah, para Penumpan itu masuk ke alley.

Alley ini pengap banget. Kadang-kadang sih ada hawa-hawa dingin. Padahal udah dikasih pendingin ruangan. Tapi kayak-kayaknya percuma juga sih. Soalnya, banyak manusia yang nggak tahu diri, banyak yang merokok. Padahal di situ ada tanda dilarang merokok dan ada tempat buat merokok. Kepengapan ruangan di alley itu barangkali disebabkan exhaust atau penghisap debu kotor. Gw yakin, hal tersebut bisa jadi sumber penyakit.

Tingkat keamanan dan pengamanan di lorong di bawah permukaan tanah itu nggak aman. Springkler di sana yang udah berdebu, bahkan ada sarang laba-labanya. Gw yakin springkler itu nggak pernah dibersihkan. Soal keamanan kalo terjadi kebakaran juga diragukan. Di alley ini nggak tersedia cukup alat pengaman (safety device) buat keadaan darurat. Gw juga nggak menemukan letak hose selang pemadam kebakaran.



A day without car, it means I must pay Rp 2.000 to Co-Driver, who never have nice face or helfull attituted. He or She only have skill to push Driver to go fast or slow by the bus.

Dahulu di jalan raya Melawai, dekat terminal Blok M masih ada Bemo. Kendaraan bermoncong ini bisa mambawa kita dari terminal Blok M ke Kebayoran Lama. Sekarang ini, Bemo cuma bisa ditemukan di terminal Manggarai atau terminal bayangan di dekat Mal Ciputra. Kalo Bemo yang mangkal di Manggarai trayeknya dari Manggarai ke RS Cipto Mangunkusumo. Kalo Bemo yang dekat Mal Ciputra jalurnya ke....

Dahulu di dalam terminal ada Pom Bensin. Gokilnya lagi, di dalam terminal masih sering ada pertunjukan-pertunjukan tradisional, salah satunya Debus. Selain Debus, ada juga banyak Pedagang obat. Mulai dari obat sakit gigi sampai obat jerawat. Gw pernah sekali beli salep jerawat merek Salju. Bukannya menghilangkan jerawat gw yang masuk kategori jerawat batu, tapi malah bikin kulit muka gw gatel-gatel.

Sewaktu masih kuliah di Depok dan Lenteng Agung, gw selalu naik bus ke terminal Blok M. Biar rumah gw di Cempaka Putih, gw selalu "nyasar" dulu ke Blok M, meski pulang kuliah seringkali malam hari. Padahal saat itu gw bisa naik bus ke Pasar Minggu dan nyambung ke Kampung Melayu naik S 68. Maklum, namanya juga masih kuliah, masih pengen ngalor-ngidul dulu before go back home.

Sebenarnya salah satu tujuan gw ke Blok M adalah pengen naik bus double dacker alias bus tingkat. Gw memang paling suka naik bus asal Inggris yang mereknya Volvo ini. Kenapa? Gw pikir asyik ada naik bus tingkat. Sayang, umur bus tingkat nggak bertahan lama. Kalo mau lihat mayat bus tingkat, bisa lihat di terminal Blok M ada toko factory outlet (FO) yang konsep tokonya dari bus tingkat bekas.

A day without car, you must feel it and enjoy it!

Ada beberapa kelompok Preman di Blok M. Beberapa di antaranya adalah kelompok Falatehan, kelompok Gramid, kelompok PD Pasar Jaya, dan kelompok tempat hiburan malam. You know what? Omset mereka mengais rezeki dari para Pedagang atau toko-toko di sekitar situ mencapai Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per bulan. Angka ini tentu perlu pembuktian. Namun kalo dilihat dari jumlah Pedagang, angka tersebut bisa mungkin, bahkan bisa lebih.

Preman-preman di kawasan Blok M, Jakarta Selatan ini nggak cuma "tukang palak" Pedagang, mereka juga banyak yang merangkap jabatan. Ada yang berprofesi sebagai Tukang Parkir, Security mal, kantor, cafe, resto, dan ada juga yang lebih keren: Debt Collector alias Penagih Hutang.

Indikasi banyaknya Preman di sekitar Blok M yang punya duit banyak dan berprofesi ganda, ketika terungkapnya kasus pembunuhan Radja Kurniawan koordinator Sales Promotion Girl (SPG) Mal Plaza Senayan City pada tanggal 11 Februari 2009 lalu. Tersangka pelaku pembunuhan tersebut nggak lain nggak bukan diketahui sebagai Preman Blok M. Preman ini dibayar Rp 10 juta buat menjalankan tugas pembunuhan tersebut. Pelaku itu sendiri ditangkap Polisi ketika berada di kawasan Blok M dua hari setelah adegan pembunuhan.

Ada lagi orang yang nggak mau disebut Preman, tapi Pemalak bus. Para Pemalak ini cuma memalak bus-bus yang masuk ke terminal. Teman gw pernah menjadi Pemalak selama 8 tahun, kira-kira tahun 1988. Doi mengutip duit Rp 50 perak tiap bus. Waktu itu ongkos bus Rp 200.

Have a great day by the bus.

Eksistensi Preman Blok M nggak bisa lepas dari kelompok Preman yang berkembang di Jakarta era tahun 1960-an. Kabarnya, Legos merupakan kelompok Preman di Blok M pertama. Nama Legos asalnya dari kata “melego”. Jadi dahulu kelompok Preman ini seringkali melegokan (baca: menjual) barang-barang ke pasar loak di Taman Puring yang lokasinya dekat situ. Lambat laun, kelompok yang kerap melego barang ini membentuk kelompok Preman yang bernama Legos itu. Sebagian besar anggota Legos berasal dari Surabaya, Jawa Timur.

Setelah Legos, barulah muncul kelompok-kelompok Preman lain yang ada di Blok M. Setelah orang-orang asal Surabaya, hadir kelompok yang berasal dari orang-orang Palembang, Flores, Ambon, Medan, serta Bugis-Makassar. Kini kelompok preman di Blok M terbagi empat kelompok seperti yang udah disebutkan di atas tadi, yakni kelompok Falatehan, kelompok Gramid., kelompok PD Pasar Jaya, dan kelompok Tempat Hiburan.



Saat ini Blok M memiliki 2 jalur masuk dan 6 jalur keluar bus dalam kota. Selain itu ada tambahan 1 jalur lagi buat Trans-Jakarta atau yang dikenal dengan nama Busway.

Tarif bus-bus yang ada di Blok M nggak beda kayak bus-bus di terminal lain. Baik PPD, Mayasari Bakti, Steady Safe, Metromini, maupun Kopaja tarifnya ngikut Pemerintah. Bus sedang atau besar tarifnya Rp 2.000; Bus Patas non-AC tapi lewat tol harganya Rp 2.500; dan tarif bus AC Rp 5.000.

Selama menjadi terminal, terminal Blok M udah merasakan kenaikan tarif bus. Baru tahun 2009 ini ada penurunan tarif. Tepat pada tanggal 27 Januari 2009, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menurunkan tarif angkutan umum. Metromini dan kopaja turun Rp 500 menjadi Rp. 2.000. Untuk bus kecil, Mikrolet, KWK, dan APB, tarif jarak terjauh berubah dari Rp 3.000 menjadi Rp. 2500.

Blok M itu kalo dianalogikan mirip induk dari segala trayek. Kenapa begitu? Hampir trayek ada di Blok M. Kurang lebih ada sekitar 37 trayek pasti melewati terminal Blok M. Mulai dari trayek Blok M-Muara Angke sampai Blok M-Bekasi. Apa lagi? Blok M-Kota, Tanjung Priuk, Senen, Tanah Abang, Pasar Rumput, Manggarai, Kalideres, Cidodol, Pondok Bitung, Puri Kembangan, Joglo, Meruya Ilir, Pertukangan, Perum Bintaro, Ciputat, Ciledug, Perum Tangerang, Cimone, Serpong, Kemandoran, Pasar Minggu, Ragunan, Rempoa, Radio Dalam, Lebak Bulus, Pasar Ciputat, Pondok Ranji, Kampung Pulo, Cinere Desa Limo, Depok, Rawamangun, Kampung Melayu, Pulogadung, Kalideres, Kampung Rambutan, dan Bekasi.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Saturday, May 23, 2009

HORE!!! DI PONCOL NGGAK ADA FLU BABI

Terus terang gw termasuk orang yang takut sama flu babi. Sebenarnya bukan cuma flu yang gw takutin. Babinya pun gw takut cong! Selain faktor kanajisan, mukenya babi nggak ada cakep-cakepnya. Udah hidungnya pesek, perutnya gendut, baunya naudzubilah minzalik.

"Tapi babi itu cute, lho!"

Yang mengatakan babi itu cute biasanya suka makan babi, atau wajahnya kayak babi, hidung pesek, at least kulitnya hitam keling atau putih langsat, atau hati si manusia itu kayak babi. Memangnya manusia berhati babi kayak apa?

Lihatlah aktivitas babi ngepet. Babi ngepet adalah manusia yang menjadi babi. Waktu operasionalnya malam hari. Di malam, ketika manusia babi ini beroperasi, ada lilin yang harus menyala dan ada yang menjaga. Lilin nggak boleh mati. Kalo lilin mati, konon manusia babi mati juga.

Manusia nggak akan mau jadi babi ngepet kalo bukan karena rakus. Ingin memiliki harta, duit yang melimpah dengan cara ekspres, instan, tapi penuh resiko. Kata dosa udah nggak ada lagi dalam kamus babi ngepet. Nah, itulah manusia berhati babi. Rakus, tamak, iri, dengki, dan ingin menang sendiri.



Minggu pagi yang cerah ceria ini gw pake masker. Bukan dalam rangka menghindari flu babi yang orang-orang sekarang lagi pada ngeributin. Dengan masker, gw menjelajah ke Poncol. Tahu kan Poncol? Poncol adalah sebuah daerah yang terkenal sebagai lokasi perdagangan barang-barang bekas.

Poncol itu adalah pasar kaki lima yang diaplikasikan dalam bentuk kios-kios. Letaknya di sisi rel stasiun kereta api Senen. Lebih tepatnya di jalan Bungur, Jakarta Pusat. Pasar ini udah ada sejak tahun 1969. Karena umurnya udah lebih tua dari gw, pasar ini begitu melegenda.

Harga barang di pasar ini jauh lebih murah dibandingkan barang yang dijual di supermarket atau mal. Maklumlah, namanya juga pasar barang bekas. Eh, tapi ada juga barang baru dengan harga miring alias murmer: murah meriah. Meski dengan harga murah, tapi kualitas nggak kalah dengan yang ada di toko sebelah. Perbedaan harga bisa mencapai dua kali lipat. Misalnya celana jins. Di Poncol harga satu celana jins Rp 45 ribu. Kalo di Mal, harganya bisa mencapai Rp 100 ribu-Rp 200 ribu. Ini pun tergantung jinsnya, jin iprit atau jin tomang.



Nggak cuma pakaian, di pasar Poncol kita bisa menemukan barang-barang bekas. Ada sepatu bekas, tas bekas, koran bekas, majalah bekas, baju bekas, dan bekas-bekas yang lain, termasuk kaset bekas. Yang nggak ada di Poncol cuma satu: istri bekas. Ya, kasihan lah, masa istri diperjual belikan jadi barang bekas. Good or bad, istri ya tetap istri, yang melahirkan anak kita, ya nggak?

Ternyata di Poncol nggak ada flu babi, cong! Jadi buat apa dong gw pake masker segala ke Poncol? Kata orang, kalo mau mengendarai sepeda di jalan raya, selain pake helm, kudu pake masker. Soalnya udara di jalan udah berpolusi. Jangan sampe niat kita berolahraga, eh jadinya malah bronsitis. Salah sendiri, nggak pake masker sih!


all videos copyright by Brillianto K. Jaya

WHAT WRONG WITH AJI MUMPUNG?

Nasib seseorang pasti ada pasang dan surut. Ibarat roda kehidupan yang terus berputar. Sometimes ada di atas, satu ketika akan jatuh tersungkur. Ketika ada di atas, popularitas bagai seorang Raja yang dipuja-puja banyak Manusia. Namun ketika jatuh dan berada di dasar, boro-boro dihargai, seseorang dianggap kayak sampah yang nggak berguna.

Sangat manusiawi, ketika berada di puncak, seseorang memanfaatkan segala hal yang ingin dia lakukan. Orang ini ngotot melakukan keingiannya itu. Padahal belum tentu doi punya potensi yang layak pakai. Tapi sekali lagi, sangat manusiawi kalo ada orang melakukan hal tersebut. Ini juga dilakukan oleh Titi Kamal dan Cathrine Wilson.

“Kalo kita aji mumpung memangnya kenapa?”

Pertanyaan balik Cathrine Wilson seolah mengkandaskan protes masyarakat terhadap apa yang disebut aji mumpung. Bahwa Keket (ini panggilan sayang Catherine Wilson, bukan panggilan buat nama binatang), merasa aji mumpung bukan dosa. Nggak ada yang salah dengan aji mumpung.

“Selama kita masih terkenal, masih muda, dan memungkinkan untuk melakukan sesuatu yang ingin kita lakukan, why not?”

Yes! Why not?! Mengapa tidak aji mumpung? Keket nggak salah. Titi Kamal juga nggak salah. Yang salah, mereka yang merekayasa sebuah konspirasi yang membawa mantan Ketua KPK Antasari Ashar dijebloskan ke penjara. Yang salah, para “Calo Suara” yang menjual suara-suara Partai Gurem yang kalah di Pemilu Legislatif dan nggak masuk parliamentary threshold alias lolos persyaratan ambang batas parlemen yang kudu 2,5 % itu. Dan banyak lagi yang salah lain...




Memang udah sejak lama terminologi “aji mumpung” menjadi sorotan. Terminologi ini selalu muncul bersamaan dengan popularitas seseorang yang sedang meroket di sebuah bidang dan kemudian mencari peruntungan di bidang lain. Yang paling banyak terjadi, dari bintang film atau sinetron ke dunia nyanyi atau sebaliknya.

Banyak contoh Selebritis yang ngetop di layar lebar dan layar kaca langsung memanfaatkan tawaran Producer atau Lebel buat menyanyi. Istilahnya “mengajimumpungkan diri”. “Bukan Bintang Biasa” merupakan contoh sekumpulan Bintang Sinetron muda yang menyanyi. Mereka adalah Raffi Ahmad, Ayushita, Dimas Beck, Laudya Chntya Bella, dan Chelsea Olivia.

Meski suara mereka masih kalah jauh dengan Tukang Minyak, toh Melly Goeslow tetap punya harapan, suara pas-pasan mereka itu mampu mendongkrak penjualan film berjudul sama yang memang diproduseri oleh Melly Goeslow sendiri. Toh hasilnya, film yang disutradarai oleh Lasja Fauzia nggak laku-laku amat. Wajah-wajah segar ternyata belum tentu menjamin marketing sebuah film terdongkrak atau penjualan lagu-lagunya.

Popularitas Cinta Laura juga sempat dimanfaatkan oleh Producer. Bintang Sinetron yang sok kebule-bulean itu (memang bule sih, tapi sebenarnya bahasa Indonesia-nya fasih, lho, cong!), dites menjadi penyanyi. Jadilah lagu “Becek Nggak Ada Ojek”. Soal suara? Wah, nggak perlu diragukan lagi..... better nggak usah nyanyi lah!




Antara Cinta Laura dan Producer terjadi symbiosis mutualisme. Maksudnya, si Cinta Laura senang, karena bisa mencoba Profesi lainnya, meski suaranya nggak beda kayak anak kecil yang lagi nyanyi di tempat karaokean. Sementara si Producer lebih senang lagi, karena bisa berharap popularitas Cinta Laura bisa menjadi sumber duit lebel tersebut. Ya begitulah brengseknya Producer dan lebel. Yang dipikirkan cuma keuntungan sesaat, namun bisa bikin sesat si Pelaku-nya (baca: Selebritis yang dipaksa secara halus buat menyanyi).

Salahkah? Kalo salah siapakah yang bersalah dan menanggung dosa?

Dalam industri kapitalis aji mumpung sangat wajar. Industri kapitalis akan selalu memanfaatkan artis-artis yang lagi happening. Nggak heran kalo aji mumpung selalu akan berkibar di belantika entertainment. Konsep symbiosis mutualisme ini tetap menjadi patokan. Producer hepi, artis pun hepi. Nggak ada orang dirugikan, kecuali konsumen. Sebagai penikmat musik, konsumen merasa kupingnya terkontaminasi dengan suara-suara yang dipaksakan. Suara-suara yang seharusnya musti diikutsertakan lagi dalam kursus menyanyi, tapi ternyata muncul secara instan.

Ketika ingin masuk ke dunia menyanyi, Syahrul Gunawan sempat ikut latihan vokal oleh salah seorang guru vokal. Hal yang sama juga dilakukan oleh Andhika. Kedua-duanya adalah bintang sinetron dan mencoba peruntungan di dunia tarik suara. Meski vokal mereka jauh lebih baik daripada rekan-rekannya yang lebih suka memilih instan (langsung rekaman), toh mereka tetap dipandang sebelah mata ketika masuk ke dunia tarik suara. Terbukti, album mereka nggak laku.

Laku nggak laku terkadang memang bukan jadi tujuan akhir para penikmat aji mumpung. Buat aji mumpunger (istilah yang gw buat sendiri untuk menyebut mereka yang aji mumpung), mereka udah puas banget bisa diberikan kesempatan menyanyi. Mereka juga pasti udah senang banget bisa diberikan kesempatan masuk ke dapur rekaman, terus ikut mengisi acara off air pada saat mempromosikan album. Lihat saja jadwal tur promo Titi Kamal yang udah padat sampai bulan Juli. Nampaknya Titi rela meninggalkan beberapa tawaran shooting demi profesi barunya yang belum tentu menjanjikan ini.

“Mumpung masih muda,” kata Titi dalam interviewnya di program Bukan Rahasia yang sempat ditayangkan di tvOne pada Jumat, 22 Mei 2009 pukul 23.00-24.00 wib lalu.


photo & video copyright by Brillianto K. Jaya

Wednesday, May 20, 2009

SELAMAT JALAN MAS ARIEF....

Entahlah. Ketika menyebut nama Arief Rosendar yang gw ingat profil karyawan yang “lurus”. Kenapa lurus gw kasih apostrof? Ini butuh pembuktian. Namun buat gw, Arief masuk kategori karyawan yang nggak korup, bertanggungjawab terhadap pekerjaan, dan sederhana.

Entahlah. Apakah tulisan gw terlalu berlebihan sehingga bertendensi pada kultus individu alias pemujaan atau ini hanya “kado” dari seorang teman pada teman yang nggak akan pernah berjumpa lagi? Namun yang pasti, nggak ada tendensi apa pun dari tulisan ini. Gw cuma ingin kita sama-sama belajar dari apa yang pernah teman kita lakukan. Tentang sikap apa yang almarhum pernah tunjukan. Dengan begitu, barangkali ada manfaat buat kita pelajari, ya nggak?

Kalo nggak salah gw pertama kali kerjasama dengan almarhum pada saat memproduseri program “Campur-Campur” di sekolah gw yang lama. Di program yang dipandu oleh Rina Gunawan itu, almarhum nggak pernah menunjukan sikap bossy alias nge-bos. Padahal jabatan waktu itu Executive Producer.

You know what? Sesungguhnya di beberapa televisi, apalagi di luar negeri sana, Executive Producer (selanjutnya kita singkat aja ya jadi EP) dianggap manusia setengah Dewa dalam sebuah program televisi. Kenapa? Di posisi ini, seorang EP bisa membuat kebijakan agar sebuah program menjadi yahud. Caranya? Nggak cuma mengobrak-abrik konsep kreatif, tapi juga membongkar pasang kru produksinya. Kalo Producer-nya nggak perform, EP berhak menggantikan dengan Producer lain. Kalo tim kreatifnya kurang kreatif, dengan “tangan besi” EP mempunyai wewenang penuh buat mencopot dan mengganti dengan tim kreatif lain.

“Almarhum nggak kayak EP-EP lain...”

Almarhum punya style tersendiri membimbing Producer atau tim kreatifnya. Beliau nggak menggunakan jabatan EP buat menunjukan keperkasaannya. Namun menggunakan metode komunikasi empati. Istilah ini dipopulerkan oleh John Peter dan saya kutip dari buku karangan Dr. Phil Astrid S. Susanto dalam bukunya, “Komunikasi Massa” (Percetakan Binacipta, Maret 1986).

Bahwa hakekat komunikasi adalah mau menempatkan diri di tempat pihak lain (hal 7). Hal tersebut dimaksudkan sebagai sebuah bentuk empati. Kesediaan buat menempatkan diri dalam kedudukan atau tempat orang lain ini merupakan suatu sikap psikologis, yang berintikan: itikad baik dan usaha buat mencapai persesuaan paham.

Pelaku komunikasi yang mempunyai empati harus berusaha mengubah situasi “subjek-objek” menjadi situasi “subjek-subjek”. Istilah John Peter adalah “becoming the other”. Kalo diterjemahkan secara harafiah, nggak ada yang namanya atasan atau bawahan. Atasan cuma simbol atau jabatan. Tapi ketika dihadapkan pada sebuah masalah, atasan tetap memanusiakan bawahan. Nah, prinsip inilah yang gw lihat pada sosok almarhum. Beliau mempraktekkan teori John Peter, meski gw yakin almarhum nggak pernah membaca buku tentang “Komunikasi Massa” ini.


Ini foto gw terakhir berada di "sekolah" lama gw. Gw cuma punya foto satu-satunya ini dengan almarhum.


Selama gw jadi anak buah beliau, jarang sekali gw mendapat undangan meeting. Beliau lebih suka duduk berdua dengan Producer atau kreatif buat ngobrolin masalah. Pendekatan personal ini agaknya jauh beda dengan EP-EP lain yang lebih suka mengumpulkan anak buahnya duduk di satu meja. Padahal duduk di satu meja belum tentu efektif menyelesaikan masalah. Secara psikologis, duduk di sebuah meja seolah menciptakan hirarki. Ada atasan, ada bawahan. Atasan memimpin rapat, bawahan mengunggkapkan pendapat.

Gw pernah punya atasan yang gaya memimpinnya kayak tentara. Sok galak dan sok tegas. Padahal galak belum tentu tegas. Tegas bukan berarti harus galak. Ini gw alami sendiri sama atasan gw tersebut. Ketika ada sebuah masalah, beliau berperan sebagai orang galak. Ternyata galaknya beliau nggak konsisten. Awalnya ngomong A, eh lambat laun jadi ngomong B. Plintat-plintut istilah orang Betawi. Sementara almarhum, kelihatannya lemah-lembut, namun statementnya kalo dipikir-pikir konsisten.

Selain soal gaya kepemimpinan almahum, ada pelajaran yang gw petik dari beliau, yakni soal kesederhanaan. Sebenarnya dengan menjadi seorang EP, almarhum bisa saja naik mobil terus menerus atau minta dijemput dari kantor. Fasilitas di jabatannya terakhir memungkinkan buat itu. Namun dengan kesederhanaannya, beliau nggak selalu menggandalkan mobil sebagai kendaraannya sehari-hari. Sesuka-suka beliau naik kendaraan menuju kantor. Kadang mobil, kadang motor, kadang naik kendaraan umum. Padahal rumahnya cukup jauh, cong!

Beda banget dengan rekan-rekan sekerja almarhum, bahkan bawahannya yang punya mobil lebih bagus dari beliau. Soal harta benda lainnya pun beliau nggak begitu show off alias pamer. Yang gw tahu, almarhum bukan tipikal gadget freak alias pencandu produk gadget yang lagi happening. Handphone-nya nggak selalu berganti kayak rekan-rekannya, yang selalu gonta-ganti handset tiap kali ada produk baru. Padahal gonta-ganti cuma buat gaya-gayaan. Itu pun bayarnya nyicil, ngutang dengan pihak kartu kredit.

Gw kenal blackberry dari almarhum tahun 2003. Beliau punya blackbarry bukan gara-gara mau pamer kayak orang-orang sekarang ini. Blackberry yang dimiliki beliau itu adalah pemberian dari kantor. Setiap EP dan pejabat-pejabat di atas EP diberikan blackbarry gratis. Awalnya beliau menolak diberikan blackberry. Namun karena ada perintah wajib pakai, mau nggak mau beliau kudu menggunakannya.

“Supaya cepat balas e-mail,” kata almarhum waktu itu.


Iring-iringan mobil yang membawa jenazah ke peristirahatan beliau yang terakhir. Banyak yang berduka. Maklum, beliau termasuk "orang baik".

Terakhir gw ketemu sebelum meninggal, beliau nggak lagi pegang blackberry. Kayak-kayaknya udah dikembalikan ke kantor. Eh, sekarang blackberry merajalela. Dimana-mana orang pegang blackberry. Mereka yang berkepentingan pegang blackberry, memaksakan diri kudu punya produk ini. Biar gajinya cuma 3 juta, biar beli blackberry-nya hasil ngutang, biar blackberry cuma buat update status di Facebook doang, sing penting punya. Yang gw tahu, karakter almarhum nggak kayak gitu. Nggak biasa pamer. Inilah yang gw anggap beliau sangat sederhana.

Terakhir yang gw belajar dari beliau tentang tanggungjawab. Terus terang bicara soal tanggungjawab dalam pekerjaan, nggak usah ditanya lagi. Almarhum rela pulang malam, bahkan pagi di hari berikutnya demi pekerjaan. Lha memang tugas EP bukan? Sebenarnya kalo bicara delegasi, bisa aja beliau perintah Producer atau Production Assistance (PA) buat ngecek segala printal-printil sebelum shooting produksi dimulai. Tapi hal tersebut nggak beliau lakukan. Almarhum lebih suka memonitor sebuah pekerjaan. Kayaknya nggak puas kalo nggak melihat langsung gitu.

“Nggak percaya sama orang kali?”

Banyak atasan yang nggak percaya sama anak buahnya. Namun beliau beda. Almarhum selalu mengontrol proses dan hasil sebuah pekerjan lebih karena tanggungjawab. Percaya nggak percaya, hari-hari menjelang meninggal ketika masih berada di ruang ICU, beliau masih sempat bertanya soal pekerjaan. Prinsipnya, nggak menyusahkan orang lain.

Selain nggak mau menyusahkan orang, beliau juga nggak mau menyusahkan kantornya. Ini terbukti dari percakapan beliau pada istrinya soal biaya perawatan selama di rumah sakit. Padahal seharusnya sebagai orang yang butuh pikiran tenang dan butuh istirahat, beliau nggak perlu memikirkan ini dan itu. Tapi sekali lagi, itulah sifat almarhum.

Barangkali gara-gara tanggungjawab ini pula almarhum nggak pernah mau side job (selanjutnya disingkat SJ). Entahlah! Ini juga perlu pembuktian lagi. Namun kenyataannya begitu. Tawaran SJ ke beliau sih banyak. Apalagi networking beliau buat SJ memungkinkan. Padahal kalo mau mengambil SJ-SJ itu, yakin beliau kaya. Tapi anehnya bukan beliau yang melakukannya. Beliau lebih suka memberikan ke orang lain. Ujung-ujungnya, beliau nggak mau maruk mengambil SJ sehingga nggak fokus pada pekerjaan utamanya.

Yang paling sering mendapat rezeki SJ ya gw ini. Nggak tahu apakah karena beliau lebih percaya pada gw dibanding rekan-rekan sekerjanya atau mungkin karena alasan lain. Apapun alasannya, gw bersyukur banget mendapatkan kepercayaan diberikan kesempatan memegang beberapa SJ yang beliau berikan. Dan kami pun kemudian berpisah “sekolah”.

Sejak mendapat “sekolah” baru, cukup lama juga gw nggak ketemu almarhum. Gw berjumpa lagi ketika “sekolah” gw dan beliau dipertemukan dalam sebuah acara yang akhirnya nggak jadi ditayangkan. Sampai ketika gw diberitakan soal beliau yang mendapatkan serangan jantung dan masuk ICU. Terus terang gw kaget. Gw berdoa semoga beliau sembuh.


Mbak Sari, istri almarhum, sambil menggendong putra kedua menyaksikan upacara pemakaman di pemakaman Vila Nusa Indah dengan penuh duka. Memilukan sekali. Tabah ya mbak.


Bersama istri, gw sempat menjengguk di Rumah Sakit Harapan Kita. Namun momennya nggak memungkinkan buat berjumpa dengan beliau. Beliau kudu banyak beristirahat dan itu kami maklumi. Di RS Harapan Kita kami berjumpa dengan istri almarhum. Dengan istrinya, kami diceritakan kronologis serangan jantung yang menimpa beliau. Kami juga berbicara soal kecemasan beliau tentang biaya pengobatan.

Tuhan berkendak dan manusia nggak bisa menolak. Selang beberapa hari, tanggal 17 Mei 2009 pukul 00.15, Arief Rosendar menghembuskan nafas terakhir. Innalilahi wa innailahi roji’un. Nggak ada bisa gw ucap selain kalimat itu. Allah rupanya sudah rindu ingin menjumpai teman gw, mantan EP gw, dan orang yang pernah memberikan gw beberapa SJ. Kayaknya baru kemarin gw ketemu beliau. Kayaknya gw baru minta tandatangan beliau buat pengajuan program. Realitanya berbeda. Beliau sekarang udah tenang di atas sana.

Selamat jalan mas Arief. Semoga Allah membalas segala kebaikan dan amal ibadahmu. Amin!