Tuesday, May 25, 2010

ANDI KALAH, DORCE MENANGIS

Judul di atas ini masih perlu penyelidikan lebih jauh. Kebenarannya masih abu-abu. Memang sih Andi Mallarangeng nggak ada hubungan apa-apa dengan Dorce. Begitu pula sebaliknya. Namun, semua orang pernah tahu kalo Dorce adalah nge-fans berat pada Andi. Bukan lantaran Andi adalah politikus, tetapi karena kumisnya yang bikin gemes.

Oleh karena Dorce fans berat Andi, maka saya mencoba menghubung-hubungkan dengan kekalahan Andi terhadap Anas Urbaningrum. Andi yang dianggap di atas angin dan di atas kertas mampu menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, eh ternyata nggak ada apa-apanya. Angka pemilihnya jauh di bawah Anas.

Di putaran pertama, Andi cuma mampu mengumpulkan 82 suara (16 persen), sementara Marzuki Ali meraih 209 suara (40 persen) dan Anas 236 suara (45 persen). Pada putaran kedua, suara yang didapat Andi nggak berbeda jauh. Bahkan Anas dan Marzuki mendapat suara makin gokil, yakni Anas meraih 280 suara (53 persen) dan Marzuki 248 suara (47 persen).


Salah satu bilboard bergambar Andi Mallarangeng yang ada di jalan Prof. Dr. Satrio, Casablanca, Jakarta Selatan.

Kasihan banget sih dikau bung Andi? Sudah investasi gokil-gokilan, eh suaranya nggak ada apa-apanya. Investasi apa? Salah satunya investasi buat promosi. Mulai dari pembuatan bilboard gede-gedean, spanduk, public service announcement (PSA) di televisi, maupun buku. Sekadar mengutip istilah Ikrar Nusa Bhakti (Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta) di harian Kompas.

Andi ibarat "menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk" melalui baliho dan iklan-iklannya yang aduhai mahalnya. Padahal, konstituen Partai Demokrat (PD) atau rakyat biasa tidak memiliki hak suara pada pemilihan ketua umum DPP PD tersebut, hanya elit-elit PD di pusat dan daerah yang berhak memberikan suara (lihat Ikrar Nusa Bhakti, "Matinya Politik Pencitraan?", Kompas, Selasa, 25 Mei 2010, hal 6).

Saya bukanlah anggota PD, penggemar PD, atau pendukung Anas Urbaningrum. Namun kejadian kekalahan yang mengagetkan banyak orang ini menunjukan, politik dewasa ini benar-benar menggunakan hati nurani. Bukan cuma mengkultuskan seorang individu saja sebagaimana ketua umum di partai-partai besar lain. Saya kembali mengkutip tulisan peneliti senior di Sugeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit di Kompas (25/05/2010).

"Kita memang sedang memasuki zaman baru, yaitu era ngomong bener tumindak temen. Orang yang bicara benar dan bertindak jujur akan menang. Tuhan tidak tidur."

Yang menyesakkan lagi, di rubrik Pojok harian Kompas membuat komentar atas kekalahan telak Andi ini dengan nada yang cukup "menampar", bahwa "Kemenangan Anas momentum alih generasi Demokrat. Uang dan ketampanan bukan segalanya!"

Wah, kayaknya Dorce kudu ganti idola nih kalo begitu?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

GARA-GARA FILM "GLEE", 7 ELEVEN BANGKIT LAGI

Film Glee memang fenomenal. Betapa tidak, gara-gara film ini, 7 Eleven jadi ngetop lagi. Padahal dahulu kala, zaman saya, 7 Eleven sempat muncul, merajai, tetapi kemudian kalah jauh dengan AM-PM atau toko serba ada kayak begitu. Namun kini, 7 Eleven jadi tongkrongan anak-anak muda metropolitan.


Mesin pembuat slurpee. Self service.


Indikasi kebangkitan 7 Eleven bisa Anda lihat sendiri di gedung Fuji Image Plaza (FIP). Dulu, ketika gedung itu masih dikenal sebagai gedung FIP, pengunjung bisa dihitung dan kepentingannya bisa ditebak. Kalo nggak cuci atau cetak film, ya beli bingkai foto. Kendaraan yang diparkir di depan gedung itu pun biasa-biasa aja. Tapi sekarang....wah, buat parkir mobil aja syusah, bo!

Apa yang membuat 7 Eleven bangkit lagi?

Salah satunya adalah slurpee. Itu minuman yang biasa built in alias muncul di scene-scene Glee. Sebenarnya minuman ini cuma biasa. Cuma soft drink yang dibekukan dan dicacah menjadi es yang frozen. Ya, namanya juga anak-anak muda. Ketika ada sesuatu yang kayaknya "unik", "lucu", "menarik", dan "patut dicoba" di televisi, biasanya dihajar.


Pelanggan dibuat senyaman mungkin. Yang pasti makanan dan fasilitas komplet buat nongkrong, termasuk hot spot.

Namun kalo saya amati, tempat-tempat yang jadi tongkrongan anak muda juga menawarkan fasilitas dan kenyamanan. Ada tenda-tenda payung buat ngerumpi, waktu ngobrol nggak dibatasi, food & baverage yang tersedia beragam sehingga kalo laper bisa makan apa aja, dan hot spot wajib hukumnya. Selain 7 Eleven, beberapa tahun ini konsep Kentucky Fried Chicken (KFC) pun sudah berubah, yakni ke family dan anak-anak muda. Nggak jadul kayak dahulu kala.

Saya bukanlah penggemar Glee (lebih suka nonton Desperate Housewife), bukan pula ABG yang senang menyruput slurpee. Kalo bukan karena anak-anak saya, saya nggak akan pernah nongkrong di Matraman dengan anak-anak muda itu. Parkirnya syusah, bo!



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sunday, May 23, 2010

BUKAN "BENGAWAN SOLO" CIPTAAN GESANG

Sejak bergulirnya berita kemiringan gedung DPR sebanyak 7 derajat, saya langsung penasaran ingin mengunjungi gedung tersebut. Biasalah, ingin tahu lebih dekat dan sok ingin menyelidiki kebenaran itu.

Berhari-hari nggak ada undangan ke gedung DPR atau punya janji berjumpa dengan anggota MPR. Nggak enak kan ke kompleks DPR tapi nggak punya janji dengan siapa-siapa.

Padahal sebelum heboh gedung DPR miring, saya sering bolak-balik ke situ, tepatnya ke TV Parlemen yang ada di gedung Nusantara II. Ada urusan yang kudu diselesaikan dengan teman-teman di TV Parlemen. Bahkan sebelumnya, saya dan kru dari tvOne sampat melakukan shooting di kompleks DPR, yakni ketika shooting program "Titian Kalbu". Kebetulan ustadz yang mengisi program ini adalah anggota DPR.



Alhamdulillah Mei lalu saya sempat diundang salah satu anggota DPR yang berkantor di lantai 13 di gedung yang digosipkan miring itu. Lagi-lagi kebetulan saya ditawari jabatan yang cukup keren. Bukan, bukan jadi anggota DPR, lho. Pokoknya ada lah! Nah, itulah kesempatan emas yang membuat saya merasakan gedung miring.

You know what? Ketika saya berada di gedung miring yang berjudul gedung Nusantara I ini, jalan saya jadi miring. Begitu masuk ke dalam lift, liftnya pun miring. Saya merasa, otak saya pun miring. Anggota tubuh saya ikut-ikutan miring, termasuk bibir saya jadi miring. Semua yang ada di situ terlihat miring.

"Wah, jadi berita yang dibilang gosip itu benar! Gedung DPR memang miring. Jadi gedung ini perlu perbaikan."

Kisah saya soal miring-miring di atas tadi nggak bener, kok. Jalan saya tetap normal. Lift pun juga normal, nggak miring. Otak saya dan otak-otak lain, juga normal. Jadi nggak perlu perbaikan sampai Rp 1,8 triliun dong? Ah, entahlah! Saya nggak tahu kenapa perlu diperbaiki. Bukankah lebih baik kemiringan gedung itu dijadikan satu objek wisata, yakni keajaiban yang dimiliki Indonesia sebagaimana Menara Piza di Italia?

Ternyata bukan cuma kehebohan soal gedung DPR yang miring. Kalo di warga negara meributkan soal gedung miring, sebaliknya di kalangan internal anggota DPR/ MPR justru meributkan soal keberadaan "Bengawan Solo" yang ada di gedung DPR, yakni tepatnya di antara Nusantara 1 dan Nusantara 2.

Kenapa "Bengawan Solo" diributkan?



Please jangan kira "Bengawan Solo" kali ini soal meninggalnya sang pencipta dan kemudian ada orang yang mengklaim lagu Bengawan Solo ciptaannya, bukan ciptaan (alm.) Gesang. "Bengawan Solo" dalam konteks ini adalah sebuah kafe tempat nongkrong ala Starbucks.

Di periode Ketua DPR maupun MPR sebelumnya, nggak ada kafe yang bisa mendapatkan tempat di kompleks DPR, apalagi di depan antara gedung Nusantara 1 dan Nusantara 2. Namun ketika periode 2009-2014, muncul kafe yang bernama "Bengawan Solo".

Kira-kira Anda bisa menebak kenapa "Bengawan Solo" hadir di gedung DPR?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

DULU GAK DIANGGAP, KINI JADI PILIHAN

Ya begitulah nasib SMP dan SMA Diponegero saat ini. Ibarat pepatah, dari nasib buruk, berubah bernasib baik.

Beberapa tahun lalu, sekolah ini bukan menjadi pilihan yang asyik buat dijadikan tempat menuntut ilmu. Mohon maaf, citra yang kurang asyik seringkali terdengar mengenai sekolah yang berada persis di samping pasar Sunan Giri ini.





Namun, kurang lebih empat tahun ini, SMP dan SMA Diponegoro berubah total. Sekolah ini jauh banget dari beberapa tahun lalu. Bahkan boleh dibilang nggak kalah dengan sekolah yang ada di seberangnya, yakni Al Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur.





Siang ini saya menyempatkan diri masuk ke pekarangan sekolah ini. Kebetulan saya memang ingin sholat di masjid Jami Al Hidayah yang berada di kompleks SMP dan SMA Diponegoro. Selain ingin merasakan sholat di masjid yang baru saja diresmikan oleh H. Probosutedjo selaku Dewan Pembina HM Soeharto Center dan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, saya juga ingin melihat dari dekat fasilitas lain yang dimiliki Diponegoro.







Luar biasa! Barangkali itulah kata yang tepat buat mengungkapkan ekspresi saya melihat apa yang ada di Diponegoro ini. Totally different! Beda banget dengan apa yang saya lihat saat masih sekolah dulu. Ketika masih langganan bolos dan nongkrong di Sunan Giri atau beli poster di pojokan Pasar Sunan Giri. Diponegoro benar-benar beda. Dulu nggak dianggap, sekarang jadi pilihan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Friday, May 14, 2010

IKLAN-IKLAN JADOEL part # 1


Nggak tahan rambutnya, gondrong, bo! Kira-kira helm yang cewek ini bawa cukup nggak ya dipake dengan kondisi rambut gondrong kayak begitu?


Dulu di Sudirman ada pusat jajan. Lokasinya di bekas lahan yang sekarang jadi taman di kompleks gedung Sampoena Strategic di Sudirman.

Sunday, May 9, 2010

LIMABELAS TAHUN SEBELUM SAYA LAHIR

Monumen Nasional (Monas) merupakan bangunan monumental yang berada di pusat ibu kota Republik Indonesia, yakni DKI Jakarta. Monumen yangi dibangun pada tahun 1961 ini menjadi lambang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Foto yang saya temukan ini adalah saat pembangunan monas pada tahun 1961. Sekadar info, pembangunan monas berlangsung dari tahun 1961-1975 (lihat buku Pemugaran Monumen Nasional Tahap I 1982-1984 terbitan Depdikbud RI, 1985).


Empat mesin giling yang sedang menghaluskan jalan di sekitar monas.

Monas berada di sebuah tanah lapang seluas 800 ribu m2 dengan ketinggian 4 meter di atas permukaan air laut. Sebelum dibuat oleh arsitek F. Silaban dan Soedarsono, Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno sempat membuat sayembara gambar tugu monas ini yang dilakukan mulai dari tanggal 17 Februari 1955-Mei 1956. Namun tak seorang pun yang berhasil memenangkan lomba ini. Tak heran Soekarno membuat sayembara lagi yang berlangsung 10 Mei 1960-15 Oktober 1960. Lagi-lagi gambar peserta belum memuaskan Soekarno.

Akhir kisah, Soekarno akhirnya menunjuk dua arsitek (F. Silaban dan Seodarsono) membuat gambar monas. Tepat pada tahun 1961, tugu yang punya ketinggian 131,70 ini mulai dibangun. Pembangunan monas ini tepat limabelas tahun sebelum saya hidup di muka bumi ini.

ADA YANG MEMPERINDAH, ADA YANG MERUSAK TAMAN

Tulisan saya di Wikimu mengenai Green Pramuka Residences (GPR) yang dipublikasikan pada 4 April 2010 lalu, mendapat beberapa tanggapan. Ada yang pro, tidak sedikit yang kontra. Yang kontra mengatakan, saya dianggap memfitnah, karena apa yang saya tulisa tidak akurat.

Mohon maaf kalo ada yang merasa dirugikan. Tetapi saya sama sekali tidak bermaksud mendeskriditkan pihak-pihak mana pun, baik itu pihak GPR maupun Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Pertamanan dan Tata Kota. Tulisan saya pun bukan pesanan dari salah satu pihak yang membayar saya. Oh, NO! Saya semata-mata menulis apa adanya, karena saya ingin menjadikan kota saya hijau kembali. Green, sebagaimana visi GPR.


Papan tanda milik Green Pramuka Residences di lahan RTH yang sedang mereka percantik.

Dalam tulisan saya berjudul Demi Akses Tega Memotong RTH, saya menulis tentang sebuah jalan yang dibuat untuk kepentingan marketing maupun developer GPR yang menggunakan lahan RTH. Sebuah tanggapan mengatakan pihak GPR sudah berkordinasi dengan Pemda dan lahan yang “dipotong” buat jalan tersebut akan diperbagus lagi.

Ketika menggowes sepeda di Minggu pagi yang cerah ini, saya menyempatkan diri melihat RTH yang dahulu merupakan tempat para penjual rotan dan keramik yang berada di pojok jalan Rawasari, Jakarta Pusat. Alhamdulillah, pihak GPR benar-benar merealisasikan itikad baiknya buat mengganti lahan RTH yang sempat “dipotong” buat jalan itu. Pagi itu tiga tukang sedang sibuk merapikan tanah baru yang kebetulan ada di areal situ. Nampak beberapa gundukan tanah yang nantinya akan diratakan dan ditanami rumput.


Taman yang rusak parah, dimana taman ini berada di depan proyek SPBU Shell yang sedang digarap.

Sementara pihak GPR berusaha mempercantik RTH, eh tak jauh dari tempat tersebut, sebuah taman rusak parah. Taman tersebut tepat di depan bengkel Auto Look, jalan Jenderal Ahmad Yani, Jakarta Pusat. Konon menurut orang yang tinggal dekat situ, di depan tanam yang rusak ini akan berdiri SPBU Shell. Weleh! Weleh! Apa lagi, nih!

Kalo lihat pagar proyek yang terbuat dari seng, kayaknya memang Shell. Sebab ada warna Shell, yakni kuning dan merah. Buat memastikan lagi agar lebih akurat, saya juga mendekati papan proyek. Benar, di depan taman yang rusak akan berdiri SPBU Shell, dimana di papan tersebut tercatat nama pemiliknya, yakni Ronny Wibowo. Supaya saya tidak dibilang memfitnah, silahkan lihat papan proyek.


Buat memastikan proyek di depan taman yang rusak adalah proyek SPBU Shell, saya memfoto papan proyek. Di papan tersebut ada nama pemilik SPBU Shell ini. Moga-moga bukan gara-gara mau dibanggung SPBU, taman jadi korban.

Beberapa saat saya mengamati taman yang rusak parah itu. Terus terang saya tidak habis pikir kenapa taman ini dirusak? Apa salah taman ini? Padahal tidak jauh dari taman yang rusak ini, ada taman yang indah sekali persis di depan perusahaan Bypassindo yang menjual beberapa merek mobil, suku cadang, maupun perawatan. Sambil menggowes, saya pulang dengan rasa sedih. “Satu lagi taman yang dirusak. Demi kepentingan pribadi, tega mengorbankan kepentingan umum”.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya