Sunday, September 26, 2010



Friday, September 17, 2010

GALI TERUS, PERSETAN DENGAN WARGA

Setidaknya ada tiga perusahaan milik negara, dimana salah satu proyek “utama” mereka adalah gali lubang-tutup lubang. Ketiga perusahaan tersebut kalau tidak Telkom, PLN, ya PAM. Sepertinya tak ada hari tanpa menggali lubang.

Benar, proyek tersebut dalam rangka melakukan sebuah instalasi, baik itu kabel telepon, listrik, atau pipa air. Namun, saya melihatnya mereka tidak punya visi atau berkordinasi satu sama lain, sehingga begitu sekali menggali, tiga perusahaan bisa sekaligus bisa ikut “menikmati”. Tapi dasar saya bodoh, jadi tidak tahu kalau gali lubang-tutup lubang termasuk bagian dari proyek masing-masing instansi. Kalau sekaligus bikin lubang untuk tiga perusahaan, uang proyek tidak dinikmati oleh oknum-oknum di tiga perusahaan itu dong?


Menggali tanpa pemberitahuan sebelumnya pada seluruh warga di situ. Apakah warga sebagai konsumen tak punya hak untuk menolak dengan alasan tanpa pemberitahuan?

Buat konsumen pengguna jalan, hal ini tentu sangat merugikan. Kenapa? Lubang-lubang mereka menambah kemacetan jalan. Baiklah kalau cuma sekali seumur hidup lubang digali dan kemudian setelah ditutup tidak akan digali lagi. Namun yang terjadi, lubang-lubang yang digali itu sebagian besar juga pernah digali sebelumnya. Uh, dasar memang ingin dijadikan proyek aja!

Yang menyebalkan, ketika sudah ditutup lubangnya, jalan yang tadinya bagus, menjadi tidak sesuai dengan asli. Penutupan lubang cenderung asal-asalan. Hebatnya, kita sebagai konsumen pengguna jalan sulit sekali untuk protes langsung pada si pemilik proyek. Setahu saya sampai sekarang tidak pernah terjadi perusahaan penggali lubang itu yang diadili hanya gara-gara menutup lubang jalan asal-asalan. “Nggak penting banget!” begitu pikir kita.

Terakhir di jalan dekat rumah saya, PAM tiba-tiba menggali jalan sepanjang beberapa ratus meter. Pengalian ini tanpa ada surat pemberitahuan sebelumnya dari Kelurahan kepada warga sekitar. Ibaratnya, tidak ada ba-bi-bu atau basa-basi sedikit pun dari PAM untuk menyusahkan warga, karena ada penggalian. Sungguh egois! Tapi sekali lagi, konsumen tidak dianggap oleh perusahaan negara ini. “Ah, cuekin aja! Kalau ada yang protes, biarkan saja,” begitu pikir PAM.


Mobil-mobil warga di situ tidak bisa lewat gara-gara ada galian, kecuali motor. Kita lihat apakah PAM akan menutup galian tersebut seperti sediakan alias tidak asal-asalan.

Padahal jalanan di kampung dekat rumah saya itu cukup vital. Ada banyak mobil yang hilir mudik melintas di situ. Jadi sungguh aneh jika sebuah perusahaan sekelas PAM tidak memiliki etika. Namun barangkali etika perusahaan PAM atau PLN memang begitu kali ya? Tanpa beri tahu, langsung gali lubang. Tanpa ada surat, tiba-tiba air PAM mati atau listrik byar pet.

Beruntunglah warga di kampung ini baik. Padahal bisa saja warga sekitar situ protes, karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Mereka merasa dirugikan dan PAM sangat menyusahkan. Mobil-mobil mereka terpaksa harus diungsikan dan PAM tidak merasa bertanggungjawab untuk menyediakan tempat parkir, apalagi sampai menjaga keamanan.

Apakah lubang-lubang sedalam 1,5 meter ini akan ditutup dengan baik seperti sediakala? Saya akan perlihatkan kembali pada Anda proyek gali lubang-tutup lubang ini. So, ikuti kisah selanjutnya. Sebab, proyek ini sudah berjalan hampir satu minggu ini dan sepertinya masih akan menghabiskan beberapa hari lagi.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

IKLAN MOTOR JADUL

Di akun Facebook saya, seorang teman yang kebetulan penjual poster-poster antik, mengirimkan foto poster-poster iklan jadul ini. Di bawah ini, merupakan sebagian kecil dari koleksi teman saya.

Kalo meihat foto poster-poster iklan motor jadul ini saya jadi tertawa geli. Sebab, saya jadi membayangkan dahulu kala, ketika sempat beberapa tahun membonceng salah satu motor di bawah ini dengan Bapak saya ke sekolah. Anda punya pengalaman menarik dengan motor-motor jadul ini?





Tuesday, September 14, 2010

PENYERANGAN HKBP BEKASI DAN POLITIK PENCITRAAN SBY

Menurut kuasa hukum gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi Saor Sigian, pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak memberikan solusi bagi masalah yang terjadi. Bagi pria ini, pidato SBY tak lebih dari sebuah politik pencitraan yang selama ini kerap ia lakukan.


Kuasa hukum gereja HKBP Bekasi Saor Sigian


Komentar Saor tersebut merupakan buntut kekesalan dari dirinya, yang mengatasnamakan jemaat gereja HKBP di Bekasi. Seperti kita ketahui, bahwa terjadi penyerangan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah, Mustikajaya ,Bekasi pada Minggu (12/9) pagi. Penyerang tersebut menelan korban, yakni seorang pengurus HKBP Asia Lumban Toruan (50) dan Pendeta Luspida Simanjuntak (40) yang mengalami luka.

Meski dianggap tidak memberikan solusi terhadap substansi masalah, yakni mengenai kebebasan dalam menjalankan ibadah, namun Kepolisian RI telah berhasil menetapkan sembilan tersangka penyerangan dua jemaat HKBP Bekasi.


SBY saat konfrensi pers mengenai tanggapan atas penyerangan jemaat HKBP Bekasi

Dalam sebuah wawancara, Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengatakan, pihak polisi akan terus mengembangkan penyelidikan untuk mengetahui motif terjadinya tindak kekerasan tersebut. Jika terbukti, mereka akan dikenakan pasal 351 dan pasal 352.

Kalo tidak terbukti bagaimana dong? Tidak mengakui perbuatan atau tidak ada alat bukti penyerangan atau saksi mata, misalnya?

"Harus segera diusut tuntas!" begitu kata SBY dalam pidatonya di depan sejumlah wartawan.



Benar sih kalo ada tindakan kriminal, harus segera diusut tuntas, Pak. Masalahnya kebebasan menjalankan agama gimana? Benar-benar dijamin oleh pemerintah nggak? Dijamin tidak ada lagi penyerangan?

Ya, begitulah susahnya kalo ingin dianggap baik oleh semua orang. Berusaha netral, tetapi sebenarnya tidak menentukan sikap. Bahasa kasarnya, tidak tegas, karena takut pada pelaku yang jelas-jelas melakukan. Di sinilah politik pencitraan memainkan perannya. Padahal kalo nggak main politik pencitraan, statementnya bisa jadi kayak begini...

"Mulai detik ini juga, ormas-ormas yang menyerang jemaat yang sedang beribadah, akan saya bubarkan!"

Maaf, itu pasti tidak mungkin terjadi. Jadi, ya anggap saja statement soal pembubaran ormas atau organisasi yang main hakim sendiri itu cuma dalam khayalan kita bersama saja.

Selamat tidur! Selamat bermimpi!


Jamaat HKBP Bekasi ketika sedang melakukan peribadatan.


Salah satu korban penyerangan, yakni pengurus HKBP Asia Lumban Toruan (50).


tvOne: Kapolda Metro Jaya: Penusukan Jamaat HKBP Murni Kriminal - Kabar Petang

PRES SEKARANG ITU RACUN

Barangkali saya cukup beruntung malam ini. Tak biasanya ketika mengklik remote control, menemukan channel TVRI yang sedang menyiarkan program talk show yang menurut saya cukup menarik. Dewan Pers Kita, begitu nama program yang saya maksud. Tema yang diangkat berjudul Pers Mengkritik dan Pers Dikritik.

Dalam talk show yang dipandu oleh anggota Dewan Pers Wina Armada, SH itu, pers Indonesia diserang habis-habisan. Salah seorang penyerangnya adalah Prof. Tjipta Lesmana yang menjadi salah seorang narasumber dalam talk show ini. Beliau selama ini dikenal sebagai pengamat masalah media massa.



“Pers Indonesia saat ini seperti racun,” komentar Prof. Tjipta yang kini dikenal sebagai Guru Besar Universitas Pelita Harapan. “Sangat terihat sekali media yang berseberangan dengan pemerintahan SBY dengan artikel-artikel yang selalu memojokkan hampir setiap hari. Sebaliknya juga sangat jelas terbaca media yang menjadi penjilat pemerintah.”

Inti komentar Prof. Tjipta, sangat sedikit sekali media yang menempatkan berita secara proporsional. Artinya, tidak berpihak pada pemerintah, juga tidak selalu menyerang. Sehingga jika memang ada berita yang baik, ya harus ditulis dengan objektif. Sebaliknya jika pemerintah mengalami kesalahan, ya jangan ditutup-tutupi.



Yang terjadi sekarang, karena medianya oposisi pemerintah, meski ada kebijakan yang baik untuk warga masyarakat, tetap saja disorot dengan kacamata negatif. Bahkan kalau perlu tidak ditulis atau kalau pun ditulis, artikelnya kecil. Namun begitu ada kesalahan kecil, media oposisi ini bisa membuat headline.

“Yang menyedihkan sekali, banyak wartawan yang pengetahuannya kurang. Kalau bahasa Betawinya cetek,” tambah Prof. Tjipta.

Agus Sudibyo yang malam itu menjadi narasumber dari Dewan Pers mengakui masih adanya keberpihakan media pada institusi atau seseorang. Ia juga menyetujui dengan pendapat Prof. Tjipta tentang perlunya meng-upgrade pengetahuan para jurnalis agar jangan dianggap cetek.

Selama menonton talk show itu, saya bisa mengerti, bahwa kritikan itu sebenarnya ditujukan pada Dewan Pers sendiri. Bahwa selama ini Dewan Pers dianggap sejumlah pengamat sebagai institusi yang memihak pada pemerintahan.

Saya pernah menulis mengenai hal ini dan hasil tulisan saya berdasarkan e-mail dari Ezki Tri Rezeki Widianti Suyanto (Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Pusat), anggota dan pengurus KPI adalah mantan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Tulisan Ezki saat Dewan Pers mempermasalahkan kebebasan pers pada KPI. Ternyata KPI justru meng-kick balik Dewan Pers. Bahwa menerut mereka, ketika di zaman Orba yang mematikan kebebasan pers, PWI malah melempem. Justru AJI berteriak keras untuk kebebasan pers.


Tampak Agus Sudibyo (kiri) dan Wina Armada (kanan). Keduanya dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Ketika Soeharto berkuasa, Item, Taufik, dan Danang (para anggota AJI) sempat dipenjara. Mereka dipenjara, karena membela kebebasan pers. Tulis Ezki lagi, banyak anggota AJI di masa Orba harus hidup bersembunyi dan berpindah-pindah. Harap maklum, mereka dikejar-kejar oleh penguasa Orba.

Menurut Ezki lagi, justru PWI mengamini Tempo, Detik, dan Editor dibreidel. Bahkan PWI mengeluarkan fatwa bagi media untuk tidak menerima wartawan jika diketahui menjadi anggota AJI (silahkan klik http://id.shvoong.com/social-sciences/1646426-kemerdekaan-pers-dalam-ancaman-bahaya/ dan
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/03/18/0001.html dan
http://metro.vivanews.com/news/read/147463-aji_serukan_jurnalis_turun_ke_jalan).

Jadi, saya setuju sekali dengan pendapat Prof. Tjipta yang menyamakan pers Indonesia ini sekarang racun. Sungguh sulit memilih media yang benar-benar objektif. Tidak selalu mengkritisi pemerintah, juga tidak menjadi media penjilat. Namun porsinya harus seimbang dan objektif.

Saturday, September 11, 2010

Memberi Lebih Baik Daripada Meminta



Meski sudah ada undang-undang yang melarang pemberian sumbangan kepada para pengemis di jalan raya, eksistensi pengemis tetap saja ada. Inilah realita yang terjadi di Indonesia. Mengemis bukan sekadar soal kemiskinan lagi, tetapi soal atittude si pengemis maupun si pemberi.



Pengemis merasa, mendapatkan uang yang paling mudah, ya dengan cara meminta-minta. Padahal masalah yang mereka hadapi bukan soal nggak mampu buat mencari uang, sehingga menyebabkan mereka miskin. Tetapi lebih karena mereka ingin instan mendapatkan uang atau cara cepat.

Setelah mendapatkan pengalaman mengemis, yakni dengan mendapatkan uang secara instan, mereka jadi malas lagi bekerja. Yaiyalah! Cuma dengan menadahkan tangan, wajah pura-pura dibuat susah, baju dibuat lusuh atau compang-camping, kita bisa meraih sehari at least Rp 30 ribu. Nggak heran kalo pengemis ada di mana-mana di kota metropolitan ini.



Padahal saya banyak menjumpai orang-orang miskin yang bekerja keras buat mendapatkan uang tanpa harus mengemis. Kalo pengemis beralasan, kan harus pake modal? Para pekerja miskin yang saya ceritakan ini nggak membutuhkan modal, kok! Mereka sekadar punya niat bekerja. Eh, meski sudah tahu nggak butuh modal, tetap saja kita menemui orang-orang di jalan-jalan raya, dimana mereka yang sesungguhnya masih mampu buat bekerja, dengan enak duduk-duduk di pingir jalan atau mengandalkan cacat tubuhnya, mengandalkan orang yang berbaik hati pada mereka.

Selain dari kemalasan dan ingin mendapatkan uang secara instan, faktor lain yang menjadikan pengemis sulit diberantas, karena ada mafianya. Pengemis sudah menjadi industri yang menarik buat segelintir oknum orang yang memanfaatkan orang-orang miskin yang malas buat mengemis di kota metropolitan. Gokil abis!

Soal mengemis ini, Majelis Ulama Indonesia Sumenep sudah mengeluarkan fatwa haram bagi mereka yang mengemis. Langkah MUI Sumenep ini pun mendapatkan dukungan dari MUI Pusat. Sementara soal mereka yang memberikan shadaqoh ke para pengemis, MUI mengimbau kepada kaum Muslim untuk menyampaikan infak, zakat dan shadaqoh melalui lembaga atau saluran yang sudah disediakan secara Islam.

Simak hadits berikut ini:

Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna.”(HR Tarmidzi).

Hadist tersebut menjelaskan, bahwa para pengemis yang sebetulnya masih produktif, masih sangup bekerja diharamkan mengemis. Apalagi kalo tujuan mengemis adalah memperkaya diri sebagaimana yang diungkapkan di hadist Tarmidzi berikut ini:

Siapa yg meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat dan makan batu dari neraka jahanam. Oleh karena itu, saa yg mau silakan minta sedikit dan siapa yg mau silakan minta sebanyak-banyaknya.”(HR Tarmidzi)

Meski jelas-jelas banyak pengemis di perempatan jalan, namun ada fenomena yang sebenarnya nggak jauh beda dengan aktivitas mengemis, yakni meminta sumbangan masjid di jalan raya. Bermodalkan jaring ikan, para peminta sumbangan berdiri di pinggir-pinggir jalan. Ada suara orang membacakan ayat suci Al-Qur'an yang diperdengarkan via speaker. Buat saya, ini memalukan!

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy r.a. bahwa beberapa orang dari kaum Anshar meminta sesuatu kepada Rasulullah SAW. kemudian beliau memberi mereka, kemudian mereka meminta lagi kepada Rasulullah SAW., Kemudian beiau memberi mereka lagi, kemudian mereka meminta lagi kepada Rasulullah SAW. kemudian beliau memberi mereka lagi, sehingga habislah apa yang beliau miliki, kemudian beliau bersabda: “Jika aku masih memiliki sesuatu tentu aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Siapa yang menghindari dari minta-minta, Allah akan memenuhi kebutuhannya, siapa yang merasa cukup dengan pemberian Allah, Allah-lah yang akan mencukupinya, siapa yang berupaya untuk bersabar, Allah akan membuatnya bersabar, dan tidak ada anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari)”

Bukan cuma berdiri di pinggir jalan, bahkan para peminta sumbangan yang katanya berasal dari masjid itu membawa kotak amal ke atas bus atau kendaraan umum lain. Di depan kotak terdapat tulisan mengenai maksud dan tujuan masjid yang diwakili oleh peminta sumbangan masjid tersebut. Ada yang berceramah terlebih dahulu sebelum berjalan melewati para penumpang bus sambil membawa kotak sumbangan. Ada pula tanpa ceramah, langsung menjulurkan kotak sumbangan ke para penumpang bus. Nggak jauh beda dengan pengemis di jalan bukan? Paling-paling yang beda, pengemis di jalan memakai pakaian compang-camping, sedang pengemis masjid memakai peci.

Demi Allah yang hidupku berada dalam genggamanNya! Seseorang yang mengambil seutas tali kemudian mencari kayu aker, lalu kayu tersebut diangkutnya diatas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain yang mungkin dia akan diberi atau ditolak.” (HR. Al-Bukhari).



Seharusnya kalo nggak punya dan buat bikin masjid, ya nggak usah bangun masjid, toh masjid udah banyak. Yg terpenting adalah memakmurkan masjid-masjid yang sudah ada, bukan membuat masjid baru. Aktivitas meminta sumbangan kayak begini bikin malu umat Islam.

Buat saya, seharusnya masjid nggak perlu melakukan aktivitas yang mirip kayak pengemis. Kalo nggak punya uang buat membangun masjid, ya nggak usah bangun masjid. Toh, masjid sudah banyak berdiri, ya nggak? Yang dibutuhkan adalah memakmurkan majid-masjid yang sudah ada. Berdoa dan berusaha agar bisa dapat uang dan membangun masjid. Berusaha di sini bukan dengan cara meminta-minta seperti pengemis. Kalo aktivitas tersebut masih dilakukan oleh panitia pembangunan masjid, sungguh mencoreng Islam. Orang kafir pasti akan menyebut orang Islam sebagai agama yang melegalkan pengemis, dan itu melanggar fatwa MUI yang mengharamkan menjadi pengemis. Bukankah lebih baik memberi daripada meminta?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sunday, September 5, 2010

TIDAK IKHLAS MENYUMBANG

Belum juga melangkah masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Ketua RT di rumah saya “menodong” saya dengan selembar surat dari Kecamatan Cempaka Putih. Inti surat itu adalah ajakan dari pihak Kelurahan untuk mensukseskan Gerakan Amal Sosial Ramadhan (GASR) yang diamanatkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 4 Tahun 2010 melalui Ketua RT dan RW masing-masing.

GASR itu bertujuan menampung uang zakat, infaq, maupun shadaqah warga DKI Jakarta. Uang itu akan disetorkan ke Kasi Kesra Kelurahan Cempaka Putih Barat dan akan disalurkan kepada Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Bazis) Jakarta.

“Ya, siapa tahu Bapak mau menyumbang,” ujar Ketua RT di rumah saya.

Bertahun-tahun hidup di Jakarta, baru kali ini saya “ditodong” oleh Bazis. Mending yang menodong adalah pegawai Bazis-nya, tetapi langsung Ketua RT saya. Wow, rupanya inilah cara “baru” bagaimana Bazis meraih sumbangan. Bukan saya pelit, tetapi khusus konteks cara Bazis tahun ini saya jadi antipati. Bahkan istri saya pun berpikiran sama dengan saya.

“Naggak usah dikasih lah,” ujar istri saya. “Kalo kamu mau kasih duit, ya kasih aja sendiri.”


Surat edaran dari Kelurahan.

Mohon maaf, bukan bermaksud ria. Tetapi soal memberikan infaq, shodaqah, apalagi zakat, selalu kami lakukan. Buat kami dan Anda tentunya, sumbangan tersebut adalah wajib hukumnya. Namun kami selalu menggunakan lembaga zakat yang profesional. Saat ini lembaga profesional yang masih kami percaya adalah Dompet Dhuafa (DD).

Saya bukanlah pegawai DD. Tak diberikan uang untuk mempromosikan lembaga ini untuk menulis kisah saya ini. Namun, secara objektif saya menilai DD sangat profesional. Mereka tidak meminta sumbangan dengan cara “menodong” sebagaimana Bazis lakukan tahun 2010 ini. DD memiliki tempat-tempat dimana mereka yang ingin beramal bisa langsung datang, atau melalui transfer ke rekening yang tersedia, bahkan ada karyawan DD yang khusus menjemput zakat.

Itu tadi soal bagaimana cara DD mendapatkan uang dari mereka yang ingin berzakat. Bagaimana soal akuntabilitas? Selama ini, saya dan istri merasa puas dengan laporan-laporan yang diberkan oleh DD tentang penyaluran dana yang sudah dihimpun. Uang masuk dan uang keluar sangat jelas. Pengelolaan dana dan bentuk aktivitas yang disumbang oleh DD pun sangat jelas dan profesional.

Laporan keuangan DD selalu diberikan pada para penyumbang, termasuk kepada kami, dalam bentuk buletin. Terakhir saya mendapat buletin, dimana di situ menginformasikan pengelolaan dana maupun alokasi yang sudah dilakukan DD dalam bentuk program. Ada program pelayanan kesehatan cuma-cuma, ada pula program pengentasan pengangguran. Angka yang dierima dan jumlah penerima manfaat dari dana yang diterima ditulis dengan detail.

Program Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) misalnya. Dana yang sudah tersalurkan periode November 2001 sampai Juli 2010 senilai Rp 34.915.176.371 sudah dimanfaatkan oleh 14.521 kepala keluarga (KK) atau 72.635 jiwa, dimana tersebar dari Jakarta sampai ke Papua. Begitu pula laporan program pengentasan penganguran. Dana yang sudah tersalurkan Rp 2.444.199.907 sudah dirasakan manfaatnya oleh 1.724 orang.

Akuntabilitas inilah yang sulit kami percayai pada lembaga yang dikelola oleh pemerintah. Mohon maaf, kami memang sangat alergi dengan pemerintah, lantaran belum bisa dipercaya. Harap maklum, bukan rahasia lagi, semua hal bisa dikorupsi atau dimanipulasi ketika ada dana-dana di pemerintah. Tolong Anda sebutkan, Departemen mana yang bebas korupsi? Even Departemen Agama maupun Departemen Sosial pun tidak lepas dari indikasi korupsi. Sejak ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja, Departemen-Departeman pemerintah mulai hati-hati. Namun itu tetap tidak menjamin korupsi hilang.

Itulah yang membuat saya antipati, termasuk pada Bazis ini. Jangan-jangan memang mayoritas warga DKI Jakarta memang juga antipati seperti saya, sehingga tidak mau menyumbang pada Bazis yang notabene merupakan bagian dari pemerintah. Banyak orang yang lebih suka menyumbang pada lembaga swasta yang jauh lebih profesional dan memiliki akuntabilitas yang sangat baik.


Kartu sumbangan Bazis yang diberikan per RT. Mereka yang menyumbang, silahkan mencatat. Karena saya tidak ikhlas, saya tidak mencatat.

Saya berpikir, gara-gara tidak banyak warga DKI Jakarta yang menyumbang ke Bazis, maka lembaga ini terpaksa melakukan “tekanan” pada warga untuk menyumbang. Caranya? Lewat surat edaran di tiap Kelurahan, dimana orang yang melaksanakan tugas menghimpun sumbangan adalah Ketua RT dan RW. Dengan begitu, Bazis bisa berharap mendapatkan banyak dana tanpa harus “berkeringat”. Bayangkan kalau dalam satu RW terdapat 10 RT, yang masing-masing terdapat 10 KK. Jika rata-rata tiap KK menyumbang Rp 50 ribu, maka dana yang terkumpul per RW sebanyak Rp 5 juta. Sekarang tinggal dikalikan berapa jumlah RW yang ada di seluruh DKI Jakarta ini. Luar biasa bukan?

“Ini buat Bapak saja, nama saya tidak usah ditulis di buku itu,” ujar saya pada Ketua RT sambil menyerahkan lembaran berwarna hijau.

“Lho, kok tidak nulis?” tanya Ketua RT bingung.

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Uangnya untuk Bapak aja,” tegas saya lagi.

Dalam hati, saya memang tidak ikhlas menyumbang ke Bazis. Buat apa saya memaksakan diri kalau saya antipati pada lembaga ini? Percuma kan? Amal tidak dapat, yang ada malah dosa. Oleh karena itu, saya lebih suka memberi ke Ketua RT saja. Ya, hitung-hitung THR buat dia.

Saturday, September 4, 2010

GIGI DI PLASTIK BELANJAAN CARREFOUR

Ketika mendengar penutupan Aquarius, saya sebenarnya sudah tidak terkejut lagi. Saya sudah menduga, perusahaan major label itu tidak akan lama akan bangkrut dan menutup aktivitas usahanya. Padahal perusahaan ini sudah memulai usahanya sejak tahun 60-an. Kenapa begitu? Sebab, sejumlah penyanyi maupun band rasanya tidak butuh lagi major lebel seperti Aquarius.

Beberapa tahun belakangan ini, musisi lebih suka membuat rekaman sendiri. Harap maklum, teknologi berkembang. Untuk merekam lagu –entah itu take vokal atau musik-, tidak perlu lagi ke studio-studio besar, karena sekarang ini banyak tumbuh studio rekaman “kecil” dengan kualitas yang luar biasa. Biasanya setelah merekam, barulah musisi bekerjasama dengan major lebel. Istilahnya titip edar.

Titip edar pun terkadang meresahkan para musisi. Kenapa? Major label seringkali dianggap curang. Ada permainan kotor yang membuat musisi berang alias marah besar. Pertama soal kaset atau CD bajakan. Yang kedua soal akuntabilitas dari major lebel itu soal peredaran kaset dan CD-nya tidak transparan.


Plastik belanjaan Carrefour bergambar GIGI.

Sudah banyak gosip beredar, kaset dan CD bajakan beredar dilakukan oleh oknum orang dalam. Yaiyalah, masa kaset dan CD belum beredar di pasaran , tetapi bajakannya sudah ada di Glodok? Sebagai musisi tentu saja hal tersebut membuat kesal. Kekayaan intelektual mereka dibajak, sehingga mereka tidak ada apa-apa.

Seperti pepatah, sudah jatuh tetimpa tangga pula. Sudah dibajak, major lebel pun tidak transparan mengungkapkan jumlah peredaran kaset dan CD. Kenapa lebel tidak transparan? Sebab, itu menyangkut royalti dari musisi tersebut. Logikanya semakin banyak kaset dan CD terjual, semakin besar royalti musisi dapatkan. Namun, karena ketidaktransparan itulah membuat musisi jadi tidak tahu dan tidak mendapatkan royalti sesuai harapan. Nah, jelas pepatah tadi persis kan? Sudah dibajak, tidak banyak mendapat royalti pula.

Pengalaman itulah yang membuat musisi kemudian kapok bekerjasama dengan major lebel. Mereka lebih suka melakukan segala sesuatu secara independen, mulai dari hulu sampai hilir alias dari rekaman sampai melakukan peredaran. Namun ada juga yang bekerjasama dengan perusahaan non-major lebel. Intinya, cara-cara baru dan kreatif dilakukan musisi agar tidak lagi berhubungan dengan major lebel.

Kegundahan musisi ternyata ditangkap oleh pemilik Kentucy Fried Chicken (KFC) di Indonesia. Melalui jaringan franchise KFC yang jumlahnya sudah ratusan tersebut, dimulailah “revolusi” pendistribusian kaset maupun CD para musisi Indonesia. Jadi, kalau Anda pernah ke KFC dalam dua sampai tiga tahun ini, setiap kali selesai memesan paket ayam plus minuman, Anda pasti akan ditawari pembelian CD salah satu band.

“Mau CD band ini pak? Bapak tinggal tambah sedikit uang lagi, kok,” begitu tawar kasir KFC.

Rupanya cara pendistribusian model KFC efektif. Meski awalnya dulu saya merasa aneh, “Kok, di restoran ayam jadi jualan kaset sih?” Tetapi belakangan saya mengerti, cara KFC cukup “revolusioner”. Ia tahu, jaringan KFC banyak. Ia pun tahu pangsa pasar CD adalah mereka yang menyantap paha atau dada ayam goreng KFC. So why not? Saking larisnya penjualan CD di outlet ini, KFC kemudian membuat anak perusahaan di bawah payung Music Factory.

Agaknya cara KFC akan banyak ditiru oleh pemilik franchise lain. Mereka –para pemilik jaringan waralaba-, akan memanfaatkan jaringan untuk mendistribusikan CD atau kaset para musisi. Ini terbukti, kemarin ketika saya belanja di Carrefour, ada gambar band GIGI di tas plastik Carrefour itu.


Poster GIGI di ujung elevator Carrefour. Dimana-mana ada GIGI.

Awalnya saya pikir Armand and the gang itu cuma jadi model buat katalog Carrefour. Ternyata katalog Carrefour sudah diisi oleh tokoh-tokoh animasi asal negara yang sedang kita benci –Malaysia-, yakni Upin dan Ipin. Rupanya Carrefour menjadi distributor eksklusif untuk album kompilasi band GIGI berjudul Amnesia ini. Jadi jangan heran, di beberapa tempat di Carrefour akan dipajang poster-poster GIGI, dimana bertuliskan harga CD Rp 30 ribu dan Rp 10 ribu untuk donasi. Lalu ada rak khusus CD original GIGI, spanduk, sampai ke keranjang plastik. Selama berbelanja pun Anda akan mendengar suara Armand Maulana, sayatan gitar Dewa Budjana, serta musisi lain berada dalam management GIGI, yaitu Tohpati featuring Iis Dahlia, Omelette, maupun Dewi Gita.

Carrefour tentu masih “uji coba” dalam mendistribusikan band. Meski outlet Carrefour belum sebanyak KFC, tetapi Tetapi saya yakin, pemiliknya tahu bahwa kekuatan outlet Carrefour memungkinkan untuk dicoba. Jika berhasil, bukan tidak mungkin perusahaan yang memiliki cukup outlet akan meniru. Yang pasti outlet-outlet itu bukanlah major lebel, tetapi perusahaan yang sama sekali tidak bergerak dalam bidang musik. Boleh jadi nantinya CD akan didistribusikan lewat Es Teler 77, Alfa Mart, McDonnald, apotik Century, bahkan tempat releksasi model Fortune.

Berikut ini beberapa lagu GIGI, My Facebook, 11 Januari, dan Sang Pemimpi. Selamat menikmati...