Sunday, September 5, 2010

TIDAK IKHLAS MENYUMBANG

Belum juga melangkah masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Ketua RT di rumah saya “menodong” saya dengan selembar surat dari Kecamatan Cempaka Putih. Inti surat itu adalah ajakan dari pihak Kelurahan untuk mensukseskan Gerakan Amal Sosial Ramadhan (GASR) yang diamanatkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 4 Tahun 2010 melalui Ketua RT dan RW masing-masing.

GASR itu bertujuan menampung uang zakat, infaq, maupun shadaqah warga DKI Jakarta. Uang itu akan disetorkan ke Kasi Kesra Kelurahan Cempaka Putih Barat dan akan disalurkan kepada Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Bazis) Jakarta.

“Ya, siapa tahu Bapak mau menyumbang,” ujar Ketua RT di rumah saya.

Bertahun-tahun hidup di Jakarta, baru kali ini saya “ditodong” oleh Bazis. Mending yang menodong adalah pegawai Bazis-nya, tetapi langsung Ketua RT saya. Wow, rupanya inilah cara “baru” bagaimana Bazis meraih sumbangan. Bukan saya pelit, tetapi khusus konteks cara Bazis tahun ini saya jadi antipati. Bahkan istri saya pun berpikiran sama dengan saya.

“Naggak usah dikasih lah,” ujar istri saya. “Kalo kamu mau kasih duit, ya kasih aja sendiri.”


Surat edaran dari Kelurahan.

Mohon maaf, bukan bermaksud ria. Tetapi soal memberikan infaq, shodaqah, apalagi zakat, selalu kami lakukan. Buat kami dan Anda tentunya, sumbangan tersebut adalah wajib hukumnya. Namun kami selalu menggunakan lembaga zakat yang profesional. Saat ini lembaga profesional yang masih kami percaya adalah Dompet Dhuafa (DD).

Saya bukanlah pegawai DD. Tak diberikan uang untuk mempromosikan lembaga ini untuk menulis kisah saya ini. Namun, secara objektif saya menilai DD sangat profesional. Mereka tidak meminta sumbangan dengan cara “menodong” sebagaimana Bazis lakukan tahun 2010 ini. DD memiliki tempat-tempat dimana mereka yang ingin beramal bisa langsung datang, atau melalui transfer ke rekening yang tersedia, bahkan ada karyawan DD yang khusus menjemput zakat.

Itu tadi soal bagaimana cara DD mendapatkan uang dari mereka yang ingin berzakat. Bagaimana soal akuntabilitas? Selama ini, saya dan istri merasa puas dengan laporan-laporan yang diberkan oleh DD tentang penyaluran dana yang sudah dihimpun. Uang masuk dan uang keluar sangat jelas. Pengelolaan dana dan bentuk aktivitas yang disumbang oleh DD pun sangat jelas dan profesional.

Laporan keuangan DD selalu diberikan pada para penyumbang, termasuk kepada kami, dalam bentuk buletin. Terakhir saya mendapat buletin, dimana di situ menginformasikan pengelolaan dana maupun alokasi yang sudah dilakukan DD dalam bentuk program. Ada program pelayanan kesehatan cuma-cuma, ada pula program pengentasan pengangguran. Angka yang dierima dan jumlah penerima manfaat dari dana yang diterima ditulis dengan detail.

Program Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) misalnya. Dana yang sudah tersalurkan periode November 2001 sampai Juli 2010 senilai Rp 34.915.176.371 sudah dimanfaatkan oleh 14.521 kepala keluarga (KK) atau 72.635 jiwa, dimana tersebar dari Jakarta sampai ke Papua. Begitu pula laporan program pengentasan penganguran. Dana yang sudah tersalurkan Rp 2.444.199.907 sudah dirasakan manfaatnya oleh 1.724 orang.

Akuntabilitas inilah yang sulit kami percayai pada lembaga yang dikelola oleh pemerintah. Mohon maaf, kami memang sangat alergi dengan pemerintah, lantaran belum bisa dipercaya. Harap maklum, bukan rahasia lagi, semua hal bisa dikorupsi atau dimanipulasi ketika ada dana-dana di pemerintah. Tolong Anda sebutkan, Departemen mana yang bebas korupsi? Even Departemen Agama maupun Departemen Sosial pun tidak lepas dari indikasi korupsi. Sejak ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja, Departemen-Departeman pemerintah mulai hati-hati. Namun itu tetap tidak menjamin korupsi hilang.

Itulah yang membuat saya antipati, termasuk pada Bazis ini. Jangan-jangan memang mayoritas warga DKI Jakarta memang juga antipati seperti saya, sehingga tidak mau menyumbang pada Bazis yang notabene merupakan bagian dari pemerintah. Banyak orang yang lebih suka menyumbang pada lembaga swasta yang jauh lebih profesional dan memiliki akuntabilitas yang sangat baik.


Kartu sumbangan Bazis yang diberikan per RT. Mereka yang menyumbang, silahkan mencatat. Karena saya tidak ikhlas, saya tidak mencatat.

Saya berpikir, gara-gara tidak banyak warga DKI Jakarta yang menyumbang ke Bazis, maka lembaga ini terpaksa melakukan “tekanan” pada warga untuk menyumbang. Caranya? Lewat surat edaran di tiap Kelurahan, dimana orang yang melaksanakan tugas menghimpun sumbangan adalah Ketua RT dan RW. Dengan begitu, Bazis bisa berharap mendapatkan banyak dana tanpa harus “berkeringat”. Bayangkan kalau dalam satu RW terdapat 10 RT, yang masing-masing terdapat 10 KK. Jika rata-rata tiap KK menyumbang Rp 50 ribu, maka dana yang terkumpul per RW sebanyak Rp 5 juta. Sekarang tinggal dikalikan berapa jumlah RW yang ada di seluruh DKI Jakarta ini. Luar biasa bukan?

“Ini buat Bapak saja, nama saya tidak usah ditulis di buku itu,” ujar saya pada Ketua RT sambil menyerahkan lembaran berwarna hijau.

“Lho, kok tidak nulis?” tanya Ketua RT bingung.

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Uangnya untuk Bapak aja,” tegas saya lagi.

Dalam hati, saya memang tidak ikhlas menyumbang ke Bazis. Buat apa saya memaksakan diri kalau saya antipati pada lembaga ini? Percuma kan? Amal tidak dapat, yang ada malah dosa. Oleh karena itu, saya lebih suka memberi ke Ketua RT saja. Ya, hitung-hitung THR buat dia.

No comments: