Saturday, September 4, 2010

GIGI DI PLASTIK BELANJAAN CARREFOUR

Ketika mendengar penutupan Aquarius, saya sebenarnya sudah tidak terkejut lagi. Saya sudah menduga, perusahaan major label itu tidak akan lama akan bangkrut dan menutup aktivitas usahanya. Padahal perusahaan ini sudah memulai usahanya sejak tahun 60-an. Kenapa begitu? Sebab, sejumlah penyanyi maupun band rasanya tidak butuh lagi major lebel seperti Aquarius.

Beberapa tahun belakangan ini, musisi lebih suka membuat rekaman sendiri. Harap maklum, teknologi berkembang. Untuk merekam lagu –entah itu take vokal atau musik-, tidak perlu lagi ke studio-studio besar, karena sekarang ini banyak tumbuh studio rekaman “kecil” dengan kualitas yang luar biasa. Biasanya setelah merekam, barulah musisi bekerjasama dengan major lebel. Istilahnya titip edar.

Titip edar pun terkadang meresahkan para musisi. Kenapa? Major label seringkali dianggap curang. Ada permainan kotor yang membuat musisi berang alias marah besar. Pertama soal kaset atau CD bajakan. Yang kedua soal akuntabilitas dari major lebel itu soal peredaran kaset dan CD-nya tidak transparan.


Plastik belanjaan Carrefour bergambar GIGI.

Sudah banyak gosip beredar, kaset dan CD bajakan beredar dilakukan oleh oknum orang dalam. Yaiyalah, masa kaset dan CD belum beredar di pasaran , tetapi bajakannya sudah ada di Glodok? Sebagai musisi tentu saja hal tersebut membuat kesal. Kekayaan intelektual mereka dibajak, sehingga mereka tidak ada apa-apa.

Seperti pepatah, sudah jatuh tetimpa tangga pula. Sudah dibajak, major lebel pun tidak transparan mengungkapkan jumlah peredaran kaset dan CD. Kenapa lebel tidak transparan? Sebab, itu menyangkut royalti dari musisi tersebut. Logikanya semakin banyak kaset dan CD terjual, semakin besar royalti musisi dapatkan. Namun, karena ketidaktransparan itulah membuat musisi jadi tidak tahu dan tidak mendapatkan royalti sesuai harapan. Nah, jelas pepatah tadi persis kan? Sudah dibajak, tidak banyak mendapat royalti pula.

Pengalaman itulah yang membuat musisi kemudian kapok bekerjasama dengan major lebel. Mereka lebih suka melakukan segala sesuatu secara independen, mulai dari hulu sampai hilir alias dari rekaman sampai melakukan peredaran. Namun ada juga yang bekerjasama dengan perusahaan non-major lebel. Intinya, cara-cara baru dan kreatif dilakukan musisi agar tidak lagi berhubungan dengan major lebel.

Kegundahan musisi ternyata ditangkap oleh pemilik Kentucy Fried Chicken (KFC) di Indonesia. Melalui jaringan franchise KFC yang jumlahnya sudah ratusan tersebut, dimulailah “revolusi” pendistribusian kaset maupun CD para musisi Indonesia. Jadi, kalau Anda pernah ke KFC dalam dua sampai tiga tahun ini, setiap kali selesai memesan paket ayam plus minuman, Anda pasti akan ditawari pembelian CD salah satu band.

“Mau CD band ini pak? Bapak tinggal tambah sedikit uang lagi, kok,” begitu tawar kasir KFC.

Rupanya cara pendistribusian model KFC efektif. Meski awalnya dulu saya merasa aneh, “Kok, di restoran ayam jadi jualan kaset sih?” Tetapi belakangan saya mengerti, cara KFC cukup “revolusioner”. Ia tahu, jaringan KFC banyak. Ia pun tahu pangsa pasar CD adalah mereka yang menyantap paha atau dada ayam goreng KFC. So why not? Saking larisnya penjualan CD di outlet ini, KFC kemudian membuat anak perusahaan di bawah payung Music Factory.

Agaknya cara KFC akan banyak ditiru oleh pemilik franchise lain. Mereka –para pemilik jaringan waralaba-, akan memanfaatkan jaringan untuk mendistribusikan CD atau kaset para musisi. Ini terbukti, kemarin ketika saya belanja di Carrefour, ada gambar band GIGI di tas plastik Carrefour itu.


Poster GIGI di ujung elevator Carrefour. Dimana-mana ada GIGI.

Awalnya saya pikir Armand and the gang itu cuma jadi model buat katalog Carrefour. Ternyata katalog Carrefour sudah diisi oleh tokoh-tokoh animasi asal negara yang sedang kita benci –Malaysia-, yakni Upin dan Ipin. Rupanya Carrefour menjadi distributor eksklusif untuk album kompilasi band GIGI berjudul Amnesia ini. Jadi jangan heran, di beberapa tempat di Carrefour akan dipajang poster-poster GIGI, dimana bertuliskan harga CD Rp 30 ribu dan Rp 10 ribu untuk donasi. Lalu ada rak khusus CD original GIGI, spanduk, sampai ke keranjang plastik. Selama berbelanja pun Anda akan mendengar suara Armand Maulana, sayatan gitar Dewa Budjana, serta musisi lain berada dalam management GIGI, yaitu Tohpati featuring Iis Dahlia, Omelette, maupun Dewi Gita.

Carrefour tentu masih “uji coba” dalam mendistribusikan band. Meski outlet Carrefour belum sebanyak KFC, tetapi Tetapi saya yakin, pemiliknya tahu bahwa kekuatan outlet Carrefour memungkinkan untuk dicoba. Jika berhasil, bukan tidak mungkin perusahaan yang memiliki cukup outlet akan meniru. Yang pasti outlet-outlet itu bukanlah major lebel, tetapi perusahaan yang sama sekali tidak bergerak dalam bidang musik. Boleh jadi nantinya CD akan didistribusikan lewat Es Teler 77, Alfa Mart, McDonnald, apotik Century, bahkan tempat releksasi model Fortune.

Berikut ini beberapa lagu GIGI, My Facebook, 11 Januari, dan Sang Pemimpi. Selamat menikmati...





No comments: