Sunday, April 28, 2013

Ngintip Kantor Nutrifood. Serasa Nggak Kayak di Kawasan Industri



Seharusnya konsep ruang kerja di kantor, didesain seperti di Nutrifood. Kreatif, nyaman, dan ada pesan-pesan tanpa harus menggurui. Memang, beberapa kali saya keluar masuk kantor, ada banyak ruang kerja sekeren Nutrifood ini. Kebetulan saja saya coba mem-posting kantor Nutrifood yang beberapa waktu lalu sempat saya hampiri. Sungguh inspiratif.

Selamat menikmati sebagian ruang kantor Nutrifood. Anda nggak akan percaya, kantor ini berada di tengah-tengah kawasan industry Pulo Gadung, Jakarta Timur yang penuh dengan panas dan penuh polusi.

Bagaimana kantor Anda?


Monday, March 4, 2013

Harga Jual ANTV Rp 5 Triliun Asal Semua SDM-nya di-PHK

Berita tersebut nyaring terdengar di kalangan petinggi televisi di tanah air. ANTV akan dijual oleh Group Bakrie dan beberapa pengusaha, terutama pengusaha yang ingin jadi Raja Media siap mengambil ANTV. Harap maklum, saat ini Group Bakrie lagi butuh duit, kabarnya pun mereka sudah ingin meninggalkan bisnis media. Tentang angka Rp 5 triliun tersebut adalah harga yang ditawar oleh bos PT Elang Mahkota Komputer (Emkom) yang tak lain pemilik SCTV, Fofo Sariaatmadja. Mungkin buat Group Bakrie tidak masalah, tetapi syarat lain yang diajukan Fofo cukup berat, yakni memecat semua SDM yang ada di ANTV.

“Fofo mau beli ANTV asal ANTV kosong alias nggak beli paket dengan SDM-nya,” ujar rekan saya, salah satu petinggi di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Bloggers, sebenarnya yang mau dijual bukan cuma ANTV tetapi kelompok media yang selama ini di bawah lindungan Group Bakrie. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, bahwa Viva Group, yang terdiri dariVivaNews.co.id, ANTV, dan tvOne akan dilepas (silahkan baca: http://sosok.kompasiana.com/2013/01/28/cabut-dari-nasdem-harry-tanoe-beli-antv-528752.html). Dalam tulisan saya, pembelinya adalah Harry Tanoe.Ternyata kabar lain yang beredar, pengusaha yang paling ngotot membeli Viva Group adalah Fofo.

Sekadar Bloggers tahu, Fofo adalah orang di balik kesuksesan SCTV. Sejak awal berdiri di jalan Darmo Permai, Surabaya pada 1990 dan cuma siaran terbatas di wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan), pria berusia 44 tahun ini telah mendampingi SCTV hingga berhasil membeli Indosiar dan beberapa televisi lokal lain.

Memang, pada 1990-an, saham keluarga Sariaatmadja melalui PT Abhimata Mediatama hanya 17 persen. Sebelum keluarga Sariaatmadja masuk SCTV pada 2001, pemegang saham SCTV adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan Cendana, seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, hingga Azis Mochtar. Namun, di tahun yang sama, keluarga ini menambah lagi kepemilikan saham hingga menjadi 49,62 persen.

Pada 2002, PT Abhimata meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 50 persen. Keinginan menguasai SCTV makin tak terbendung. Pada 2005, PT Abhimata menguasai SCTV dengan membeli saham milik Henry Pribadi. Setelah itu, saham PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak pengusaha Sudwikatmono, di SCM juga diakuisisi. Pada 2008, keluarga Sariaatmadja telah menguasai 78,69 persen saham SCM. Sisanya dimiliki The Northern Trust Company 7,9 persen, dan publik 13,41 persen.

Setelah memegang saham mayoritas di SCTV, pada 2004 keluarga Sariaatmadja menggandeng PT Mugi Rekso Abadi (MRA) mendirikan televisi dengan bendera PT Omni Intivisual alias O Channel. Awalnya, kepemilikan saham MRA dan keluarga Sariaatmadja masing-masing 50 persen. Namun, pada awal 2007, MRA melepas seluruh saham miliknya kepada keluarga Sariaatmadja, sehingga 100% saham O Channel dikuasai oleh Sariaatmadja. Terakhir, keluarga ini mengakuisisi Indosiar lewat transaksi tukar guling antara lahan sawit milik keluarga Sariaatmadja dengan Indosiar milik Anthony Salim.

Bloggers, strategi Fofo untuk membeli ANTV dengan syarat tersebut boleh jadi ia tak ingin terbebani oleh SDM-SDM yang ada saat ini. Ia ingin mengganti SDM ANTV dengan SDM baru, secara ANTV akan ia jadikan sebagai televisi berita sebagaimana Metro TV dan tvOne. Tentu, keinginan Fofo wajar, mengingat SDM yang ada di ANTV saat ini lebih dari 50% sudah bekerja lebih dari 10 tahun (ANTV berdiri pada 1993). Jadi, memang perlu diremajakan.

Jika Group Bakrie setuju dengan tawaran Fofo, nasib ANTV akan seperti SCTV pada paruh November 2009 lalu. Gelombang PHK atau ‘dipaksa’ mengundurkan diri sekitar 500-an karyawan terjadi di SCTV. Sementara ada pula karyawan senior yang ‘dipaksa’ menjadi karyawan kontrakan jika ingin tetap menjadi karyawan SCTV.

Bagi karyawan yang masih produktif dan memiliki jaringan pertemanan di televisi lain, tentu tidak masalah. Mereka cukup percaya diri untuk menerima pesangon jutaan rupiah dan siap bekerja lagi di stasiun televisi lain atau membuka bisnis. Namun, tentu saja banyak karyawan ANTV yang menggandalkan hidupnya dari gaji bulanan di stasiun televisi yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan ini. Jika ini terjadi, akan ada pengangguran-pengangguran baru.

Seks Bebas di Kalangan Remaja Makin Mengawatirkan

Data survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang diungkapkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarif pada Selasa (12/2) di Gedung Pengurus PBNU jalan Keramat Raya, Jakarta Pusat, sungguh miris. Betapa tidak, sebanyak 1 persen remaja perempuan dan 6 persen remaja laki-laki menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Fakta seks bebas ini diperkuat dengan data Kementrian Kesehatan, dimana 35,9% remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan bahkan 6,9% responden telah melakukan hubungan seks pranikah.

Bloggers, meski menurut Sugiri di desa tingkat seks bebasnya tidak sedahsyat di perkotaan, namun trend prilaku seks pranikah di pedesaan masih dua kali lipat dibandingan dengan di perkotaan. Artinya, dalam beberapa waktu ke depan, tingkat seks pranikah di desa tak ubahnya dengan di perkotaan.

Miris, tetapi itulah fakta yang terjadi di negara yang kita cintai ini. Sebaliknya, data-data tersebut tentu menyenangkan bagi mereka yang mendewa-dewakan kebebasan. Para aktivis kebebasan yang memang secara terencana dan sistematis telah berhasil merusak prilaku anak-anak muda Indonesia. Anak-anak muda diajak untuk mencintai kebebasan dan membenci aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt. Tagline pegiat kebebasan adalah: “menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.

Bloggers, Al-Qur’an, jilbab, aurat, syariat Islam, dan tauladan Rasulullah SAW telah diputarbalikan dan ditafsirkan semena-mena demi kepentingan kebebasan. Oleh aktivis-aktivis liberal,secara halus mereka menafsirkan dengan selogik mungkin, agar terlihat “masuk akal”. Walhasil, agama tidak boleh mengatur kehidupan dan anak-anak muda harus bebas sebebas-bebasnya.

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang melakukan seks bebas yang saya rangkum dari berbagai sumber, antara lain:

1. Iman yang lemah

Seperti yang sudah penulis paparkan, bahwa agama sudah tidak lagi menjadi peganggan hidup. Memang agama tidak menjamin, tetapi mereka yang tidak menjadi agama makin tidak terjamin memiliki iman yang kokoh. Agama ditempatkan seperti cucian kotor. Agama sekadar dipajang di KTP. Sholat sekadar sholat, tetapi maksiat jalan. Tetap menjalankan kehidupan bebas.
 
2. Orang tua

Meski hubungan komunikasi dengan orangtua baik, namun tidak menjamin seorang anak tidak melakukan seks bebas. Biasanya, hal ini disebabkan, karena orangtua menganut kebebasan pula. Penulis pernah menjumpai orangtua yang punya prinsip, “Yang penting jangan buat anak orang hamil”. Artinya, orangtua menghalalkan anaknya melakukan seks bebas, tetapi wajib hati-hati.
 
Ada pula contoh yang penulis perhatikan, orangtua membiarkan anak mereka pacaran, dimana pacaran yang dilakukan anak-anak mereka bisa membangkitkan birahi. Jadi wajar, jika aktivitas yang meningkatkan birahi anak-anak muda dibiarkan orangtua, mereka akan bertindak lebih dari sekadar peluk-pelukan, cium-ciuman, yakni making love

3. Lingkungan/teman

Sebagai manusia, tentu kita tetap memiliki tingkat pertahanan diri yang lemah. Sekuat-kuatnya kita mempertahankan diri, jika lingkungan dan orang-orang terdekat kita tidak mendukung, bukan tidak mungkin akhirnya ikut ikut arus. Tentu tidak semua, tetapi mayoritas. Contoh, seorang pecandu narkoba awalnya cuma ikut-ikutan dengan teman-temannya dan sekedar iseng, begitu pula dengan seks bebas. Sekali melakukan, akan terus ketagihan dan melakukan lagi dan lagi.
 
4. Uang

Kapitalisme seperti sekarang ini menjadikan uang sebagai Tuhan. Segala-galanya diukur dengan uang. Tak heran, tidak peduli menghilangkan kehormatan demi uang. Demi mendapatkan gedget terbaru, rela menjual diri. Demi ingin menjadi artis terkenal, rela main film horor seks atau sekadar difoto yang bisa merangsang birahi. Di sini, peran media yang membuka peluang menyebarkan kebebasan juga menjadi penting. Setiap hari penonton disajikan sinetron-sinetron yang mengumbar free seks dan dianggap wajar. Rating dan ujung-ujungnya uang.
 
***

Bloggers, sudah saatnya kita perang terhadap kebebasan. Fenomena kebebasan, terutama kehidupan sosial anak-anak muda sudah sangat mengawatirkan ini. Oleh karena itu, mulailah dari keluarga kita, anak-anak kita. Bimbing mereka untuk kembali mengenal Allah swt dan aturan-aturan yang sudah tetapkan Allah swt dalam Al-Qur’an sebagai petunjuk agar tidak sesat. 

Komisi Penyiaran Indonesia: “11 Stasiun Televisi Melanggar Aturan Adegan Seksual”

KPI banyak menemukan pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI tahun 2012 terkait pelarangan adegan seksual. Pelanggaran yang dimaksud adalah banyaknya program di berbagai televisi yang menampilkan adegan ciuman bibir (dalam film, sinetron, pemberitaan, film animasi anak, iklan, promo program, video klip, dan lain-lain). Terhadap ini, KPI sudah banyak mengeluarkan surat sanksi administratif terkait pelanggaran tersebut.”

Itulah surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bernomor 18/K/KPI/01/13 tertanggal 11 Januari 2013 lalu. Surat tersebut dikirim ke 11 stasiun televisi nasional, yakni ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, PT Cipta TPI, RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TV One, dan termasuk televisi milik pemerintah TVRI.
 
Memang sungguh ironis TVRI masuk ke dalam televisi yang melanggar Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) Standar Program Siaran (SPS) KPI. Kalau televisi swasta, terutama televisi yang menyiarkan sinetron, tentu bukan rahasia lagi banyak menampilkan adegan seksual yang memang sangat mengawatirkan. Hampir mayoritas sinetron mengumbar kebebasan seks di kalangan remaja. Pernah, penulis melihat satu scene, dimana kedua anak muda berpacaran di ruang tamu. Kedua orangtua mereka mengintip sepasang remaja itu berpacaran. Bukan marah-marah, justru mereka gembira melihat anak-anak mereka pegang-pegangan tangan, berpelukan, dan dianggap romantis.

Seluruh televisi sebenarnya sudah tahu, bahwa ada ketentuan tentang adegan seksual yang tidak boleh dilanggar, yang terdapat pada P3 SPS KPI. Itulah mengapa, dalam surat teguran tersebut, KPI Pusat kembali mengingatkan, bahwa ketentuan tentang pelarangan adegan seksual telah diatur dalam P3 dan SPS KPI, yang ada di BAB XII berikut ini:

BAB XII
PELARANGAN DAN PEMBATASAN SEKSUALITAS
Bagian Pertama
Pelarangan Adegan Seksual
Pasal 18

Program siaran yang memuat adegan seksual dilarang:
a. menayangkan ketelanjangan dan/atau penampakan alat kelamin;
b. menampilkan adegan yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
c. menayangkan kekerasan seksual;
d. menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
e. menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan;
f. menayangkan adegan dan/atau suara yang menggambarkan hubungan seks antarbinatang secara vulgar;
g. menampilkan adegan ciuman bibir;
h. mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, seperti: paha, bokong, payudara, secara close up dan/atau medium shot;
i. menampilkan gerakan tubuh dan/atau tarian erotis;
j. mengesankan ketelanjangan;
k. mengesankan ciuman bibir; dan/atau
l. menampilkan kata-kata cabul.

Bagian Kedua
Seks di Luar Nikah, Praktek Aborsi, dan Pemerkosaan
Pasal 19
(1) Program siaran dilarang memuat pembenaran hubungan seks di luar nikah.
(2) Program siaran dilarang memuat praktek aborsi akibat hubungan seks di luar nikah sebagai hal yang lumrah dan dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.
(3) Program siaran dilarang memuat pembenaran bagi terjadinya pemerkosaan dan/atau menggambarkan pemerkosaan sebagai bukan kejahatan serius. 

Bagian Ketiga
Muatan Seks dalam Lagu dan Klip Video
Pasal 20
(1) Program siaran dilarang berisi lagu dan/atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan seks, cabul, dan/atau mengesankan aktivitas seks.
(2) Program siaran yang menampilkan musik dilarang bermuatan adegan dan/atau lirik yang dapat dipandang menjadikan perempuan sebagai objek seks.
(3) Program siaran dilarang menggunakan anak-anak dan remaja sebagai model video klip dengan berpakaian tidak sopan, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu, dan/atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan sebagai daya tarik seksual.

Bagian Keempat
Perilaku Seks
Pasal 21

Program siaran yang menampilkan muatan mengenai pekerja seks komersial serta orientasi seks dan identitas gender tertentu dilarang memberikan stigma dan wajib memperhatikan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. 

Bagian Kelima
Program Bincang-bincang Seks
Pasal 22
(1) Program siaran yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog, dan hanya dapat disiarkan pada klasifikasi D, pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
(2) Program siaran tentang pendidikan seks untuk remaja disampaikan sebagai pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan disajikan dengan cara yang sesuai dengan perkembangan usia remaja, secara santun, berhati-hati, dan ilmiah didampingi oleh praktisi kesehatan atau psikolog. 

(3) Program siaran yang berisikan perbincangan atau pembahasan mengenai orientasi seks dan identitas gender yang berbeda wajib disajikan secara santun, berhati-hati, dengan melibatkan pihak yang berkompeten dalam bidangnya.

***

Dalam surat teguran tersebut, KPI meminta kepada semua stasiun televisi agar segera melakukan evaluasi dan melakukan sensor internal yang lebih ketat pada semua program untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran serupa.

“Jika masih ditemukan pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI 2012, akan diberikan sanksi administratif,” ujar KPI.

Sanksi administratif itu seperti apa? Seperti salah satunya yang pernah diterima oleh program Was-Was yang ditayangkan di SCTV. Pada 13 Desember 2012, pukul 05.49 WIB, KPI menemukan dugaan pelanggaran, yaitu tidak menyamarkan wajah dan identitas anak laki-laki di bawah umur yang diduga telah menjadi korban pada pemberitaan terkait dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Komedian Bolot. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran, yakni pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, ketentuan mengenai anak sebagai narasumber, dan kewajiban menyamarkan wajah dan idenditas dalam program jurnalistik.

Oleh karena program Was-Was telah mendapatkan 2 (dua) kali sanksi administratif, yakni berupa teguran tertulis dan juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada 3 Januari 2013. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) SPS dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat memutuskan memberikan sanksi administratif berupa pengurangan durasi 30 (tiga puluh menit) setiap hari selama 2 (dua) hari.
Jadi jelas, sanksi administratif bisa berupa teguran tertulis, pengurangan durasi, dan yang paling parah adalah penghentian sementara, dan penghentian seterusnya.

Sunday, January 27, 2013

EMPAT PRESENTER TERBAIK METRO TV RESIGN


Arus migrasi profesional SDM televisi. Begitu barangkali kata yang cocok untuk mengomentari resign-nya empat Presenter Terbaik Metro TV per Januari 2013 ini. Keempat presenter ini adalah Kania Sutisnawinata, Tommy Tjokro, Gadiza Fauzi, dan Tascha Liudmila.

Sebagaimana presenter-presentar di stasiun televisi lain yang juga sempat keluar-masuk dari stasiun televisi satu ke stasiun televisi lain, secara profesional mereka melakukan migrasi ke stasiun televisi yang lebih baik. Kecuali Gadiza yang memilih tidak lagi terjun ke televisi, tetapi berbisnis di bidang properti dan industri kreatif, tiga presenter hijrah ke stasiun televisi baru, BloombergTV Indonesia (Idea group).

Bloggers, sebagaimana penulis kutip dari situs metrotvnews.com, pada Rabu, 23 Januari 2013 lalu, Metro TV harus melepas empat presenter terbaiknya untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Kania, salah seorang presenter senior sempat meneteskan air mata, saat acara perpisahaan di kantor Metro TV di Kedoya, Jakarta Barat.
Sejujurnya saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya. Saya merupakan salah satu presenter yang tidak bisa menahan tawa. Yang saya ingat cara mencegahnya ialah dengan mencubit diri sendiri,” ujar Kania yang sudah bekerja di Metro TV selama 12 tahun dan memutuskan pindah bekerja ke Bloomberg.

Sementara Tommy, yang terakhir dikenal sebagai presenter 811 ini, merasa berhutang budi pada Metro TV yang telah menggemblengnya menjadi seorang Jurnalis. Padahal, akunya, pada saat pertama kali melamar di Metro TV pada 2003, ia juga melamar sebagai Sales, selain sebagai Jurnalis. Maklumlah, presenter tampan ini memiliki latar belakang di dunia marketing. Seperti juga Kania, Tommy juga melenggang ke Bloomberg.

Sekadar info, Bloomberg adalah stasiun televisi berita yang dimiliki oleh pengusaha muda, Sandiaga Uno.

Jika Kania dan Tommy meluncur ke Bloomberg, Tascha Liudmila yang telah bergabung dengan Metro TV selama lima tahun ini hijrah ke KompasTV. Sebelumnya, presenter Metro TV yang lebih dulu hijrah ke KompasTV adalah Timothy Marbun.

Bloggers, arus migrasi profesional SDM televisi memang tak bisa dibendung. Arus ini sudah lazim terjadi di dunia kreatif, termasuk di dunia televisi. Tina Talisa, misalnya. Setelah populer sebagai presenter Apa Kabar Indonesia (AKI) Malam, Tina hijrah ke Indosiar. Lalu Ratna Dumila yang sekarang wara-wiri di tvOne, dahulu adalah presenter dari TransTV. Metro TV juga menerima presenter lulusan televisi lain, yakni Prabu Revolusi yang sebelumnya presenter TransTV. Jadi, selama secara profesional mereka bekerja dan dijaga, tak ada yang bisa menghalangi rezeki mereka. Apalagi nanti pada 2014-2015 saat era televisi digital, pemerintah telah memberikan izin sejumlah stasiun televisi baru yang jumlahnya ratusan, arus migrasi profesional akan makin banyak terjadi dan tentu saja SDM-SDM baru di bidang televisi tetap dibutuhkan.


WARTAWAN IYA, PENCARI IKLAN JUGA


Belum lama ini mantan Jurnalis dari TransTV Satrio Arismunandar memposting surat terbuka milik Syamsul Huda di sebuah milis yang kebetulan saya ikuti. Isi surat terbuka tersebut berupa protes dari Syamsul yang dikenal dengan Syam Terrajana ini. Baginya, profesi Jurnalis haruslah independen. Namun, ke-independen-an tercoreng manakala manajemen LKBN Antara meminta Jurnalis juga harus mencari duit.
Berikut surat terbuka dari Syamsul Huda M. Suhari yang dikasih judul: Saya Jurnalis, Bukan Pencari Iklan!

*****
MENJADI Jurnalis adalah impian terbesar dalam hidup saya. Tak peduli apa kata orang-orang sekitar yang masih memandang profesi ini sebelah mata. Ada kerabat yang bilang, kalau wartawan itu bukan pekerjaan yang baik, rentan persoalan, tak jelas masa depan.

Bahkan ada juga yang enteng bertanya: berapa saya dapat duit dari pejabat setiap kali wawancara. Sebagian besar tidak percaya bahwa memberi amplop pada wartawan itu haram hukumnya.

“Ah, aturan dibuat kan untuk dilanggar,” begitu kata mereka. Sebagai orang yang dibesarkan dalam keluarga yang “bertradisi” Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentu ada saja sentilan tak mengenakkan kuping. Tentu teman-teman sesama jurnalis yang benar-benar sadar mencemplungkan diri ke dunia ini pernah mengalami hal serupa.

Tapi saya tidak peduli. Saya jalani profesi bersahaja namun mulia ini dengan ikhlas dan gembira.Alhamdulillah, istri saya yang manis sangat mengerti sejak awal, bahkan mendukung pilihan hidup saya ini.

Singkat cerita, impian saya terwujud. Tak lama setelah menikah, tepat tanggal 1 Januari 2008 saya resmi bergabung dengan LKBN ANTARA biro Gorontalo, mula-mulai berstatus training, lalu menanjak menjadi pembantu koresponden.Bayarannya antara 10-15 ribu perberita.

Aih. Saya ingat, gaji pertama saya 140 ribu rupiah. Senang sekali rasanya, meski harus terpotong 40 ribu gara-gara berurusan dengan Polantas yang menilang lantaran saya lupa pakai helm saat berkendara. Hiks.

Untuk menutupi kebutuhan, saya nyambi mengajar ekskul teater di salah satu SMA. Syukurlah punya sedikit pengetahuan tentang itu semasa kuliah dulu. Lambat laun pendapatan saya meningkat, di samping makin terampil menyusun tulisan, honor perberita di LKBN ANTARA juga meningkat, jadi 25 ribu perberita.

Itu terjadi pada pertengahan 2008, ketika ANTARA mendapat penugasan khusus dari negara
untuk peliputan dan/atau penyebarluasan informasi kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan baik di tingkat nasional, daerah, maupun internasional.

Lewat penugasan ini, negara mengucurkan dana pelayanan masyarakat (Public Service Obligation/PSO) kepada ANTARA yang telah berstatus Perusahaan Umum (BUMN) sejak 2007.

Dana PSO ANTARA untuk tahun 2008 sebesar Rp40,6 Miliar. Cukup kecil memang jika dibanding kucuran serupa pada BUMN lain. Namun Tak bisa dipungkiri, dana publik talangan ini cukup membantu kehidupan segenap karyawan ANTARA.

Kami di daerah terutama yang berstatus kontributor/karyawan tidak tetap, berpacu memproduksi berita sebanyak mungkin, sepanjang memenuhi kriteria atau tema PSO yang telah ditetapkan.

***************

"Direksi BUMN harus semakin kreatif, jangan berbisnis "as usual" tetapi harus berani mencari terobosan untuk menambah penghasilan perusahaan," begitu kata Menteri BUMN Dahlan Iskan, sebagaimana berita yang dikutip dari antaranews.com, Rabu (25/1) 2012.

Sebagai orang yang hanya berposisi sebagai sekrup dalam rangkaian instalasi besar bernama Perum LKBN ANTARA , terus terang saya kurang begitu paham pun mengerti dengan maksud pernyataan Dahlan Iskan.

Namun yang saya tahu betul, ada pernyataan menyolok dari Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA, Ahmad Kusaeni, dalam artikel yang sengaja di tempel di papan pengumuman kantor kami. Menyolok karena pernyataan itu sengaja distabillo oleh Kepala Biro:

“Wartawan ANTARA harus cari berita dan cari uang. Kapitalisasikan jaringan yang ada dan layani kebutuhan pencitraan pemerintah,” begitu bunyi pernyataan itu.

Dan topik mengenai wartawan mencari iklan kian diangkat di hampir setiap rapat, terutama setelah biro kami memiliki portal berita sendiri, antaragorontalo.com.

Kepala biro ANTARA Gorontalo, Hence Paat, dengan semangat dan tak bosan-bosannya mengingatkan hal itu, juga pernyataan yang diwarnai menyolok itu..
Tak sebatas itu, bahkan dia meminta kami untuk aktif melobi iklan maupun kerja sama pemberitaan di setiap Pemda. Komisi 15 persen pada setiap iklan yang berhasil digolkan setiap wartawan jadi iming-iming.

Segelintir wartawan jadi galau. Kami merasa ada laten di balik praktek pengembangan bisnis dengan cara demikian. Yang pertama jelas soal independensi jurnalisme yang bisa terancam. Praktek kerja sama pemberitaan dengan setiap Pemda, cenderung memberikan informasi dan sudut pandang satu arah. Meski bekerja untuk media yang katanya “Pelat merah”, saya tidak sepakat dengan cara demikian. Bukankah loyalitas pertama seorang jurnalis adalah pada publik?

Karena itu sejak awal ketika bertugas liputan di Kota Gorontalo, saya tidak memilih ngepos tetap di kantor Pemda. Saya berkeliling sejauh saya bisa, meski saya tahu itu membuat lebih capek. Selain keluar masuk ke dinas-dinas SKPD, saya main ke pasar, ke kampung nelayan dsb. Sebagai jurnalis tentu saja saya ingin menambah sudut pandang pemberitaan dari berbagai lapisan masyarakat . Tidak membebek/nempel di belakang pejabat penguasa.

Tapi itu tidak bisa lagi leluasa dilakukan, jika media di tempat saya bekerja akan menjalin kerja sama pemberitaan.

Jangan berharap wartawan leluasa melakukan kritik dalam pemberitaan. Posisi wartawan yang seharusnya egaliter dan terhormat, jadi terjerumus bak pesuruh yang bisa dicocok hidungnya tergantung penguasa yang memberi kue MoU kontrak pemberitaan melalui APBD.

Lagi pula setahu saya produk yang dihasilkan dari praktek ini, bukan lagi jadi karya jurnalistik, tapi advertorial. Tiada lagi pagar api yang membedakan mana iklan mana berita murni.

Media yang menjalin MoU pemberitaan juga rentan dijadikan alat politik penguasa daerah. Beberapa fakta di Gorontalo, bahkan ada Pemda yang memberi insentif bulanan kepada wartawan menempel (Planted).

Independensi jurnalis hanya jadi sederet kalimat mati yang terkubur dalam buku tipis berjudul Kode Etik Jurnalistik yang belum tentu pernah diziarahi setiap wartawan.
Praktek ini sebenarnya sudah cukup lama jadi modus bisnis bagi sejumlah media di Gorontalo. Bahkan ada koran yang hampir tak menyisakan ruang publik dalam setiap halamannya; sudah terkapling-kapling karena kontrak pemberitaan Pemda ini atau DPRD itu.

Warga sipil lebih sering muncul dalam rubrik kriminal, atau jika ada kejadian bencana, entah banjir, kebakaran atau hal apes lainnya. Pengen diliput media, bayar dulu.

Namun kegalauan kami bukannya tanpa solusi. Pada beberapa kali rapat, kami sudah mengusulkan agar kepala biro merekrut staf pencari iklan, semacam marketing.

Tapi usul itu selalu ditolak. Kepala Biro mengaku ingin meniru biro daerah lainnya yang telah mandiri dan besar pemasukannya, yang konon sukses karena mengandalkan wartawannya sebagai ujung tombak menjebol pintu-pintu pengiklan.

Alasan penolakan lainnya , karena menurutnya biro Gorontalo yang masih menyusu anggaran ke pusat belum mampu merekrut dan membayar tenaga iklan.

Pernah juga kami menginformasikan soal staf marketing lepas yang siap dibayar perkomisi, sehingga biro tidak perlu berpikir untuk membayar gaji bulanan. Tapi itu juga dimentahkan, dengan alasan pusat menginstruksikan agar memanfaatkan SDM/staf yang ada.

Pada perkembangannya persoalan itu menjadi senyap. Wartawan yang tidak mau mencari iklan, dibolehkan. Sedang yang mau demi menambah pemasukan, silahkan.

Ada lagi penuturan Kepala Biro yang bagi saya janggal. Pertama, menurutnya ANTARA Pusat menginstruksikan setiap pewarta organik (Karyawan tetap) untuk segera mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW), tapi sekalian juga mewajibkan untuk mencari iklan (dan itu masuk dalam lembar penilaian kinerja!).

Duh, kenapa kantor berita berusia 78 tahun yang memiliki cita-cita besar menjadi kantor berita berkelas dunia ini, malah jadi abu-abu warnanya?.

**********

“ Syam, sebenarnya ada hal penting yang ingin saya sampaikan, Eem, begini, saya tahu kamu memegang prinsip, itu bagus. Karena itu saya sudah berusaha mencarikan solusi terbaik untuk mempertahankan kamu, ini usul, berhubung kontrak kamu sudah selesai per Desember ini, bagaimana jika ke depan kamu saya ajukan ke pusat untuk jadi kontributor PSO), sebab hanya posisi itu saja yang bebas dari kewajiban mencari iklan,“

Kurang lebih begitu kata Kepala Biro ANTARA pada suatu sore, penghujung Desember 2012. Saya diundang ngobrol di ruangannya. Dia melanjutkan:

“Terus terang ini berat, setiap biro ANTARA di daerah dibebankan target pendapatan, bahkan biro kecil semacam Gorontalo dipatok pendapatan satu milyar untuk tahun 2013, karena itu wartawan harus membantu bisnis perusahaan, “

Saya diam berpikir. Lalu :

“ Memangnya posisi kontributor non PSO punya kewajiban mencari iklan ya pak,”

“Ya, kontributor non PSO punya kewajiban membantu pengembangan bisnis perusahaan, itu tertuang dalam kontrak, tapi kalau yang PSO tidak, karena statusnya hanya kontrak dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI,”

“Sebentar pak, sebelumnya saya ingin tahu, seperti apa definisi membantu pengembangan bisnis perusahaan bagi wartawan, jika pengertiannya sekedar membantu mempertemukan kepala biro dengan calon pengiklan, saya rasa saya masih sanggup, “

“ Terlibatnya harus lebih dalam, Syam,”

“Sedalam apa pak? Saya perlu tahu takarannya, sebab setahu saya wartawan memiliki kode etik,”

“ Harus lebih dalam, tidak sekedar membantu memediasi, tapi juga harus ikut mengurusi hal lain dalam perjanjian kerja sama,”

“Berarti status saya diturunkan ya pak?,”

“Oh tidak, jangan berpikir begitu, di luar sana kan tidak ada yang akan bertanya, kamu wartawan PSO atau tidak, yang mereka tahu kamu kan wartawan ANTARA,” balasnya.

“Tapi dengan jadi kontri PSO, saya tidak lagi mendapatkan THR bukan?,” kata saya.

“Ah, ya, itu dia, tapi kamu tahulah, kita juga sudah membiasakan untuk berbagi rejeki, tapi bisa juga nanti gantian, tahun depan gantian wartawan lain yang jadi kontri PSO, kamu jadi kontributor lagi”

Jelas saya tambah pusing. Logika macam mana itu. Saya meminta waktu beberapa hari sebelum memberi jawaban.

Saya jadi galau seketika. Dengan pilihan itu, saya merasa diberikan buah simalakama. Posisi kontributor PSO jelas akan lebih lemah dengan adanya kerja sama kontrak pemberitaan dengan Pemda.

Namun kegalauan itu seketika berubah jadi rasa sedih, amarah bercampur tersinggung tak tertanggungkan.

Itu terjadi pada suatu hari di awal Januari, saya tidak diundang pada rapat perdana tahun 2013. Saya, hanya saya sendiri satu-satunya wartawan ANTARA yang tidak diundang rapat.

Dan ternyata sampai di situlah keterbatasan saya sebagai manusia,. Saya berada di puncak mempertahankan harga diri saya, membela kemanusiaan saya, membela profesi yang saya anggap mulia ini. Saya hadiri rapat itu sebagai tamu tak diundang. Dan seketika menyatakan diri KELUAR.

Saya tidak mau lagi diajak/digoda untuk melecehkan profesi. Bahkan pasal pertama Kode etik jurnalistik dibuka dengan kalimat “Wartawan Indonesia bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Yang perlu diberi huruf besar dalam konteks ini adalah kata INDEPENDEN, yang penafsirannya berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Bagaimana saya bisa bersikap independen dalam pemberitaan? jika saya terlibat konflik interest dengan mencari iklan sebagai pengertian (yang seolah tunggal) dari “membantu pengembangan bisnis perusahaan”.

Tafsir “Membantu Pengembangan Bisnis Perusahaan” bagi saya sebagai wartawan adalah membuat berita bermutu, professional dan berfaedah demi menjaga kepercayaan publik pada perusahaan. Bukankah sebagai kantor berita, ANTARA selaiknya menjaga kepercayaan publik yang tercermin dari media-media yang masih setia jadi pelanggannya?

Kawan, pembaca budiman. Terus terang saya menyesal, menyesal karena saya keluar dalam keadaan tidak baik-baik. Tapi sungguh, tiada maksud hati menjatuhkan martabat ANTARA, kantor berita bersejarah kebanggaan rakyat Indonesia yang pernah dengan lantang menyebarkan informasi proklamasi kemerdekaan RI.

Saya menceritakan hal ini karena merasa terpanggil, bagaimanapun ANTARA pernah jadi bagian hidup yang saya banggakan. Justru karena itu perlu dikritik agar lebih baik. Meski kritik datang dari sekrupnya sendiri, sekrup yang bisa dibuang dan dengan mudah dicarikan gantinya.

Saya yakin ada banyak wartawan ANTARA yang sama gelisahnya dengan saya. Apa yang saya tuliskan bukanlah untuk gagah-gagahan, biarlah mencari sensasi menjadi urusan selebriti dan politisi.
Saya hanya mau jadi wartawan biasa, yang tak sempurna justru karena belajar patuh pada kode etik yang mengikatnya. Yang luar biasa adalah wartawan yang melecehkan profesinya sendiri.

Dengan hormat dari Gorontalo…

*****

Surat terbuka yang diposting pada Minggu, 13 Januari 2013 itu langsung ditanggapi oleh Elizabeth Swanti. Menurutnya, sistem wartawan juga turut 'berpartisipasi' mencari iklan ini adalah sistem yang jamak dijalani di Jawa Pos Group, dimana pak Dahlan Iskan menjadi Direktur-nya.

“Secara umum, sistem ini berhasil dari sisi marketing, tetapi menjadikan integritas seorang jurnalis dipertanyakan. Mungkin, direktur Antara saat ini melihat sistem Jawa Pos bisa diterapkan pada lembaga beritanya. Mungkin,” ujar Elizabeth.

Lalu Produser VOA Naratama menanggapi lagi, bahwa di Amerika, ada yang disebut Ads-Journalism, Profesi ini lebih merupakan profesi Penulis di media digital yang lebih mengutamakan informasi sekitar produk, sesuai dengan keinginan klien.

“Di era digital ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan, antara lain dengan membayar para Bloggers, Facebookers, Pathers, dan puluhan penulis Social Media online lainnya. Tapi biasanya hal ini tidak menyentuh substansi content dari menu utama berita,” ujar Nara yang saat ini tinggal di Washington bersama istri dan anak-anaknya ini.

Lalu apakah Jurnalis Marketing yang diwajibkan oleh LKBN Antara ini akan kehilangan idependensi? Seharusnya jangan. Meski harus mencari uang, tidak berarti seorang Jurnalis tidak independen. Namun, yang harus dilakukan adalah bagaimana trik-trik agar tidak terjadi conflict of interest terhadap pemilik uang yang ingin diberitakan di sebuah media, khususnya di LKBN Antara.


Friday, January 18, 2013

Dalam Semenit Dukungan Tolak Hakim Agung Sudah Ratusan

Diky Chandra, mantan Wakil Bupati Garut, mengirim Blackberry Massage (BBM) ke saya. Isinya tentang dukungan pernyataan Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Indonesia yang mengecam mereka yang menjadikan pemerkosaan sebagai bahan canda. 

Bloggers, jika Anda punya BB, saat ini ramai teman-teman di contact list Anda yang menyebarkan BBM seperti yang saya terima. Sebar menyebar pesan ini ternyata cukup menarik. Sebab, dalam tempo tidak kurang dari satu menit, muncul nama-nama yang turut mendukung, meski saya perhatikan urutan nama yang disebar tidak akurat dari penyebar satu ke penyebar yang lain. Dari nomer satu sampai enampuluhdua masih sama, yakni Moh Jumhur Hidayat di urutan 1 dan Abdul Aziz di urutan ke-62. Begitu di urutan ke-63, BBM yang disebarkan oleh teman saya pertama bernama Ferrasta “Pepeng” Soebardi, sedang dari BBM teman saya satu lagi urutan ini diisi oleh Katon Bagaskara. Diky Chandra yang mengirimkan BBM ke saya duduk di posisi ke-72, sementara BBM dari teman saya yang lain, nomor 72 sudah diisi oleh Netty Prasetiyani. Anyway, pembahasan ini memang sangat nggak penting.

Bloggers, sebar menyebar BBM untuk mencari dukungan ini terjadi lantaran calon Hakim Agung M. Daming Sanusi dalam fit and proper test di hadapan Komisi III DPR melontarkan pernyataan yang sangat tidak pantas. Ia melontarkan candaan bahwa pemerkosa tidak perlu dihukum mati karena si pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati. Ironisnya, anggota Komisi III DPR menanggapi candaan Daming dengan tertawa. Melihat kondisi miris itu, Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Indonesia mengajak kita untuk memberi dukungan Petisi Dukungan Tolak Calon Hakim Agung M Daming Sanusi.

Daming memang sangat gegabah mengungkapkan pernyataan tersebut. Padahal, menurut Ustaz Arifin Ilham, hukuman bagi Pemerkosa adalah HUKUMAN MATI. “Sewaktu saya masih belajar di Mesir, para pemerkosa dijatuhkan hukuman mati,” ujar Ustaz Arifin. 

Lanjut Ustaz, hal tersebut pernah ditanyakan kepada Mufti negara Mesir mengenai dasar hukuman mati bagi para pemerkosa?  Jawabanya terdapat dalam surat 5 al-Maidah ayat 33. Pemerkosa digolongkan sebagai “Qothi-ut Thoriiq“, yakni “yang memerangi manusia”.

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang orang yang memerangi Allah dan RasulNya, dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah DIBUNUH !, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Yg demikian sebagai penghinaan utk mrk didunia, dan diakhirat mrk mendapatkan siksaan yg sangat pedih.”

(Surat al-Maidah 33)

Namun, selama syariat tidak ditegakkan, hukuman MATI tidak akan pernah bisa tegak. Pemerkosa bebas berkeliaran. Pelecahan demi pelecehan terjadi. Bukan cuma yang sudah dilakukan oleh M Daming Sanusi, tetapi orang lain. Barangkali Bloggers belum lupa Olga Syahputra pernah melecehkan dalam candanya ketika menjadi pengisi acara di Dekade Trans Untuk Indonesia pada 15 Desember 2011. Saat itu Olga berperan sebagai hantu. Saat ditanya lawan mainnya tentang kenapa dia sampai menjadi hantu, dia menjawab: matinya sepele, karena diperkosa sopir angkot.

Bloggers, perkataan Olga itu dianggap tidak etis dan tidak menghargai para korban pelecehan di dalam angkot yang memang sedang marak beberapa waktu lalu. Gara-gara perkataan Olga, Helga Worotitjan, perwakilan aktivis advokasi pemerkosaan, mengajukan laporan resmi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).