Sunday, April 26, 2009

MANGAN ORA MANGAN SING PENTING PERGI KE MUSEUM MANDIRI....











All video copyright by Brillianto K. Jaya

Thursday, April 23, 2009

SISA "DAGELAN" SAAT KAMPANYE...

Meski Pemilu Legislatif udah kelar, namun ada sebagian elit politik yang masih mempersoalkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul. Elit nggak melihat sisi lain selama penyelenggaraan Pemilu itu sendiri, yakni stabilitas politik yang relatif aman.

Kayak-kayaknya DPT menjadi ukuran "dosa" terhebat Komite Pemilihan Umum (KPU) dalam sejarah Pemilu 2009. Artinya, dengan carut-marut DPT, maka Pemilu dianggap gagal dan nggak sah, nggak jurdil. Ini menurut gw too much. Terlalu berlebihan melakukan pengadilan Pemilu cuma dengan melihat DPT. Gw malah curiga, elit-elit yang ingin mengambil kekuasan mempolitisir situasi dengan menghebohkan masalah ini.

Sebagai sebuah proses demokrasi, kayak-kayaknya ini jadi pengalaman dalam Pemilu langsung. Ingat! Kita baru dua kali melaksanakan Pemilu langsung. Yang pertama tahun 2004 lalu yang dianggap sukses. Memang sih, harusnya KPU tinggal mencontoh apa yang kurang di Pemilu 2004 lalu. Gw lihat, KPU berusaha memperbaiki diri, khususnya untuk kasus DPT, di Pemilu Capres nanti.

Sambil menggunggu aksi KPU, ada baiknya kita flashback dikit ke masa-masa kampanye. Silahkan menikmati foto-foto hasil "jepretan" gw, anak Betawi yang sok belajar demokrasi.



Tiap ada Partai "besar" yang menggunakan Gelora Bung Karno, pasti ada aksi desak-desakan kayak gini. Makumlah orang Indonesia, budaya antri masih "asing". Yang ada budaya "hutan": siapa yang kuat, dia yang akan duluan...



Kalo pintu terlalu jauh, yang dijadikan jalan buat masuk ke lokasi utama kampanye adalah "jalan tikus". Kebetulan "jalan tikus" ini nggak ada tangga, karena memang sebetulnya nggak buat jalan. Oleh karena itu, inisiatif panitia kampanye, dibuatkan tangga dari tumpukan batu plus ban bekas.



Kalo lapangan tempat kampanye laku, artinya selalu dipakai buat kampenye terbuka, maka banyak poster atau bendera yang sisa kampanye sebelumnya. Nah, tumpukan "sampah" itu adalah bekas bendera-bendera dan spanduk-spanduk partai sebelumnya. Nggak asyik dong, masa ada bendera partai lain ketika kampanye partai kompetitor?



Kotak kosong bekas minuman mineral dijadikan pelindung supaya nggak kepanasan. Ini ketika sebuah partai melakukan bagi-bagi brosur ketika terik matahari lagi gokil-gokilnya



Soal perut nggak kenal desak-desakkan. Peristiwa "kehebohan" saat bagi-bagi makanan ini menjadi pemandangan umum tiap kampanye terbuka gede-gedean di Gelora Bung Karno. Nggak ada satu simpatisan yang mau datang kalo nggak dapat makan, even makanannya cuma nasi dan sepotong ayam. Padahal selain makan, mereka ini juga udah dikasih duit. Ngga mau rugi...



Ini adalah kupon makanan yang dibagi-bagikan oleh Kordinator Kampanye before ke lapangan. Gara-gara nggak ada kupon, siap-siap si Simpatisan digiring Satgas Partai. Sebab, disangka Penyusup.



Doi bukan Pedagang kaki lima yang siap dagang. Tapi seorang Petugas yang menjaga beberapa karung berisi kaos Partai. Soalnya ada Simpatisan yang datang ke lokasi kampanye belum mendapatkan kaos. Sisa kaos, biasanya dibagikan ke Pedagang atau Pemulung di sekitar lokasi kampanye.



Anak muda ini kakinya luka kena bambu yang dipergunakan buat bendera partai. Doi nggak berasa kakinya udah banyak darahnya. Maklum, pada saat luka dan berdarah, doi lagi asyik berjoget di depan panggung. Ya begitulah, gara-gara "terhipnotis" aksi panggung band atau penyanyi, luka yang berdarah-darah udah nggak ada artinya...


All photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sunday, April 19, 2009

ADA YANG BERHASIL, BANYAK PULA YANG GAGAL...

Kalo saja Ari Lasso nggak dikeluarkan dari Dewa, boleh jadi doi cuma jadi orang nomor dua di band itu. Tahu dong yang selalu jadi frontman nggak boleh ada orang lain selain Mahkluk bernama Ahmad Dani?

Ari termasuk vokalis solo yang berhasil. Memang sih, begitu keluar dari Dewa, doi nggak serta merta tetap eksis di dunia musik. Doi kudu merangkak perlahan-lahan sampai jadi vokalis solo yang relatif mahal. Mahal? Yaiyalah! Kalo sekali manggung on air 40 juta menurut loe mahal atau murah? Itu paling cuma nyanyi 4-5 lagu.

Apa yang Ari lakukan memang nggak kayak vokalis-vokalis solo lain. Doi cukup merangkak kayak bayi 9 bulan yang siap berdiri. Artinya, nggak perlu banting tulang cukup keras buat menaikkan kembali popularitasnya, sebagaimana doi pernah dapatkan ketika di Dewa dahulu. Ari tinggal berpartner dengan Pencipta lagu yang ngetop, yang sekali bikin lagu jadi hits (baca: Hits Maker), namanya langsung bisa melambung.

Gimana dengan Krisyanto atau Lucy Rachmawaty?

Dua Penyanyi solo itu termasuk penyanyi gagal. Kenapa? Album mereka nggak sedahsyat pada saat mereka masih berstatus sebagai anggota band atau kelompok vokal. Pencinta musik lebih mengenal Krisyanto sebagai vokalis Jamrud. Belum ada Vokalist yang bisa menggantikan posisi Krisyanto di Jamrud. Fans Jamrud udah kadung menilai Krisyanto adalah Jamrud atau sebaliknya Jamrud adalah Krisyanto. Maklum, doi udah 11 tahun melang-melintang di band yang dibesarkan Log Zellebour ini.

Konon vokalis baru di Jamrud pun belum bisa menggantikan “kecanggihan” jeritan serak Krisyanto. Ini menurut sebagian besar para Pencinta musik Rock dan fans Jamrud. Namun barangkali Log Zellebour punya pertimbangan lain.


Krisyanto dalam acara "Satu Untuk Negeri" di tvOne yang berduet dengan Iwan Fals. Menyesal meninggalkan Jamrud


Kasus yang sama juga dialami oleh Lucy Rachmawaty. Buat gw, saat itu terlalu gegabah keputusan Lucy buat keluar dari AB Three. Soalnya, saat Lucy hengkang, kelompok vokal yang dibina oleh Chris Pattikawa itu sedang berkibar gokil-gokilan. Namun, dorongan buat meninggalkan rekan-rekannya: Nola dan Widy lebih besar ketimbang tetap mengibarkan bendera AB Three.

Memang sih, konon kabarnya Lucy keluar karena ingin married. Namun apakah alasannya cuma itu aja? Kenapa pada saat Nola married dan Widy married, AB Three tetap solid? Artinya, pasti Management Antero Bagus nggak mempermasalahkan anggota AB Three married, ya nggak? Toh, pada akhirnya Lucy terjun menjadi penyanyi juga. Toh, akhirnya perkawinan doi dengan Yosse Purnomo hancur lebur juga. Sayang seribu kali sayang!

Namun begitulah Penyanyi. Ada yang berhasil, banyak pula yang jadi Pecundang (*). Mengadu nasib menjadi Penyanyi solo memang nggak semudah yang kita kira. Tampang ganteng belum menjamin seorang Penyanyi bakal ngetop di belantikan Penyanyi solo. Badan seksi dan bergaya ala Madonna kayak Lucy juga belum tentu bagian dari kesuksesan.


(*) Sebenarnya kata "Pecundang" nggak tepat buat menggantikan kata "gagal". Kenapa?
Dalam kamus bahasa Indonesia, "Pecundang" artinya "orang yang menghasut" alias
"Penghasut.


video copyright by Brillianto K. Jaya

“PENGKHIANATAN KREATIF” DALAM ALIHWAHANA SASTRA

Sejatinya sebuah novel best seller akan sama persis struktur cerita ketika diangkat ke film. Nggak ada satu bagian pun yang tertulis di novel “hilang” kisahnya. Dengan begitu, Pembaca novel merasa nggak “dikhianati” oleh sang Sutradara film tersebut.

Dalam bahasa Indonesia mengalihkan dari karya sastra ke media lain disebut alihwahana. Alihwahana bisa terjadi dari sastra ke media elektronik kayak radio maupun televisi, bisa pula ke layar lebar alias film.

Alihwahana sebenarnya udah terjadi dari zaman bahuela. Pada tahun 1950-an, Radio Republik Indonesia (RRI) cabang Yogyakarta pernah mengalihkan sastra berbahasa Jawa ke format cerita radio. Ada pula cerita dari majalah-majalah berbahasa Jawa kayak “Penyebar Semangat” dan “Jaya Baya” juga dialihwahanakan ke radio. Tahun itu, acara yang berjudul “Crita Cekak” atau “Cerita Sambung-sinambung” begitu populer.

Apa lagi?

Paling spektakuler adalah dua novel Indonesia yang dialihwahanakan ke film, yakni “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi”. Kenapa spektakuler? Dua-duanya novel sastra (baca: bukan novel populer) dan kedua filmnya sukses secara komersial, karena berhasil mendapatkan jumlah penonton lebih dari 2 juta orang. Bahkan film “Laskar Pelangi” udah ditonton lebih dari 4,5 juta orang.

“Ayat-Ayat Cinta” adalah novel karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan pertama kali tahun 2004. Novel 418 halaman ini dicetak ulang beberapa kali dan berhasil terjual 160 ribu eksemplar dalam jangka waktu tiga tahun. Tahun 2007, Sutradara Hanung Bramantyo mengalihwahanakan novel ini ke film. Semula dirilis tanggal 19 Desember 2007, film “Ayat-Ayat Cinta” baru beredar awal tahun 2008.

Sementara novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata ini terbit pertama kali bulan September 2005. Saking larisnya, sebelum dialihwahanakan, novel ini mengalami cetak sampai kelimabelas kali pada bulan November 2007. Pada 25 September 2008, Riri merilis film “Laskar Pelangi” dan mendulang kesuksesan yang luar biasa.

Kalo kita lihat secara prestasi komersial, dua film tersebut memang dahsyat. Di saat bioskop tanah air jumlahnya sedikit, “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” berjaya. Bayangkan jika jumlah bioskop kita banyak, kira-kira 100 ribu layar misalnya, yakin angka 2 juta Penonton atau 4,5 juta Penonton udah bukan perkara sulit. Intinya, antara jumlah layar bioskop dengan jumlah Penonton sangat berhubungan.


Nggak nyangka anak Plumpang bisa jadi Best Director di tanah air. Sebagai mantan vokalis, gw turut bangga punya teman kayak Reaz, eh salah ding! Rivai Riza alias Riri, Bro! Bangganya lagi, doi nggak tertarik jadi Caleg kayak teman-temannya. And then, sing pasti doi nggak masuk kategori "Pengkhianat Kreatif".


Namun kalo kita lihat dari segi mengalihwahanakan, sejumlah orang menilai dua film tersebut gagal. Hah kok bisa? Menurut Pembaca dua novel tersebut, banyak cerita yang ada di novel dihilangkan. Sebagai contoh di novel “Laskar Pelangi” ketika Mahar yang memberikan ide gila pada Ketua RT di daerah Balitong sana. Ide gilanya ini muncul lantaran Ketua RT itu punya masalah dengan televisi hitam putih satu-satunya. Doi nggak bisa mengeluarkan televisi dari kamarnya yang sempit dan kabel antenanya sangat pendek. Padahal saat itu akan ada final badminton All England antara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Padahal akan banyak penonton yang akan menonton final badminton ini.

“Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,” kata Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya (novel “Laskar Pelangi” hal 153).

Dalam film garapan Riri Riza, kisah tersebut nggak muncul. Kelakuan unik Mahar di film cuma bisa muncul di scene atau kisah bagaimana Mahar dan Flo berkelana ke gua buat mencari “orang sakti”. Trus bagaimana Mahar mempersiapkan diri menjadi Ketua tim acara karnaval 17 Agustus-an, dimana doi menyumbangkan ide performace sebuah tarian asal Afrika. Buat sebagian Pembaca novel “Laskar Pelangi”, dengan menghilangkan kisah-kisah di novel, kayak-kayaknya ada sesuatu yang hilang. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai suatu upaya “pengkhianatan kreatif”. Maksudnya, sastra yang seharusnya bisa disinergikan ketika dialihwahanakan, kok kayak “dikhianati”?

Buat gw, istilah “pengkhianatan kreatif” terlalu berlebihan. Kenapa? Baik Habiburrahman El Shirazy maupun Andrea Hirata nggak merasa “dikhianati”, kok! Ini tercermin dari perjalanan kesuksesan dua film tersebut, dimana nggak ada cerita-cerita miring soal gontok-gontokan antara Penulis dan Sutradara. Begitu pula Riri Riza dan Hanung Bramantyo juga nggak melakonkan diri sebagai “Pengkhiat”. Kalo mereka kreatif, gw setuju. Tapi kalo “Pengkhiat Kreatif”, wah nanti dulu!

Buat gw juga, mereka yang menyebut Sutradara yang nggak mampu mengalihwahanakan novel ke film dengan sama persis sebagai “pengkhianatan kreatif” sesungguhnya nggak ngerti. Nggak ngerti mengambil wahana dari A ke wahana B nggak mungkin sama. Bahkan ada orang yang dengan tegas mengatakan: “Haram menilai film harus sama dengan novel aslinya!”

Kalo inget haram, jadi inget sama MUI ya? Lembaga Islam yang mudah mengecap sesuatu dengan lebel “haram”. But anyway, orang yang mengulirkan fatwa “haram” buat mereka yang selalu menilai film dari novel kudu sama dari novel aslinya, kayaknya layak diberi hormat, deh. Meski orang ini bukan anggota MUI, lho!

Bro, ada perbedaan besar dari masing-masing wahana. Ini kudu dimengerti oleh kita semua. Bahwa wahana novel itu beda dengan wahana yang namanya radio, televisi, apalagi film yang dianggap sebagai kesenian modern yang paling rakus. Dengan mengerti wahana, maka kita akan mengerti posisi dan persepsi kita. Begitu membaca novel, kita kudu menyadari kalo kita saat itu diposisikan sebagai Pembaca. Namun ketika kita berada di bangku bioskop di depan layar lebar, nggak ada lagi pikiran mengenai kisah-kisah yang detail dari novel yang kita baca. Sebab, posisi kita udah beralih, dari Pembaca jadi Penonton.

So, mulai sekarang kalo elo nonton film dari novel atau dari sandiwara radio atau dari cerpen or whatever, please cukup menjadi Penonton yang baik. Jangan mencampuradukkan antarwahana, apalagi mencap Sutradara udah melakukan “pengkhiatan kreatif”.

KETIKA POP CULTURE "MENGHAJAR" FOLK CULTURE

Industrialisasi rupanya mendesak para Bangsawan di Inggris memutarkan modal mereka. Ini terjadi di abad 17. Mereka yang sebelumnya memiliki tanah pertanian, justru ingin mengangkat kembali industri rumahan ke industri pabrikan.

Kenapa begitu?

Kerajinan pakaian wol di Inggris abad itu begitu berkembang. Permintaan (baca: demand) pakaian jenis ini meningkat luar biasa. Sayang, untuk memenuhi demand harus sebanding dengan produksi pakaian yang terbuat dari bulu domba ini. Oleh karena pengrajin pakaian wol berasal dari home industry atau industri rumahan, maka produksinya pun terbatas jumlahnya. Jika harus dipaksakan sesuai target bahkan melebihi target, ini berbahaya untuk kualitas produksinya.

So what happen next?

Para Bangsawan melihat peluang beternak domba untuk dijadikan komoditi wol sangat besar. Tak heran, sawah-sawah yang dahulu dimiliki kaum Ningkrat ini, disulap menjadi padang rumput untuk mengembalakan domba. Rupanya Bangsawan lebih terarik putar haluan, dari bisnis pertanian atau perkebunan ke peternakan. Selain peternakan, kaum bangsawan mendirikan pabrik-pabrik pemintalan wol.

Pendirian pabrik-pabrik yang dikenal dengan manufaktur ini menjadi titik utama dalam Revolusi Industri yang terjadi di Inggris abad ke-17. Dengan “berakhirnya” pertanian dan berdirinya manufaktur, dibutuhkan Buruh-Buruh yang bekerja. Sebagian Buruh berasal dari mantan Pentani.

Revolusi Industri mula-mula memang hanya berkembang di Inggris. Di Perancis, Revolusi Indusri mulai terjadi sejak tahun 1852, begitu juga di Belgia. Meski di Inggris sudah terjadi abad ke-17, di Eropa Tengah justru sampai dengan pertengahan abad ke-19, industri belum berkembang cepat.

Bagaimana di negara-negara lain?

Revolusi Industri sudah terjadi sejak tahun 1848 di negara Austria dan Praha, lebih tepatnya di kota Wina, Praha, dan Berlin. Di Jerman, industri bergerak cepat tahun 1870. Sementara di Italia, Rusia, dan Spanyol baru berkembang kira-kira tahun 1890. Di Asia, industri baru terlihat pada abad ke-19, terutama di Jepang. Revolusi Industri di Jepang setelah terjadi Restorasi Meiji.

Meski Bangsawan punya modal, namun yang menggerakkan roda perekonomian saat terjadinya Revolusi Industri adalah kelas menengah. Dengan modal para Bangsawan, kelas-kelas menengah ini bekerja keras. Walhasil, mereka kemudian menjadi Pengusaha-Pengusaha sukses. Otomatis rangking dari kelas menengah meningkat jadi Orang Kaya Baru (OKB).


Ini salah satu OKB. Tapi sok merendah dengan menggunakan Onthel tiap hari ke kantor. Padahal Mercy di rumah bertumpuk. Padahal Jagguar di gudang udah kepenuhan. Padahal mobil Hammer-nya lagi dipinjam buat jemput Nia Ramadhani. Tapi sayang, semua mobil itu bukan milik sah OKB ini.


Oleh karena kelas menengah naik derajat, maka kelas tersebut diisi oleh kelas bawah. Dari sinilah mulai terjadi budaya baru yang disebut Clement Greenberg sebagai Popular Culture atau Kebudayaan Populer (selanjutnya disingkat Pop Culture). Kenapa? Kelas bawah yang masih unculture alias “belum berbudaya” tak bisa meniru kelas atas. Satu-satunya yang terjadi memadukkan budaya sebelumnya yang disebut Folk Culture. Folk sendiri sesungguhnya “ndeso” atau “kampung”. Jadi yang dimaksud Folk Culture adalah Budaya Ndeso.

Ternyata alkulturasi budaya ini menghasilkan sesuatu yang “berharga”. Meski budaya baru (baca: Pop Culture) ini justru menghilangkan orinilalitas-nya. Rupanya, kelas menengah memang ingin menguasai semua. Maksudnya, ingin menguasai elit yaitu kaum Bangsawan, namun juga ingin menguasai kelas bawah. Intinya, kebudayaan yang kelas menengah lakukan ingin diterima oleh semua kalangan.

Ciri-ciri Folk Culture adalah menjaga keorisinalitasannya. Ini lantaran masyarakat yang mimiliki budaya setempat sudah mensepakati aturan, tata krama, maupun adat istiadat tersebut. Sudah dipastikan budaya ini tak bisa dipengaruhi atau mempengaruhi budaya dari daerah lain. Jika ada orang asing yang coba-coba “menembus” budaya setempat, orang asing ini pasti akan kikuk.

Sementara itu Pop Culture lebih fleksible. Ibaratnya lebih demokratis. Hal tersebut terjadi karena pop culture ingin diterima oleh semua kalangan. Intinya, semakin dipahami banyak orang, semakin baik. Tak heran, unsur orisinalnya tidak dijaga 100%. Namun begitu, bagian-bagian yang masih nampak dari budaya setempat, tidak ditinggalkan, sehingga ciri khas nampak.

Apa contoh budaya Folk Culture yang kemudian berubah menjadi Pop Culture?

Salah satunya Ronggeng Dukuh Paruk. Kesenian ini aslinya dianggap porno. Maklumlah, Ronggeng merupakan tarian pergaulan yang erat kaitan dengan seks. Ada seorang Penari, dimana Penari tersebut mengajak Penonton menari. Jika Penonton tertarik, si Penari bisa diajak bekencan (baca: melakukan hubungan seks). Kisah mengenai kehidupan Ronggeng ini sempat dibuatkan novel oleh Ahmad Tohari berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk”.


Tradisi Cina bisa disebut sebagai tradisi original apa nggak ya? Kayak-kayaknya setelah alkulturasi, originalitasnya udah hilang deh...


Ronggeng tak mungkin bisa menjadi komoditas populer jika harus “dipasarkan” ke seluruh segmen. Bagi daerah dimana Ronggeng muncul, yakni Jawa Tengah, barangkali tarian eksotis seperti itu tak masalah. Namun bagi Wisatawan dari daerah lain, yang memiliki nilai religi cukup tinggi, Ronggeng pasti tak laku. Dari sinilah tugas Pop Culture mengolah Ronggeng dari budaya ndeso menjadi budaya yang diterima oleh mayoritas orang.

Selain Ronggeng, banyak budaya ndeso yang terpaksa harus disulap menjadi budaya pop. Entah ini dilakukan akibat dekadensi budaya setempat atau memang pengaruh uang. Maksudnya, dengan mengemas Folk Culture menjadi Pop Culture, jumlah penikmat akan semakin banyak. Ujung-ujungnya komersialitas jadi berbicara. Bicara soal komersial, bicara uang. Akhirnya, ada nilai kapitalisme di situ, meski persentasenya 10% atau lebih. Sekarang persoalannya, apakah kita siap membiarkan unsur orinisalitas hilang demi Pop Culture ini? Let’s think!

KOK DISKRIMINASI GITU SIH OM?

Tiap Sabtu atau Minggu, gw selalu ngidam pengen malaksanakan ibadah olahraga di venue yang baru lagi. Tujuan gw mulia, spuaya memberlakukan azas "semua kebagian giliran". Memang gitu prinsip gw, hidup kudu dinamis. Olahraga juga kudu dinamis. Nggak cuma di satu tempat aja. Minggu ini tempat yang gw incer bernama Taman Jogging.

Taman Jogging terletak persis di pojokan bunderan Kelapa Gading. Adanya di pjok sebelah kiri sebelum Mal Kelapa Gading. Taman ini umurnya udah 15 bulan. Peresmiannya pada tanggal 25 Januari 2008 lalu oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.

Terus terang awalnya gw salut banget dengan Pengembang Summarecon Kelapa Gading ini. Tanah yang barangkali bisa jadi ruko atau bahkan mal, dihibahkan buat kepentingan umum. Kalo istilahnya sekarang dijadikan ruang terbuka. Susah lho, Cong merelakan tanah yang ada di-hook buat masyarakat. Nggak semua Pengembang di sebuah real estate atau kompleks perumahan mau melakukan apa yang udah dilakukan Summarecon.


Taman Jogging yang ada di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.


"Yang terjadi, ada tanah sedikit dijadikan pusat perbelanjaan..."

"Betul!"

"Atau dijadikan tempat parkir..."

"Atau dijadikan WC umum..."

"...."

"Buat tempat boker, Bos! Tapi gratisan..."

Namun sayang seribu kali sayang, pagi ini gw kecewa berat. Nggak tahu kekecewaan ini gara-gara kesalahan gw atau memang ada semacam diskriminasi terselubung ya? I don't know! But apa yang membuat gw kecewa karena di Taman Jogging nggak ada track buat main sepeda. Ini kan zamannya orang-orang naik sepeda Om!

"Lah, namanya juga Taman Jogging, Bro. Ya elo harusnya ngerti itu. Taman Jogging adalah sebuah taman buat jogging," ucap Cuplis, teman gw yang paling pintar sedunia dalam berita.


Tanda sepeda dicoret ini menyakitkan hati gw. Sebagai Penggemar sepeda, tanda ini sangat diskriminatif. Mungkin nggak ya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bisa membantu menanggulangi masalah ini? Atau mengerahkan pasukan Bike to Work dan geng sepeda buat protes dengan tanda itu....

"Apa salahnya kalo Taman Jongging juga ada track buat mereka yang doyan bersepeda hayo?"

"Terserah si Pengembang lah!"

"Ini namanya diskriminasi! Coba elo telaah sedalam-dalamnya apakah Taman Kodok cuma buat para Kodok? Atau Taman Buaya cuma buat nongkrong para Buaya? Atau Taman Suropati deh. Pak Suropati kan udah wafat? Bisa gawat kalo Taman itu cuma buat Pak Suropati. Bakal kabur orang-orang yang ada di situ..."


Taman segini gede nggak ada track buat sepeda. Gokil deh! Padahal kalo ada sepeda, kendaraan bermotor di situ nggak bakal ada. It means mengurangi polusi.


Gw sebagai Penggemar berat benar-benar kecewa pagi ini. Sejak detik ini, gw nggak akan mau menginjakkan kaki ke Taman Jogging. Taman itu ternyata memang buat konsumsi mereka yang berkendaraan motor, entar mobil or sepeda motor. Buat gw yang cuma berolahraga pake sepeda ini, nggak ada tempatnya. Didiskriditkan.

Tanda yang ada di Taman itu, yakni gambar sepeda yang dicoret, membuat hatiku luka. Kejadian pagi itu mirip dengan lagunya Dian Piesesa: "Hati Yang Luka". Juga mirip dengan lagunya God Bless: "Semut-Semut Hitam", karena kebetulan kaki gw kesemutan gara-gara gemes melihat Rider kayak gw nggak punya sarana di Taman ini. Kok diskriminasi gitu sih Om Summerecon?


All photos copyright by Brillianto K. Jaya

"TWO STEP BEHIND" - DEF LEPPARD

Sunday, April 12, 2009

NGGAK ADA IDE ORISINIL

Sumpah! Sebelum kenal dengan teori Plato, gw nggak ngerti posisi Palagiator ada dimana. Maksdunya, selama ini kita Plagiator selalu diseserang oleh manusia yang katanya punya ide orisinil. Begitu tahu teori mimesis-memeseos-nya Plato, otak gw jadi nggak didengkul lagi.



Bahwa ide yang ada sekarang adalah tiruan dari tiruan sebelumnya (mimesis-memeseos). Jadi nggak ada yang orisinil! Ide adalah sebuah representasi. Kata "representasi" untuk menggantikan kata kasar "plagiat". Jadi kalo ada manusia yang bilang "itu ide gw", itu salah besar! Nggak ada yang namanya "ide gw". "Ide gw" udah ada sebelum manusia itu mencap idenya itu adalah "ide gw". Makanya kalo ada program televisi yang hampir mirip, ya nggak masalah dan nggak bisa langsung dicap si pembuat program itu Plagiator.

Berarti nggak ada dong ide orisinil?

Kalo mengacu pada teori Plato, kayaknya begitu. Kenyataannya, nggak ada ide baru yang muncul dalam khasanah di dunia ini. Semua ide berasal dari ide sebelumnya dan dikasih bumbu sana-sini sedikit sehingga terlihat baru. Lihatlah program-program televisi. Adakah ide baru? Semua ganre hampir sama, mulai dari Infotainment, veriaty show, sampai program musik. So, jangan takut dicap Plagiator, sing penting berkarya aja terus, bro!

KAYAK BACA "KORAN" DI BILIK SUARA...

Dua hari menjelang nyontreng, sebagai warga negara Indonesia yang berguna bagi nusa dan bangsa, gw belum dapat undangan. Kalo undangan kawinan temen-teman yang ngebet kawin mah banyak. Yang dimaksud undangan buat nyontreng, bo! Masa gw dipaksa buat golput? Ogah, ah!

Yap! Terus terang, gw punya prinsip yang nggak bisa ditawar-tawar lagi. Gw nggak mau ikut-ikutan kayak orang-orang tolol yang punya hak dan kesempatan, tapi nggak dimanfaatkan. Gw nggak mau terpengaruh oleh bujuk syeitan yang mengatatakan, Golput lebih nikmat daripada nggak Golput. Memutuskan buat nggak milih lebih indah daripada membuat negara ini tambah hancur lebur. Lho kok prinsipnya aneh?

Yaiyalah aneh! Katanya cinta bangsa? Katanya pengen berjuang agar Indonesia tetap eksis? Gimana mau menunjukan rasa cinta atau berjuang kalo kita sendiri nggak menggunakan hak kita sebagai warga negara yang baik? Dengan Golput, menurut gw elo sama aja membiarkan Indonesia hancur lebur. Membiarkan Indonesia apa adanya. Kita masuk ke dalam golongan apatis. Ada temen gw yang bilang: "Gw ini Golput. Tapi Golput yang berpikir". Lucu! Mana ada Golput tapi berpikir? Nonsense! Bullshit!

Awalnya kenapa pada H-2 belum terima undangan nyontreng, gw baru ngerti. Ternyata Komite Pemilihan Umum (KPU) masih pusing ngurusin masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Nggak heran headline berita di koran dan televisi membahas kisruh soal DPT. Allhamdullillah, H-1 gw dapat undangan pernikahan, eh salah, undangan buat nyontreng, ding.

Terus terang, ada kekawatiran dalam sanubari gw. Kenapa? Soalnya, kalo salah pilih Caleg, gw sama aja memasukkan Manusia "nakal" duduk di kursi Legislatif. Sebaliknya, kalo gw nggak nyontreng, gw menutup kesempatan Manusia "bersih" buat memperjuangkan eksistensi Indonesia ini. Bingung dah gw yang ganteng ini. Nggak heran gw kudu lapor dulu ke sang Pencipta. Setelah sholat dhuha, sholat isthikarah, finnally gw beranikan diri buat masuk ke bilik suara dan mencontreng. Terus terang, gw nggak kenal dekat siapa Caleg yang gw contreng. Tapi moga-moga dengan bantuan Tuhan, pilihan gw tepat dan moga-moga gw bisa mempertanggngjawabkan. At least, gw kenal dengan sepak terjang Partai si Caleg itu lah.

Mungkin ini Pemilu yang ke-4 yang gw ikut. Beda Pemilu kali ini, gw kayak baca koran di bilik suara. Buat yang milih, pasti ngerti maksud gw. Kertas suara itu, bo! Gede banget! Beberapa menit habis buat membuka kertas dan menutup kertas. Bayangkan kalo si Pemilih itu adalah (maaf) Tuna Netra, pasti butuh waktu lebih kurang 15 menit buat membuka, membaca huruf braille, memilih, dan menutup kertas. Kalikan aja kalo satu orang butuh minimal 10 menit, sementara jumlah Pemilih rata-rata 200-an. Tapi biasanya, Pemilih yang mau mencontreng, lebih dulu melihat papan Caleg yang dipajang, sebelum mendaftar.

Gw nggak jamin apakah satu suara gw bisa memperbaiki Indonesia di lima tahun mendatang. Namun gw yakin 100%, satu suara gw sangat berarti buat Indonesia yang gw cintai ini. Buat gw, nggak ada cara lain buat membantu Indonesia, selain ikut mencontreng dan nggak Golput. Moga-moga Tuhan memaafkan teman-teman gw yang katanya menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia dan tinggal serta makan-minum di Indonesia ini tapi nggak menggunakan haknya. Amin!

Saturday, April 11, 2009

5 MENIT UNTUK 5 TAHUN

Banyak Pemimpin bilang, Pemilu 2009 ini penting. Why? Because Pemilu kali ini bakal memilih Pemimpin di 5 tahun mendatang, which is our President. Lha, Pemilu-Pemilu sebelumnya bukannya emang kayak gitu? Emangnya Pemilu sebelumnya nggak lebih penting?

Menjawab dua pertanyaan-pertanyaan itu susah-susah gampang. Susahnya, ya memang butuh penyelidikan tersendiri kenapa Pemilu 2009 ini begitu penting. Penting menurut siapa? Kalo menurut para Oportunis Politik yang sekarang ngotot mau jadi Anggota Legislatif dan Presiden, ya mereka bilang penting. Tapi kalo buat Rakyat yang udah capek dengan omong kosong para Politikus, Pemilu ini jadi biasa. Nggak penting.

“Apa pentingnya sih mencontreng kalo yang jadi anggota Legislatif orangnya itu-itu juga?” kata seorang Mahasiswa yang ogah menyebutkan namanya dan juga jenis kelaminnya. “Apa untungnya buat Rakyat kalo nanti anggota Legislatif terpilih ternyata berlomba-lomba mengeruk uang sebanyak-banyaknya buat menggantikan harta benda mereka yang udah sempat digadaikan buat kampanye?”

Ada benarnya juga sih. Coba elo pikir dengan akal sehat, kira-kira Calon Legislatif yang kemarin kampanye modalnya dari mana? Mayoritas pasti berasal dari modal sendiri. Kalo nggak mengambil dari tabungan, ya mereka sebagian besar mengadaikan harta benda. Mereka mempertaruhkan modal mereka buat sesuatu yang hasilnya belum jelas: apakah menang atau kalah. Jadi kayak judi ya? Nah, sekarang kalo kalah, resikonya ada dua: kembali ke jalan yang benar atau jadi orang gila. Kalo menang? Mungkin nggak mereka nggak terpikir buat membalikkan model mereka yang dulu dipakai kampanye? Bukan tendensius, rata-rata jarang banget ada Caleg yang iklas. How do you think, Bro?

So, Pemilu 2009 ini makanya dianggap penting. Pencoblosan tanggal 9 April besok penting. Kalo elo salah contreng, bisa berbahaya. Kalo elo cuma contreng Caleg yang belakangan ini menyebar duit, wah itu hati-hati. Kadang-kadang Caleg kayak gitu ada maunya. Nggak tulus berjuang buat Rakyat atau Bangsa ini. Yang ada berjuang buat kemakmuran diri sendiri dan keluarganya. Mengerikan bukan?

“LIMA MENIT UNTUK LIMA TAHUN”

Begitulah band Cokelat menganalogikan pentingnya pencontrengan secara benar. Bukan berdasarkan sogokan. Bukan money politic. Bukan sekadar contrengan impulsif. Tapi berdasarkan hati nurani (ini bukan nama sebuah Partai, lho. Soalnya hati nurani bukan milik sebuah Partai).

Memang sih dengan kertas pencontrengan yang segede-gede gajah itu nggak mungkin waktu kita lima menit. Pasti bisa lebih. Namun band Cokelat cuma ingin mensinergikan angka 5 di sini. Angka 5 buat menit pencontrengan dan angka 5 buat tahun dimana Presiden terpilih yang bakal membawa negara ini.

KETIKA IDE UDAH NGGAK MENCUKUPI LAGI…

Pernah nggak elo protes kenapa wujud Allah cuma boleh dimunculkan dalam bentuk huruf? Pernah juga nggak bertanya-tanya kenapa salib bentuknya kayak begitu? Kenapa garis vertikalnya lebih sedikit daripada horizontalnya? Kalo kita analogikan, garis vertikal adalah wujud cinta Tuhan. Kalo dalam Islam, istilahnya hablum minallah. Sedang horizontal sebagai simbol duniawi (hablum minnas). Nah, kalo duniawi lebih besar, berarti nggak cinta Tuhan dong?

Kita sebagai Manusia yang percaya Tuhan, pasti nggak akan pernah protes atau mempertanyakan hal-hal kayak begitu. Ketika Al-Qur’an mengajarkan pada seluruh umat Islam buat percaya Allah, maka nggak ada lagi aksi protes. Padahal kita sendiri belum pernah berjumpa dengan Allah. Namun Manusia cukup percaya dengan tanda-tanda bahwa Allah itu ada.

Hal serupa juga dialami oleh umat Nasrani. Ngapain juga mempertanyakan soal salib? Bahwa salib cuma sekadar simbol. Akan percuma kalo seorang Nasrani yang mengalungkan salib di lehernya nggak pernah mampir ke gereja, ya nggak? Mending nggak pake kalung salib tapi kadar keimanannya gokil-gokilan. Ini sama halnya ada orang Islam yang memajang tasbih di kaca spion tapi yang punya mobil nggak pernah sholat lima waktu. Sholat cuma seminggu sekali, pas Jumat-an aja.

Soal simbol-simbol tersebut di atas dikatakan oleh Filusuf Eropa berdarah Jerman, G.W.F. Hegel (1770-1831). Doi dikenal dengan filosofi soal idealisme. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini nggak ujug-ujug muncul begitu aja (being). Ada “roh” yang menggerakkan ini semua. Nggak mungkin sperma dan indung telur tiba-tiba jadi Manusia, ya nggak? Ada “roh”, dalam konteks ini Tuhan, yang menjadikan sperma dan indung telur itu jadi daging dan meniupkan nyawa agar daging itu hidup.

Hegel membagi filosofi idealime dalam tiga zaman. Yang pertama idealisme di zaman simbolik. Ketika ide mengenai eksistensi Tuhan udah nggak cukup lagi, maka muncullah simbol-simbol. Maksudnya gini, Bro. Meski kaum Muslim atau Muslimat ngerti kalo Allah nggak boleh diwujudkan dalam bentuk gambar, karena Allah bukan Manusia atau Malaikat, maka diciptakan simbol berupa tulisan Allah. Begitu pula dengan wujud Nabi Muhammad. Nggak heran kalo di rumah-rumah atau masjid-masjid yang dipajang adalah simbol Allah dan Muhammad, bukan gambar.

Filosofi kedua idealisme lahir di zaman klasik. Kalo di zaman simbolik, ide itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih menekankan unsur ketuhanan, di zaman klasik, ide dan bentuk seimbang. Maksudnya? Antara akhirat dan dunia seimbang, sehingga dianggap harmonis. Nggak ada lagi pertentangan: “Ah, terlalu akhirat, nih lukisannya!” Kaum sekuler bisa menikmati juga.

Terakhir adalah zaman romantik. Di zaman ini, banyak Manusia nggak puas dengan apa yang terjadi di zaman simbolik dan klasik. Manusia udah nggak puas dengan Tuhan yang cuma muncul sebagai simbol-simbol. Masa Tuhan cuma tulisan? Masa Tuhan disalib? Nggak heran di zaman ini berkembang Manusia-Manusia Atheis. Manusia-Manusia yang nggak percaya lagi dengan namanya Tuhan.

Gara-gara banyak Manusia nggak puas dan memberontak, di zaman romantik, seni jadi berkembang dengan aduhainya. Para Seniman bebas beekspresi. Nggak heran kalo di Perancis muncul istilah l’art pour l’art atau seni untuk seni. Maksudnya mendewakan seni di atas segala-galanya. Yang begitulah ciri-ciri di zaman romantik: seni jadi dewa. Dengan begitu, si Seniman juga didewa-dewakan. Saking sok tahunya, Seniman merasa, ide yang didapat bukan hasil pemberian Tuhan, tapi murni pemikirannya. Dasar Atheis, ya begitu itu deh. Para Seniman memang jadi sombong. Seniman-seniman yang merasa jenius nggak lagi ikut aturan atau tradisi yang sebelumnya udah dijalankan di zaman simbolis maupun klasik. Mereka buat aturan sendiri-sendiri.

Zaman romantik berlangsung sekitar tahun 1815-1900. Di zaman ini muncul kata-kata “jenius”, “kreatif”, dan “imajinatif”. Menusia yang mampu menciptakan sesuatu, dianggap jenius, misalnya Albert Einstain. Sementara buat Seniman-Seniman yang berhasil menciptakan karya seni, dijuluki kreatif atau imajinatif.

Adalah Friedrich Nietzche (1884-1900) salah satu filusuf yang menggulirkan gagasan “kebebasan” di zaman romantik. Menurut doi, dengan membebaskan dari masaah teologi (baca: ketuhanan) dan science (baca: metafisika), seni akan mencapai ke titik kesempurnaan. Pokoknya, pemikirannya filusuf Jerman kelahiran Rocken, Prusia yang provokatif ini benar-benar duniawi dan atheis banget deh! Bahkan saking sombongnya, doi sesumbar “The Will is Power”. Maksudnya, kehendak yang kita miliki pasti punya kekuatan yang luar biasa. Nggak ada yang bisa mengalahkan kita, even Tuhan sekali pun. Busyet dah!

Sunday, April 5, 2009

IWAN FALS: A REAL PRESIDEN WONG CILIK

Kalo boleh kita jujur, satu dari sekian Manusia Indonesia yang seharusnya layak jadi Presiden, ya Iwan Fals. Why? Bukan berdasarkan pilihan impulsif, bukan pula tanpa bukti. Selama ini, Iwan udah membuktikan diri, menjadi sosok yang mewakili kaum marjinal. Kaum dimana selalu mendapatkan perlakuan nggak adil, selalu ditindah, tergusur, dan masalah-masalah wong cilik lain.

Dengan konsisten, Iwan berhasil merangkul mayoritas Manusia buat mendapatkan simpati. Bukan simpati basa-basi. Tapi simpati yang tulus dan ikhlas. Lewat suara paraunya yang katanya fals, tapi sesungguhnya nggak fals-fals amat itu, Iwan udah menjadi ikon rakyat tertindas sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya di tahun 70-an.



Memang sih, Iwan bukan politisi atau praktisi politik. Doi cuma sosok Seniman yang bergerak via musik. Memang sih, doi bukan Manusia yang dikreasikan buat melakukan diplomasi, sehingga tutur kata bisa menjadi lembut meski content-nya terdengar nyinyir atau kritis. Iwan adalah Iwan. Maksudnya, doi bercerita apa adanya. Memotret realita yang udah terjadi puluhan tahun. Perhatikan semua lirik lagunya, salah satunya lagu “Mak” ini.

Kata ketiga putra putrinya
Yang tidak tahu bahwa Ayahnya terkena musibah

Si Ibu bingung harus menjawab apa
Menangis dia

Terbayang jelas wajah suaminya
Dan terpikir soal biaya pengobatan suaminya
Yang terlalu mahal bagi ukuran pekerja kasar

Terngiang jelas permintaan putra putrinya
Yang tak mungkin bisa terkabulkan
Si Ibu bingung harus bagaimana
Menangis dia

Dalam kalut
Ia selalu mengharap uang mandor suaminya
Untuk keperluan anaknya
Untuk biaya pengobatan suaminya

Tapi si mandor pelit
Waktu si Ibu meminta pertolongan si mandor suaminya
Yang rupanya mandor itu bandot tertawa genit
Dalam otak si Ibu terselip
Pikiran yang sangat sempit
Sebab keluarga yang saya ceritakan itu pailit
Dan amat sangat memerlukan duit

Dengan perantara tubuh molek si Ibu
Keperluan anaknya dan biaya pengobatan suaminya
Bisa terpenuhi

Si Ibu tersenyum
Melihat keluarganya bisa kembali seperti semula
Sekalipun hati si Ibu amat tersiksa


Lirik lagu “Mak” dari album “Perjalanan” ini udah dibuat tahun 1979. Itu artinya, lagu itu udah ada zaman Presiden-nya masih Presiden ke-2: Soeharto. Di lagu itu, Iwan udah mengkritisi soal biaya pengobatan yang mahal, sehingga warga miskin nggak mampu lagi pergi ke Dokter, Puskesmas, apalagi sampai dirawat di Rumah Sakit. Walhsasil, demi mengobati sang suami, demi permintaan-permintaan anak-anaknya, si Emak merelakan diri jadi Wanita Tuna Susila (WTS).

Banyak banget lagu Iwan yang memotret realita yang terjadi. Nggak cuma lagu “Mak” itu. Di seluruh albumnya, pasti nafas kerakyatan, selalu doi nyanyikan. Inilah yang membuat rakyat jadi terwakili oleh doi. Hebatnya, (sekali lagi) sindiran-sindiran yang dituangkan dalam lagu, udah ada sejak dahulu kala sampai kini. Dahulu kala yang dimaksud kala zaman rezim Orba masih berkuasa. Artinya apa? Iwan udah lama berani berteriak soal ketidakadilan, kemakmuran rakyat, soal hati nurani. Gokil nggak, cin?!



Look now?

Caleg-Caleg plus Capres-Capres sekarang sok berani. Sok moralis. Sok punya hati nurani. Sok membela rakyat kecil atawa wong cilik. Mereka baru berteriak ketika rezim kediktatoran udah tumbang. Ketika Presiden Soeharto udah nggak lagi punya kekuatan. Apalagi sekarang pas udah mangkat, wah teriakan mereka makin menjadi-jadi, cin! Makin nyaring! Kemana aja mereka waktu dulu ya? Waktu Iwan Fals menciptakan lagu “Mak” tahun 1979? Waktu Iwan Fals mengkritisi Wakil Rakyat tahun 1987?

Rakyat terlalu bego. Terlalu tolol buat melihat masa lalu yang compang-camping. Memang betul sih, kita disarankan nggak boleh menengok masa lalu kalo mau maju. Istilahnya, don’t ever look back to the future. Tapi kata Presiden Soekarno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Apa maksudnya? Maksudnya, harusnya rakyat lihat siapa Manusia-Manusia yang pernah menindas mereka, menggusur rumah mereka, menembak mati anak-anak mereka, menculik saudara mereka, mem-PHK ayah mereka, memenjarakan orangtua kita yang dianggap PKI, dan menghancurkan sumber daya alam Indonesia ini.

Ah, rakyat terlalu tolol buat mengingat masa lalu! Mereka lebih suka berpikir praktis. Mengisi perut mereka yang keroncongan dengan sogokan uang 20 ribuan sampai 100 ribuan buat jadi peserta Kampanye. Memilih Caleg-Caleg yang bakal menghidupkan lagi masa lalu yang suram. Yakni Caleg-Caleg yang mendukung Capres-Capres basi. Yang nggak konsisiten: dahulu menjilat-jilat Presiden Soeharto, sekarang sok kontra. Dahulu hidup di negeri orang, sekarang kembali lagi dan sok dekat dengan wong cilik. Ada juga Partai yang sebelumnya protes soal Bantuan Tunai Langsung (BLT), eh sekarang jadi pro BLT dalam rangka upaya cari masa. Dasar! Begtulah Capres-Capres kita, yang nggak ada apa-apanya dibanding perjuangan Iwan Fals.



Namun sayang, nggak akan mungkin Organisasi Iwan (OI) bisa meneriakkan Iwan for Presiden, sebagaimana Deddy Mizwar yang nekad mencalonkan diri jadi Presiden. Kita semua tahu, seorang Capres kudu berasal dari Partai Politik. Sungguh sulit mencalonkan Capres dari kalangan independen. Padahal kalo dihitung, mungkin OI relatif lebih banyak daripada Partai-Partai gurem peserta Pemilu. Yang setelah Pemilu ini bakal dipecat-pecatin gara-gara nggak ada yang milih.

Tapi mungkin harus begitu kali ya? Sometimes ada sosok yang jauh dari circle of influence atau kekuasaan, sehingga bisa konsisten memperjuangkan isu kerakyatan dan kemiskinan. Sometimes ada Manusia-Manusia ambisius yang harus duduk di kursi empuk pemerintahan. Dengan begitu, Iwan akan tetap eksis jadi Presiden-nya wong cilik yang sesungguhnya.

All photos copyright by Brillianto K. Jaya


Inilah beberapa lagu Iwan Fals yang saya suka, dimana lagu-lagu ini saya ambil dari tayangan 1 Jam Bersama Iwan Fals: From Past to Present di Indosiar yang saya upload dari YouTube. Selamat menikmati...





Thursday, April 2, 2009

MASA CALEG NGGAK TAHU SILA KE-3 PANCASILA...

Boleh jadi Pemilu besok itu rada mirip kayak Pemilu tahun 1971. Why? Yang bakal bertarung itu Partainya banyak banget. Kalo pada saat Pemilu pertama rezim Orde Baru tanggal 3 Juli 1971, Partai pesertanya ada sepuluh Partai. Ada Golkar, NU, Partai Muslimin Indonesia, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, dan Partai Murba. Sementara kalo Pemilu tahun 2009 ini, ada 38 Partai nasional, Cin! Jumlah segitu mash ditambah Partai lokal di Aceh.

Namun bedanya Pemilu 2009 dengan 1971, ini Pemilu ”one man one vote. Maksudnya memilih secara langsung mereka yang bakal duduk di kursi MPR/ DPR. Sebenarnya ini Pemilu langsung yang kedua kali. SBY adalah hasil dari Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Kalo zaman Orba mah kita kayak beli kucing dalam karung. Yang artinya, kita nggak tahu siapa Manusia-Manusia yang bakal jadi anggota Legislatif. Tahu-tahu ada aja 360 anggota DPR di Senayan. Tahu-tahu yang jadi Presiden itu Soeharto aja. So, Manusia-Manusia legislatif dan executive bukan hasil pilihan rakyat langsung.

Meski Pemilu 2009 ini langsung, tapi belum tentu memberikan kualitas anggota Legislatif ok, lho. Maksudnya “ok” di sini adalah sepak terjang mereka sekarang dan nantinya. Apakah sebelum Pemilu ini mereka sehari-harinya memang memperjuangkan dengan rakyat? Apakah nantinya begitu udah memakai pin anggota Legislatif mereka masih ingat janji mereka yang pernah diucapkan pas kampanye?

Yang gw tahu, saat ini Caleg yang muncul itu mayoritas cuma memenuhi kuota si Partai supaya ketahuan kalo Partai-nya ada Caleg, ada pengikut, ada anggotanya. Memang sih, sebelumnya ada verifikasi Partai peserta pemilu. Tapi biasanya orang-orangnya ya itu-itu aja. Begitu Partai nggak lolos verifikasi, para anggotanya buru-buru melamar ke Partai yang lolos dan mengajukan diri sebagai Caleg.

“Kasihan banget ya rakyat kita...”

Sebelumnya gw pernah nulis di Note, pilih Partai kudu hati-hati. Lihat Partai, juga perlu lihat juga bakal Capres-nya. Percuma kan kalo Capres-nya basi, ya nggak usah pilih Caleg atas nama Partai itu. Sebelum ngomong Capres, mending elo kudu selidiki dulu si Caleg-Caleg yang bakal elo mau pilih. Ini supaya nggak beli kucing dalam karung. Kok mirip kayak Pemilu 1971 ya? Lah, kan gw udah bilang dari awal, cin!

Elo jangan pernah milih Caleg yang sok bilang “perubahan” atau “reformasi”. Please jangan kejebak dengan kata-kata itu. Kata-kata itu menyesatkan. Persis kayak aliran yang menyesatkan. Tahu nggak kenapa gw bilang menyesatkan? Because, rata-rata mereka nggak ngerti maksud “perubahan” itu apa? Maksud “Reformasi” itu apa?

“Berjuang buat kemakmuran rakyat?”

Ah, bullshit!

Caleg-Caleg ini mayoritas cuma meloloskan ambisi pribadi, partai, dan Capres-nya. Maksudnya? Menurut loe kalo sesuatu yang udah baik, masa perlu direformasi? Masa hal-hal yang udah berjalan sesuai sistem kudu dirubah? Yang terjadi, tiap ganti Pemerintahan, semua dirubah, bukan diperbaiki atau dijalankan sebagaimana yang udah dilakukan dengan baik. Relnya jadi berubah. Tujuannya jadi bergeser. Niatnya ke Bogor, eh nyasar ke Sukabumi.

Caleg-Caleg dan Capres-Capres terlalu egois meneruskan sesuatu yang udah baik. Mereka mau bikin sistem sendiri. Mau membuat aturan-aturan sendiri. Sebab, kalo si Caleg atau Capres ngikutin Pemerintahan sebelumnya, dianggap follower atau nggak kreatif. Padahal udah jelas kalo kita ngikutin sesuatu yang udah dibangun oleh founding fathers Ir. Soekarno, boleh jadi Indonesia nggak kayak sekarang ini.

“Kita ini memang udah krisis identitas...”

Yap! Coba elo tanya Caleg-Caleg, even para Capres, ngerti nggak mereka soal Pancasila? Ngerti nggak soal Undang-Undang Dasar 45? Hafal nggak lima sila di Pancasila? Hafal nggak Pembuka UUD, Batang Tubuh UUD, dan Penjelasan UUD. Kalo nggak hafal, nggak ngerti, ngapain juga jadi Caleg?

Masa Caleg nggak tahu sila ke-3 Pancasila? Ini kejadian nyata! Kebangetan banget nggak, Cin?! Udah jadi kewajiban sebagai Manusia yang hendak memimpin negara ini, menjalankan roda pemerintahan, membuat UU, kudu tahu yang namanya Pancasila. Sejarah bangsa ini. Sejarah UUD, dimana sebelumnya masih menjadi UUD Sementara. Gimana mau membangun bangsa ini kalo dasar negara kita aja dicuekin? Gimana mau ajak rakyat berjuang untuk Indonesia kalo sejarah Indonesia aja nggak ngerti?

Nah, kalo elo ketemu Caleg, please tanya mereka:

• Tahu nggak apa itu Negarakertagama? Tahun berapa ditulis?
• Kata “nusantara” itu merujuk pada periode kerajaan apa?
• Siapa tokoh yang paling rajin mempromosikan Majapahit sebagai model NKRI modern?
• Apa nama panggilan Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang konsisten berjuang buat pendidikan nasional?
• Berapa jumlah kepulauan Indonesia?
• Tahun berapa pertempuran laut Jawa?
• Apa isi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 45?

Pertanyaan-pertanyaan di atas baru 1% dari pengetahuan yang kudu dimiliki oleh seorang Caleg. Kalo nggak bisa jawab pertanyaan gampang itu, harusnya nggak usah sok jadi Caleg lah. Nggak usah sok bilang berjuang buat Indonesia atau buat rakyat. Back to school di kelas lima SD aja dulu. Minta diajarin Sejarah sama Ibu atau Bapak Guru. Zaman dulu sih diajarin PSPB atau PMP.

“Tapi rakyat nggak butuh sejarah, Cin! Rakyat butuh makan, butuh pekerjaan, butuh...”

Nah, begitulah kalo urusannya cuma perut, Indonesia jadi bangkrut. Krisis identitas. Ngaku berpaspor Indonesia, tapi pikirannya ke Amrik. Gayanya udah nggak ada Indonesia-nya banget. Sok modern, globalisasi, padahal kapitalis. Nggak ada lagi yang namanya “musyawarah atau mufakat untuk demokrasi”. Yang ada tawuran antarkampung atau antarmahasiswa. Nggak ada lagi yang namanya “gotong royong”. Yang ada individualistik. Loe perlu, gw bantu. Kalo nggak penting, ngapain nolongin. Ngabis-ngabisin waktu.

Ketika kampanye yang dijual cuma sosok artis. Yang dijual cuma public figure. Elo pikir artis bisa membuat Indonesia lepas dari krisis identitas? Elo pikir public figure bisa menjadikan Indonesia sebagai NKRI? Mengangkat lagi Pancasila sebagai landasan bangsa? Menjadikan UUD sebagai pedoman bernegara dan berbangsa? No way! Mayoritas Artis dan Caleg cuma meng-eksiskan kapitalisme, individualisme, hedonisme, dan isme-isme yang cenderung negatif.

“Sedih banget sih....”

That’s why teliti sebelum mencontreng 9 April ya, Cin!

Wednesday, April 1, 2009

BENCANA SITU GITUNG, TANGERANG: KETIKA BENCANA MENJADI OBJEK WISATA

Ternyata niat orang buat datang ke lokasi bencana Situ Gitung, Cireunde, Tangerang, macam-macam. Ada yang niatnya buat menyumbang, entah itu menyumbang tenaga buat membantu mencari korban tewas atau hilang, atau menyumbang uang, pakaian, dan makanan. Ada anggota keluarga yang datang buat mencari keluarga yang masih hilang entah kemana. Banyak pula yang niat datang jauh-jauh buat jalan-jalan ke lokasi bencana.

Nggak ada yang salah dengan niat mereka sih, termasuk yang cuma datang buat lihat-lihat. Itu hak mereka. Nggak ada peraturan Pemerintah yang melarang kedatangan mereka ke lokasi bencana, meski mereka datang bersama anak-anak mereka.

Lucu juga sih melihat jibunan orang yang kepentingannya cuma lihat-lihat. Kayak-kayaknya, mereka memposisikan lokasi bencana di Situ Gintung bak objek wisata, dimana mereka bisa melihat tembok rumah gedong rubuh, ada mobil jip nyangsang di kawat listrik, kotak telepon umum hancur lebur, dan masih banyak lagi pemandangan yang mereka anggap sebagai objek wisata.

Bukan cuma orang tua bersama keluarga yang datang, beberapa anak-anak muda pun ada di lokasi objek wisata, ups maaf lokasi bencana Situ Gintung ini. Sambil berpegangan tangan, mereka melihat rumah roboh, pohon roboh, jalan aspal terbelah dua, dan pagar ambrol. Kalo ada objek yang menarik, mereka langsung mengambil handphonenya dan foto-foto.

Sekali lagi, nggak ada yang salah. Kalo kita positif thinking, jangan-jangan mereka itu datang buat melatih kepekaan sosial. Berharap dengan datang ke situ, mereka malah tambah peduli dengan sesama, atau bisa mengantisipasi diri kalo ada bencana datang. Buat orangtua yang mengajak anak-anak mereka, juga mungkin ingin menanamkan rasa sosial pada anak. Bahwa nggak ada yang bisa mengalahkan keperkasaan Tuhan. Mau rumah orang kaya, kalo Tuhan berkehendak, tembok rumah yang tebal pun akan rubuh.

Namun, sejumlah Aparat dan Regu Penolong udah menginstruksikan kepada warga agar usah nggak jalan-jalan ke lokasi bencana lagi. Kenapa? Ini akan menyulitkan pencarian orang-orang hilang di sekitar situ, karena terlalu banyak orang. Kalo ada orang yang memang niatnya menyumbang atau mengetahui status keluarga, nggak perlu datang ke lokasi. Panitia udah menyediakan lokasi untuk dua hal itu, yakni di STIE Achmad Dahlan maupun Universitas Muhammadyah. So, for a while objek wisata Situ Gintung ditutup deh, cin!

NOBODY KNOWS, EVEN MAMA LAURENT, CIN!

Kalo Tuhan udah berkehendak, nggak ada satu Manusia pun yang bisa melawan-Nya. Sejago-jagonya Manusia, Tuhan masih lebih unggul. Mau duit loe segudang, kepintaran loe mengalahkan Albert Einstein, atau nggak mempan kalo dibacok, tetap aja nggak ada yang bisa mengalahkan kuasa Tuhan.

Ini terjadi di ujung bulan sebelum tutup kampanye Pemilu 2009. Sebuah bencana kembali melanda, bahkan masuk ke dalam kategori bencana nasional. Pasukan air berhasil menjebol tanggul Situ Gintung yang berlokasi di Cireunde, Tangerang, Banten. Nggak ada Penduduk satu pun yang memprediksi tanggul Situ yang udah didirikan tahun 1930-an ini bakal jebol. Maklum, kejadian jebol diprediksi jam 3-an dini hari. Jelas, masih banyak Penduduk setempat yang masih ngorok. Bagi Penduduk yang kebetulan masih melek dan sigap bencana, mereka langsung kocar-kacir berhamburan.

Kayak SBY dan JK, gw sempat sidak ke vanue. Ketika sidak, gw melihat sendiri puluhan rumah rata dengan tanah. Tembok-tembok yang tadinya kita pikir kuat, tetap aja nggak berhasil menahan laju pasukan air. Kondisinya around Situ Gintung, jadi mengingatkan gw kayak bencana Tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Meski nggak sebanyak Tsunami, banyak juga korban dalam bencana Situ Gintung ini. Pas ke venue, gw belum dapat jumlah korban pasti. Soalnya proses pencarian masih bakal dilakukan besok pagi. Tapi kira-kira lebih dari 50-an. Kayak-kayaknya jumlah itu bakal tambah.

Terus terang, gw salut dengan para Mahasiswa di sekitar situ. Ada STIE Achmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah. Mereka dengan sukarela berinisiatif mengevakuasi korban. Bahkan aula kampus mereka dijadikan tempat evakuasi dan mayat-mayat korban. Harusnya yang namanya Mahasiswa melakukan aksi kayak gini. Nggak cuma tawuran antarmahasiswa yang sering terjadi di Salemba atau demo-demo yang nggak penting banget. Harusnya aksi mereka nggak cuma omdo alias omong doang.

Friends, seberapa empati loe pada bencana ini? Apa yang loe bakal lakukan buat kejadian ini? Apakah elo terlalu sibuk menyetir mobil mulus loe dengan pendingin udara dan stereo set yang jegar-jeger sehingga nggak punya waktu buat menyumbang? Ya, nggak perlu nyumbang tenaga kalo elo punya uang. Atau nggak perlu nyumbang uang kalo elo punya tenaga dan waktu. Atau memang nggak punya uang dan nggak punya tenaga, elo masih punya sumbangan doa bukan?

Namun doa nggak penting lagi kalo elo aja nggak percaya Tuhan. Elo cuma ngomong nyumbang doa. Emang doa loe bakal terkabul? Wong pergi ke masjid aja nggak pernah. Wong menjalankan kewajiban yang diperintahkan Tuhan aja jarang dilakukan. Dilakukan sih, tapi cuma seminggu sekali. Padahal Tuhan udah banyak ngasih banyak trigger buat kita ingat pada-Nya. Terakhir ya kejadian di Situ Gintung ini. Tapi kayak-kayaknya Manusia emang bandel. Manusia kudu ngerasain dulu kena bencana, baru sadar. Nobody knows kapan bencana yang menimpa loe bakal terjadi, even Mama Laurent. Betul kan, Cin?

DON'T EVER TEASE ME...

Mudah-mudahan gw nggak tegoda. At least sampai detik ini Iman gw masih stabil. Meski kiri-kanan depan-belakang gw udah banyak yang pegang, tapi hati ini masih teguh berpendirian.

Moga-moga gw nggak sampai gantung diri kalo nggak bisa memiliki. Moga-moga gw nggak sampai terjun dari lantai 36 gara-gara sirik sama Tetangga. Toh cuma barang kotak superganggih itu, yang sebenarnya gw dah kenal lima tahun lalu.



Kata Nenek, "Lebih baik duit loe ditabung, Cu! Elo udah punya anak dan anak-anak loe butuh perhatian. Masa perhatian loe cuma ke gadget itu aja? Jangan biarkan diri loe jadi Autis!"

Rasanya gw pengen omong begini: "Nek, gini hari masa nggak punya gituan? Malu dong! Toh, gaji gw udah lumayan alias mampulah beli barang 10 jutaan gitu. Lagipula malu dong Nek sama temen-teman gw yang gajinya cuma 4 juta aja bisa beli".

Eh, tapi mungkin bener juga apa kata Nenek. Gw nggak boleh sombong. And then, ngapain juga gw diperbudak sama gadget. Memangnya dengan beli gadget gw bisa jadi Pengusaha kaya raya? Memangnya dengan ikut-ikutan beli gw jadi bisa masuk sorga?

Bener juga Nenek gw. Moga-moga gw masih konsisten ya, Nek. Please don't ever tease me oh Blackbarry...

KEMANAKAH LARINYA


Andai saja gw Pejabat yang ngurusin masalah perparkiran, barangkali gw bisa membuat kaya kota yang gw cintai dan benci ini. Gw yakin seyakin-yakinnya, pendapatan dari retribusi parkir per hari, jumlahnya pasti milyardan. Ini belum termasuk pendapatan dari praktek parkir liar yang diasuh oleh para Preman yang di-backing oleh oknum Aparat. Tapi kenapa Jakarta tetap "miskin" ya? Kenapa Indonesia tetap memungut banyak pajak. Kemana larinya duit parkir yang milyardan rupiah itu ya? Sekadar info, kontribusi retribusi parkir tahun 2008 lalu dianggap masih minim, yakni Rp7,20 triliun atau 86,42% dari target Rp 8,33 triliun yang ditetapkan. Tahun 2009 ini, target retribusi parkir di Jakarta sebesar Rp 20 miliar. Rinciannya Rp 9,71 miliar untuk tempat parkir di tepi jalan umum, Rp5,66 miliar di lingkungan parkir, Rp3,86 pelataran parkir, dan Rp760 juta di gedung parkir. Berhasilkah? I wish I knew!

SEDIA KARUNG SEBELUM HUJAN


Lumrah saja kalo manusia perlu payung kalo hujan. Sekarang kalo bukan manusia? Apa yang diperlukan kalo musim hujan kayak begini? Saudara-saudara sekalian setanah air beta, karung adalah item yang sangat bermanfaat buat menjeggal air supaya nggak masuk ke rumah tanpa izin. Karung-karung ini akan membantu kita agar rumah terbebas dari air banjir. Mungkinkah? Entahlah! Yang pasti, saat ini eksistensi karung begitu dibutuhkan. Sampai-sampai sebuah apartemen di bilangan Gatot Subroto butuh banyak karung, supaya apartemen itu nggak kebanjiran.

SATU MENOLONG SATU

Boleh jadi Iwan Fals udah gerah. Isu kemiskinan belum juga menciut. Justru di saat-saat krisis ekonomi kayak gini, banyak Raykat yang dulu berada di segmentasi menengah, justru berubah menjadi miskin. Ini akibat PHK dan perekonomian yang kian memburuk. Wong, perusahaan-perusahaan besar di dunia sana aja banyak yang gulung tikar, Cin!

Ketika para Politikus masih sibuk "teriak-teriak" sambil buat janji-janji di kampanye kemarin, Iwan justru ambil bagian praktis. Maksudnya, Iwan bikin inisiatif pemikiran praktis buat membantu saudara-saudara kita yang miskin. Dari sinilah keluar konsep "SATU MENOLONG SATU".

"Satu Menolong Satu" merupakan kampanye Iwan terbaru. Andai saja satu orang kaya menolong satu orang miskin, Insya Allah kemiskinan bisa berkurang. Satu orang kaya itu minimal, Bro! Kalo dalam satu keluarga punya lima orang anak, tentu aja satu keluarga bisa menolong lima orang anak miskin. Bahkan lebih edan lagi, satu orang kaya, bisa menjadi Papa atau Mama asuh bagi dua sampai tiga anak kurang mampu di sebuah keluarga miskin. Gokil kan idenya, Bro?

Gagasan "Satu Menolong Satu" ini pas banget digulirkan menjelang Pemilihan Caleg dan Capres tahun 2009 ini. Why? Karena kita sebagai Pemilih bisa dengan jeli memilih siapa Wakil-Wakil Rakyat yang pantas duduk di kursi DPR. Apakah mereka yang cuma ngasih uang kampanye aja yang 50 ribu-100 ribu itu yang pantas? Atau memang nggak pernah ngasih uang saat kampanye atau pencoblosan tapi benar-benar udah lama melakukan aktivitas kemasyarakatan buat wong cilik? I think you know better lah!

Berdasarkan gagasan Iwan, gw malah timbul gagasan baru. Kenapa para Pemilik sekolah mahal nggak bisa berbuat sesuatu buat bangsa ini ya? Maksudnya gini, lho. Elo pasti udah sering dengar, ada sekolah yang bayarannya sampai Rp 3 juta per bulan, bahkan ada yang lebih. Sementara uang pangkalnya ada yang bisa mencapai Rp 30 juta-an. Gokil nggak? Nah, sekolah-sekolah yang merekrut keluarga-keluarga kaya ini menjadi Papa dan Mama asuh buat anaka-anak yang nggak mampu sekolah. Misalnya 2,5% dari bayaran mereka per bulan dari tiap-tiap anak yang sekolah di situ, dipakai buat membantu satu anak miskin.

"Kalo konsep kayak gitu nguntungin Pemerintah dong, Bro!"

Please deh! Dalam konteks membantu, nggak usah ngomong "siapa yang untung siapa yang rugi". Kalo niat membantu, lebih baik ikhlas aja. Toh, ini sekadar gagasan. Kalo nggak mau juga nggak maksa, ya nggak? Lagi pula, gw kasih tahu ya, Pemerintah udah kebanyakan urusan. Kalo semua ngandalin Pemerintah, negara kita, saudara-saudara kita nggak ada yang mikirin. Kita jadi mikir diri kita sendiri. Terlalu egois. Sementara anak-anak kita bisa pergi ke Mall, nonkrong di J-Co, atau ngopi-ngopi di Coffee Bean, eh ada anak-anak kecil terlantar yang boro-boro mikirin sekolah, buat makan aja susah. Why don't we do it something right now, Bro?

Kelo memang Pemerintah juga mau dilibatkan, is ok! Pemerintah justru bikin Peraturan buat memudahkan buat mengurangi jumlah kemiskikan dan Pengangguran. Masih dengan konsep Iwan "Satu Menolong Satu", misalnya dibuatkan Peraturan di tiap kantor, at least mempekerjakan seorang miskin Pengangguran atau korban PHK. Tentu orang miskin di sini yang qualified, Bro. Yang punya skill, pekerja keras, personality-nya mantap, tapi sayang nggak punya kesemptan. Soalnya kita tahu lah, banyak kantor yang kongkalilong. Pegawainya berdasarkan teman dekat, saudaraan, atau satu etnis. Nggak fair kan?

Pemerintah juga bikin Peraturan, omset Perusahaan yang 2,5% langsung disalurkan ke sejumlah pengelola infak profesional, kayak Dompet Dhuafa misalnya. Jangan dimasukkan ke kas negara. Udah pasti itu bakal dikorup lagi oleh cecungguk-cecungguk yang kerja di Departemen terkait alias oleh para Pegawai-nya. Kalo pengelola infak profesional itu kan selalu memberikan update keuangan dan transparan. Nah, dana yang udah ditampung itu langsung diberikan buat anak-anak miskin sekolah atau pengobatan gratis. So nggak perlu ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) segala yang mungkin cuma buat ngurusin perut aja, bukan pendidikan or pengobatan.

Soal pengobatan, banyak orang yang gw jumpai memang belum mendapatkan kenikmatannya. Masih belum fair. Gakin atau Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM) itu ternyata nggak cuma dimiliki oleh orang-orang miskin. Para Pegawai yang ngurusin Gakin atau SKTM kadang curang. Saudara-saudaranya yang nggak miskin alias mampu, bisa dapat surat itu. You know what? Dengan memiliki Gakin atau SKTM, kita bisa beribat gratis! Bener, bro, gratis! Elo mau operasi sampai Rp 100 juta pun pemerintah menanggungnya. Tapi ya sekali lagi, ada kecurangan-kecurangan di lapangan seperti yang gw jelaskan tadi. Para Pegawai-nya kongkalikong. Gokil!

Dengan berdasarkan konsep Iwan Fals "Satu Menolong Satu ", moga-moga kita bisa action. Kalo Pemerintah ikut bantuin syukur, kalo nggak ada kita action sendiri aja. Maksudnya sendiri, ya dengan inisiatif kita sendiri. Bukan begitu bukan?

SUMBANGAN BERHADIAH

Membedakan pengemis di perempatan jalan dengan jama'ah yang meminta sumbangan di tengah jalan, susah-susah gampang. Soalnya beda tipis. Bedanya, yang satu seringkali digerebek Tramtib, satunya lagi (baca: peminta sumbangan dari masjid) cuek bebek. Padahal seringkali memacetkan jalan.




Orang yang mengaku jamaah masjid, seingkali memasang tong besar di tengah jalan. Ada pula yang cuma memasang tripleks bertuliskan: mohon doa restu akan dibangun masjid A, B, C, D, dst. Tapi mana berani Tramtib gerebek? Bisa-bisa perang dengan isu agama. Anyway, sebagai orang Islam tulen, gw malu. Aktivitas minta sumbangan di jalan, malu-maluin orang Islam lain.

Kenapa sih kudu minta sumbangan cara begitu? Kalo nggak punya uang, ya nggak usah bikin masjid lah! Toh, masjid-masjid yang udah ada masih banyak yang kosong, kok! Atau sedikit kreatiflah kalo minta sumbangan. Misalnya, tetap minta sumbangan di dalam masjid (bukan di jalanan, lho!). Bagi yang menyumbang akan dapat hadiah. terserah deh hadiahnya, bisa kompor meledug, kipas angin dua pintu, setrikaan batere, atau kalo perlu mobil Alvard. Gimana menurut Pak Ustadz?

WHITE SHOES AND THE COUPLES COMPANY

Diam-diam band pop sextet dari Jakarta ini menjadi salah satu band yang juga berhasil menembus Amrik. White Shoes & The Couples Company. Begitu nama band yang beranggotakan tujuh personil yang semuanya memakai sepatu putih sebagai ciri khas mereka.

Kenapa sepatu putih? Padahal kan kalo kena becek, sepatu putih susah dibersihkannya? Sepatu putih sebagai ikon, begitu mereka ucap. Lagipula sekarang ini warna putih lagi ngetrend abis! Lihat aja bnyak mobil putih beredar. Mobil-mobil putih itu udah nggak takut lagi disamakan sama Ambulance atau mobil Jenazah. Trus ada juga yang ngetrend sekarang, manusia yang dibungkus kain warna putih dari ujung kaki sampai ujung kepala. Cuma wajahnya aja yang dibuka. Ikatan kainnya ada di atas kepala manusia itu. Kalo udah diikat, jalannya lompat-lompat deh. Pokoknya warna putih lagi happening, cin!

Tahun 2008 kemarin, band ini berhasil perform di CMJ Music Marathon Festival, tepatnya di New York City. Mereka ternyata nggak cuma jago kandang kayak band-band yang ngaku udah jago di Indonesia. Hebatnya lagi, mereka sempat tur keliling Amrik, kayak ke Los Angeles, Washington DC, Seattle, dan San Fransisco. Kalo elo nunggu mereka manggung di Pasar Rumput Manggarai atau Pasar Ular Tanjung Priuk, udah dipastikan nggak bakal ketemu mereka.

MENIKMATI TENGKLENG


Nggak tahu kenapa gw merasa aneh kalo lihat ada orang makan Tengkleng. Buat elo yang nggak kenal sama Tengkleng, mari gw ceritakan. Tengkleng adalah bahasa Solo untuk mengganti istilah tulang-belulang yang sempat dimiliki oleh kambing. Hah?! manusia makan tulang? Yaitu tadi, kenapa gw bingung. Kok di zaman metropolis kayak sekarang ini, ada manusia makan tulang? Dimana-mana manusia yang makan tulang pada saat zaman primitif aja bukan? Tapi mau dibilang begitu, toh Tengkleng selalu menjadi menu favorit manusia-manusia Indonesia. Gw jamin bule nggak akan doyan. Malah kaum bule akan bertanya: bukannya yang makan tulang itu cuma anjing aja ya? Pasti si Penggemar Tengkleng akan bisa mudah menjawabnya: memang kita-kita orang anjing, bo! Anyway, ada satu tempat makan Tengkleng yang jadi favorit Istri gw tercinta, yakni di warung makanan solo yang ada di jalan DI Panjaitan No 3. Harganya relatif sih, Rp 16.000, mirip sama harga seporsi Tongseng. Yuk! kita makan tulang!

SARANG TAWON


Awalnya kami nggak nyangka, sarang Tawon di rumah kami akan sebesar bola. Sengaja kami biarkan Tawon-Tawon itu bersarang di rumah kami, supaya mereka bisa hidup berdampingan dengan kami. Buat kami, yang penting yang bersarang di rumah kami bukan teroris. Soalnya kalo sarang teroris, kami pasti akan jadi incaran Tentara atau Polri buat siap-siap digrebek. Stasiun televisi akan berlomba-lomba menyiarkan siaran langsung upacara penggerebekan itu. Yang enak stasiun televisi itu, sementara kami, bakal dipenjara. Mending cuma dipenjara seumur hidup, kalo dieksekusi mati? Rupanya sarang Tawon, lebih dahsyat dari sarang teroris. Dibiarkan, makin lama makin membesar. Dengan berat hati, sarang Tawon yang posisinya persis berada di sebelah kanan depan balkon ini akhirnya kami tumpas. Caranya? Memanggil pasukan antitawon satu kampung. I'm really sorry ya Tawon. Semoga kita ketemu di Surga.

GARA-GARA VESPA BUTUT...

Apa jadinya kalo Vespa butut seluruh Indonesia tumplek blek jadi satu di Ancol? Nggak apa-apa sih! Hak mereka datang berduyun-duyung ke Ancol. Tapi buat sebagian Pengunjung Ancol, termasuk gw, jadi ogah main sepeda. Tadinya pengen ngider Ancol pake sepeda. Eh, begitu lihat seluruh Ancol dikuasai oleh geng Vespa butut, gw jadi ilfil, cin!

Kenapa?

Tahu sendirilah, knalpop yang dihasilkan dari Vespa-Vespa itu membuat udara jadi nggak segar. Padahal gw ke situ kan buat olahraga. Buat menghirup udara segar aroma khas pantai Ancol. Trus, suara-suara Vespa konvoi di sekitar Ancol, bikin suasana jadi nggak asyik aja buat mengayuh sepeda. Apa hubungannya ya? Ya, pokoknya begitu deh! That's it!

Namun, sekali lagi, bukan salah geng Vespa butut itu hadir di Ancol hari minggu ini. Salahnya gw, kenapa nggak tahu kalo geng Vespa butut ini ngadain event kumpul-kumpul geng dari seluruh Indonesia. Istilahnya, gw udah wrong time at the wrong place.

Buat mengobati kekecewaan nggak bisa main sepeda, terpaksa gw menenangkan hati dengan melakukan aksi foto-foto geng Vespa butut ini.

DISTRIBUSI BASA-BASI


Plumpang terbakar. Gosip bekibar, ada Teroris yang membakar tangki no 24 berisi 3.000 kiloliter Premium di Depo Pertamina itu. Akibatnya, Premium habis dimana-mana. Selidik punya selidik, nggak ada indiksi terorisme atau sabotisme. Gw jadi negative thingking, Teroris jadi kambing hitam gara-gara Pertamina memang nggak becus ngurus distribusi selama ini. Makanya nggak heran Presiden SBY marah-marah. Dirut-nya langsung dicopot. Sebelum ada kebakaran, distrubusi Pertamina memang kayak basa-basi. Beberapa POM bensin di Jakarta seringkali ada tulisan "Premium Habis" atau "Solar Habis". Distribusi di Jakarta aja kayak begitu, gimana di kampung-kampung ya? Katanya dari dulu, Pertamina jadi sarang "tikus" yang doyan duit. Makanya dari dulu sampai sekarang, gw selalu dengar: "Enak kerja di Pertamina. Cepat kayaknya". Nggak tahu maksudnya kayak monyet atau kayak tikus. Tapi gw nggak suka dua binatang itu. Gw lebih suka jadi manusia. Biar bisa mencuri setetes demi setetes bensin dari mobil tangki yang tiap hari lewat di lampu merah depan rumah gw.

BOKER PAKE TOPI


Kalo udah nggak tahan, sebaiknya memang nggak usah ditahan-tahan lagi. Seperti Bapak berjenis kelamin Pria ini. Doi kelihatannya udah nggak tahan. Perutnya udah sakit alias sakit perut. Pengen boker. Tapi kenapa boker pake topi ya? Bukannya kalo boker topinya harus dilepas, celananya harus dilepas juga, dan bajunya juga harus dilepas. Supaya kelihatan boker gitu. Tapi gw yakin, Bapak ini nggak mau lepas topinya, takut pitaknya kelihatan sama Kamtib. Kenapa takut Kamtib? Sekarang ini Kamtib memang nggak cuma menggusur para Pedagang asongan. Tapi mereka yang punya pitak, juga diusirin. Kamtib-Kamtib kita memang lucu-lucu. Main gusur, tapi begitu dikasih uang pelicin, eh dibiarin. Nah, soal Bapak yang punya pitak ini jelas akan cemas kalo topinya dibuka. Kan nggak lucu kalo lagi enak-enak boker, si Bapak jadi ketangkep Kamtib.

GARA-GARA KARAOKE

Menurut gw bukan perkara mudah membawa sebuah perusahaan “baru” dengan mentalitas SDM lama. Udah gitu, dalam setahun, perusahaan “baru” ini bisa memberikan bonus buat seluruh karyawannya. Inilah yang terjadi di perusahaan Faiz dan Gigan.

“Gw nggak nyangka baru masuk enam bulan udah terima bonus,” kata Faiz, cowok ganteng yang biasa pake penjepit rambut ini. “Lumayan juga buat kawin akhir tahun ini”.

“Iya ya, Iz. Dulu di perusahaan lama, bonus baru gw terima dua tahun kemudian,” tambah Gigan, pria kurus kering dan berlesung pipit manis sekali itu.

Menurut Faiz dan Gigan, Big Bos-nya memang oke punya. Doi berhasil berjuang ke Owner buat memberikan bonus ke seluruh karyawan. Alasannya, income perusahaan jauh di atas target. Yang seharusnya Cuma 350 milyar perak, eh malah sampai 510 milyar. Gokil abis!!!

“Mari kita nyanyikan lagu kemenangan buat Big Bos kita,” ajak Faiz.

“Lagu kemenangan itu dari grub band apa Iz? Gw kayak-kayaknya belum pernah dengar?” tanya Gigan agak blo’on. “Yang gw tahu lagunya Ular Berbisa”.

“Yaudah! Kalo gitu mari kita nyanyikan lagunya Afgan, ‘Terima Kasih Cinta’,” ajak Faiz lagi.

“Nada dasarnya apa, Iz?”

“Suka-suka loe deh, Cin!”

Menyanyilah Faiz dan Gigan lagu “Terima Kasih Cinta” milik Afgan. Lagu itu dipersembahkan kepada Big Bos tempat mereka bekerja. Wajah mereka ceria. Ada pancaran bonus di wajah mereka. Meski dicicil dua kali, namun mereka sangat suka cita dengan perusahaannya yang begitu mengerti hidup mereka.

Sambil menyanyi, di otak mereka juga terus menerawang ke bulan Juni dan tahun depan. Kenapa begitu? Karena menurut mereka, Big Bos udah memberikan sinyal kalo tahun depan pasti akan mendapatkan bonus lagi. Hebatnya, bonus tersebut pasti udah disesuaikan dengan kenaikan gaji para karyawan yang udah dijanjikan itu.

Lalu bulan Juni? Tentu saja, baik Faiz, Gigan, maupun seluruh karyawan mendapat cicilan bonus. Cicilan bonus ini diiringi dengan kanaikan gaji karyawan yang konon akan membuat tajkub. Angka-angka fantastis akan diperlihatkan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

“Hidup ini benar-benar indah ya, Iz?” tanya Gigan sambil membelai rambut Faiz.

“Iya. Semoga hari-hari ke depan semakin membuat kita ceria....”

Ternyata mereka nggak cuma nyanyi satu lagu. Tapi beberapa lagu. Rupanya mereka berdua suka nyanyi dan punya cita-cita pergi ke karaoke. Semangat nyanyi itulah yang menyebabkan mereka sepakat buat pergi ke karaoke.

“Gimana kalo kita undang juga Mia, Agam, dan si Uki buat meraikan karaokean kita?” usul Faiz.

“Setuju!”

“Enrico sama Nanda diajak nggak?”

“Mereka bisa nyanyi nggak?”

“Kalo Enrico kayak-kayanya sih bisa. Tapi kalo Nanda, ya nandatau ya...”

Mereka bersama-sama akhirnya ke karaoke Inul Vizta di Plaza Semanggi. Begitu gembiranya mereka. Palylist mereka yang nyanyikan jumlahnya cukup banyak. Yang paling niat nyanyi adalah Uki. Wanita bertubuh seksi dan berambut panjang terurai ini nyanyi 20 buah lagu, mulai lagu “Walangkeke” sampai “Madu dan Racun”. Sementara Enrico memilih lagu-lagu hits Batak dan Tapanuli.

Sejam. Dua jam. Mia dan Agam lemes. Mereka kelelahan gara-gara berjoget menjadi penari latar Uki. Lima jam. Enrico terkapar di lantai. Sepuluh jam. Akhirnya karaoke berakhir. Mia, Agam, Enrico, Uki, dan Nanda pulang. Mereka berterima kasih sekali atas undangan Faiz dan Gigan berkaraokean. Sebab, mereka memang bercita-cita ingin mengetes vokal mereka apakah masih diandalkan jadi Penjual Obat atau nggak.

Sebaliknya, Faiz dan Gigan berterima kasih juga Mia, Agam, Enrico, Uki, dan Nanda mau datang memenuhi undangan berkaraokean. Semoga dalam waktu dekat akan ada event yang sama, pada jam dan waktu yang sama pula.

Sepeninggal teman-temannya...

“Elo yang bayar kan, Iz?” tanya Gigan.

“Kenapa gw? Elo yang bayar dong. Kan baru dapat bonus?”

“Lha, elo juga dapat bonus juga kalee....”

“Tapi gw nggak bawa duit nih, Cin!” kata Faiz.

“Sama! Gw juga nggak bawa duit.”

“Lah, duit bonus loe mana?”

“Udah abis. Elo?”

“Udah abis juga...”

“Kok kita sama ya?”

“Trus bayarnya gimana?”

Akhirnya mereka pulang dengan wajah manyun. Orang-orang di sekitar mereka tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Ada pula orang yang mencoba menutup wajah dengan tangan. Malu katanya. Kenapa sih mereka malu? Soalnya Faiz dan Gigan keluar dari karaoke Inul Vizta cuma memakai celana kolor. Udah gitu nyeker pula. Ini terjadi gara-gara mereka kudu membarter pembayaran karaokean tadi dengan pakaian, sepatu, dan aksesoris yang mereka kenakan.

“Dasar apes!”

“Nasib! Nasib! Tahu gini gw nggak undang deh tuh cecungguk-cecungguk karaokean...”

NGGAK JELAS


Terus terang gw nggak tahu siapa yang pertama kali menamakan ikan ayam-ayaman. Kenapa kata itu seperti menunjukan keragu-raguan? Nggak jelas maunya apa. Mau dibilang ikan ya kok memang jenis mahkluknya "ikan". Tapi kenapa masih pake embel-embel "ayam-ayaman"? Kalo mau ikan ya ikan aja. Kalo mau ayam ya ayam aja. Ayam atau ikan? Jangan kaya banci. Siang namanya Suprapto, malam pas mejeng di Taman Lawang namanya ganti jadi Suprapti. Mau Prapto atau Prapti? Kalo keputusannya Prapti, nasib loe ya akan mirip Dorce. Lelaki yang mengaku Perempuan. Nggak jelas!

JEMBATAN POLITIS


Nggak cuma ada di San Fransisco, sebuah jembatan terbentang menghubungi dua buah lokasi. Memang bukan pulau, tapi jembatan ini relatif fungsional. Inilah "keajaiban" UI ketika gw udah nggak berguru di ranah Depok itu. Gw lebih menyebut sebagai jembatan politis. Kenapa? Warna-warna jembatan, lebih mengingatkan warna-warna partai. Merah sebagai partai (yang katanya partai) wong cilik. Warna kuning mengingatkan partai zaman Orba (yang katanya udah reformis padahal masih mengambang kayak tokai). Politis juga dimaksudkan buat ajang venue romantis dua Fakultas, yakni Fakultas Sastra dan Fakultas Ekonomi. Gw nggak tahu dan belum dapat data, berapa jumlah perjodohan yang terjadi antarduafakultas itu. Kalo ada, gw pengen tahu gimana konsep perkawinannya? Apakah kehidupan perkawinannya gaya sastra yang ekonomis atau gaya ekonomis yang nyastra. Kalo gaya pertama, pasti hidupnya penuh puisi. Tapi puisinya dibatasi secara ekonomis. Kalo gaya kedua, hidupnya penuh dinamika ekonomi. Tapi tetap dibumbui oleh bumbu-bumbu sedap kata-kata nan indah sebagaimana para sastrawan.

SELAMAT TERJEBAK



Begitu menginjakkan kaki di Jakarta, Anda seharusnya lapor dulu ke sepasang insan ini. Mereka pasti akan menyapa Anda dengan penuh suka cita: "Selamat Terjebak". Mereka nggak salah, yang salah kita. Siapa suruh datang Jakarta? Di kota metropolis ini, Anda akan terjebak dengan berbagai problematika. Mulai dari terjebak kemacetan, terjebak jadi manusia shopahilics, terjebak jadi individualistis, terjebak egois, banjir, dll. Di rumah, Anda pun seringkali terjebak oleh rong-rongan tikus yang mengganggu tidur Anda, gara-gara pecicilan lari-lari di loteng.

TERPAKSA BERGABUNG



Kata "terpaksa" sangat lemah, karena terkasan negatif. Ambil contoh, "terpaksa menyerah", "terpaksa mengaku salah", dll. Namun ketika di Medan, kata "terpaksa" lebih tinggi harkatnya. Setidaknya itu menurut gw. Kenapa? Kalo motor "terpaksa" digabungkan sama becak, ini lebih karena yang punya butuh uang. Uang buat makan keluarga, sekolah anak-anak, dan sisanya buat ngerokok. Mumpung di Medan, "terpaksa" gw nyoba naik kendaraan khas Sumatera Utara ini. Nggak negatif kan?