Saturday, February 14, 2009

NGOMONG-NGOMONG MAS PERNAH NGUTANG NGGAK?

Rekor eksistensi warung ini barangkali bisa disejajarkan sama jabatan Presiden Soeharto. Tigapuluhdua tahun! Bukan waktu yang sebentar dan masih lebih tua dari umur Warmo di Tebet atau warung di Bulungan, Blok M. Entah kapan akan terus meladeni para Customer yang kelaparan. Uniknya lagi, bukan meladeni Manusia. Tapi meladeni Seniman yang doyan ngutang. Walah!


Lokasi warung ini cukup unik, yakni berada membelah tembok. Segaris dengan garis tembok. Kalo nggak ada warung ini, pasti jalanan ini cuma ada tembok putih. Berkat doa para Seniman, Warsen ini eksis meladeni perut lapar para Seniman dan warga sekitar situ selama lebih dari 30-an tahun.


Inilah Warung Mimi. Nama terakhir itu adalah pemilik asli warung ini. Wanita tua ini asli Cirebon. Jadi warung makan ini nggak cocok dibilang Warteg atau Warung Tegal. Lebih cocok disapa Warcir. Tapi kayaknya nggak enak menyebutkannya. Lebih pula jarang ada warung Cirebon yang disingkat-singkat. Ada baiknya kita singkat sebagai Warsen alias Warung Seniman.

Lho kok Warung Seniman?

“Dulu banyak Seniman makan di sini,” jelas seorang Ibu setengah baya ke gw. Ibu setengah baya ini nggak lain adalah Putrinya Ibu Mimi, pencetus lahirnya Warsen ini.


Jendela kayu yang menggunakan kayu sebagai penyangga, tetap dipertahankan sampai sekarang. Bukti, arsitektur bahuela gak harus ikut-ikutan arsitektur modern. Yang penting makanan yang tersedia tetap lezat. Perhatikan tembok di depannya. Itu tembok TIM yang saat berdiri Warsen ini masih pakai seng.


Menurut Ibu setengah-setengah tadi itu, banyak Seniman jebolan TIM yang sekarang udah ngetop, makan di sini. Mulai dari El Manik, Didi Petet, Darmanto, dan Sardono W. Kusomo yang sekarang jadi Rektor Institut Kesenian Jakarta. Deretan nama-nama ini semakin panjang, karena memang terlalu banyak Seniman yang udah pernah merasakan makan di Warsen milik Ibu Mimi ini. Nggak cuma makan, banyak yang ngutang pula. Jangan-jangan mereka yang udah jadi “orang” ini masih punya hutang?

“Nggak tahu deh!” Ibu setengah itu tersenyum. Kayaknya doi nggak peduli sama hutang Seniman-Seniman yang udah ngetop itu. “Yang penting someday mereka bisa mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah internasional. Dengan begitu, kita-kita sebagai orang Indonesia jadi ikut-ikutan happy”. Kalimat itu bukan milik Ibu setengah-setengah. Tapi milik gw.


Banyak Seniman TIM yang udah jadi "orang" sempat makan dan ngutang di Warsen ini. Wajah para Seniman, kini cuma bisa disaksikan di televisi yang ada di Warsen itu. Mereka udah jarang datang ke Warsen. Boro-boro bayar utang, mencicipi usus dan ati ampela udah nggak sempet lagi. Sibuk syuting lah yau!


Cara makan Seniman sama kayak Manusia biasa. Sometimes mereka pakai sendok dan garpu, sometimes mereka cuma pakai tangan dan kaki. Menu yang dimakan para Seniman juga nggak beda-beda amat kayak menu yang dipilih para Manusia. Kalo kebetulan ada duit, makannya sayur plus dadar telor. Kalo kebetulan nggak ada duit dan niat mau ngutang, makannya pake sayur plus telor dadar. Bedanya apa ya? Sebenarnya memang nggak ada beda. Bukankah gw udah bilang Seniman dan Manusia nggak ada bedanya? Begitu pula kalo lagi punya duit dan nggak punya duit pun nggak ada bedanya kalo makan? Maklum Seniman, nyentrik!

“Kalo mbak Renny mah sukanya makan pakai ati ampela,” kata Ibu setengah-setengah itu. Yang dimaksud Renny di kalimat Ibu tadi bukan Renny Pattinasarani. Soalnya Renny itu nama Wanita. Sementara Renny yang belakangnya pake Pattinasarani itu pemain sepakbola nasional yang udah wafat. Renny yang berwujud Wanita ini nggak lain nggak bukan si Lady Rocker yang selalu memakai banyak aksesoris di seluruh badannya: Renny Jayoesman. Bagi yang nggak kenal nama ini, please bayangin aja wajahnya ya? Mirip-mirip kayak Mariem Barlina gitu deh!


Menu makanan di Warsen macam-macam. Nggak cuma tahu atau tempe goreng. Ada usus, ati ampela, telor ceplok dicabein, tempe orek, dan lain sebagainya. Jangan lupa cicipi sambalnya. Pedes-pedes gimana gitu...


Terus terang, jasa Warsen ini sangat berjasa bagi khalayak Seniman saat itu. Berdiri sejak 30-an tahun lalu, kala Taman Ismail Marzuki masih sebuah proyek yang sedang menggerjakan kompleks seni. Tembok yang sedang udah berdiri tegak, dahulu masih berupa seng. Elo pasti bisa ngebayangin kalo sebuah proyek sedang dikerjakan, pasti seluruh lokasi proyek ditutupi seng. Nah, berdirinya Warsen milik Mimi ini masih kayak begitu.

Soal lokasi, dari dulu sampai sekarang sih masih sama. Berada di sebuah gang di Kalipasir. Warsen benar-benar nyempil di tengah sebuah tembok yang membatasi gang Kalipasir dan duni lain. Dunia lain ada bank, ada bangkel, dan ada-ada yang lainnya. Struktur bangunan Warsun ini nggak banyak berubah. Ada sih renovasi sedikit demi sedikit.

“Itu kalo ada orang bengkel yang mau makan,” kata Ibu setengah-setengah yang menjelaskan soal lubang di bagian dapur.


Ini di bagian dapur yang menghubungkan dengan ruang istirahat. Ada dipan tempat tidur Pelayan Warsen yang kalo lagi cape bisa ngaso di situ. Perhatikan di samping lemari, ada lubang berdiameter 5 cm. Itu lubang udah ada sejak dahulu kala. Entah berapa juta rupiah transaksi yang terjadi lewat lubang itu. Yang pasti itu lubang halal toyyiban.


Lubang itu boleh jadi lubang sejarah. Soalnya umurnya udah lama. Sejak gw terakhir makan di Warsen ini tahun 2004-an, lubang itu dibiarkan berlubang sampai tahun udah memasuki 2009. Entah udah berapa rupiah yang dihasilkan Warsen ini via transaksi lubang. Untung lubang itu halal. Artinya transaksi yang terjadi via lubang, menghasilkan uang yang diridhoi Tuhan. Coba kalo lubang yang dimaksud adalah lubang maksiat, mau harga lubangnya selangit tetap aja duit yang diterima adalah duit panas alias nggak halal.

Kini, di tengah-tengah persaingan para Caleg yang narsis, Warsen masih eksis. Terus terang gw bersyukur masih bisa menikmati tahu goreng atau sayur labu siem yang maknyos di warung ini. Gw juga masih menikmati sambal yang dari tahun 1999 sampai 2009 ini racikannya masih sama. Pedas-pedas endang! Gw berdoa, semoga Ibu setengah-setengah ini bisa mewarisi Warsen ini dari Ibu Mimi yang kebetulan gw nggak sempat melihat lagi wujudnya. Katanya sih masih hidup dan tinggal di Cirebon.

“Ngomong-ngomong Mas pernah ngutang di warung ini nggak ya?”

Terus terang, ditodong begitu gw jadi minder. Antara yakin nggak yakin punya utang. Tapi gw sempat mempertanyakan di luar masalah utang, yakni soal Seniman. Harusnya gw nggak makan di warung ini, karena gw bukan Seniman. Gw cuma Manusia biasa yang penuh bergelimangan dosa. Jadi, maafkan daku kalo dianggap masih punya utang. Moga-moga ada yang ikhlas mau bayarin gw. At least nanti gw bayar setelah dapat bonus dari kantor gw.

“Emang situ dapat bonus?”

all photos by Brillianto K. Jaya

No comments: