Udah lama gw nggak hadir di pesta pernikahan kalangan borjuis. Sebenarnya antara males dan nggak enak, datang ke pasta kaum the have. Malesnya, karena gw kudu mempersiapkan diri tampil se-eksklusif mungkin supaya levelnya setara dengan para undangan yang hadir. Malu lah yau, datang ala kadarnya di pesta yang nilainya mungkin minimal bisa 500 juta sendiri.
Supaya performance gw seimbang, kalo hadir di pesta elit, gw selalu menambah value pada diri gw. Jam tangan yang biasanya dipake sehari-hari, gw ganti dengan jam yang relatif sedikit mahal: Rolex. Gelang dan kalung emas yang nggak pernah gw pakai weekdays, kali ini terpaksa gw kenakan. Parfum pun nggak kalah sengit. Turut memeriahkan nilai gw, yang biasanya cuma pake AXE kali ini pakai Aigner. Untuk wardrobe, gw pilih kemaja plus jas buat menggantikan batik.
Jam boleh Rolex, kalung boleh emas, parfum boleh Aigner, tapi sepatunya tetap dari Bata. Lucu sih, tapi ya gw belum ada duit untuk beli sepatu lagi, yang merek-nya lebih elit lah. Supaya performance gw intregrated, benar-benar level kalangan jetset. Buat memaafkan kekurangan soal sepatu ini, gw biasa menghibur diri.
”Ah, sepatu kan letaknya ada di bawah. Pasti nggak ada yang liat. Toh kalo disemir mengkilat pakai Kiwi, orang akan melihat sepatu gw masih oke-oke aja,” begitu gw berbicara dalam hati untuk menenangkan otak gw yang gundah-gulana, karena ada yang miss dalam performance gw.
Tentu saja dengan penampilan yang luar biasa ok, gw nggak akan naik bajaj, apalagi naik ojek. Bunyi bajaj yang bikin budeg kuping, bisa bikin naik darah juga. Masa datang ke pesta orang kaya dalam keadaan naik darah? Harusnya happy-happy kan? Kalo ojek, masalahnya pada wajah dan rambut. Memang cepat naik ojek, tapi wajah kita akan berlapis asap plus debu. Wajah nggak terlihat segar.
”Kenapa wajah loe jadi belang begitu?” tanya seorang teman ketika melihat wajah kita yang terdapat dua warna: coklat dan hitam gara-gara naik ojek.
Rambut yang sudah disisir rapi, sudah dipastikan akan berantakan. Tahu sendiri, kecepatan ojek menjelajah jalan raya nggak mungkin 20 km/jam. Paling pelan, ojek jalan dengan kecepatan 40 km/ jam. Selain masalah kecepatan, masalah bau juga berpengaruh. Jarang banget ada Ojek Biker jaket atau wardrobe-nya wangi. Mayoritas jaket Ojek Biker menyebarkan aroma yang bisa memuntahkan aneka jenis makanan dari mulut kita. Mereka nggak salah, nggak ada budget untuk jaket mereka untuk masuk laundry. So, biar udah bau gara-gara kehujanan dan kepanasan, Ojek Biker tetap ready on the road.
Kalo kejadiannya naik bajaj atau naik ojek, biasanya sebelum masuk ke ruang utama resepsi, kita mampir dulu ke kamar mandi. Nyisir dulu. Cuci muka dulu. Pokoknya rambutnya biar terlihat rapi dan wajahnya nggak belang-belang. Habis nyisir dan cuci muka, kencing dulu juga nggak apa-apa sih. Tapi kalo nggak naik mobil, dipastikan naik taksi. Kebetulan, kemarin malam gw bawa mobil. Jadi, gw nggak mengalami masalah dengan rambut atau wajah. Tetap tampil wangi dan ganteng.
Memasuki area resepsi, udah tercium aroma wangi para undangan. Begitu pula dengan aneka pakaian yang luar biasa bagusnya. Nggak ada satu pun yang jelek, baik itu wardrobe maupun dandanan. Semua mirip Prince dan Princess. Buat gw bisa dimaklumi. Yang nggak terbiasa lagi buat gw hadir di pesta kaum jetset, soal pemberian amplop. Nggak tahu gw kampungan atau norak atau manusia tolol, pada saat gw mau memasukkan amplop berisi uang, seorang petugas langsung mengambil amplop (baca: angpau) itu dan menempelkan stiker bertuliskan nomor.
How do you think Friends?
Buat gw, pemberian nomor di angpau adalah sebuah perbuatan yang nggak sopan. Mungkin buat elo nggak. Udah biasa. But let’s discuss! Gw ngerti, pemberian nomor ini bertujuan mulia, yakni “balas dendam”. Kalo hadir di resepsi si A dan kita ngasih uang Rp 1.000.000, maka pada saat kita married ato ada keluarga kita married, si A akan memberikan angpao paling kecil Rp 1000.000 juga.
“Malu lah, Mas. Masa waktu kawinan kita dia ngasih 500 ribu, kita cuma ngasih 1 juta?” kata istri gw coba mengingatkan.
“Harusnya ngasih berapa?” tanya gw.
“Kasih kunci apartemen atau kunci mobil beserta STNK-nya kek,” jawab istri gw enteng.
“Hmm. Begitu ya?” kata gw meyakinkan diri dengan pendapat istri.
Buat gw, nomor yang ditulis si Penjaga Tamu merupakan sebuah pemerkosaan hak azasi. Gw ngeri banget, penulisan nomor itu dimaksudkan supaya nggak ada undangan nyasar. Undangan gelap, dimana undangan ini nggak diundang, eh sok-sok nulis buku tamu dan makan gratis di resepsi itu. Namun sebenarnya bukan begitu cara mendeteksi undangan gelap kok. Mereka pasti ketahuan. Lagipula kalo pun ada, ya relakan aja sepasang atau dua pasang undang gelap masuk. Toh, pasti makanan buffee akan ada sisa kok. Ikhlas aja, Bro!
Alhamdulillah, di dalam keluarga kecil maupun besar gw, nggak ditanamkan kebiasaan memberikan nomor di angpau. Yang ada memberikan nomor buntut ke para Penjudi supaya mereka dapat uang dan kaya. Eh, itu nggak juga, Bos! Dosa! Kebetulan, keluarga gw lebih suka iklas dengan apa yang diterima. Mo ngasih cuma 20 ribuan kek (kadang lecek pula), no problem! Mo ngasih cuma amplop kosong kek (ini juga seringkali terjadi), ya Alhamdulillah. Atau cuma bawa diri aja? Ora opo-opo! Sing penting, mereka datang dan mendoakan mempelai.
Soal balas-membalas budi, itu terlalu pamrih. Kalo memang niat mau balas budi, ya nggak perlu hitung-hitungan kan? Meski seorang Jendral bintang empat datang di pesta perkawinan gw, gw nggak akan pernah pengen tahu berapa si Jenderal ngasih uang? Jangan-jangan si Jenderal bukan ngasih uang, tapi malah ngasih pistol yang satu paket dengan peluru. Atau si Jenderal ngasih paket granat beserta penjinaknya. Who knows? Nobody’s know! Biasanya, orang-orang terhormat, seperti Jenderal itu tadi atau Menteri, atau Dirjen, selalu akan memberi angpau langsung ke si Pengantin. Kalo pun nggak langsung, di amplop yang dimasukkan ke dalam kotak selalu ada kartu nama atau di amplopnya ada nama dan alamat si orang terhormat itu. Ini udah gw alami sendiri Friends di beberapa perkawinan gw.
Pengantin mana yang tahu kalo gw selalu membudgetkan minimal sekian ratus ribu setiap kali hadir di resepsi? Entah kawinan di kampung atau di resepsi di tempat elit seperti kemarin malam itu. Kenapa gw musti memamerkan diri dalam soal angpau? Apa perlu gw berteriak: “Hi Pengantin! Gw ngasih sekian ratus ribu lho! Besok kalo elo datang ke pesta gw, gantian ya ngasih! Paling kecil ya sama separti gw ngasih sama elo!”
“Itu kan tradisi biasa! Kenapa elo persoalkan sih?” kata teman gw yang sempat kuliah tentang Kanguru di negeri Kanguru juga.
“Tradisi dari mana Om? Jawa? Sunda? Manado? Please tell me! Jangan-jangan itu tradisi adaptasi dari Cina? Eropa? Amrik?”
“Hmmm...darimana ya? Ya, pokoknya tradisi lah. Persis tagline-nya iklan biskuit Roma: sudah tradisi!”
“Dasar!”
Malam itu gw jadi sebel dengan Pengantin. Padahal belum tentu mereka yang membuat ulah menomerkan angpau. Bisa jadi desakan keluarga besarnya. Bisa jadi tradisi itu udah turun temurun. Maklum, Pengantin yang gw datangi malam itu berasal dari keluarga Cina kaya. Meski sebal, mulut gw tetap aja ngunyah makanan yang tersedia. Ada sushi. Ada shasimi. Ada sup asparagus. Semua gw hajar! Maklum lapar, Bro!
No comments:
Post a Comment