Wednesday, December 3, 2008

ALWAYS SEE THE BRIGHT SIDE

Setiap kali inget masa kecil, setiap kali pula gue teringat dengan berjuta kebodohan gue. Namun aneka kebodohan itu justru membukukan pengalaman yang gak akan pernah gue lupakan. Seperti pengalaman gue kali ini, soal kemampuan gue bicara sama ikan, sebagaimana Deni Manusia Ikan.

Kalo elo pernah berlangganan majalah anak Bobo era 70-an, atau pernah pinjam majalah itu dari teman yang umurnya sekarang sekitar 38-an, atau seapes-apesnya pernah ngeliat di kios majalah ada yang namanya majalah Bobo, pasti ingat ada komik berjudul ”Deni Manusia Ikan”. Kalo gak salah ceritanya begini: Deni itu adalah anak manusia yg sejak kecil dirawat sama ikan. Sejak kecil Deni berpisah dengan ortunya. Karena musibah di laut, Deni terdampar di sebuah pulau yang gak berpenghuni.

Sementara itu Deni tumbuh jadi manusia ikan.Dengan kepandaiannya berenang dan didorong pergaulannya dengen penghuni laut, Deni tumbuh besar menjadi anak laut sejati. Dia bisa bergaul dengan penghuni laut siapa saja. Gak heran kalo dia bisa berbicara dengan bahasa ikan. Tentunya ia bisa berenang, luar biasanya berenang secepat ikan cucut. Pada akhir cerita, ortunya Deni berhasil menemukan kembali anak tunggalnya itu.

Percaya gak percaya, gue adalah perwujudan Deni. Begitu selesai baca Deni, gue langsung lihat di antara jari jemari gue, ada selaput apa gak. Ternyata ada, Bo, tapi gak sebesar punya Deni. Selain selaput, gue juga perhatiin kulit-kulit gue, ada sisik gak. Nah, ternyata kalo sisik gak ada. Yang kelihatan sih, gue agak busik. Tahu kan apa itu busik? Yang pasti bukan istrinya pasik, lah. Mentang-mentang ada kata ”bu” di depan sik, otomatis pasangannya ”pa” sik. Busik itu sejenis ganguan kulit, dimana kalo tangan elo digoreskan sama kuku akan memperlihatkan tanda putih indah bersemi.

Selain selaput dan sisik, yang gue juga perhatikan dari kemiripan gue dengan Deni adalah kemampuan bercakap-cakap dengan ikan. Soal berbicara dengan ikan, terus terang gue masih agak ragu-ragu apa benar gue bisa. Apa benar ikan-ikan itu mengerti apa yang gue bicarakan?

Suatu ketika, gue mempraktekkan dialog-dialog yang Deni ucapkan ke para ikan. Sebelumnya, gue sempat latihan di depan kaca. Dengan memanjatkan doa, kepala gue langsung gue masukkan ke bak mandi. Oh iya, kebetulan waktu itu, rumah gue punya bak mandi yang gede, dimana di bak mandi itu ada beberapa jenis ikan. Ada ikan mas, ada ikan badut, dan ada ikan mas koki. Sambil tetap memegang komik Deni yang ada di majalah Bobo, gue berbicara bahasa ikan persis dialog Deni dengan ikan-ikan di laut.


”Blebek...blebek...blebek...blebek...blebek...,” begitulah bunyi tiap gue ngomong dengan ikan-ikan di dalam air.

Ceburan pertama, gue gak gak berhasil berdialog. Yang ada begitu kepala gue menyelam masuk ke dalam bak mandi, ikan-ikan itu langsung kabur. Sementara gue terus berusaha membuka omongan dengan mereka, ya dengan kalimat sesuai dengan dialog Deni.

”Blebek...blebek...blebek...blebek....,” gue berbicara dg ikan bagian kedua. Ternyata gak berhasil juga. Padahal niat gue baik, cuma mo kenalan. Kenapa sih it’ doesn’t work? Padahal bahasa gue persis dengan dialog Deni...

Gue penasaran, mungkin dialog itu nggak cocok dengan ikan mas. Ikan berikutnya yang gue ajak bercakap-cakap adalah ikan lele. Dengan lele, gue sebenarnya berharap banyak ada progres. At least sang lele mengerti apa mau gue. Dasar blo’on, bukannya hubungan komunikasi gue dengan lele terbina, eh malah jidat gue kepatil. Padahal gue belum sempat omong banyak.

Kegilaan akan Deni untung gak berlangsung lama. Otak bloon gue bisa disembuhkan gara-gara teman gue ngasih wejangan. Bahwa segala sesuatu kudu dilihat dengan sisi yang indah. Always see the bright side. Mungkin elo bertanya apa hubungannya ”bright side” sama kegilaan gue pada Deni manusia ikan?

Mungkin gue gak bisa seperti nabi Sulaiman yang jago bahasa-bahasa bintang, karena emang gue kan bukan nabi. Tapi dengan fleksibelenya gue berkomunikasi dengan berbagai macam orang dari strata yang berbeda tentu merupakan sisi yang gak bisa dimiliki orang lain, ya gak? Tapi gak ada yang ngelarang juga kalo gue tetap nekad belajar bahasa yang lain selain bahasa ikan, ya misalnya bahasa monyet, kus-kus, anjing pelacak, atau bahasa tikus got. Toh, kemampuan bahasa gak ada matinya kalo terus kita pelajarai dan gali. Siapa tahu kalo sukses bisa bahasa anjing pelacak, gue bisa menggantikan anjing mengendus-endus.

Begitu pula dengan sisik. Gue sebenarnya juga gak berharap punya sisik. Memang aneh sekali kalo orang setampan gue punya sisik, karena begitu pacar gue ngeliat pasti akan berteriak. Mending seperti sekarang gak punya sisik, tapi punya bulu dada yang hitam lebat, karena gak pernah dicukur. Itu bright side-nya kan?

Dan yang utama, yang gue syukuri, sampai saat ini gue masih menjadi manusia normal. Yang punya dua mata, dua telinga, dua kaki, dua kepala (ups! Salah! Satu kepala), dan jari-jemari yang masih komplet. Dengan kesempuraan fisik itu, gue jelas akan bisa membandingkan dengan orang lain yang kurang beruntung dari gue. Yang gak punya tangan, tapi punya kaki. Yang punya kaki, tapi masih punya kepala.

So, gak ada salahnya setiap hal selalu kita lihat dari “bright side”. Mungkin elo gak bisa begitu, tapi pasti elo bisa begini. Mungkin gue gak bisa seperti Deni, pasti Deni gak bisa seperti gue. Seperti gue itu seperti apa? Gue punya banyak teman, mulai dari manusia sampai bintang. Gua masih punya orangtua yang utuh dan sehat wal afiat. Sekarang tentunya gue bersyukur punya keluarga: istri yang cantik, anak-anak yang lucu, yang komplet fisiknya. Sedang Deny, ketemunya cuma air dan ikan-ikan. Kalo beruntung, ketemu sama putri duyung. Kalo gak beruntung, ketemunya comberan yang butek, yang banyak sampah. Always see the bright side!

No comments: