Monday, December 22, 2008

PARKIR NGGAK PERLU MIKIR


Boleh dibilang, gw cukup beruntung kerja di kantor sekarang. Ini terlepas dari environment kerja, siapa bos kita, maupun salary. Ada aspek mikronya yang berhubungan dengan kantong kita. Apakah itu? Soal parkir!

Buat elo yang berada di kelas menengah seperti gw, pasti rewel soal parkir. Dalam otak kita (maaf! gw coba mengikutsertakan elo dalam konteks ini, sehingga pake kata: ”kita”), kalo bisa cari parkir yang aman, tapi gretong alias gratis. Lebih baik ngirit untuk urusan parkir, daripada pelit untuk urusan perut. Ya, nggak?! Ngaku aja deh?!

Milih tempat parkir biasanya tergantung dari tanggal muda ato tanggal tua. Kalo kebetulan tanggal 1-10 (baca: habis gajian), karyawan cenderung nggak perlu banyak mikir: masuk gedung, ambil tiket, cari parkir deh. Ada juga sih karyawan yang agak sok alias gengsinya tinggi. Begitu turun di lobi gedung, mobil langsung di-valet-in. Padahal mobilnya mobil butut, Corolla tahun 1825, yang pintu mobilnya lepas sebelah, yang setirnya tiba-tiba bisa copot sendiri, yang klaksonnya bunyinya lagu dangdut.

”Yang penting valet, Bos!”

Begitu tanggal sudah berganti menjadi tanggal 11-20, mulai deh si karyawan mikir-mikir untuk parkir di dalam gedung. Biasanya di tanggal ini, begitu dekat kantor ato lokasi yang kita tuju, wajah si karyawan langsung celingak-celinguk ke kiri-kanan. Bukan mo nyolong, tapi cari tempat parkir di luar gedung. Syukur-syukur yang nggak ada Tukang Parkirnya. Ini dialami kalo nggak begitu ngejar waktu, misalnya nggak telat masuk kantor ato nggak telat hadir di miting dengan klien. Tapi kalo si karyawan telat, terpaksa parkir di gedung-gedung juga.

Yang parah, kalo sudah tanggal 21-31. Karyawan sudah mulai cari-cari inspirasi untuk parkir di luar gedung. Pokoknya cari tempat parkir yang murah, yang bisa seharian tapi bayarnya tetap 2000 perak. Ada juga sih yang mau irit banget, cari parkir yang nggak perlu bayar. Padahal mobil yang diparkir kelas A-B, sebangsa Toyota Harrier, Alvard, atau paling murah Honda Accord.

”Nggak apa-apa jauh, yang penting gratis!”

Kalo yang diterapkan metode cari parkir gratis, terkadang kita harus siap dengan jantung ekstra. Ektra jantung pertama untuk jalan kaki lebih jauh dari mobil ke gedung ato kantor kita. Extra jantung kedua, selama ngantor, pasti kita akan was-was, mikirin terus eksistensi mobil kita. Meski udah dikunci pake segala macam kunci, tetap aja nggak menjamin mobil akan aman dan tentram.

Sekarang ini maling mobil udah jago-jago Bos! Suara alarm di mobil loe bisa dibikin budek. Kunci pengaman yang elo kaitkan di stang bisa dibuka. Apalagi kalo elo cuma pake rante anjing yang dikaitkan di ban mobil loe, wah itu mah enteng dicolongnya. Teknologi pengaman saat ini belum menjamin keamanan mobil. Sarang gw pilih yang tradisional. Di sekeliling mobil elo ditumpukin karung-karung beriisi pasir. Bikin lebih tinggi melebihi mobil. Nanti jadinya mirip seperti tembok China. Nah, kalo elo melakukan metode itu, dijamin si Perampok akan kapok. Yang ada bukannya nyolong mobil, si Perampok bakal jualan pasir.

Jangan senang dulu dapat parkir yang elo anggap gratisan itu. Kenapa? Gw pernah ngalamin cerita mengondokkan. Pagi hari, gw dah menemukan spot parkir yang aman dan enak, karena di bawah pohon beringin yang rindang, gratisan pula. Ini gw udah pastikan aman dan gratisan, setelah celingak-celinguk ke sekeliling area. Eh, begitu pulang kerja, seorang bertampang sangar bertato berbulu domba langsung mendekati mobil gw.

”Limabelas ribu, Bos..,” pria berlesung pipit itu tanpa basa-basi minta uang parkir ke gw.

”Hah?! Mahal amat Mas?”

”Emang situ maunya berapa?”

”Duaribu gitu,” tawar gw.

”Duh, gini hari nggak laku dua ribu Mas. Udah, sepuluh ribu aja. Itu dah saya diskon lima ribu, lho. Lagian tadi saya juga sempat buangin tahi ayam di ban mobil situ...”

Terus terang sebel kalo punya kejadian kayak begitu. Niat mo irit, eh malah ngeluarin uang juga. Yang bikin sebelnya juga, nilainya sama kalo kita parkir di dalam gedung. ”Tahu gitu, gw parkir di dalam gedung kali yee!”.

Untuk urusan parkir, bukan cuma kita mencari celah untuk cari parkir yang murah dan gratisan. Pemerintah Daerah (Pemda) juga cari celah, supaya harga parkir di naikkan, entah tarif parkir off street (baca: di jalanan) maupun di gedung. Soalnya, dengan menaikkan tarif parkir, Pemda akan menabung banyak untuk kas pendapatan daerah.

Sebenarnya kalo diurus dengan benar, tanpa dinaikkan, kas pendapatan daerah dari parkir, itu gede banget. Pemda bisa kayak raya. Gw yakin itu! Soalnya, sekarang ini dimana-mana ada Petugas berseragam biru muda alias Tukang Parkir. Nggak cuma di tempat-tempat yang resmi parkir off street, tapi di tempat-tempat yang sebenarnya nggak perlu dipalakin parkir, ada aja Petugas Seragam Biru itu.

Nggak cuma Petugas Seragam biru yang minta uang parkir, Petugas berseragam lain pun ikut-ikutan minta. Kalo elo biasa mangkal di Parkir Timur, banyak sekali preman-preman Ambon ato Irian (ini gw denger dari logat mereka yang rada-rada medok) yang minta uang parkir. Mending mintanya setelah kita selesai melakukan aktivitas, ini mah uang dimuka. Nilainya pun bukan kerelaan kita, tapi berdasarkan tarif mereka sendiri. Terakhir gw ke parkir timur, tarifnya 3000 perak. Padahal masuk ke Parkir Timur kita kudu bayar parkir resmi. Gw nggak tahu sejak kapan dan kenapa mereka dibiarkan tumbuh ilegal di situ.

Back to my office! Di kantor gw sekarang ini, tanpa perlu mikir bisa langsung parkir. Nggak perlu ambil tiket parkir, nggak perlu ngasih preman, gw langsung bisa parkir. Masuk ato keluar parkir, cukup hormat grak dengan Security. Mo parkir yang ada atapnya biar nggak kena hujan, ato mo parkir di ruang terbuka bekas reruntuhan gedung, terserah kita.

Meski nggak dikenakan tarif parkir, tetap aja ada karyawan di kator gw yang parkir di luar kantor. Biasanya, karyawan yang nggak markirin mobil di dalam punya dua alasan. Pertama, pasti karyawan ini masuk kantornya telat. Maklum, spot parkir terbatas. Mereka yang mendapatkan spot-spot yang enak, biasanya datang ke kantor sebelum jam 9. Lebih dari jam 9, biasanya mulai parkir di reruntuhan bekas gedung dirubuhin. Lebih dari 10, udah pasti kudu parkir di luar. Beda dong sama para Direksi yang sudah di-reserve spot parkirnya. Mo datangnya kesiangan kek, mo nggak masuk kek, spot itu nggak ada yang boleh berani-berani menempati. Kalo ada yang berani, Surat Peringatan (SP) jawabannya.

Alasan kedua, karyawan itu pasti pengen buru-buru pulang. Biar datang pagi dan masih ada spot parkir kosong, si karyawan lebih milih parkir di luar, misalnya dekat Soto Cholil (soto yang rasanya top banget di Kawasan Industri Pulogadung ini). Soalnya, kalo parkir di luar, takut ketahuan Bos. Elo pasti pernah melancarkan strategi ini kan? Begitu Bos nggak liat, langsung kabur. Begitu mo kabur tiba-tiba ada Bos, elo langsung freeze. Setelah Bos berlalu, baru kabur lagi. Kelakuan! Padahal kalo elo tahu, si Soto Cholil udah dipasang CCTV sama para Direksi. Bego aja kalo loe nggak liat.

Sekarang ini, beberapa karyawan di kantor agak resah. Mereka akan dipindah kerja di sebuah gedung. Kalo kejadian, mereka bakal ngeluarin uang ekstra parkir. It’s mean ekonomi biaya tinggi deh. Dalam hati, ternyata ada untung dan ruginya kerja di Pulogadung. Biar lokasinya di ujung, dikelilingi pabrik-pabrik, trus kalo hujan deras banjir, berada di lingkungan kelas CD, toh kalo bicara parkir, wah hemat banget. Paling nggak kalo ditabung setahun, bisa kredit mobil APV ato beli jam tangan Cartier.

No comments: