Tuesday, July 22, 2008

INI MEDAN BUNG!


Buat kekasihku Medan bukan surga. Gelar kota metropolis yang disandang Medan, mungkin diukur dari tingkat kemacetan dan disiplin berlalu lintas yang semerawut. Untuk hal yang satu itu, kekasihku sangat sebal dan menganggap bulan madu keduanya ini gatot alias gagal total. Bulan madu di Medan, kota kedua setelah kami mengisi awal-awal pernikahan kami dengan tinggal di Bali selama sepuluh hari.


"Pokoknya aku mau pindah kota!"

Begitu sebalnya istriku pada Medan. Sangat sebal. Baginya, Medan tak ada bagus-bagusnya. Tak ada indah-indahnya. Keindahan alam sebagaimana Puncak. Kesejukan udara. Pohon-pohon rindang. Rumput-rumput hijau. Bukit. Gunung. Sungai yang mengalirkan air jernih. Dan segala yang indah-indah, tak ditemukan. Seandainya harus dinilai, raportnya pasti 99% angka merah.

Becak motor atau biasa disingkat bentor menambah perbendaharaan kendaraan di jalan raya. Sebetulnya aku tahu, sebelum jumlah kendaraan bermotor atau bermobil meningkat di Medan ini, bentor menjadi kendaraan favorit warga Medan. Tapi kekasihku mana mau tahu. Yang terjadi justru malah dia mencak-mencak pada pengemudi bentor yang hampir saja menabrak kekasihku. Hampir saja pakaian yang baru dibelinya di Sunplaza -sebuah plaza terbesar di Madan- robek, terkoyak besi yang ada di belakang jok bentor. Sementara Abangnya cuma senyam-senyum.

Belum masuk ke hotel Garuda, sudah banyak catatan yang menyebalkan yang ditulis kekasihku. Troli di bandara Polonia Medan tak ada satupun tersisa buat awak penumpang pesawat. Menyebalkan sekali. Begitu kami mendarat puluhan porter sudah menawarkan jasa angkut bagasi, sementara troli-troli di bandara itu sudah dijaga ketat mereka. Sekali lagi, menyebalkan! Nampaknya jumlah troli dan jumlah porter sama banyaknya. Hanya penumpang yang beruntunglah yang mendapatkan troli. Pemandangan itu yang menjadi catatan buruk buat kekasihku. Kok tak ada ruang buat penumpang pesawat untuk membawa porternya sendiri ya?

Menuju hotel Garuda, lalu lalang kendaraan menghambat perjalanan kami. Lampu merah tak lagi jadi ukuran kendaraan untuk berhenti. Artinya, baik lampu merah atau kuning, itu sama saja lampu hijau. Itu artinya kita jalan. Tak perlu menengok kiri-kanan kalau-kalau ada kendaraan. Tak perlu lampu sen sebagai tanda arah tujuan. Persetan dengan orang lain. Prinsipnya lindungi diri sendiri dan bisa selamat sampai tujuan.

Ada bentor yang dari kiri jalan bisa langsung memotong ke kanan jalan, ada kendaraan yang tanpa lampu sen memutar balik ke arah kiri. Semua pemandangan itu menyebalkan buat istriku, dan juga aku. Mungkin gara-gara kebiasaan yang kurang baik dalam berlalu lintas ini aku tak melihat polisi lalu lintas. Mereka kapok barangkali menegur pengendara. Jangan-jangan polisinya malah yang kena semprot. Aku sampai berpikir negatif, jangan-jangan prilaku lalu lintas di Jakarta hancur lebur gara-gara kehadiran orang Medan, yang sebagian besar menjadi sopir dan kondektur kendaraan umum, entah itu Mikrolet, Metromini, bus kota, dll. Dalam pikiran negatif itu juga kuduga-duga, seandainya orang-orang Medan ini ditarik dari Jakarta, barangkali lalu lintas mendekati sempurna.

Banyak lubang di tengah kota. Mohon dicatat: lubang di tengah kota! Galian yang mengangga di sepanjang jalan sudah jadi pemandangan umum. Kotor. Becek. Lucunya, aku melihat ada tugu Adipura yang diterima kota Medan. Dua tahun pula adipura didapat. Aku bertanya-tanya siapa kira-kira yang menilai? Pada saat apa dia menilai?

Gedung-gedung tua tak banyak tampak. Hanya beberapa yang gedung tua yang nampaknya masih dipertahankan, dipelihara. Itu pun kondisinya menyedihkan. Nampaknya perlakuan pemerintah kota tak begitu toleran terhadap peninggalan sejarah. Gara-gara keadaan ini juga kekasihku marah. Perlu Anda ketahui, kekasihku adalah Sarjana Arkeologi, dimana sejarah atau penemuan masa lalu menjadi disiplin ilmunya, yang bertahun-tahun dipelajari. Seandainya tak ada lagi tanda-tanda sejarah yang ditinggalkan, tak ada lagi peninggalan masa lalu, lantas apa yang bisa dipersembahkan buat anak cucu kita?

Kekasihku manyun. Ia langsung melemparkan tasnya ke sofa yang ada di dalam kamar di hotel Garuda. Sementara koper besar dibiarkan tergeletak di dekat televisi. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas springbed. Aku cuma bisa tersenyum. Kasihan juga kekasihku. Rupanya aku salah pilih kota. Benar-benar salah! Seharusnya aku pilih Manado atau Kalimantan atau kota-kota lain yang lebih menarik, yang banyak direkomedasikan teman-temanku. Bukan Medan.

Aku jadi ingat slogan yang populer sekali, yang barangkali bisa menenangkanku dan kekasihku selama tinggal di Medan. Sebuah pemutihan masalah atas sebuah situasi yang sulit diubah.

"Ini Medan, Bung!"

No comments: