Thursday, September 10, 2009

NIAT MELINDUNGI, JUSTRU MALAH MENGONTROL

Usmar Ismail geram luar biasa. Produksi film Indonesia tahun 1948-1952 jauh dibanding film-film impor dari Eropa maupun Negara Asia di luar Indonesia. Memang ada peningkatan, namun tidak signifikan dibanding film impor.

Data dari buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia karya Johan Tjasmadi, film Indonesia tahun 1948 cuma 3 judul. Padahal di tahun yang sama, film Amerika berjumlah 302 judul, Tingkok (sebelum disebut sebagai negara Cina) berjumlah 115 judul, Inggris ‘menyumbang’ 93 judul, India dan Malaysia berjumlah 3 judul. Sementara Filipina sama seperti produksi film Indonesia tahun 1948, yakni 3 judul.

Itu baru tahun 1948, bagaimana tahun 1949, 1950, 1951, dan 1952. Produksi film Indonesia masih berada di urutan buncit. Tahun 1949 ada 8 judul, 1950 (23 judul), 1951 (40 judul), dan 1952 (50 judul). Bandingkan dengan film-film Hollywood pada tahun 1949 (296 judul), 1950 (660 judul), 1951 (660 judul), dan 1952 (844 judul). Angka-angka inilah yang membuat Usmar geram, apalagi melihat jumlah penonton yang di tahun-tahun itu, dimana film Amerika dan Eropa berhasil menyedot penonton sebanyak 270 juta orang dalam dasawarsa 9 tahun (1952-1960) dengan menyaksikan 6.000 judul film. Sementara dalam kurun waktu yang sama, 1952-1960, Indonesia cuma ditonton 45 juta orang atau rata-rata 12.000 orang.


Ini bukan shooting film, tapi pada saat shooting program Pariwara dengan Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo.

Masa itu memang belum muncul jaringan bioskop 21. Artinya belum ada monopoli yang didukung oleh pemerintah seperti di era Orde Baru. Namun beberapa bioskop kelas A punya komitmen kuat memasok film-film produksi Hollywood maupun Eropa. Apalagi ternyata Presiden RI kita yang pertama Ir. Soekarno punya hubungan mesra dengan American Motion Pictures Exporters Associates (AMPEA).

Menurut buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia (baca hal 32), suatu ketika Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Jones mengatantar utusan AMPEA menghadap Soekarno. Saat itu Jones memang dikenal sangat dekat dengan Presiden pertama ini. Dari pertemuan tersebut AMPEA mendapatkan kesempatan untuk menambah jumlah ekspor film Holywwod ke Indonesia. Alasannya, bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan film AS. Di luar dugaan sama sekali, Presiden Soekarno menyetujui import film Hollywood ke Indonesia dilanjutkan.

Silahkan saja Anda mengekspor sebanyak judul yang Anda inginkan ke Indonesia, tetapi pergunakan 10-15% saja dari hasil pengumpulan share film Anda dari bioskop untuk ongkos-ongkos kantor perwakilan Anda di Indonesia. Selebihnya Anda titipkan uang tersebut di BI atas nama account khusus titipan Anda atau sebagai pinjaman Pemerintah Indonesia kepada Anda –tanpa bunga- pada waktunya nanti, Anda bisa menerima uang tersebut setelah Pemerintah Indonesia memiliki devisa yang cukup...”

Momentum pertemuan Presiden Soekarno dengan perwakilan AMPEA dan Duta Besar AS tersebut jelas memukul insan perfilman nasional. Itulah sejarah mengapa film Hollywood dijadikan ‘anak emas’ dan selanjutnya memonopoli supply film impor ke seluruh bioskop di seluruh wilayah. Sejak itu pula, masyarakat Indonesia sudah ‘terkontaminasi’ dengan American way of thinking dan way of life. Dominasi film-film Hollywood semakin mengila ketika pada tahun 1992, Amerika Serikat mengeluarkan SuperAct 301.

Apakah itu SuperAct 301?

Pada tahun 1992, Amerika Serikat menaikkan kuota ekspor tekstil Republik Indonesia sebesar 35% dari tahun sebelumnya (HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia, hal 91). Penambahan kuota ini meningkatkan jumlah devisa senilai US$ 950 juta dibanding tahun 1991 senilai US$ 700 juta. Sementara devisi RI untuk membeli film Amerika Serikat sekitar US$ 100 juta. Meski nilai devisa yang dikeluarkan untuk film kecil, namun menurut Garin Nugroho, pemerintah sangat ‘pilih kasih’, karena lebih memenangkan tekstil daripada film yang bisa mengendalikan gaya hidup Amerika Serikat melalui film itu.

Jika pemerintah hanya menghitung nominal devisa saja, film nggak usah dianggap,” ujar Garin. “Lebih baik film matikan saja!”

Sebelum insan perfilman protes beberapa tahun ini, di tahun 1992 Garin sudah mengancam ke pemerintah seperti itu. Namun ancaman Garin tetap dianggap angin lalu. Tidak dianggap oleh pemerintah, bahkan pemerintah via Presiden Soeharto memberikan keleluasaan Subentra Group (Sudwikatmono-Benny Suherman) menjadi importir tunggal film-film Hollywood. Keleluasaan itu makin memperburuk kondisi perfilman nasional. Apalagi setelah Subentra Group dalam tempo relatif singkat tumbuh pesat. Hanya dalam waktu lima tahun sudah menguasai 25% dari 3045 layar di seluruh Indonesia, bahkan data tahun 2007 sudah mencapai 65% dari 473 bioskop di Indonesia.


Ini scene blue screen di kantor ogut untuk program acara Negeri Impian.

Bagi AS, film memang termasuk salah satu komoditi ekspor utama. Tidak heran demi membela kepentingan ekspor mereka, Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang bernama Super Act 301. Undang-undang bertujuan ‘menekan’ negera-negara yang mempersulit film-film Hollywood masuk ke negara importir. Sebagai balasan dipersulitnya Amerika Serikat oleh negara-negara itu, maka kuota ekspor ke Amerika Serikat akan dipersulit pula. Namun jika negara-negara importir tidak macam-macam, Amerika Serikat akan terus memberikan kuota, bahkan kuotanya ditambah seperti Indonesia. Hal ini membuat Indonesia serba salah dan terjepit.

Sebagai insan film yang punya komitmen terhadap perfilman nasional, kondisi tersebut bisa dilihat dalam perspektif berbeda. Maksudnya, mereka tidak cengeng dan cuma menangisi nasib gara-gara film nasional ‘terjepit’ di antara film-film Hollywood. Mereka justru berpikir positif dan melihat apa yang menyebabkan penonton bioskop menyukai film-film Holywood. Ini juga dialami oleh Usmar Ismail tahun 1960-an, dimana ia berjuang agar film nasional juga bisa bersanding dengan film Hollywood di sinepleks dan meraih banyak penonton.

Usmar mencoba melakukan kompromi pasar. Ia mencoba membuat film yang disesuaikan dengan selera pasar. Meski ikut pasar, namun bukan berarti film Usmar jadi film ‘ecek-ecek’ alias ‘kacangan’. Ia tetap berprinsip, filmnya harus mencerdaskan masyarakat. Maka lahirlah film Krisis.

Ketika Krisis diproduksi, film nasional juga krisis. Maklum, bioskop-bioskop sudah dipenuhi film-film impor. Meski begitu, Usmar tidak putus asa. Ia mendekati para pemilik bioskop. Tidak tanggung-tanggung, ia mendekati pemilik Capitol Theater sebagai lambang bioskop eksklusif dan khusus kaum intelek kala itu. Namun sayang, Weskin –pemilik Capitol Theater yang keturunan Yahudi- menolak film Krisis. Alasannya, film Indonesia masih berada di level C secara kualitas. Lebih dari itu, penonton Indonesia dianggap masih norak dan kampungan. Seringkali berteriak ketika di dalam bioskop. Tidak bisa mengendalikan diri, karena larut saat menyaksikan adegan-adegan film. Beruntunglah, General Manager Metropole Theater Lie Khik Hwie tertarik memutar film Krisis. Padahal saat itu pewakilan MGM di Indonesia keberatan atas keputusan Lie Khik Hwie yang mau memutar film Krisis.

MGM tidak memiliki saham sesenpun di Metropole Theater Indonesia,” kata Hwie dengan lantang. “Kalau memang Anda berkeberatan tidak ada salahnya saya merobek kontrak dengan MGM”.

Perjuangan Usmar ini terjadi beberapa puluh tahun kemudian. Tepatnya tahun 2000, Mira Lesmana dan Riri Riza via Miles Production berhasil membuka mata Subentra Group, bahwa film Indonesia sangat berkualitas. Tidak kalah dengan Hollywood. Terbukti, film Petualangan Sherina sukses secara komersial. Lebih dari itu, film ini mendorong semangat insan-insan perfilman nasional yang sebelumnya sudah lesu dengan masalah monopoli, untuk produktif membuat film.

Film Petualangan Sherina menjadi momentum kebangkitan film nasional. Film yang dibintangi oleh Sherina Moenaf ini sekaligus menghapus mitos sebelumnya, yang mengatakan film Fattahillah yang menjadi tonggak kebangkitan perfilman nasional. Film produksi Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu dianggap film berbiaya tinggi tersebut tetap saja belum mampu mendorong produktivitas insan perfilman.

Sejak tahun 2000 sampai Juni 2008, produksi film nasional terus meningkat. Data terakhir produksi film nasional yang diambil dari Direktorat Jenderal Seni dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Debudpar), tahun 2006 mencapai 33 judul. Lalu pada tahun 2007 (53 judul), 2008 (87 judul), terakhir bulan Juni 2009 (35 judul). Tentu 35 judul film di tahun 2009 ini akan terus meningkat, mengingat insan-insan perfilman masih produktif dan bioskop Subentra Group sudah lebih ‘reformis’.

Namun persoalan tidak sampai di situ. Pemerintah tetap dianggap ‘memusuhi’ film. Dalam UU Perfilman yang baru disahkan Selasa, 8 September 2009, Slamet Rahardjo mengatakan spirit pemerintah bukan memberdayakan, tapi malah menjadi regulator dengan banyak aturan-aturan yang mengekang insan perfilman. Tambah Slamet, kalo niatnya kebijakan pemberdayaan, seharusnya regulasi yang ada pada UU Perfilman nggak seperti sekarang ini.

UU Perfilman masih mengatur perfilman dengan semangat mengontrol bukan membangun dan mengembangkan film,” tambah Mira Lesmana dalam acara dengar pendapat RUU dengan Komisi X DPR pada 31 Agustus 2009 lalu.

Apa yang disebut Mira sebagai semangat mengontrol terrangkum Pasal-Pasal di UU Perfilman ini. Ada 21 pasal UU mengatur masalah usaha dan perdagangan. Ada 20 pasal mengatur larangan dan pidana. Sementara hampir 50% di UU tidak membicarakan pengembangan film Indonesia.

UU ini banyak mengandung pasal2 kontrol dan regulasi yang berlebihan terhadap industri,” tambah Mira. “Hal ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan saat ini karena akan menghambat industri yang sedang tumbuh, tidak sesuai dengan tujuan pemerintah memajukan industri kreatif kita. Paradigma yang benar dalam perumusan kebijakan film adalah mengembangkan, bukan regulasi.”

Tambah Mira, dalam UU Perfilman cuma menyebutkan, tujuan perfilman mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan dan melestarikan nilai budaya bangsa, dan memperkenalkan budaya bangsa ke dunia international. Namun di point-point itu tidak menyebutkan tentang peran peran pemerintah yang seharusnya bisa memfasilitasi kreativitas dan kepiawaian insan perfilman agar lebih profesional atau menjadi fasilitator bagi warga negara untuk menikmati keragaman pengalaman intelektual dan budaya yg seluas-luasnya.

Terdapat Pasal yang dianggap Pasal ‘karet’. Kenapa karet? Karena intepretasinya bisa dianggap macam-macam dan bisa membuka ‘lubang-lubang’ untuk melakukan pengontrolan terhadap film yang akan diproduksi. Tito Imanda dari Masyarakat Film Indonesia mengkritisi Bab III Pasal 6 yang dimuat di milis NaratamaTV. Pasal 6 ini menyinggung soal isi film nggak boleh (1) mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain; (2) menonjolkan pornografi; (3) memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/ atau antargolongan; (4) menistakan, melecehkan, dan/ atau mnodai nilai-nilai agama; (5) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, dan/ atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Padahal di Pasal sebelumnya, yakni Pasal 5 tertulis: "kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya". Aneh nggak sih? Bebas berkarya, tapi nggak boleh ini-itu sebagaimana Pasal 6.

Menurut Tito, kita terpaksa pasrah saja kalo bikin film soal penganiayaan di IPDN dan dituduh merendahkan harkat dan martabat manusia. Atau memproduksi film antinarkoba, tapi karena ada scene penggunaan narkoba yang dilakukan pemain, Sutradara dituduh mendorong orang menyalahgunakan narkoba. Atau membuat film berlatarbelakang agama, peristiwa Poso misalnya, sang Sutradara dituduh memprovokasi terjadinya pertentangan antaragama.

Ada Pasal yang menyinggung soal standar kompetensi di Pasal 74 Bab IX. Ini juga menjadi Pasal ‘karet’. Kenapa? Sebab, siapa yang menentukan seseorang tidak punya kapibilitas menjadi seorang Sutradara? Apakah mereka yang tidak punya latar belakang sekolah film dilarang keras membuat film? Sebaliknya apakah seorang yang lulusan sekolah film seperti di FFTV IKJ dijamin mampu membuat film berkualitas? Sungguh aneh kalo cuma orang-orang tertentu diizinkan membuat film.

Terakhir yang menjadi kekawatiran Mira soal pembatasan film non-Indonesia sebagai upaya pengkerdilan dan akan mengembalikan perfilman Indonesia ke tingkat kompetisi yang lebih rendah serta membatasi keragaman budaya yang seharusnya bisa dinikmati penonton (Pasal 32). Seharusnya kata Mira, penonton yang mendapatkan pembanding dari karya-karya lain akan dapat mengapresiasi film Indonesia dengan lebih kritis. Penonton yang kritis akan menghasilkan pembuat film yang sadar kualitas. Melakukan perlindungan tidak harus membatasi jumlah film lain.

Toh saat ini peningkatan film Indonesia sudah terjadi secara alamiah, karena kualitas film dan pilihan penonton,” jelas Mira. “Saat ini film Indonesia sudah mengambil alih 60% dari market share”.

Namun UU sudah disahkan. Insan perfilman merasa UU pengganti UU Nomor 8 Tahun 1992 ini kurang akomodatif. Sebagai senior di dunia perfilman, Christine Hakim cuma mengingatkan pada anggota Komisi X DPR: “Kalau yang dilahirkan hanya akan menghambat kemajuan, maka sebuah catatan kerja yang buruklah yang akan dilahirkan oleh kita”.

Apakah UU Perfilman ini akan menjadi catatan buruk kinerja anggota DPR Komisi X periode 2004-2009? Mari kita saksikan bersama reality show di tahun-tahun selanjutnya...

No comments: