Tuesday, January 27, 2009

MENGHARGAI MAHKLUK CIPTAAN TUHAN

Membayangkan wajah orang Bule melihat cara makan orang Indonesia, sama aja melihat sosok manusia yang perutnya mual dan mau muntah. Begitulah orang Bule. Jenis manusia yang katanya modern dan tinggal di negeri Barat ini, memang pusing banget melihat banyak orang Indonesia doyan makan jeroan, kuping, tulang, dan aneka makanan berkolesterol lain.

“Indonesia masih primitif sekali ya?” kata Bule yang kebetulan teman lama gw yang kebetulan asalnya dari Jerman.

Pendapat Bule soal keprimitivan orang Indonesia, patut gw kaji lebih jauh. Kenapa butuh pengkajian? Sok ilmiah! Sebenarnya bukan sok ilmiah. Gw cuma mau cari bukti, Indonesia bukan negara primitif. Indonesia itu negara maju yang demokratis, dimana orang-orang berhak makan apa saja. Asal jangan makan daging orang aja, kayak Sumanto.




“Kalo bukan primitif lalu apa namanya?” kata Bule temen gw itu lagi dalam bahasa Jerman yang fasih.

“Apa ya?”

Maukah kita disebut primitif? Kalo gw sih enggak! Wong kita sehari-hari udah pake baju. Udah pake celana. Sebelum pake celana, kita juga udah pake kolor, supaya “barang” kita nggak gondal-gandul. Bahkan sebelum pake baju, kita nggak lupa memberikan deodoran di ketek kita, supaya nggak BB alias bau badan seperti temen gw di kantor yang nggak menyadari punya BB.

Lalu apa lagi indikasi kita nggak bisa dikategorikan primitif? Kalo kerja kita selalu pake sepatu. Ini bukan bermaksud menghina para Sendalers (sebutan buat para pemakai sandal) kayak Seniman atau anak-anak masjid. Gw juga nggak bermaksud memasukkan para Sendalers ke dalam kategori kaum primitif. Namun, manusia modern (non-primitif) ini katanya kudu pake sepatu. Selain kudu pake sepatu kalo kerja, nggak lupa gosok gigi. Aktivitas menggosok gigi jelas wajib. Ini kalo elo nggak pengen dikucilkan rekan-rekan kerja dan dianggap primitif itu. Memang orang primitif nggak gosok gigi? Setahu gw sih enggak. Lihat aja gigi-gigi manusia primitif kuning-kuning. Nggak mungkin kan gigi mereka dicat atau dipiloks warna kuning?




“Perang antarsuku?”

Jangankan perang suku, perang antarkampung masih sering terjadi di Indonesia. Bahkan di kota metropolitan kayak Jakarta ini, perang antarkampung masih sering terjadi. Gara-garanya biasanya “sepele”. Anak Kampung A kesenggol motor anak Kampung B. Gara-gara kesenggol, kakinya patah. Ternyata kakinya nggak bisa dioperasi atau digips. Bisanya diamputasi. Gara-gara diamputasi, kaki anak Kampung A tinggal satu. Kondisi itu membuat orangtua Kampung A nggak terima. Dengan semangat 45, beberapa warga Kampung A menyerang Kampung B. Terjadilah perang antarkampung.

Lain lagi di Kampung C. Gara-gara dicium cowok dari Kampung D, bibir cewek anak Kampung C jadi jontor. Gara-gara jontor, orangtua si cewek anak Kampung C mau minta pertanggungjawaban. Tapi orangtua Kampung D nggak terima. Masa gara-gara bibir jontor minta pertanggungjawaban. Harusnya bibir jontor bisa disembuhkan dengan cara mengempeskan bibir yang jontor itu. Gara-gara nggak terima, Kampung C menyerang Kampung D dengan strategi serangan fajar meyingsing.

Bukan cuma perang antarsuka atau perang antarkampung. Segenap civitas akademia yang merupakan calon intelektual muda ternyata juga masuk dalam golongan primitif. Suka berperang. Gemar mencari musuh. Timpuk-timpukan batu gara-gara sirik dengan Gedung Universitas Y yang keren mentereng dibanding Gedung Universitas U yang lebih pantas disebut kandang babi. Aktivitas rutin timpuk-timpukan batu ini, dilakukan Universitas U menyerang Universitas Y.

Merubuhkan tembok atau merusak fasilitas milik umum juga mengukir prestasi mahasiswa-mahasiswa Indonesia sehingga menempatkan mereka masuk kategori primitif. Kata Bule temen gw, mahasiswa-mahasiswa yang doyan merubuhkan tembok dan merusak itu niatnya bukan demonstrasi. Tapi frustrasi gara-gara IPK-nya jelek atau nggak lulus ujian atau terancam DO. Dengan melakukan aksi brutal dan vandal, mereka berharap bisa di-hire menjadi Pegawai kasar atau kuli-kuli pelabuhan yang kerjaannya dorong-dorong gerobak.

Namun gw tetap ngotot, nggak semua hal yang ada di Indonesia dibilang prmitif. Ketika Bule ngomong lagi soal makanan di Indonesia, gw kembali ragu-ragu. Kenapa ragu-ragu? Bule itu antara benar dan salah. Benarnya, di Barat sana yang (sekali lagi) menjadi contoh modernisasi, nggak ada makanan kayak kuping kambing, mulut sapi, kaki sapi, terpedo kambing, mata sapi, tulang kambing, kulit sapi, dan aneka jeroan lain. Semua item ini menjadi makanan orang Indonesia.

“Di negara saya, makanan itu khusus buat Anjing. You know Anjing?”

“Anjing is Dog bukan?”

“Yes! Benar! Yang bunyinya gug-gug!”

“Kalo orang makan-makanan Anjing, sama saja orang itu adalah Anjing. Apakah kamu ekstrimis-ekstrimis mau disebut Anjing?”

“....”

Gw coba menjelaskan, orang Indonesia bukan primitif. Tapi menghargai mahkluk ciptaan Tuhan. Bentuk penghargaan itu dengan memakan apapun yang ada di sekujur tubuh mahkluk itu. Misalnya sapi. Binatang lincah ini begitu bermanfaat bagi insan manusia. Mulai dari susunya, iganya, kupingnya, mulutnya, sampai matanya, semua itu bisa dimanfaatkan. Kambing juga demikian. Mulai dari kulitnya, dagingnya, sampai terpedonya menjadi sasaran yang asyik buat dinikmati manusia. Hayo apa lagi?

Nggak cuma binatang, tumbuh-tumbuhan juga begitu. Kok tumbuh-tumbuhan? Yaiyalah! Tumbuh-tumbuhan juga mahkluk hidup dan ciptaan Tuhan. Pohon kelapa contohnya. Semua yang ada di pohon kelapa begitu bermanfaat. Daunnya buat bikin bungkus ketupat. Tangkai yang ada di tengah daun difungsikan buat sapu lidi. Buah kelapa juga dimanfaatkan luar dalam. Yang didalam, airnya, buat diminum. Daging kelapa buat santan. Batangnya buat bangun rumah atau buat ngegebukin maling kalo malingnya belum kapok-kapok mencuri.



“Jadi jangan sembarangan bilang Indonesia primitif ya?”

Si Bule nggak menjawab. Gengsi rupanya merespon pertanyaan gw. Tanpa terasa, kami tiba di sebuah warung di dekat Terminal Rawamangun. Gw langsung memesankan makanan. Bule yang masih diam-diam nggak penting, gw pesankan makanan juga. Dan kami pun makan.

Beberapa menit kemudian.

“Ini makanan apa? Enak sekali?”

“Udah nggak usah banyak tanya. Makan aja. Mau tambah nasi?”

“Memang boleh?”

“Ya bolehlah...”



Dari sepiring nasi, Bule nambah lagi sepiring nasi lagi. Maklum, kuah yang ada di mangkuk belum habis. Kata si Bule sayang kalo kuahnya nggak dihabiskan. Apalagi, si Bule tergila-gila sama Kuah-nya. Katanya sueger buanget!

Beberapa menit berlalu. Setelah membayar, gw dan Bule meninggalkan warung itu. Kalo sebelumnya si Bule diam, kini doi berubah jadi cerewet. Doi cerita tentang makanan yang baru dimakan olehnya nikmat sekali. Next time doi ingin diantarkan kembali ke warung itu. Gw cuma “yes-yes” aja.

“Om, loe tahu nggak apa yang elo makan tadi?”

“Enggak! Tapi enak banget!”

“Yang elo makan tadi itu adalah sop...”

“Cop? Polisi?”

“Bukan! Sop. Sop yang isinya kaki sapi, lidah sapi, mata sapi, dan terpedo kambing...”

“What?!”

Si Bule langsung mau muntah. Doi membuka kaca jendela mobil gw. Mulutnya dipaksa untuk mengeluarkan makanan-makanan yang tadi dimakan olehnya. Namun usahanya nggak berhasil. Gw cuma tersenyum melihat kelakuan si Bule. Sok ngejek bangsa primitif, tapi doi suka juga. Pake sok mau memuntah diri pula. Sutralaaaah!

No comments: