Buat mereka yang sering berpergian ke luar negeri, pasti mengalami banyak “gangguan” pertanyaan soal Indonesia. Suka nggak suka, gini hari di tahun 2008 ini, masih banyak orang asing yang nggak tahu dimana itu letak Indonesia. Boro-boro letak, negara Indonesia pun mereka sering mempertanyakan: “Memangnya ada negara bernama Indonesia?”
Mampus nggak loe?!
Kejadian tersebut di atas tadi, pernah gw alami sendiri pada saat gw melancong ke Italia. Gw pikir, Indonesia pasti udah ngetop sampai Italia dong. Wong banyak kok perempuan-perempuan Indonesia yang berwajah jelek maupun setengah cantik kawin dengan Italiano. Sayangnya, anggapan gw salah. Gw, yang saat itu bersama istri dan anak-anak gw, dikejutkan dengan pertanyaan seorang Penjual souvenir. Dia menanyakan prihal eksistensi Indonesia. Menurut gw pertanyaannya parah banget, Bo!
“Memang udah banyak ya orang Indonesia yang pakai baju?” tanya di Penjual souvenir itu.
“Yeee...loe pikir gw sama keluarga gw baru pake baju tahun 80-an?! Loe pikir politikus-politikus Senayan pada saat sidang berbugil-bugil ria?!” maki gw dalam hati.
Bagi mayoritas orang Eropa maupun Amerika, Indonesia masih dianggap negara primitif. Di dalam persepsi mereka, orang-orang Indonesia banyak yang masih nggak pakai baju alias bugil. Masih sering bunuh-bunuhan. Perang antarsuku. Makannya masih pakai daun. Yang menyedihkan, tinggalnya masih di atas pohon. Persis kayak monyet.
Belum lama ini, gw ngobrol banyak dengan Trie Utami. Kebetulan, dia bersama Dwiki Dharmawan sering tur keliling dunia bersama grup mereka: Krakatau. Di dalam lawatan tur, banyak pertanyaan-pertanyaan aneh binti ajaib yang selalu dilontarkan oleh para wartawan luar negeri.
“Makanya tiap di konferensi pers, wartawan-wartawan itu bukan tanya soal musik yang gw akan mainkan, tapi nanya soal lain,” ungkap Trie Utami yang akrab disapa Teh I’ie ini. “Pertanyaannya: Indonesia aman nggak sih? Kenapa sih masih banyak perang suku? Kenapa sih antarmuslim saling bunuh-bunuhan?....”
Terus terang sebagai orang Indonesia, gw sedih plus sakit mendengar cerita Teh I’ie. Gila, Bo! Masa Indonesia yang kaya raya ini dilecehkan begitu? Apa mereka nggak tahu kalo Indonesia adalah salah satu negara terbesar yang punya pulau 17.508 buah? Yang luas wilayahnya 5.193.252 km2? Apa mereka nggak mudeng kalo Indonesia kaya dengan rempah-rempah sejak dahulu? Dimana bangsa Belanda sempat menjajah negara ini 350 tahun lamanya hanya untuk menguasai lada, tembakau, cengkeh, kopi, pala, cokelat, kelapa, dan hasil rempah-rempah lain. Tidakkah negara-negara tahu kalo Indonesia juga negara penghasil minyak bumi, gas alam, alumunium, timah, batubara, tembaga, nikel, mangaan, emas, dan perak?
Menyebalkan memang Indonesia belum 100% diketahui orang-orang Eropa, Amrik, atau negara-negara lain. Padahal, Indonesia memiliki 200 lokasi suaka alam yang luasnya 7 juta hektar. Padahal, flora di Indonesia memiliki 50 jenis tumbuh-tumbuhan yang udah sangat langka di dunia, memiliki 780 jenis angrek, 1.600 jenis kayu-kayuan, dan 6.000 jenis pakis. Padahal juga, Harimau Sumatera merupakan jenis satwa termasyur di dunia, dan juga orang utan.
Kalo gw pikir-pikir, nggak salah juga sih negara-negara di luar sana, masih nggak tahu eksistensi Indonesia. Public relations soal Indonesia di luar negeri konon memang parah banget. Promosi Indonesia nggak seheboh Singapura atau Malaysia yang punya Tourism Board kelas wahid. Dua negara ini bahkan mengklaim diri sebagai “Trully Asia”. Padahal gw yakin banget, yang patut dapat julukan “Trully Asia” harusnya Indonesia.
Gw pikir juga, ada benarnya kalo negara-negara maju mengganggap kita primitif. Percaya nggak percaya, sampai saat ini ciri khas manusia primitif masih terjadi kok di Indonesia.
Perang antarsuku?
Realitanya, masih terjadi perang antarsuku. Bukan cuma suku yang ada di pedalaman, tapi di Jakarta yang konon katanya kota metropolitan pun masih ada perang antarsuku. Tengok saja perebutan tanah sehingga terjadi perang antarsuku B lawan A. Di lain tempat, ada lagi perang antara suku M melawan suku D.
Lucunya, perang-perangan ini juga terjadi di kalangan intelektual. Kalangan dimana selalu meneriakkan reformasi di tiap orasi mereka. Misal salah satunya, perang antara para mahasiswa Universitas U lawan mahasiswa-mahasiswa Universitas Y. Mereka timpuk-timpukan batu. Peperangan mereka jadi membuat macet di sepanjang jalan Salemba.
Munafik, sok moralis, sok reformis, sok intelektual. Kata-kata itu memang tepat diperuntukan untuk mahasiswa-mahasiswa yang doyan tawuran. Mereka ini terlihat nggak konsisten dengan apa yang diucapkan, apa yang dituntut pada Pemerintah, dan apa yang dilakukan oleh mereka sendiri. Meminta Pemerintah agar mereformasi struktur birokrasi, eh diri mereka sendiri nggak becus.
Masih belum banyak yang pakai baju?
Boleh jadi benar. Suku-suku di pedalaman, memang masih banyak yang nggak suka pakai baju dan nggak pakai celana pula. Ada yang sudah terbiasa pakai celana, tapi masih tetap nggak pakai baju. Bahkan tetangga gw yang nggak tinggal di pedalaman, kalo kegerahan bertelanjang ria. Mending perutnya six pack, ini mah one pack alias buncit.
“Orang-orang Betawi di kampung sini emang begitu Mas,” kata tetangga gw mengometari tetangga gw yang doyan bertelanjang dada itu.
Belakangan, beberapa orang juga coba-coba mau telanjang. Tapi telanjangnya masih setengah-setengah alias malu-malu kucing. Ini gw perhatikan kalo ke mal. Gw lihat perempuan-perempuan pake kaos ketat yang menonjolkan bodongnya. Tali behanya kemana-mana. Biasanya kalo ngeliat begitu, rasanya gw pengen ambil gunting trus putusin tuh beha. Ditambah lagi mereka banyak yang pake hotpants yang bulatan pantatnya seringkali mencuat ke luar dari sarang si hotpants.
Lucu juga sih. Sementara Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh negara-negara luar sana, penetrasi budaya Barat udah merajalela. Barangkali ini yang namanya krisis budaya. Well, gw nggak bisa menyalahkan 100% pada mereka yang melakukan alkulturasi budaya. Keterbukaan media udah nggak bisa dibendung. Generasi MTV, CNN, serta bioskop 21 dan Blitz udah menjadi bagian dari life style bangsa Indonesia. Semua udah terjadi begitu, lantas mau diapakan lagi.
Gw cuma berpikir, jangan-jangan orang-orang bule sana in next years menanggapi soal Indonesia dengan sangat memilukan. Ini lantaran ketakutan gw dengan kultur keindonesiaan serta public relation yang samar-samar ini.
“Indonesia? What kind of food is that?”
No comments:
Post a Comment