Tahun 80-an, ada daerah di Melawai yang ngetop banget. Saking ngetopnya, Presiden kala itu kalah populer. Nama bekennya Lintas Melawai. Biasa disingkat LM. Please akronim itu jangan dibolak-balik. LM is LM. Kalo LM dibalik ML, konotasinya jadi beda. Pasti elo udah ngerti dong akronim LM?
Di LM, anak-anak muda dari segala jenis kelamin biasa memamerkan segala macam yang mereka punya. Kalo kebetulan fisiknya yang yahud (misalnya tampangnya kece, trus pake kecemete), pasti langsung disuit-suitin (baca: bersiul). Syukur-syukur langsung diajak kenalan sama yang bertanggung jawab mensuit-suitin itu.
"Hai cewek! Kenalan dong," kata seorang cowok yang biasanya bareng teman-teman segengnya.
"Boleh kao berani," jawab si cewek yang memang kece, mirip Yoko Ono itu.
Kalo mujur, cewek yang diajak kenalan berjenis kelamin beda. Cewek diajak kenal sama cowok. Kalo nggak apes, cowok diajak kenalan sama cowok juga. Atau cewek diajak kenalan sama cewek juga. Buat mereka yang masih normal, tentu hal itu sangat-sangat ironis.
"Masa gw yang ganteng dan macho gini ditaksir cowok sih?" ungkap salah seorang peserta mejeng asal Bekasi.
"Mungkin wardrobe elo menyangsikan jenis kelamin elo, Bro!"
"Oh iya, bener juga sih. Mungkin pas mejeng next week, gw nggak perlu pake long dress kali ya? Pake rok gimana menurut loe?"
"Sama aja kaleee..."
Di LM, selain manusia-manusia yang merasa dirinya paling keren, kece, ganteng, cantik, bulukan, ubanan, ada juga manusia-manusia yang sok paling kaya. Mereka yang sok kaya ini memamerkan aneka jenis kendaraan mereka. Mulai dari mobil-mobil yang sedikit sekali di Indonesia (baca: cuma orang-orang tertentu yang mampu membeli), mobil CBU (completly build up), dan juga motor-motor gede (moge). Mereka ini bolak-balik di jalan LM. Berharap ada yang nawar, kalo nggak orangnya ditawar, ya mobil mereka. At least ada yang kagum lah dengan kendaraan mereka.
"Wih, hebring ya warna mobilnya..." kata seorang cewek berlesung pipit sebelah.
"Iya. Nggak nyangka, cowok suka juga warna-warna klasik Dalmations," kata teman si cewek lesung pipit sebelah itu.
Memang nggak ada kerjaan orang-orang pemilik kendaraan mahal itu. Bolak-balik, ngabisin bensin. Terkadang juga ngabisin suara. Ya, teriak-teriak sambil mengikuti penyanyi yang lagunya sedang diputar via tape di mobil mereka, yang suaran terdengar sampai Bogor itu.
Buat yang nggak punya kendaraan, sok-sok nyebrang jalan. Ini sebenarnya strategi cari perhatian. Yaiyalah! Gimana lagi cari perhatian kalo nggak nyebrang? Nongkrong aja di suatu tempat, nggak menghasilkan seorang yang bisa diajak kenalan. Dengan menyebrang, berharap mata manusia-manusia yang berada di situ tertuju pada orang yang menyebrang. Meski udah menjalankan strategi menyebrang itu, kadang manusia-manusia penyebrang ini apes juga. Artinya, nggak dapat hasilnya. Nggak ada yang mau kenalan. Kalo masih belum mendapatkan hasil, sebaiknya lakukan sesering mungkin.
Ada dari mereka yang baru dapat kenalan setelah 10 kali menyeberang. Banyak pula yang mengikuti strategi ini tertabrak kendaraan. Gara-garanya, ada yang suit-suitin, mata meleng, ada mobil, si Penyeberang nggak lihat, si Pembawa mobil juga nggak lihat. Tertabraklah si Penyebrang itu. Doi dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi berdarah-darah. Begitu sampai di Rumah Sakit di Unit Gawat Darurat, darahnya habis, nyawanya juga habis. Apes banget kan kalo kejadiannya begitu? Tapi selama tahun 80-an, belum pernah dengar sih kejadian apes begitu.
Di daarah lain ada sebuah tempat, yang nggak kalah ngetop. Namanya Lintas Cikini atau biasa disingkat LICIK. Kalo di LM yang mejeng anak-anak muda dan orangtua-orangtua yang merasa berjiwa muda, di LICIK yang ngeceng adalah seniman-seniman. Mereka ini terdiri dari bebagai macam seniman. Ada seniman musik, seniman teater, seniman tari, seniman sinematografi, seniman lukis, dan yang nggak ketinggalan seniman demonstrasi (seniman ini kerjaannya jadi Provokator mahasiswa-mahasiswa buat demonstrasi).
"Kenapa sih banyak Seniman di situ?" kata teman gw yang asalnya dari Kutub Utara yang nggak tahu sejarah Cikini.
"Karena di LICIK ada kebon binatang..."
"Apa hubungannya Kebon Binatang?"
"Ya ada dong! Biasanya kan di Kebon Binatang banyak pohon, banyak binatang. Nah, Seniman bisa mengekspresikan diri mereka. Bagi Seniman lukis, mereka bisa melukis pohon atau binatang. Bagi Seniman tari, mereka bisa mencontoh gaya Monyet melakukan aksi Tari Panjat yang beda sama Tari pendet. Terus buat Seniman musik, mereka bisa mendapatkan inspirasi dari suara-suara burung sehingga bisa menghasilkan aransemen yang gemilang..."
"Kalo Seniman Teater ngapain di Kebon Binatang?"
"Bisa berdialog dengan mahkluk-mahkluk yang ada di situ. Anggap aja latihan membaca naskah dengan ditemani binatang. Atau adu kuat-kuatan teriak sama gajah. Bukankah Seniman Teater sering teriak-teriak buat latihan vokal?"
Dahulu Taman Ismail Marzuki (TIM) memang Kebon Binatang. Kemudian berubah fungsi menjadi markas kereta-kereta buat konsumsi masyarakat kota atau biasa dikenal dengan sebutan trem.
Di LICIK, banyak sekali toko-toko bahuela yang masih manggal di situ. Struktur bangunan di situ juga mengingatkan kita pada zaman Belanda. Kalo gw melintas di LICIK, serasa barada di kota tua, sebagaimana kalo gw berada di kota. Mulai dari gedung kantor pos yang ada di pojokan Gondangdia sampai ke gerbang TIM, nuansa bahuela-nya masih terasa.
Terus terang gw salut dengan gedung-gedung sepanjang Kantor Pos menuju ke TIM yang masih dilestarikan. Kalo elo jalan, lihatlah struktur bangunan plus jendela-jendelanya, tembok-temboknya, bahkan pintu-pintu ala Belanda, masih difungsikan. Maaf, gw nggak bisa memotret dengan detail. Cukup gw ceritakan aja ya? Terus di situ ada sebuah tempat ngopi yang suasananya dibuat se-bahuela mungkin, agar mereka yang mau nongkrong di situ benar-benar dibawa ke alam masa lalu. Ada bangku kuno, foto-foto hitam putih, dan aksesoris yang kelihatannya asli jadul. Gw nggak tahu sampai kapan ini bakal bertahan. Bukan cuma tempat ngopi itu, tapi seluruh bangunannya. Doakan supaya jangan dipugar. Oh iya, yang nggak boleh diremehkan, masih ada pabrik roti jadul di situ. Namanya Tan Ek Tjoan. Sayang, gw nggak boleh masuk, tanya-tanya, dan foto-foto. Takut mencuri resep turun temurun cara membuat rotinya kali ya?
Setelah LICIK, pastinya TIM yang tersohor sebagai gudangnya Seniman yang tadi gw udah ceritakan di atas. Seniman-Seniman ini kalo nggak belajar, yang jalan-jalan ke Kantor Pos atau window shopping di sepanjang LICIK. Maklum, dahulu nggak ada Mal. Jadi, jalan-jalan ke kantor pos udah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.
"Elo tadi sempat ke kantor pos?"
"Iya! Masa elo nggak percaya?"
"Ah, yang bener?"
"Bener..."
"Wah, hebat loe ya bisa ke kantor pos. Nggak semua orang bisa ke kantor pos. Cuma orang-orang tertentu aja yang bisa ke situ. Salah satunya elo. Elo memang spesial deh.."
"Ah, bisa aja Abang ini," agak ge'er dipuji begitu.
"Di situ elo beli apa?"
"Beli perangko.."
"Elo beli perangko?! Setengah nggak percaya lagi.
"Iya! Masa elo nggak percaya sih?"
"Hanya orang-orang hebat yang bisa beli perangko," puji lagi.
"Ah, bisa aja Abang ini," lagi-lagi ge'er.
Seniman-seniman ini kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dahulu namanya Lembaga Pendidikan Keseninan Jakarta (LPKJ). Berdirinya Lembaga ini pada tanggal 25 Juni 1976 atas prakarsa Presiden Suharto. Awalnya, bertujuan untuk mendirikan sebuah pendidikan khusus seni buat mengembangkan kebudayaan Jakarta. Juga sebagai wadah bagi seniman lokal yang ingin berkembang. LPKJ dulu cuma jadi bagian kompleks seni di Taman Ismail Marzuki. Sejalan dengan perkembangan zaman, LPKJ semakin banyak menghasilkan seniman-seniman yang mulai diakui dan mengembangkan banyak studi. Maklumlah, di Lembaga ini, calon-calon Seniman digodok aneka rupa supaya jadi Seniman handal. Ya Seniman Tari mungkin, Seniman Musik, Seniman Teater, Seniman Lukis, atau Seniman Film.
Masuk ke gerbang IKJ, kita bakal melihat tembok-tembok digambar. Ada gambar Ali Sadikin, gambar seniman-seniman lulusan IKJ yang sangat terhormat, lukisan abstrak, dan lukisan-lukisan lain. Ini kata Pengamat masalah IKJ, lukisan tembok atau dikenal dengan istilah mural ini, merupakan sebuah cermin ekspresi Seniman dalam menyalurkan karya. Karena diperbolehkan mahasiwa mencoret-coret tembok, maka beberapa tembok yang seharusnya nggak dilukis tetap dijadikan media lukis.
Buat yang nggak suka melukis di tembok, melukis di badan mereka. Badan mereka yang terlahir bersih, indah, dan berwibawa, jadi dikotori oleh gambar-gambar tato. Mereka anggap, tato menjadi bagian dari ekspresi diri.
"Nggak afdol kalo Seniman nggak ada tatonya..." kata anak IKJ yang nggak mau disebutkan namanya, nggak mau digambarkan ciri khasnya, nggak mau dihutangin duitnya, dan nggak mau diajak berdamai.
"Ah, masa sih? Memangnya ekspresi cuma lewat tato?"
"Ya, enggak sih. Tapi tato lambang ekspresi!"
"Oh begitu ya?"
"Jadi nggak bisa sholat dong?"
"Bisa lah yau?"
"Gimana caranya?"
"Dihapus..."
"Mana bisa dihapus? Itu kan tato permanen?"
"Ini cuma tato-tatoan tolol! Ini tato yang dibuat pake spidol! Tinggal kasih spirtus dan bakar pake korek api, hilang kan?"
"...."
Tato di tubuh mereka lucu-lucu. Nggak cuma gambar yang menyeramkan. Tapi ada tato Doraemon. Tato wajah guru SD mereka yang mengajar mata pelajaran Matematika. Ada tato nilai raport mereka pada saat mereka berhasil mendapat rangking pertama. Ada pula tato
Sebagai alumnus IKJ, gw bangga bisa sekolah di sini. Bukan cuma punya teman yang badannya bertato. Bukan pula bangga punya teman yang tiap kuliah sampai kerja selalu pakai sandal jepit. Jadi kenapa dong? Karena gw masih sempat ketemu yang namanya Badrun. Hah?! Badrun?! Siapakah gerangang mahluk bernama Badrun itu? Beliau adalah orang yang dicari-cari kalo perut kita sedang melakukan atraksi keroncong alias lapar. Badrun adalah sosok Bapak yang memiliki enterpreunership yang cukup tinggi. Dia tahu kapan mahasiswa lapar, kapan mahasiswa kenyang, kapan mahasiswa ngantuk, dan kapan mahasiswa melek.
"Ngapain juga lulus IKJ bangganya cuma Badrun doang?"
"Jangan sembarangan ngomong ya! Tanpa Badrun, perut kita yang kita cintai ini nggak akan pernah protes," jawab gw yang sedikit filosofi. "Coba bayangankan, kalo perut kita kelaparan dan protes, sementara nggak ada Badrun, kemana kita akan melakukan makan?"
"Kan ada kantin di kampus? Ada dua pula. Kantin di FFTV dan kantin seni rupa?"
"Iya sih. Tapi nggak seindah kalo kita nongkrong di Badrun," kata gw.
"Masa sih?"
"Seniman-Seniman beraneka rupa ada di situ. Nggak cuma dari kalangan C-D, tapi segmentasi A-B juga nongkrong di situ. Kenapa mereka di situ? Biasanya mereka merintis job-job mereka. Ada teman yang lagi nganggur, ada teman yang punya kerjaan. Mereka chit-chat, begitu ketemu harga, mereka lanjut ke jenjang pernikahan, eh maksudnya ke job yang akan mereka lakukan. Jobnya bukan cuma bikin film. Tapi kadang bikin video klip, company profile, nge-disain kaset, disain tembok tetangga, dan masih banyak lagi".
Sebenarnya makan di Badrun STD alias standar-standar aja. Dibilang enak, biasa. Dibilang biasa, ya enak-enak aja. Apalagi kalo pas perut kita lapar. Apalagi pas kanton kita lagi boke dan siap ngutang.
Harga makanan di Badrung juga STD. Kayak warteg-warteg tetangga sebelah lah. Makan pakai nasi, cumi, sayur, tempe, tahu, perkedel, ayam bakar, kerupuk, dan es teh manis cuma 15 ribu. Tapi syaratnya siap ditampar. Begitu ngasih duit 15 ribu, Badrun langsung menampar wajah kita, karena kita bayarnya kurang. Ah, enggak kok. Badrun nggak jahat kayak begitu. Nggak pernah nampar-nampar Mahasiswa atau Pelanggannya. Memutilasi barangkali pernah.
"Badrun itu orangnya kayak gimana sih? Kok gw lupa ya?"
"Pokoknya kalo elo lihat gajah, nah, itu hampir mirip Badrun. Gendut. Perutnya buncit. Jarang mandi. Bedanya cuma tipis. Badrun nggak punya belalai".
"Ekor punya dong?"
"Nggak tahu deh. Kalo ekor di depan sih ada..."
"Itu mah semua cowok punya.."
Sayang, warung nasih yang hampir sebagian besar rangkanya terbuat dari kayu dan bambu ini udah nggak eksis. Warung Badrun kini tinggal kenangan. Warung yang bisa dihutangin itu udah lenyap. Warung yang sering dibohongin oleh sejumlah mahasiswa, karena kadang mereka bayar nggak sesuai dengan apa yang dimakan itu nggak ada lagi. Yang menjadi saksi cuma beberapa pohon yang masih eksis di situ. Juga tanah-tanah yang sempat diinjak-injak para mahasiswa yang mau makan di situ.
"Sedih nggak sih?"
"Ah, biasa aja?" kata temen gw. "Ngapain juga menyedih-nyedihkan diri cuma buat sebuah warung? Memangnya warung yang elo sedihkan itu sedih ngeliat elo sedih kayak begini? Kan enggak?!"
"Iya sih..."
"Sutralah! Life goes on..."
"Artinya..."
"Hidup terus berjalan. Badrun mungkin sekarang malah justru senang dengan hidupnya sekarang. Barangkali doi sekarang dagang perhiasan berlian di Hong Kong. Atau mungkin jualan mobil bekas di New York. Bisa juga sekarang jadi penjual ayam di Jepang. Nobody knows?!"
"Gw nggak peduli Badrun jadi apa sekarang..."
"Lantas kenapa elo sedih begitu? Sampai mau nangis segala..."
"Sekarang ini gw nggak punya ongkos buat nonton di TIM 21. Nonton bareng pacar gw.."
"Terus..."
"Kira-kira Badrun inget gw nggak ya kalo doi masih punya hutang ke 75 ribu? Waktu itu gw cuma bayarin makan temen gw 25 ribu. Jadi doi harusnya kembaliin gw 75 ribu. Eh, begitu gw back to IKJ, Badrun udah lenyap. Warungnya udah rata dengan tanah dan jadi tempat parkir. Gimana dong menurut loe?"
"Please deh!"
No comments:
Post a Comment