Sunday, January 11, 2009

KENAPA HARUS NGERTIIN ELO, BUKAN NGERTIIN MEREKA?

Dalam hubungan antarmanusia, kata yang paling dibenci adalah ”aku”, ”saya”, atau ”gw”. Dalam buku-buku komunikasi atau people skill yang gw baca, kata itu kudu dihindarkan. Ini kalo elo memang berniat memiliki banyak teman daripada banyak musuh.

Sayang, orang suka membicarakan diri sendiri ketimbang mendengarkan orang lain. Mulut kita lebih banyak dipekerjakan ketimbang diistirahatkan. So, jangan heran kata yang muncul pastilah ”aku”, ”saya”, atau ”gw”. Manusiawi memang. It’s so human! Kita nggak terbiasa menjadi a good listener.

Nggak cuma kebiasaan membicarakan diri sendiri, soal sikap pun kadang kita seringkali nggak peduli orang lain. Apa yang kita lakukan, terserah apa kata orang. Mereka mau ngomong apa, EGP: Emang Gue Pikirin! Mending yang dilakukan itu positif. Artinya, aktivitasnya bermanfaat bagi banyak orang. Namun, justru malah sebaliknya, bikin orang kesal. Ini terjadi di kantor gw.

Seorang Pejabat tua bangka seenaknya merokok di ruang ber-AC. Padahal di ruang itu jelas-jelas tertulis NO SMOKING yang artinya DILARANG MEROKOK. Selain kalimat itu, ada gambar sebatang rokok yang disilangkan oleh garis warna merah. Kalo si Pejabat ini buta huruf udah pasti nggak mungkin. Nggak bisa bahasa Inggris, masih mungkin, tapi masa kalimat NO SMOKING nggak mungkin ngerti dong? Pun buta gambar. Seorang dengan jabatan tinggi seperti Pejabat tua beruban ini nggak mungkin kalah sama anak umur 4 tahu yang ngerti simbol DILARANG MEROKOK.

”Nggak ada yang berani melawan saya!”

Pejabat ini memang bak preman. Nggak ada yang berani menegur, even Security berbadan besar pun nggak punya nyali. Padahal mungkin menegurnya dengan cara baik-baik, apalagi dengan cara kasar. Baik Security maupun HRD beraninya memang menegur pada karyawan kelas kambing yang kebetulan merokok sembarangan. Padahal belum tentu sembarangan juga sih, paling cuma di ruangannya, sama persis dengan Pejabat itu. Tapi sekali lagi, Pejabat ini punya backing lebih gede ketimbang gw dan temen-temen gw yang kroco ini. Soal gaji pun, si Pajabat ini punya gaji 10x lebih gede dari gw. Hmm...

Nggak perlu gw ceramahin lagi bahaya merokok. Yang perlu dicermati sebenarnya adalah bahaya keegoisan para Perokok, yang juga dilakukan Pejabat di kantor gw ini. Sebagai Passive Smoker, kalo ada waktu berdua dengan Pejabat ini (ingat dalam kondisi berdua dengan mood yang asyik), gw rasanya pengen menegur deh. Tentunya dengan cara gw. Kenapa berdua? Kalo dalam forum meeting, teguran gw (walau relatif sopan) bisa mempermalukan dirinya maupun diri gw.

”Saya boleh nggak sih merokok di dalam kantor seperti Bapak?” begitu pertanyaan gw pada Pejabat itu.

”Nggak boleh!”

”Lho, kenapa Bapak boleh?”

”Saya bukan kamu. Saya ini Direktur! Kamu ini siapa? Manager aja bukan kok sok-sokan mau ngikutin saya...”

Gw memang kroco. Nyatanya memang kroco. Kalo prinsipnya seperti Pejabat ini, dimana kalo level tinggi bisa semena-mena melakukan suatu kegiatan yang mengganggu orang lain, kapan kita punya Pemimpin yang patut dicontoh? Bukankah seorang Pemimpin harus memberi contoh orang-orang yang dipimpinnya? Dari Pejabat ini, sedikitnya ada dua hal negatif yang menjadi tanda tanya besar apakah dia layak menjadi Pemimpin atau seharusnya dia dipimpin. Pertama, soal merokok yang sudah dipastikan nggak sehat. Kedua, merokok di tempat yang seharusnya dilarang untuk merokok.

Too selfish!

”Kenapa sih kita harus ngertiin dia, bukan dia ngertiin kita yang mayoritas ini?” tanya teman gw berinisiap KI.

Manusia egois memang begitu sifatnya. Dia (manusia egosi ini) lebih menonjolkan ke-AKU-annya. Ke-SAYA-annya. Ke-GW-annya. Gw mau ngerokok dimanapun gw mau, gw mau makan tokai kek, itu hak gw. Kalo soal ego, dia yang terpelajar ternyata lebih tolol dari mereka nggak sempat menimba ilmu di sekolah. Dia yang bergelar Sarjana, ngga lebih dari lulusan TK yang masih perlu diberi wejangan-wejangan soal sopan santun, soal ada orang lain selain kita, soal ada kewajiban yang harus kita patuhi selain hak kita.

”Saya mau kerja di sini, karena Owner mau mematuhi syarat yang saya ajukan,” papar si Pejabat tua yang sudah mulai pikun ini. ”Pertama saya boleh merokok dimana pun saya suka dan punya hak mengatur semua operasional di perusahaan ini!”

Bukan cuma si Pejabat sok kuasa ini yang egois. Terkadang, sadar atau nggak, kita semua egois, termasuk gw. Ketika sedang hamil atau mens, wanita bisa seenaknya marah atau punya sikap nggak mengenakkan. Marah dan sikap nggak baik itu seolah sudah menjadi sebuah bentuk kewajaran.

”Kan gw lagi mens, boleh dong gw marah?”

”Masa orang hamil nggak boleh marah? Boleh dong?!”

Padahal yang namanya mens, yang namanya hamil, bukan tercipta untuk menjadi Wanita beda. Wanita yang emosional. Memang betul, setiap mens, emosi diri wanita terlanjur memungkinkan untuk marah. Namun ini bukan menjadi alasan wanita jadi berbeda. Katanya mau dibilang emansipasi?

Nggak beda dengan pada saat hamil. Apakah orang hamil bisa seenaknya memaki-maki orang lain? Membuat orang lain sakit hati dan harus mengerti dirinya yang sedang hamil? Yang gw tahu, menurut dokter hamil itu sebenarnya sama halnya dengan wanita biasa yang nggak hamil. Dia (wanita hamil) kebetulan punya kandungan di perutnya, sehingga perlu asupan makanan lebih. Gw memang nggak hamil atau belum hamil dan nggak tahu kapan gw bisa hamil. Namun, seorang Psikolog pernah mengatakan: ”Nggak ada hubungannya kehamilan dengan sikap egois!”

”Harunya elo dong ngertiin gw, masa gw ngertiin elo?!” kata seorang teman gw yang hamil pada temannya lagi yang kebetulan belum sempat dihamili.

Buat si hamil, ucapannya biasa. Tapi buat si yang belum hamil, ucapannya memotong-motong hatinya. Si belum hamil jadi sakit hati. Ia merasa si hamil nggak mengerti pekerjaan yang sedang dilakukannya, sementara si hamil merasa nggak peduli. Merasa ngerti, padahal nggak ngerti. Ironis!

”Padahal aku kerja untuk bantuin dia juga,” begitu si belum hamil curhat sambil menangis.

Para pria juga seringkali menuntut pengertian lebih besar pada istri-istri yang kerap kali bertanya soal pekerjaan suami. Suami merasa, istrinya nggak pernah ngerti alasan pulang malam. Suami merasa, istrinya super tolol. Padahal yang tolol si suami itu. Kenapa? Ya, karena keegoisannya itu tadi.

”Aku pulang malam ini untuk nyari uang, Ma! Untuk kamu! Untuk anak-anak kita! Masa sih kamu nggak ngerti-ngerti?”

Gw seringkali terjebak pada sikap itu. Sikap egois. Dan gw yakin bukan cuma gw doang yang terlanjur menciptakan sifat egois dan menancapkan sifat itu tanpa mau dirubah. Tapi kalo Pejabat yang jabatan Direksi itu aja memberi contoh sikap egois, kemana lagi kita mencontoh sikap toleran ya? Kenapa sih harus ngertiin elo, bukan ngertiin mereka?

No comments: