Tuesday, June 21, 2011

FILM "SERDADU KUMBANG": SEKADAR MENGHARGAI KARYA ARI-NIA SIHASALE

Ketika menulis judul di atas, saya menghadapi dilema. Niat saya ingin sekali mengkritisi film Serdadu Kumbang karya Ari Sihasale, dimana menurut saya dari segi cerita sangat membingungkan. Namun, karena ingin menghargai karya terakhirnya itu, saya menggunakan judul di atas, yakni sebagai bentuk apresiasi.

Bagi saya, Ari dan Nia Sihasale (nama Zulkarnaen sekarang diganti dengan nama belakang sang suami: Sihasale) adalah sosok suami-istri yang konsisten menggarap film-film berlatar belakang anak. Sebut saja film-film mereka Denias: Senandung di Atas Awan (2007), Liburan Seru (2008), King (2009), dan Tanah Air Beta (2010) yang semua berkisah tentang anak. Termasuk film terakhir mereka: Serdadu Kumbang (2011).

Film Serdadu Kumbang mengisahkan seorang anak desa bernama Amek (diperankan oleh Yudi Miftahudin). Anak pasangan Siti (diperankan oleh Titi Sjuman) dan Zakaria (diperankan Asrul Dahlan) adalah anak desa Mantar, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang memiliki bibir sumbing dan jago menunggang kuda. Ia punya cita-cita menjadi presenter berita televisi nasional, karena sering menonton televisi.

Jika membaca ringkasan tersebut di atas tentu kita sudah mengerti, bahwa kisah film ini akan berkutat tentang perjuangan Amek demi mengejar cita-cita menjadi presenter berita. Namun sayang, Anda akan mengetahui bocah ini ingin jadi presenter di beberapa scene saja, itu pun tidak nampak perjuangan serta tantangan yang dihadapinya. Saya sebagai penonton hanya disuguhkan oleh potongan-potongan cerita dan kesedihan-kesedihan Amek yang tidak ada hubungannya dengan cita-citanya menjadi presenter berita.

Kesedihan pertama terjadi pada saat ayah Amek pergi ke Malaysia menjadi TKI tanpa pamit dengan Amek. Saya pikir kisah akan fokus pada perjuangan Amek berjumpa dengan sang ayah. Sebab, beberapa scene dihabiskan untuk masalah ini. Lihatlah perjuangan Amek menukar seekor kambing dengan sebuah handphone, dari seorang pedagang,; Amek membeli pulsa; sampai mendirikan antena di rumahnya, supaya sinyal handphone itu bisa baik.



Agar supaya dramatik kisah kehidupan Amek, digambarkan sang ibu bekerja keras membanting tulang menghidupi keluarga dengan cara berjualan. Maklum, sang suami tak mengirimkan nafkah selama menjadi TKI. Selain berdagang, Titi juga tetap menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Ternyata saya salah duga. Kisah Serdadu Kumbang bukan mengenai perjuangan Amek berjumpa dengan sang ayah, karena tiba-tiba sang ayah kembali. Dan Amek tidak sedih lagi. Di sini antiklimaks. Sekembalinya sang ayah, saya kembali bingung: lalu yang dimaksud "Serdadu Kumbang" apa dong? Tapi baiklah, saksikan dulu kesedihan kedua Amek. Kali ini kuda kesayangan dan satu-satunya diambil paksa akibat ayahnya dianggap penipu, karena menjual jam Rolex palsu.

Saya kembali berpikir, pasti perjuangan kali ini soal bagaimana Amek mencari kudanya yang bernama Smodeng. Sebab, penonton diperlihatkan scene dimana Amex sakit dan tidak semangat, karena Smodeng diambil. Ternyata lagi-lagi saya salah duga, kuda kembali dengan mudah. Ibu dan bapaknya mempersembahkan Smodeng pada Amex tanpa penonton diberitahu perjuangan mereka mendapatkan Smodeng. Saya pikir dengan bertemunya Amek dengan Smodeng, film ini selesai, eh ternyata saya salah. Ada kesedihan part ke-3.

Mari kita ikuti kesedihan ketiga, ketika kakak Amek bernama Minun tewas, karena terjatuh dari “pohon cita-cita”. Apa itu “pohon cita-cita”? Yakni sebuah pohon, dimana murid-murid SD dan SMP Negeri 08 bisa menuliskan cita-citanya ke secarik kertas, lalu kertas itu dimasukan ke botol, dan kemudian digantungkan di batang pohon tersebut. Nah, ceritanya Minun (diperankan oleh Monica Sayangbati) yang murid pintar itu tak lulus Ujian Nasional (UN). Gara-gara tidak lulus, ia menunggang kuda menuju ke “pohon cita-cita”. Ia berusaha menggambil botol berisi kertas bertuliskan cita-citanya, tetapi kemudian ia terpeleset dan jatuh. Entahlah, menurut saya, scene itu terlalu dibuat-buat untuk menambah unsur dramatik.


Last but not least, kesedihan Amek kembali muncul begitu tahu guru Imbok (diperankan Ririn Ekawati) tidak ada di rumah. Ia bersama teman-teman berusaha mencari guru Imbok dengan dibantuk Surya Saputra.Ternyata sang guru berjumpa dengan dokter (diperankan Nia Sihasale). Mereka berencana ingin membantu Amek untuk operasi bibirnya yang sumbing.

Film ditutup dengan perubahan pada diri Amek, yakni bibirnya tidak sumbing lagi. Teman-teman bergembira ria, termasuk guru Imbok dan Papin (Ustadz yang diperankan Putu Wijaya). Acan dan Umbe, dua teman Amek, kemudian membuka tabung berisi kumbang. Kumbang-kumbang pun berterbangan.

“Jadi yang dimaksud serdadu kumbang apa?” tanya saya dalam hati.


Ah, mungkin teman-teman Amek itulah yang dimaksud sebagai “serdadu”. Sementara “kumbang” yang dimaksud gara-gara Amex sempat membuat mainan dari botol yang mirip kumbang dan di akhir kisah ada kumbang-kumbang yang terbang. Ya, begitulah kesimpulan saya sementara ini. Jika salah, mohon maaf. Berbeda sekali ketika di film Laskar Pelangi, dimana penonton bisa tahu istilah “Laskar Pelangi”, karena ada dialog yang menyebutkan “Laskar Pelangi” dan sebutan tersebut beberapa kali muncul dan diucapkan oleh pemain utama.

Sepertinya sang penulis skenario Jeremias Nyangoen tidak fokus dengan plot utama. Di kepalanya penuh dengan gagasan atau pesan-pesan yang ingin disampaikan, sehingga yang banyak muncul justru multiplot yang tidak penting. Penonton, terutama saya, menjadi bingung. Banyak scene yang sebetulnya tidak penting, tetapi dipaksa masuk. Beberapa tokoh yang muncul yang tadinya saya duga akan menjadi tokoh penting dalam membangun cerita, ternyata tidak penting. Salah satunya Surya Saputra.

Jika menjadi penulis skenario-nya, saya pasti tidak akan memaksa tokoh Surya Saputra di film tersebut. Saya akan fokus pada plot perjuangan Amek mengejar cita-cita dengan segala tantangan yang ada, baik dari orangtuanya, tetangga, maupun sekolah. Sebagai multiplot, saya akan memasukkan kisah pertentangan guru Imbok dengan guru Amin (diperankan Lukman Sardi) yang memerankan guru killer. Guru Amin dibuat sebagai bad guy yang men-demotivasi Amek dan mengatakan: anak kampung tak pantas jadi pembaca berita, apalagi punya bibir sumbing. Saya pasti tidak akan memunculkan sub-plot Smodeng, kematian Minun, apalagi kunjungan murid-murid SDN 08 ke sekolahan Surya Saputra beserta upacara membebaskan penyu di laut.

Memang banyak hal yang menarik si Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ada lomba balap kuda, pelepasan penyu, dan lain. Namun seharusnya Jeremias -tentunya atas permintaan Ari dan Nia Sihasale- bisa memilih hal-hal yang menjadi prioritas, mana yang event menarik yang bisa masuk ke dalam scene. Memasukkan semua, seperti dipaksakan. Jika pun terpaksa, harus ada konsep kreatif, sehingga hal tersebut tidak mengganggu plot utama. Nah, karena memaksa masuk semua, scene-scene jadi tidak penting. Tidak fokus.

Meski menurut saya banyak sekali scene-scene tidak penting yang muncul di film Serdadu Kumbang, namun sekali lagi usaha Ari dan Nia Sihasale patut diacungkan jempol. Two thumbs up. Sebab, mereka tetap konsisten menggarap film anak di tengah membanjirkan film-film hantu.


“Gimana mau mencintai film sendiri kalau filmnya begitu semua? Hiburan untuk masyarakat sangat kurang,” ujar Ari Sihasale.

No comments: