Saturday, January 28, 2012

"TRIAL BY THE PRESS" LEBIH AMPUH DARIPADA "TRIAL BY THE COURT"

Begitu identitas diri Afriani Susanti (29) diketahui sebagai alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ada sebagian masyarakat langsung melebeli sekolah film dan televisi ini dengan cap negatif. Yang paling kasar mengatakan: “IKJ sarang narkoba”. Bahkan untuk mengantisipasi tindak kriminal yang barangkali akan dilakukan oleh warga masyarakat terhadap IKJ, pihak keamanan kampus membuat pemberitahuan untuk seluruh mahasiswa dan alumni IKJ agar mencopot stiker atau atribut yang ada tulisan maupun gambar IKJ di kendaraan mereka.

Selama ini kasus yang dilakukan seseorang dan merembet pada institusi bukan ini kali saja. Hal ini lazim terjadi di mana-mana. Ambil contoh yang paling sering dilebeli buruk oleh masyarakat, yakni anggota DPR. Apakah 560 anggota DPR yang berkantor di Senayan, Jakarta itu buruk? Tidak juga. Memang tidak banyak, tetapi ada anggota DPR yang masih idealis. Begitu pula dengan IKJ. Tidak semua mahasiswa dan alumni IKJ seperti Afriani yang menggunakan narkoba.

Meski stigma itu kadung menempel pada para seniman, bukan berarti semua mahasiswa seni, khususnya IKJ, pakai narkoba,” ujar alumnus IKJ yang tidak mau disebutkan namanya, sebagaimana saya kutip dari okezone, Selasa (24/1/2012).

Kasus tabrakan di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Selatan, Minggu siang, yang menewaskan 9 orang itu murni karena kelalaian pribadi, bukan institusi. “Ini kasus pertama yang menimpa IKJ. Sebagai rektor, saya bangga jika alumni IKJ berprestasi. Tetapi kali ini saya sangat resah. Ini contoh buruk bagi alumni IKJ,” ucap Rektor IKJ Wagiono.

Oleh karena itulah, kecamanan saya di akun Twitter, di Facebook, Kompasiana, maupun di blog ini, tidak ditujukan pada institusi IKJ, tetapi pada pribadi Afriani. Sikap dingin yang ditunjukan wanita tambun ini membuat sakit hati masyarakat, apalagi para keluarga korban. Simak pernyataan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Umar Wirahadikusuma ini:http://www.blogger.com/img/blank.gif

Kondisi Afriani terlihat tenang, bahkan tidak terlihat ada penyesalan di wajahnya. Ia dalam keadaan sehat dan tidak tampak shock,” ujar Umar yang saya kutip dari Republika (24/01/2012)

Kenapa tak ada ekspresi?

Mungkin dia belum lihat atau masih terpengaruh (narkoba),” kata Kasubdit II Psikotropika Ditnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Eko Saputro, di Mapolda Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta, yang saya kutip dari detikNews (Selasa (24/1/2012).

Eko membeberkan bukti, Afriyani mengantuk karena pengaruh obat (baca: narkoba), saat menabrak 9 pejalan kaki. Ia baru merasa mengantuk dan bisa tidur pada Senin (23/1) pagi, sementara peristiwa insiden kecelakaan terjadi pada Minggu (22/1) siang.

Membaca berita tersebut, saya geleng-geleng kepala. Ekspresi yang digambarkan di berita tersebut langsung saya asosiasikan pada beberapa film action, dimana biasanya ada tokoh antogonis. Tokoh yang memerankan seorang Pembunuh berdarah dingin, yang membuhuh orang tanpa memperlihatkan ekspresi penyesalan.

Lebih menyakitkan lagi, hukuman yang diberikan pada Afriani cuma 6 tahun. Menurut bekas petinggi Polri Brigadir Jenderal Pol (Purn) Parasian Simanungkalit menilai, tersangka Afriani bisa dijerat hukuman lebih berat dari yang seharusnya. Sangat tidak adil bila polisi hanya menjerat pasal 395 KUHP, tentang kelalaian yang mengakibatkan hilang 9 nyawa orang dan 3 orang sedang kritis, hanya dengan hukuman 6 tahun penjara.

Itu tidak wajar,” ungkap Brigadir Jenderal Pol. Purnawirawan Parasian Simanungkalit di Dewan Pers, Jakarta Pusat, (25/2/2012).

Ketidakadilan dalam pemberian hukuman bisa terlihat dari tiga kasus ini. Anak kecil yang mencuri sandal dituntut 9 tahun penjara. Lalu nenek miskin yang mengambil buah cokelat yang sudah jatuh dituntut penjara selama 15 tahun. Sementara Afriani hanya dituntut 6 tahun. Hukum kita memang sedang sakit. Rasanya benar, trial by the press memang lebih ampuh daripada trial by the court.

No comments: