Sunday, November 4, 2012

Meski Kontroversi, KPI Tetap Gelar Workshop P3SPS untuk Praktisi Televisi

Tak banyak pemangku kepentingan di stasiun televisi yang mengetahui isi dalam buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal buku yang menjadi pedoman pada pemangku kepentingan di televisi nasional ini sudah disahkan lama.

Bloggers, P3SPS ini terdiri beberapa Bab, dimana Bab tersebut seluruhnya berisi mengenai aturan dalam membuat program televisi. Ada Bab mengenai perlindungan terhadap orang atau masyarakat tertentu, sebagaimana terdapat di Bab XI Pasal 17.

“(1) Program siaran dilarang menampilkan muatan yang melecehkan orang dan/ atau kelompok masyarakat tertentu; (2) Orang dan/ atau kelompok masyarakat tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) antara lain, tetapi tidak terbatas: a. pekerja tertentu, seperti: pekerja rumah tangga, hansip, pesuruh kantor, pedagang kaki lima, satpam; b. orang dengan orientasi seks dan identitas gender tertentu; c. lanjut usia, janda, duda; d. orang dengan kondisi fisik tertentu, seperti gemuk, ceking, cebol, bibir sumbing, hidung pesek, memiliki gigi tonggos, mata juling; e. tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, tunagrahita, autis; f. pengidap penyakit tertentu, seperti: HIV/ AIDS, kusta, epilipsi, Alzheimer, latah; dan/ atau; g. orang dengan masalah kejiwaan.”

Jika Bloggers melihat Bab XI Pasal 17 di atas, sangat jelas dan detail P3SPS itu. Namun, pelarangan yang terkandung di Pasal ini selama ini tidak sesuai dengan fakta dalam televisi nasional. Mayoritas televisi hiburan –yang banyak menampilkan program sinetron atau komedi- boleh jadi telah melanggar aturan yang ada di Pasal 17 ini.

Yang Bloggers baca baru satu Bab dan satu Pasal. Belum Bab-Bab maupun Pasal-Pasal lain yang sesungguhnya sangat ‘menyiksa’ pemangku kepentingan di stasiun televisi. Mari kita perhatikan lagi Bab XIII, yakni Bab mengenai pelarangan dan pembatasan kekesaran, Pasal 23.

Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilaran: a. menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, peran, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengrusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/ atau bunuh diri; b. menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotong-potong dan/ atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristiwa kekerasan; c. menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia; d. menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap hewan, dan/ atau; e. menampilkan adegan memakan hewan dengan cara tidak lazim.”

Apakah Bloggers pernah melihat berita-berita di televisi nasional, dimana gambarnya tidak menampilkan sesuai perintah Bab XIII Pasal 23 di atas itu, terutama poin a? Pasti Kompasianers selalu melihat berita tawuran dengan gambar yang menampilkan peristiwa pada saat mereka melakukan kekerasan. Tawuran pelajar, misalnya. Footage (visualnya) sekolah A melempar batu ke sekolah B. Atau sekolah C mengejar para pelajar sekolah D dengan menggunakan bambu, bahkan golok. Footage berita terkadang memperlihatkan ada korban tawuran berdarah-darah yang terkena lemparan batu atau tewas di jalan dengan berdarah-darah. Namun, apakah stasiun televisi tidak boleh menampilkan fakta dengan footage seperti itu?

P3SPSI ini bisa jadi jebakan. Kita beberapa kali ditegur KPI, dimana mereka selalu mengaitkan dengan P3SPSI,” ujar salah seorang praktisi televisi yang tidak mau disebutkan namanya. “Di satu kasus mereka tegas, tetapi di kasus lain mereka membiarkan (ada program yang melanggar aturan-pen).”

Bloggers, P3SPS KPI tahun 2012 ini memang kontroversial. Betapa tidak, ketika sudah disahkan, sejumlah lembaga penyiaran swasta berniat mengajukan gugatan, baik ke Mahkamah Agung (MA) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut Arya M Sinulingga, Head of Corporate Secretary MNC Media, yang penulis kutip dari situs Okezone.com, ada tiga hal pokok yang membuat para stakeholder lembaga penyiaran swasta merasa keberatan. Pertama, P3SPS dinilai melanggar Undang-undang karena pembahasannya tidak melibatkan para pemangku kebijakan. Kedua, inti dari aturan-aturan dalam P3SPS dinilai melebihi kewenangan KPI. Ketiga, banyak aturan yang dinilai tumpang tindih dengan aturan lainnya, seperti UU Pers Nomor 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik.

P3SPS bisa membuat industri penyiaran terbunuh. Selain itu juga berpotensi menghalangi kebebasan pers,” ujar Arya.

Tak beda dengan Arya, Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Erick Thohir juga menyesalkan keluarnya P3PSP. Kata Erick, KPI belum melibatkan asosiasi ketika membahas aturan tersebut dan cenderung tumpang tindih dengan aturan lain. "Kami setuju diawasi tapi jangan industrinya dibunuh," kata pemilik sahan tvOne ini.

Meski masih tetap kontroversi di kalangan praktisi televisi, beberapa waktu ini KPI Pusat menggelar kegiatan workshop dan sosialisasi P3SPS KPI tahun 2012 di sejumlah stasiun televisi. Rencananya, dalam setiap akhir pekan, KPI Pusat akan mengadakan workshop P3SPS untuk 11 stasiun televisi di Jakarta secara bergantian. Kegiatan workshop pertama dimulai Global TV dan berlangsung di kantor KPI Pusat, Sabtu, 13 Oktober 2012 lalu, dengan dihadiri oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suryanto.

Menurut Ezki, praktisi televisi wajib mengetahui setiap aturan yang berhubungan dengan pekerjaannya dalam hal P3SPS KPI. Ia juga meminta perhatian para peserta untuk lebih jeli dan teliti pada setiap program acara yang akan ditayangkan. Seperti soal ciuman. Menurutnya, tayangan ciuman ini bisa menjadi masalah besar bagi anak-anak. Sebab, anak-anak yang menonton adegan ciuman akan menganggap sebuah hal yang biasa, jika si anak dicium oleh orang yang lebih tua darinya dan bukan muhrim.

Adegan ciuman, baik sedetik, setengah detik bahkan sampai tiga detik, tidak boleh ditayangkan untuk jam berapa pun,” kata Ezki.

Tentang ciuman dan larangan adegan seks banyak diatur dalam Bab XII di P3SPS ini. Memang, buat pemangku kepentingan, P3SPS ini seperti ‘membunuh’ program televisi (bukan membunuh televisi). Namun, sesungguhnya apa yang dilakukan KPI melakukan pembatasan patut dicungkan jempol, asal konsisten. Sebab, Indonesia bukan Negara liberal. 

No comments: