Friday, August 15, 2008

MEMORABILIA: MELACAK JEJAK SI DOEL

Ketika sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) diputar kembali, saya jadi mengenang masa-masa indah bersama Rano Karno dan kru SDAS. Saya dan mereka memang kayak saudara. Kenapa begitu? Sebab, hampir tiap minggu, saya pasti hadir di acara-acara yang dibuat oleh Karnos Film, entah itu pada saat shooting, maupun pada saat pembukaan kafe Si Doel di Kemang (sekarang sudah tutup), maupun pada saat acara ulangtahun Rano Karno.


Novel Si Dul Anak Jakarta karya Aman Datuk Modjoindo yang diterbitkan Balai Pustaka.

Saya nggak cuma dekat dengan Rano Karno, tetapi juga dengan adik-adiknya, kayak Nurly Karno dan Suty Karno. Bahkan kalo dibilang, dibanding dengan Rano Karno, saya lebih dekat dengan kakaknya Rano, yakni (alm.) Tino Karno.

Beberapa kali saya juga menyempatkan diri main ke rumah Nurly, juga Suty. Saya berkenalan dengan keluarga mereka. Kalo Nurly dulu tinggalnya di Pangkalan Jati, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sedangkan Suty tinggal di Desa Limo, Cinere, Jakarta Selatan. Saya nggak tahu apakah mereka masih kenal saya, karena sudah beberapa tahun ini, saya kehilangan kontak dengan mereka.

Dalam Memorabilia edisi kali ini, saya akan mengajak Anda flashback dulu pada tokoh Si Doel itu. Bahwa Si Doel bukan ujug-ujug lahir di sinetron SDAS, tetapi Rano terilhami oleh buku karya H. Aman Datuk Mojoindo berjudul Si Dul Anak Jakarta terbitan Balai Pustaka.

Memorabilia tentang sinetron SDAS ini sengaja saya buat bersambung dalam beberapa bagian. Maklumlah, khusus sinetron ini, saya sempat menulis beberapa artikel di Majalah HAI. Bukan sekadar karena saya menganggap diri saudara sehingga sinetron ini muncul terus di Majalah HAI. Tetapi kebetulan di tahun 90-an, sinetron ini menjadi fenomena. Nggak ada sinetron sedahsyat SDAS, baik dari perolehan rating maupun efek terhadap sinetron-sinetron sesudahnya. Nggak heran kalo Rano Karno sempat membawa hampir seluruh kru SDAS naik haji. Luar biasa bukan?

Sesudah kesuksesan SDAS, bukan rahasia lagi banyak produser yang meniru cerita sinetron dengan latar belakang cerita Betawi. Ada yang berhasil, ada yang terpuruk. Namun semua sinetron ala SDAS itu belum bisi mengalahkan perolehan rating, share, maupun pendapatan RCTI tahun 90-an.




















HAI 41/XVIII 18 Oktober 1994

MEMANG SATU-SATUNYA LUAR BIASA...

Begitulah tugas yang harus dipikul. Menjadi seorang unit yang harus mencari hotel untuk para kru, karena kamar dirasa kurang layak. Begitu dah dapat, mengatur nomor-nomor kamar. Membrief teman-teman SMA yg mau perform.Yang paling sering, menjadi ”keranjang sampah” untuk semua orang yang minta solusi.Begitulah tugas seorang ”decision maker”. Kordinasi pusat memang perlu, namun keputusan cepat hitungannya detik, bukan jam, apalagi hari. Soal genset yang butuh tantangan untuk mendapatkannya. Soal hotel yang gak layak tinggal untuk artis. Semua hal, butuh waktu cepat.

Yang gak akan pernah lupa di Padang, dalam rangka mengurus equiptment, soal genset. Ternyata tugas yang dipikul juga cari-mencari masalah yang harusnya diemban purchasing. Ada genset, tapi wattnya kecil, atau wattnya kebesaran untuk ukuran program Satu-Satunya ini. Genset favorit yang layak dan Lucunya, ”pemain” genset itu ternyata gak cuma satu. Yg banyak justru orang yang mau ambil keuntungan dari 1Satunya genset. Gak heran kalo harganya bervariasi, mulai dari 2,9 jt/ 8 jam sampai 2,5 jt/ 8 jam. Begitu ditelusuri siapa pemilik genset, tak ada seorang pun mau memberitahu. Ya iyalah! Siapa juga yang mau gak dapat untung?! Begitu sang pemilik tahu, sudah pasti harga yang ”selangit” (dari budget yang dianggarkan cuma 1,5 jt itu) akan turun drastis...tis!...tis!

Melihat antusiasme teman-teman SMA mempersiapkan diri untuk program roadshow ini, sedikit banyak menyuntikan semangat. Kenapa? Mereka gak dibayar. Sukarela. Kostum untuk tari daerah. Konsumsi selama latihan. Luar biasa!!! Salut!!!

Alhamdulillah, sinergi off air dan on air berlangsung dengan lancar. Memang terlalu lama opening segmen: pemandangan kota Padang dan kemudian masuk ke establish SMA yang menjadi tujuan live. Belakangan memang dipotong. Untuk off air yang di-on air-kan secara live juga dipotong. Penonton memang tak ”terbiasa” dengan local content, apalagi pendengar radio Gen-FM. Kebayang dong mendengar irama Melayu yang bersenandung di radio Gen-FM? Bisa jadi pendengar akan kabur ke radio lain...(moga-moga gak!)
Dengan semangat teman-teman tim roadshow, gak tega juga mengabarkan soal rating dan share yang kurang baik. Kasian. Mereka sudah berusaha maksimal, baik teknis maupun kreatif. Sudah ”berdarah-darah”. Buat mereka, spirit dan pujian adalah kebutuhan yang paling ”mendesak” ketimbang cacian ato makian yang gak jelas (baca: demotivasi). Thanks for all! Khususnya untuk tim Mbak Ai yang dikomandoi Deni. Mungkin bisa melakukan tugas itu: lobi Kepsek, ngatur aktivitas siswa-siswa di off air, dll. Namun, ada hal-hal yang kudu dibagi: on air & off air. Terlalu "rakus" kalo dimakan sendiri. Once again, salut untuk mbak Ai, thx 4 Deni.

Meski butuh ”decision maker”, toh Jakarta ternyata juga butuh tanggungjawab lebih. Ada Lomba Cipta Lagu Muslim yang begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Ada program lain, yang kelihatannya mudah, ternyata butuh perhatian juga. Itulah yang membuat ”ayah” harus meninggalkan ”anak-anaknya”. Maaf, bukan maksud hati meninggalkan tanggungjawab. Ternyata ada yang lebih membutuhkan dibanding harus tinggal berlama-lama di kota Padang dan Pekanbaru.

PADANG...TERNYATA

Daun pohon kelapa itu melambai perlahan-lahan. Angin yang menampar batang serta daun pohon itu sepertinya sudah terbiasa bergoyang-goyang, ke kiri dan ke kanan. Padahal tiupan sang angin, lumayan bisa bikin badan masuk angin.

Matahari yang sedari siang tadi membakar seluruh sudut-sudut jalan dan manusia-manusia yang lalu lalang, perlahan-lahan mulai mengumpat ke ujung laut. Sinar oranye di awan yang keras mulai melunak, berbaur dengan awan hitam. Sebuah tanda bergantian untuk bergaja jagat ini.

Beberapa orang masih setia berada di pingir pantai. Ada yang duduk di atas batu, melihat sunset. Terlihat sepasang ABG sedang berfoto-foto ria. Sebagian lagi sedang bermesraan: berpegangan tangan, atau bermanja-manja, atau sekadar saling menyatakan cinta. Sementara para penjual makanan sibuk meladeni mereka yang sedang kelaparan maupun kehausan. Di jalan, terdengar hiruk pikuk suara mobil dan motor. Ada yang sekadar lewat dan menikmati saat-saat sore. Sementara mereka yang kaya, memarkirkan kendaraan dan memamerkan kecangihan sound system yang ada di dalam mobil mereka.

Allahu Akbar...Allahu Akbar....

Suara adzan itu seolah memecah percakapan beberapa orang yang berada di pingir pantai. Memecah dentuman musik dari sound system anak-anak orang kaya. Menginfokan mereka, khususnya manusia-manusia di pingir pantai agar mengingat sang kuasa. Namun apa realitanya...

Padang ternyata tak seregius yang aku kira...meski tiap anak perempuan wajib memakai jilbab mulai dari SD sampai SMA...