Sunday, April 11, 2010

PEMERINTAH VS LAHAN HIJAU. KOK NGGAK KONSISTEN YA?

Bukan main bangga hati saya melihat ada spanduk ibu Negara Republik Indonesia, ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono sedang menyiramkan air via selang ke sebuah tanaman yang hijau. Di spanduk itu tertulis: MARI WUJUDKAN INDONESIA YANG SEMAKIN HIJAU BERSERI.

Spanduk yang dipasang di jembatan penyeberangan jalan MT Haryono yang melewati jalan tol dalam kota tersebut, dibuat oleh sebuah gerakan perempuan yang agaknya concern pada asalah lingkungan. Gerakan ini ingin mengajak segala lapisan masyarakat untuk menanam sekaligus memelihara pohon. Luar biasa bukan?

Spanduk yang dipasang pada Desember tahun 2009 lalu itu saya lihat dan kebetulan saya abadikan saat berada di sebuah jalan tol, ketika hendak mengantarkan istri saya ke kantor di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Saat meihat spanduk itu di dalam mobil saya berkata dalam hati, saya bangga punya ibu Negara yang peduli pada lingkungan. Beliau pasti mengerti, meski terlambat, tetapi sudah saatnya Indonesia menjaga kelestarian alam. Ini sesuai dengan semangat go green.


Spanduk di jalan tol dalam kota pada Desember 2009. Luar biasa bukan? Mengajak warga Indonesia untuk berpikir go green!

Saya yakin, ibu Negara juga tahu, bahwa bancana yang terjadi di tanah air, ya akibat dari ulah manusia itu sendiri. Banjir yang terjadi, bukan datang ujug-ujug begitu saja. Ada sistem yang membuat itu terjadi, yakni salah urus. Salah urus apa? Salah urus ekosistem dan infrastruktur tata air perkotaan dan kebijakan lain yang lebih memihak pada pengusaha, bukan pada lingkungan.

Menurut data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, hanya 26,6% air hujan yang bisa terserap tanah Jakarta. Sisanya 73,4%, mengalir ke laut. Mending kalo langsung mengalir, yang terjadi justru air yang nggak bisa diserap tanah itu yang menjadikan jalanan Jakarta tergenang alias banjir. Nah, itulah yang membuat saya bangga punya Ibu Negara yang concern mengajak warga negara untuk menjadikan Indonesia hijau.

Mau data lagi soal minimnya Indonesia yang dulu hijau? Menurut data WALHI tahun 2007, Indonesia tercatat di Guiness Book of Records sebagai negara dengan laju kecepatan kerusakan hutan (deforestrasi) tertinggi, yakni mencapai 2 juta hektar per tahun. Pada tahun 2008, Indonesia sudah kehilangan 72% hutan aslinya.


Pembangunan gerbang tol baru di KM 18 tol Jagorawi yang saya prediksi menghilangkan 500-1.000 m2 jalur hijau yang sebelumnya ada di tengah jalan tol. Ironis!

Back to Jakarta, sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta tahun 2010 ini, Jakarta mentargetkan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) 9,544,81 hektar (13,94%) dengan kondisi di lapangan 6.900 hektar (10%). Bandingkan dengan kota metropolitan lain seperti New York. Target RTH di New York tahun 2020 sebesar 25,2% (lihat Bagong Suyoto, Peduli Lingkungan, PT. Prima Infosarana Media, 2008, hal 16). Lalu Tokyo (29% menjadi 32% pada tahun 2015); London (39% di tahun 2020); Singapura (19%, lahan hijau cadangan 37% di tahun 2034); Beijing (38% menjadi 43% di tahun 2008), dan Curitiba (17%, lahan hijau cadangan 13% di tahun 2020).

Namun sayang seribu kali sayang, ketika saya melewati tol Jagorawi KM 18, ada proyek pembangunan gerbang tol. Entah gerbang tol apa yang sedang dikerjakan, karena saya belum ngecek. Yang pasti, proyek ini mengambil lahan hijau di tengah jalan tol, yang saya prediksi sekitar 500 sampai 1.000 m2. Ironis bukan?

Kok kayak nggak konsisiten ya? Sementara di bulan Desember 2009 ada spanduk ajakan untuk Indonesia hijau, eh di jalan tol juga yang notabene dioperasikan oleh perusahaan pemerintah Jasa Raharja, ada pengurukan jalur hijau. Ketika melewati proyek itu, hati saya miris banget. Dalam hati saya bilang, satu lagi jalur hijau menjadi korban pembangunan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

No comments: