Wanita itu bernama Rika (diperankan Endita). Ia seorang istri yang kecewa terhadap suami, karena sang suami memutuskan menikah lagi. Rika yang menolak dipoligami, memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik.
"Saya pindah agama bukan berarti mengkhianati Tuhan," ujar wanita ini lantang.
Rika pun dibaptis dan menganut Katolik. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Abi, anak semata wayang yang masih kecil itu, dibiarkan menjadi seorang Muslim. Ia tetap mengaji dengan Ustadz di masjid dan di bulan Ramadhan menjalankan puasa.
Sepintas sebagai penonton kita diperlihatkan pada sebuah gambaran toleransi yang luar biasa. Rika begitu toleran terhadap sang anak. Ketika sahur menjelang, ia menemani Abi untuk makan sahur, bahkan mengajarkan doa sahur. Namun, sejumlah kritik menerpa film ? ini.
Saya mengutip kritikan dari Dr. Adian Husaini. Menurut Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, tindakan Rika adalah Murtad. "Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil".
Dalam film tersebut, “orang murtad dianggap hal yang wajar, kemudian semua agama digambarkan menuju tuhan yang sama, ini ide-ide pluralisme yang sebenarnya sudah ditentang oleh Islam,” kata Dr Adian Husaini.
Tambah Dr. Adian, demi memperlihatkan sikap toleransi, Hanung mencoba "mengacak-acak" tokoh lain. Surya (diperankan oleh Agus Kuncoro), namanya. Ia seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”. Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid.
Terus terang, film ? membuat saya pribadi juga bertanya-tanya. Maksud Hanung barangkali ingin menunjukan, bahwa kita harus bisa bertoleransi. Namun sayang, contoh di film ini terlalu ekstrem, yakni dengan menonjolkan Rika sebagai pemeran utama yang disosokan sebagai wanita murtad. Kalo istilah Kiai: "toleransi yang kebablasan".
Setelah film Sang Pencerah yang mendapatkan banyak pujian, saya melihat Hanung cukup "nekad" menggarap film ? ini. Tapi barangkali saya mengerti, itulah Hanung. Sepertinya kurang afdol kalo nggak ada kontroversinya. Tentu Anda belum lupa saat sutradara ini menggarap film Perempuan Berkalung Sorban (2009)? Kisah pengorbanan seorang perempuan, anak kyai, ibu dan isteri yang sempat heboh itu.
"Sebenarnya kerukunan itu bisa diwujudkan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Ia menjelaskan, film Tanda Tanya ini sudah sangat berlebihan, ingin menciptakan kerukunan tapi justru merusak konsep masing-masing keyakinan agama, terutama Islam," ungkap Adian yang juga merupakan Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia.
No comments:
Post a Comment