Monday, June 15, 2009

HIDUP TANPA HUTANG

Pengguntingan kartu kredit di tahun 2000 menjadi saat-saat yang paling berkesan. Buat gw, hidup tanpa kartu kredit adalah hal luar biasa. Kenapa? Bagaikan hidup tanpa hutang. Kalo hidup kita tanpa hutan, wow alangkah indahnya. Seolah kita hidup di alam bebas, dimana burung-burung berterbangan, menghirup udara segar, banyak bunga bermekaran, di sekeliling kita tumbuh pohon-pohon nan hijau. Seolah kita pacaran dengan Luna Maya, Tamara Blezinsky, atau Nicholas Saputra (lho, kok?!), maksudnya Dian Sastro. Nikmat sekali euy!

Dahulu kala, gw pikir hidup tanpa punya kartu kredit enggak banget. Maksudnya, kita jadi nggak level dalam strata sosial masyarakat. Kelas kita nggak meningkat, selalu menjadi kaum marjinal. Tanpa kartu kredit di dompet, gw jadi punya sikap rendah diri. Sementara sohib-sohib gw berlomba-lomba memperlihatkan kartu kredit yang dikeluarkan dari dompet mereka, eh gw cuma bisa mengeluarkan limapuluh ribuan. Itu pun dalam kondisi lecek. Maklum, biasanya kalo lagi tongpes alias kantong kempes, limapuluh ribuan selalu dieman-eman (baca: disayang-sayang). Takut hilang. Nggak heran kalo duit dilipat-lipat dan diletakkan di saku dompet paling dalam.

Jalan satu-satunya menaikkan harkat atau strata sosial, ya punya kartu kredit. Dengan begitu, sikap rendah diri, bisa hilang. Kepercayaan diri pasti akan meningkat 350%. Itulah mengapa kemudian gw langsung meng-apply kartu kredit. Lho kok pake meng-apply? Dahulu bank-bank memang masih sok tahu. Sok jual mahal. Makanya sistem mereka buat Konsumen yang pengen memiliki kartu kredit perlu apply dulu. Nggak semua orang yang meng-apply otomatis bisa dapat kartu kredit, lho. Kalo begitu disurvey, elo memang dari golongan miskin, nggak akan mungkin lolos apply-nya. Beda dengan sekarang. Kalo sekarang mah, bikin kartu kredit kayak elo pengen boker aja. Dimana-mana ada WC. Begitu sakit perut, cari WC, berak deh. Kondisi kayak gitu juga sama dengan Sales kartu kredit yang dimana-mana pasti ada, ya nggak? Mau di mal maupun di kantor. You can run, but you can't hide.


Di mal kayak gini biasanya kita-kita ditawari aneka macam kartu kredit. Gw pribadi mah udah kebal dengan tawaran-tawaran mereka. Insya Allah nggak bakal tergoda sepanjang hayat masih di kandung badan.

Citibank adalah kartu kredit gw yang pertama. Mohon maaf gw mengungkapkan nama banknya. Gw nggak bermaksud mendiskreditkan bank ini. Gw cuma ingin mengungkap realita hidup yang pernah gw jalani. Back to kartu kredit Citibank. Kalo dengar kata Citibank, kayaknya gw bonfid banget ya? Yaiyalah, bank satu ini kan dari luar negeri, cong! Kebayang dong anak Rawasari, Jakarta Pusat kayak gw punya kartu kredit? Apalagi yang ngasih kredit adalah bank dari luar negeri. Kebayang juga dong, rumah gw yang sering kebanjiran dan ke kantor masih naik bemo ini, apply-nya bisa diterima? Ini peristiwa yang sangat luar biasa!!!

“Hore!!! Gw punya kartu kredit sekarang!!!”

Peristiwa kepemilikan kartu kredit ini kayak peristiwa besar dalam hidup gw. Bayangkan, gw yang kala itu (kira-kira tahun 90-an) gajinya cuma Rp 1,5 juta, bisa menggunakan kartu kredit sampai Rp 10 juta, tentu saja dengan cara menggesek kartu. Kalo mau ambil cash, bisa sampai Rp 5 juta. Wow?! Mantap kan bro?! Inilah yang membuat kepercayaan diri gw meningkat drastis. Dompet gw nggak cuma berisi duit lecek atau KTP, tapi udah ada sebuah kartu terbuat dari plastik yang nama dan foto diri gw.

Setelah punya kartu kredit, gw jadi rajin belanja. Entah belanja produk-produk yang penting kayak celana dalam, juga belanja produk-produk yang nggak penting kayak BH. Gw kan cowok tulen! Masa belanja BH? Nggak penting amat ya? BH-nya pun ukuran Dolly Parton pula.

“Kan bisa elo kasih ke istri loe?”

“Waktu itu gw belum punya istri!”

“Kasih nyokap loe kek!”

“Payudara ibu gw nggak segede Dolly Parton kalee!”

“Lantas ngapain juga elo beli BH?”

“Entahlah!”

Begitulah analogi kebodohan gw. Asal gesek. Nggak peduli belanja apa, penting nggak penting, sing penting gaya. Sok menggunakan kartu kredit. Memperlihatkan ke orang-orang, terutama sohib-sohib gw kalo gw juga punya kartu kredit. Percuma dong punya kartu kredit tapi nggak dimanfaatkan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Ngapain juga kalo kartu kredit cuma penuh-penuhin dompet dan bikin pantat tepos jadi tebal.

Saudara-saudara, ternyata gw orang paling tolol di seluruh dunia. Sikap kepercayaan diri gw harus dibayar mahal. Kartu kredit yang selama ini sebagai solusi menghapus sikap rendah diri yang gw sempat miliki berabad-abad lamanya, cuma kamuflase. Gw terjerat tali cinta yang menyesakkan jiwa. Cinta dalam konteks ini bukan sebuah bentuk perasaan, melainkan sebuah hutang. Betapa bank sangat mencintai Konsumen yang berhutang, sementara kita –terutama gw- cinta materi. Meski sama-sama cinta, akhirnya gw terjerumus juga.

Di awal-awal punya kartu kredit, bulan pertama sampai bulan keenam, gw masih happy menggunakan kartu kredit. Bank pun masih happy dengan cicilan-cicilan yang gw kirim via transfer. Lambat laun, gw ngos-ngosan juga membayar tagihan hutang. Yaiyalah! Gaji cuma seemprit, sok belanja sana-sini. Sekali lagi, saat itu gw menjadi the most stuppid man in this world.


Banyak orang bilang gw tolol nggak punya kartu kredit. Kata mereka, kartu kredit itu penting kalo sewaktu-waktu mendadak kita perlu membayar belanjaan kita dalam jumlah besar. Lah, kalo ketahuan nggak punya duit, ngapain juga belanja baju, tas, sepatu, dan barang-barang lain dalam nilai yang besar? Realistis lah! Ada yang bilang, ngapain bawa duit banyak, lebih baik kartu kredit. Gimana kalo kartu debit? Mending mana? Ngutang atau kita punya duit trus ditransfer ke kartu debit? Think about it all my friends!!!!

“Pokoknya kalo Anda nggak melunasi cicilan, kami akan laporkan Anda ke polisi!”

Ancaman Debt Collector kayak gitu berkali-kali gw dengar via telepon. Takut? Yaiyalah! Gw ngebayangi manusia segede King Kong berdiri di hadapan diriku ini yang badannya kerempeng kayak boneka pengusir padi yang ada di sawah. Dengan tubuh yang gede, sekali tempeleng gw, udah pasti badan gw langsung bisa patah-patah. Itulah yang membuat gw mau nggak mau harus melunasi cicilan sesegera mungkin. Gw terpaksa ngutang duit Nyokap buat membayar cicilan. Gali lubang tutup lubang, begitu pepatah yang cocok buat kondisi gw saat itu.

"Brengsek juga tuh mas-mas tukang kartu kredit!"

Makian gw saat itu sebenarnya salah alamat. Kenapa gw jadi marah-marah ke Sales kartu kredit? Yang tolol bukan mereka, ya nggak? Yang tolol tuh kita. Mau-mauan kena jebakan Batman. Mau-mauan disuruh ngutang. Hi, man! Wake up? Sales kartu kredit itu memang tercipta buat maksa orang-orang ngutang di bank. Mereka memang dibayar buat itu. That's why yang tolol adalah kita kalo akhirnya kita mau menerima "pinangan" mas-mas atau mbak-mbak buat memiliki kartu kredit.

"Harusnya mereka masuk neraka ya karena mengajak kita buat berhutang?" tanya teman gw yang antikartu kredit kayak gw.

"Waduh, gw nggak berani mengatakan iya dalam konteks ini deh..."

"Benar sih itu kerjaan mereka. Memang sih mereka kerja buat ngasih makan anak-bini. Tapi soal kerjaan mereka halal atau haram perlu dipertanyakan lagi deh. Wong ngajak orang berhutang, cong?!"

"No comment lah!"

Setelah beberapa kali cicilan, akhirnya lunas hutang gw juga. Kejadian ditelepon-teleponin Debt Collector memberkas dalam diri gw. Apakah gw salah 100%? Gw pikir sih enggak juga. Barangkali orang berpikir, gw salah karena nggak bayar cicilan. Orang juga pasti menyangka, gw menjalankan pepatah “besar pasak daripada tiang” atau terlalu memaksakan kemampuan padahal nggak mampu. Begini my friends, sebenarnya gw nggak nunggak hutang sampai 3 atau sampai 12 bulan segala. Gw cuma nunggak sebulan doang, kok. Bahkan pernah gw cuma telat 3 hari dari jadwal kewajiban membayar, eh Debt Collector udah memaki-maki gw kayak gw punya hutang ratusan juta dan belum membayar setahun.

“Kartu kredit memang gitu, cong! Kalo nawarin Konsumen buat berhutang semangat 45, eh begitu telat sedikit marahnya minta ampyun!”

“Ah, Konsumen juga suka gitu sih...”

“Suka apa?”

“Getol bikin kartu kredit sebanyak-banyaknya, giliran bayar hutang malesnya minta ampyun!”

“Seri dong kali gitu?”

“Ya, gitu deh!”

Alhamdulillah, sejak tahun 2000, gw punya komitmen nggak mau punya kartu kredit lagi. Komitment tersebut ditandai dengan pengguntingan kartu kredit Citibank. Pada saat menggunting, rasanya gw puas banget. Gw merasa bisa mengalahkan kartu plastik yang selama ini menjerat gw ke dunia hutang.

Gw kapok punya kartu kredit! Padahal bikin kartu kredit masa kini gampangnya minta ampun. Bukan kita yang meng-apply, tapi para Sales kartu kredit yang mengejar-ngejar kita. Nggak cuma di Mal, di kantor gw sekarang aja, Sales bisa masuk dan menawarkan kartu kredit. Nggak tahu buat elo atau orang lain, tapi buat gw, mereka itu mengganggu sekali. Selain mengganggu kita ketika santai melenggang di Mal, mereka juga mengganggu iman kita. Iman buat konsisten nggak mau berhutang lagi.

“Aplikasinya mudah, lho, Pak. Bapak cukup menyerahkan fotocopy KTP, kartu kredit langsung selesai. Beres kan?”

Bujuk rayu Sales memang bisa meruntuhkan iman kita. Banyak teman gw yang tanpa memikirkan masa depan yang cerah ceria langsung meyerahkan KTP-nya dan mendapatkan kartu kredit. Si Sales pun tersenyum lebar. Padahal di hatinya mau berteriak: “Welcome to Hutang’s World!” Untunglah, gw nggak terbawa arus. Bayangan akan Debt Collector kartu kredit masih memberkas di kepala gw. I hate credit card! I hate everything about you! Lho, kok kayak lagunya Ugly Kid Joe.

Hidup tanpa hutang ternyata lebih nikmat. Gw jadi nggak boros, nggak doyan belanja, dan tentunya nggak dikejar-kejar Debt Collector kayak teman gw. Sekarang ini, ada seorang teman gw di kantor yang dikejar-kejar Debt Collector. Hampir tiap hari, Debt Collector itu menghubungi teman gw yang berinisial M ini. Si M rupanya punya hutang 5 juta. Kelihatannya sih kecil cuma 5 juta. Tapi nyatanya buat temen gw, angka segitu terlalu berat buat dibayar. Menurut si Debt Collector, temen gw udah nunggak selama 6 bulan.

Ada lagi temen gw yang juga nggak mampu bayar cicilan mobil selama dua bulan. Gara-gara nggak mampu bayar hutan leasing, mobilnya ditarik. Kalo mau mobilnya kembali, temen gw kudu membayar lunas sisa hutang leasing mobilnya.

Sebetulnya masalah hutang ini bukan cuma memberikan image buruk pada si Penghutang. Kalo Penghutang mah udah pasti bakal di-blacklist dari dunia bank atau leasing. Namun hutang bisa memberikan image yang nggak baik buat perusahaan tempat si Penghutang bekerja. Perusahaan dianggap memiliki karyawan yang nggak taat kewajiban, nggak disiplin, dan selalu menghindar kalo punya masalah. Padahal ini masalah “besar pasak daripada tiang” itu tadi. Bahwa si karyawan nggak melihat dampak yang akan ditimbulkan kalo dia berhutang, sementara kemampuan buat membayar hutang nggak mencukupi.


Kalo kita ngefans berat sama kartu kredit, sampai tua kita nggak bakal lepas dari hutang. Kalo kita nggak bebas hutang, ini merefleksikan negara kita yang tercinta ini. Bapak-bapak ini lagi membicarakan bagaimana Indonesia bebas hutang, karena mereka merasa nggak punya hutang. Tapi kenapa anak-cucu mereka terjerat hutang ya? So jangan heran pajak mengila. Itu salah satu upaya pemerintah mencari dana membayar hutang negara. Nah, jangan sampai kita dipusingkan pemerintah dan dipusingkan oleh tunggakkan kartu kredit. Gw mah nggak mau mati meninggalkan hutang! Kebayang dong, elo belum lunas cicilan bulanan kartu kredit yang elo gesek pada saat beli kulkas, eh tiba-tiba elo meninggal. Apa kata dunia?

Masalah hutang pada diri seseorang ternyata juga terrefleksi pada negara. Gara-gara rakyatnya gemar berhutang, negara yang kita cintai ini pun gemar berhutang. Caranya? Dengan meminta pinjaman. You know what? Dalam lima tahun terakhir, utang bangsa kita meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun. So, siapa pun yang menjadi Presiden 2009-2014 nggak bisa lepas dari beban hutang.

Berbagai kalangan udah mengkritisi Pemerintah soal hutang. Sepanjang lima tahun ini, Pemerintah menambah jumlah hutang sebesar Rp 392 triliun. Pada tahun 2004, hutang Indonesia masih Rp 1.265 triliun. Di tahun 2009 ini, hutang Indonesia menjadi Rp 1.667 triliun. Kalo dijabarkan, hutang-hutang ini meliputi Rp 747 trilun pinjaman luar negeri. Sisanya Rp 920 trilun dalam bentuk surat berharga. Pada tahun 2009 ini, surat berharga tersebut akan jatuh tempo. Nilainya Rp 30 triliun. Selanjutnya pada tahun 2010 kita harus membayar Rp 49 triliun; tahun 2011 harus membayar Rp 40 triliun; tahun 2012 membayar Rp 54 triliun; 2013 membayar Rp 43 triliun; dan 2014 naik Rp 57 triliun (sumber: Media Indonesia/ 15/06/09).

Ah, ternyata nggak warga negara maupun negara nggak bisa lepas dari hutang. Gw tersenyum bangga, karena berhasil melewati masa-masa terlilit hutang. Masa-masa menyebalkan berhubungan dengan pihak bank atau Debt Collector. Coba kalo masih berhutang, pasti hidup kayak neraka. Tersiksa, cong!

Tiba-tiba telepon di meja kerja gw berdering.

“Ini Pak Jaya ya?”

“Dari siapa nih?”

“Dari Bu Brindil!”

“Iya, kenapa Bu?”

“Hutang Pak Jaya udah dua juta. Kapan mau dilunasi?”

Gw langsung memukul jidat. Alamak! Ternyata hidup ini nggak bisa bebas 100% dari hutang. Nggak punya kartu kredit bukan berarti nggak ngutang di tempat lain. Perkara makan pun, gw nggak bisa lepas dari lilitan hutang. Oh Tuhan, maafkan hambamu ini.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

3 comments:

YS Kreasi said...

kereeen artikelnya mas bro, cara penyampaian pesan yang uniqe dan gokil (lucu) pokonya you rock man!!! sukses mas bro...

www.yansuryanto.co.cc

diary si tukang gowes said...

Terima kasih ayahbia. Salam kenal ya...

Unknown said...

Emang bnr bnr bajingan city bank...