Friday, May 29, 2009

NGGAK PANTAS SOMBONG

Mempertanyakan manusia memang nggak ada habis-habisnya. Ibaratnya kita mengupas kulit bawang satu per satu. Belum menemukan inti bawangnya, mata kita udah lebih dulu pedih. Pedih lantaran udara yang dikeluarkan dari bawang, yakni berupa sekumpulan air dan gas tersebut, bikin perih mata. Manusia, ketika kita kuliti tabiat dan prilakunya, juga kerapkali bikin pedih hati.

Salah satu prilaku manusia paling memuakkan adalah sombong! Kenapa sih manusia punya rasa sombong? Pertanyaan tersebut barangkali bisa kita pertanyakan lagi ke Allah, kenapa Allah memberikan sifat sombong pada manusia? Memangnya apa yang disombongkan oleh manusia sih?

Sesungguhnya apa yang diciptakan Allah pasti ada maksudnya. Saya nggak akan membahas ayat-ayat suci yang banyak sekali membahas soal kesombongan manusia. Saya juga nggak akan membahas kisah-kisah zaman Nabi yang juga menceritakan soal kesombongan lawan-lawan Nabi yang pada akhirnya kalah dengan kesombongan mereka. Dalam note di Juma’t yang cerah ceria ini, saya lebih suka membahas realita kesombongan yang dilakukan manusia, terutama diri saya yang hina ini.


Kalo mau sombong, sebenarnya saya memungkinkan untuk itu. Sejak kecil, saya udah jadi anak Konglomerat. Tapi biarlah, mereka yang sok kaya saja yang bersombong-sombong ria. Saya cukup naik mobil Hammer dan pacaran dengan Selebriti.


Sebagaimana anak-anak Konglomerat lain, saya selalu memiliki naluri show off alias pamer. Buat saya, mobil Kijang Innova atau Grand Livina bukanlah representasi seorang anak Konglomerat. Mobil-mobil kayak gitu lebih pantas dimiliki mereka yang stratanya di kelas menengah-bawah, dimana gajinya sebulan Rp 10 juta ke bawah. Ketika memiliki mobil-mobil jenis itu pun harus leasing atau kredit atau mencicil.

Saya lebih suka naik mobil Hammer. Buat saya, Hammer pantas menjadi mobil anak Konglomerat. Maklumlah, Hammer itu mobil build up, yakni mobil yang nggak dibuat atau dirakit di Indonesia. Mobil yang kalo beli pajak pembeliannya gede minta ampun. Pajaknya aja barangkali bisa beli satu mobil jenis city car, apalagi harga mobil Hammer itu sendiri.

Saya nggak peduli harga Hammer bisa membeli sebuah rumah, dimana sebuah rumah itu barangkali bisa menjadi rumah singgah para gelandangan di kolong jembatan. Saya juga nggak peduli harga Hammer bisa menyekolahkan anak-anak putus sekolah yang ada di pedalaman Kalimantan atau Irian Jaya. Buat apa saya peduli? Wong Pemerintah saja nggak peduli? Lagipula pajak-pajak yang diporoti Pemerintah pada diri saya dan orangtua saya harusnya buat kepentingan orang-orang miskin bukan? Itu artinya, saya secara tidak langsung juga peduli sama orang-orang miskin, bukan begitu?

Terkadang sebagai anak Konglomerat saya sebal. Hidup saya seperti berada di dalam sebuah akuarium. Saya adalah salah satu ikan hias berharga mahal yang diperhatikan manusia-manusia. Setiap langkah saya, selalu mendapat perhatian ekstra. Entah salah atau benar, saya selalu jadi pusat perhatian. Harusnya saya bisa bebas berekspresi. Bebas membeli rumah berapa pun jumlah dan harganya. Bebas memilih Wanita-Wanita cantik sebagai pacar-pacar saya, selama mereka suka dengan materi-materi yang saya berikan. Wajar bukan kalo mereka butuh materi, butuh segala hal yang mereka butuhkan dalam hidup ini? Believe me! I can afford everything about it! Saya bisa mendapatkan hal itu semua.

Ketika teman-teman saya punya Blackberry, naluri iri saya muncul. Memang aneh, anak Konglomerat kok iri sama kaum Proletar. Tapi ya begitulah manusia, sekaya-kayanya kita, pasti naluri iri, sirik, dengki, dan sombong selalu menyertai. Padahal saya bisa beli jutaan Blackberry yang saya bisa berikan pada Pengamen-Pengamen yang biasa mangkal di perempatan Coca-Cola itu. Padahal saya bisa berikan cuma-cuma ke ratusan Bencong Taman Lawang yang belakangan aktivitasnya menurun lantaran nggak punya show room lagi buat mejeng. Padahal saya juga bisa berikan Blackberry-Blackberry itu pada seluruh saudaranya Bu Brindil agar bisa cepat pesan makanan via Blackberry.

Katanya Indonesia sedang krisis ekonomi. Tapi saya senang, pusat perbelanjaan masih tetap penuh. Orang-orang keluar-masuk Mal sambil membawa kantong berlogo Calvin Klein, Gucci, atau Dolce & Gabbana. Katanya banyak orang Indonesia di pingiran sana yang kelaparan. Tapi saya nggak melihat kondisi itu tuh! Saya tetap menikmati nongkrong bersama ratusan orang-orang di Cafe Paladian Park, dimana saya bisa menikmati sop buntut atau tom yam. Atau di Spice Garden, Sogo dimana saya puas mengunyah tahu gejrot yang sebenarnya bisa saya beli di jalanan, tapi hal tersebut nggak mungkin, karena saya anak Konglomerat. Atau nongkrong berjam-jam di Urban Kitchen sambil tertawa sendirian bersama Blackbarry-nya yang digunakan cuma buat chatting or menulis status updates.


Blackberry udah bukan lagi gadget buat Pengusaha atau Pejabat yang butuh kecepatan dalam melakukan transaksi bisnis atau negoisasi harga. Blackberry kini cuma mengelabui orang agar status sosial meningkat dan memberbarui status updates yang ada di Facebook. Nggak peduli beli Blackberry-nya ngutang atau didapat dari pasar ilegal, yakni dari black market.

Apakah saya nggak boleh sombong?

Sebenarnya nggak ada aturan manusia nggak boleh sombong. Sekali lagi, pasti Allah punya maksud kenapa manusia diberikan kesombongan. Dalam Yin dan Yan, kita mengerti soal keseimbangan. Bahwa tanpa adanya kesombongan, maka akan ada ketimpangan. Cuma kesederhanaan yang ada di dunia ini. Apa menariknya yang muncul cuma orang-orang sederhana? Orang-orang yang nggak pernah berganti handset HP-nya dari tahun ke tahun. Apa enaknya melihat Wanita-Wanita cantik dan seksi tapi dari dahulu sampai sekarang pakainya kebaya dan konde.

Keseimbangan perlu. Harus ada orang sombong dan orang nggak sombong. Orang sombong menyombongkan diri pada orang-orang yang nggak sombong. Kalo orang nggak sombong ada yang konsisiten dengan sikap mereka untuk tidak ikut-ikutan sombong, meski sebetulnya mereka pantas sombong. Yang parah, kebanyakan orang-orang dari kelas menengah-bawah yang kesombongannya melebihi saya yang anak Konglomerat ini. Masih naik ojek atau mobil cicilan, tapi gadget-nya melebihi harga spare part kendaraan bermotornya.

Saya mengaku sombong, tapi kesombongan saya nggak norak kayak Syekh Puji. Duitnya yang milirian rupiah itu dipertontonkan ke khalayak ramai. Mobilnya yang udah banyak itu diperlihatkan ke semua pasang mata, bahkan ketika membeli mobil, dia pun nggak kuasa menahan diri untuk sombong. Belum cukup, dia mengganggap, dengan duitnya yang banyak, dia bisa berbuat apa saja, termasuk mengawini anak di bawah umur. Sombong sekali beliau. Kalo saya mau, saya bisa kawin dengan lebih banyak Wanita daripada beliau. Nggak perlu kawin dengan anak kecil yang masih polos, tapi dengan Wanita-Wanita dewasa, kalo perlu mereka yang dikenal sebagai Selebriti.

Dalam dunia politik, saya juga seringkali sebal dengan mereka yang merasa dirinya paling pantas menjadi Pemimpin. Orang kayak begini masuk kategori sombong. Merasa dirinya benar, nggak korup, selalu jujur, berlandaskan hati nurani, dan yang sekarang lagi happening antiekonomi neo-liberalisme. Padahal hidup Politisi-Politisi ini juga sama seperti saya, suka mengumpulkan harta-benda, hendon, dan menikmati kehidupan neo-liberalis yang terjadi sekarang ini. So, mereka itu nggak cuma sombong tapi ternyata hipokrit juga.

Saking sombongnya juga, buat mengejar posisi sebagai RI 1, ada Politisi yang mau membeli "suara" dan ditukar dengan sebagian kecil harta yang dimilikinya. Maksudnya "suara" pemilih yang udah masuk ke Partai, bisa dibeli gitu, cong! Inilah yang merusak demokrasi, objektivitas, dan sikap jujur-adil.

Manusia, terutama saya, sepatutnya nggak pantas sombong. Harusnya saya bisa menahan diri menjadi manusia sederhana. Biarlah orang-orang yang jauh di bawah saya saja yang menyombongkan diri. Barangkali dengan mereka bersombong-sombong ria, mereka akan bahagia. Barangkali dengan memiliki Blackberry cicilan atau second atau pembelian dari black market, mereka bisa menutupi kekurangan dari hidup mereka. Harusnya saya nggak tergoda dengan tingkah laku mereka. Harusnya saya tetap mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya dan apabila sudah berlebihan saya berikan pada mereka yang miskin. Bukankah hal tersebut lebih terhormat ketimbang menunjukan kekayaan diri saya dan bersaing dengan orang-orang yang bukan level saya?

3 comments:

Lucky I. Ismail said...

Belanjalah dengan bijaksana.

Kalimat ini mungkin sudah banyak dilupakan, padahal pemahaman kalimat ini sangat dalam dan berpengaruh pada gaya hidup seseorang. Saat ini, dengan adanya sistem informasi canggih yang bebas dan tidak terbatas, diri kita lebih rentan terhadap serangan-serangan konsumerisme dan materialistis yang mendorong untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran yang sebenarnya tidak perlu.

Saya ingat, di sekolah pernah ada pelajaran tentang prioritas tingkat kebutuhan dalam kehidupan manusia. Ada kebutuhan primer (seperti makanan, baju dan tempat tinggal), kebutuhan sekunder (seperti sekolah, sarana komunikasi dan lainnya), kebutuhan tertier dan seterusnya. Kebutuhan terier dan selanjutnya ini adalah kebutuhan 'yang nggak penting', syukurlah kalau mampu dan tidak apa-apa kalau tidak ada. Yang lucu, sekarang ini banyak orang yang terbalik menentukan prioritas ini. Sebagai contoh, Blackberry jelas termasuk dalam kategori kebutuhan tertier, tapi sering tertukar menjadi kebutuhan sekunder atau bahkan primer. Beberapa kali saya temui orang-orang yang rela mencicil Blackberry hanya untuk tampil lebih gaya, tanpa memperdulikan adanya kebutuhan lain yang lebih mendesak. Orang-orang ini bahkan rela mengurangi takaran makanan atau bahkan rela berhutang agar dapat menyisihkan sebagian dari gaji untuk membayar cicilan Blackberry tersebut.

Saya heran, seberapa penting sebenarnya sarana komunikasi yang terus-menerus online, seperti yang disediakan oleh Blackberry, bagi orang-orang kebanyakan? Apa yang sebenarnya mereka peroleh dari model komunikasi baru ini, apakah alat ini dapat memberi suatu manfaat yang terukur (misal dalam bentuk uang atau keberhasilan bisnis) bagi orang kebanyakan?

Kalau saya sendiri sengaja memilih tidak menggunakan Blackberry karena alasan yang sederhana. Saya tidak ingin privasi dan waktu pribadi saya terganggu oleh alat ini.

diary si tukang gowes said...

Elo itu sama dg gw, Luc! Gw nggak tahan hidup terus menerus diganggu. Masa mau tidur, bunyi "tut-tut", mau sholat diganggu lagi "tut-tut!", kapan mikirin akhirat?

Anonymous said...

Setuju, nggak ada aturan yg ngelarang utk sombong. Sy sendiri juga sering dianggap sombong, karena jujur aja, sebagai pelajar nilai2 saya termasuk yg terbaik di kelas.

Lagipula, sebetulnya sombong itu apa? Suka ngerendahin orang? Tukang pamer? Kebanggaan berlebih?

Kita semua pasti pernah 1-2 kali merendahkan orang, entah ngatain orang 'bego' atau sekedar omong di belakang. Sedangkan pamer, setiap orang pasti juga pernah pamer. Apa motif dasar orang buat beli gadget baru seperti BB? Supaya nggak ketinggalan, supaya dianggep gaul, intinya pamer juga.

Terus tentang kebanggaan berlebih, saya sering banget dicap sombong karena yg satu ini. Apa salahnya kalo bangga karena nilai bagus? Apa salah kalo kita bangga karena muka kita cantik, atau punya barang bagus?

Biarpun nggak maksud menyombong, tapi ada aja mulut usil yg ngasih cap ke kita. Makanya menurut saya, mereka cuma orang2 muna yg nggak sadar menjilat ludahnya sendiri.