Inilah
Technische Hoogesschool (THS) atau Sekolah Tinggi Tehnik. Di Perguruan Tinggi (PT) inilah dahulu Presiden RI pertama, Soekarno berguru dan tepat pada tanggal 25 Mei 1926 meraih gelar kesarjanaannya. Kini, THS udah punah di muka bumi ini, sebagaimana Dinosaurus. Nama THS berubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
THS atau ITB bukanlah PT tertua di Indonesia. Menurut buku
Manajemen Perguruan Tinggi karangan
Dr. Taliziduhu Ndraha, terbitan PT. Bina Aksara (1988), PT tertua adaah Sekolah Ahli Kesehatan. Sekolah ini didirikan pada tahun 1851. Bahkan sebelumnya, di tahun 1811, ada sekolah kedokteran, dimana awalnya cuma melatih mahasiswa-mahasiswanya menjadi ahli cacar.
Sekolah Ahli Kesehatan (SAK) ini cuma berlangsung empat semester atau dua tahun kuliah. Setelah kelar, lulusan SAK mendapat gelar Dokter Jawa. Lucu ya? Untung SAK ini cuma ada di Jawa. Coba kalo ada di Jawa Barat atau Sumatera Utara, pasti akan ada gelar Dokter Sunda dan Dokter Batak. Pada tahun 1875, gelar yang “lucu” ini dirubah menjadi Ahli Kesehatan Bumiputera (
Inlandsh Geneeskundige).
Gedung STOVIA. Cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sebelum FKUI pindah ke Salemba, mahasiswa kedokterannya belajar di STOVIA ini.Pada tahun 1902, SAK menreorganisasi manajemen perguruan tingginya. Selain masa belajarnya diubah, nggak cuma empat semester, tapi gelarnya pun diubah. Kata “Ahli Kesehatan” dihilangkan, diganti menjadi Dokter Bumi Putera (
Inlandsh Arts). Nama SAK pun kemudian berubah menjadi
School tot opleiding van Indische Artsen (STOVIA).
Pada tahun 1910 berdiri lembaga bernama Perkumpulan Universitas di Indonesia (
Indische Universiteits Vereeniging). Tugas lembaga ini adalah mendirikan PT di seluruh Indonesia. Sejak itu, berdiri beberapa PT, antara lain Sekolah Tinggi Kedokteran (STK atau
Geneeskundige Hogeschool) pada tahun 1927, Sekolah Tinggi Teknik (STT) di Bandung yang diprakarsai oleh
Koniklijk Instituut voor Hoger Technisch Onderwijs in Nederlandsch Indie, dan Sekolah Tinggi Hukum (
Rechts Hogeschool) pada tahun 1924.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 1949 Nomor 23 tentang penggabungan sementara PT menjadi Universitas, maka seluruh PT di Yogyakarta digabungkan menjadi satu universitas. PP itu merupakan cikal bakal Universitas Gadjah Mada (UGM). Ini juga terjadi sebelum lahirnya Universitas Indonesia (UI). Pada bulan Januari 1946, pemerintah Belanda mendirikan Universitas Darurat, dimana lokasi universitasnya di dua daerah, Jakarta dan Bandung. Kalo di Jakarta ada 4 fakultas, di Bandung ada satu fakultas. Setahun berikutnya, Universitas Darurat itu berganti nama menjadi UI.
Tahukah Anda mengapa PT didirikan?
Seperti kita ketahui, PT didirikan pada zaman Belanda. Kalo kita lihat tadi, PT pertama didirikan tahun 1811. Pada tahun itu, seiring berakhirnya kekuasaan VOC di Indonesia pada Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana Gubernur Jenderal pertama nggak lain nggak bukan bernama
Herman Willem Daendels (1808-1811). Ini artinya, Belanda lah yang mengorganisir pendirian PT-PT di tanah air. Menurut Guru Besar ilmu teknik mesin Fakultas Teknik UI, ISTN, Universitas Pancasila, Nakoela Soenarta, Belanda mendirikan PT atau hogeschool agar lulusan dapat membantu misi mereka. Misi apa? Misi buat menjajah Rakyat Indonesia. Dengan lulusan orang lokal (
inlanders), Belanda dapat dengan mudah memanfaatkan tenaga mereka buat menjadi Pembantu Utama. Sungguh licik bukan?
Sesungguhnya kelicikan ini masih terjadi sampai sekarang. Nggak percaya? Banyak Pusat Budaya atau Kedutaan Besar (Kedubes) di Indonesia ini yang menawarkan program beasiswa.
Sebenarnya wajar kalo orang-orang Indonesia mengambil beasiswa dari Pusat Budaya atau Kedubes. Mereka ingin terus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, entah itu S1 atau S2, tanpa harus mengeluarkan biaya. Mumpung pandai, ya memanfaatkan kepandaian dengan mengambil beasiswa, ya nggak? Tanpa sadar, mereka yang mendapatkan beasiswa, banyak yang dimanfaatkan negara pemberi beasiswa, yakni dengan menjadikan mereka double agent. Maksudnya? Mereka “menjual bangsa” ke bangsa lain.
“Lho, dimana nasionalisme mereka?”
“Ah, kalo sudah urusan dengan UUD, mana pernah mikirkan soal nasionalisme? Bullshit!”
“Maksudnya ujung-ujungnya duit?”
“Yap! Setelah lulus dari Universitas di luar negeri, orang-orang Indonesia banyak yang tetap bekerja di luar. Mereka meninggalkan tanah air, bahkan banyak pula yang melepas kewarganegaraannya. Sebelum lulus, mereka ditawari macam-macam. Fasilitas, rumah, dan gaji. Siapa yang nggak tergiur? Soal Indonesia? Halah!
Don’t care lah yau!”
“Ini pasti gara-gara pendidikan di Indonesia! Yang seharusnya pendidikan murah, bahkan gratis, eh realitanya dodol! Ini pasti juga gara-gara kurangnya penghargaan terhadap profesi. So, mereka wajar kalo memilih bekerja di luar negeri dan meningkatkan taraf hidup di sana...”
“Coba kuliah bisa gratis. Coba lulusan kita dihargai. Coba profesi juga dihargai....”
Dahulu, baik ITB, UI, maupun PT Negeri (PTN) lain bisa dinikmati oleh semua warga negara Indonesia. Nggak cuma golongan
the have, tapi mereka yang masuk kategori warga miskin bisa masuk kampus. Setahu gw, nggak ada satu anak miskin yang berniat masuk ke PT Swasta (PTS), kayak Trisakti atau Atma Jaya. mahal lain. Kalo ada, pasti anak itu dimusuhi keluarga dan dianggap anak yang nggak tahu diri. Keluarga miskin cuma bisa menghayal masuk ke PTS. Oleh karena itu, di zaman gw, keluarga-keluarga miskin kudu pintar supaya dapat lolos seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) atau sebelumnya ada istilah Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Ini bukan berarti keluarga-keluarga kaya nggak pintar, lho. Keluarga kaya mah enak, nggak lulus UMPTN bisa seenak udel masuk ke PT, mulai yang bayarannya mahal sampai yang muahaaal.
Kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba.Kalo berhasil lolos UMPTN, anak dari keluarga miskin akan masuk ke PTN. Kalo bisa masuk PTN, maka uang kuliah murah meriah. Dalam tulisannya berjudul Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI (11/07/08), Nakoela mem-flashback biaya kuliah zaman Belanda. Tulisnya, biaya kuliah di PT dalam satu tahun besarnya rata-rata 300 gulden. Saat itu, harga satu kilogram beras sekitar 0,025 gulden. Kalo memakai patokan harga beras, maka biaya kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Kalo ukuran dan perbandingan ini diterapkan sebagai biaya kuliah di PT sekarang, maka kisahan harga seorang mahasiswa yang kuliah di sebuah PT selama setahun kira-kira senilai Rp 36 juta. Nilai tersebut dengan asumsi harga beras rata-rata per kilo Rp 3.000. Murahkah? Tergantung.
Alhamdulillah, gw sempat merasakan biaya kuliah per semester kalo nggak salah Rp 200 ribu. Itu pada saat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Sedang saat kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), saya kudu membayar per semester sekitar Rp 500 ribu. Buat saya IISIP memang PTS yang paling murah meriah. Bayangkan, harga per semester masih jauh di bawah Rp 1 juta. Udah gitu, uang bayarannya SKS juga murah. Hitungannya bukan per satuan SKS, tapi kolektif. Padahal setahu gw, di tahun 1989-an, satu SKS paling murah seharga Rp 20 ribu. Kalo dalam satu semester mengambil 20 SKS, ya tinggal kalikan saja Rp 20 ribu dikali 20 SKS, yakni Rp 400 ribu.
Saat ini biaya kuliah PTN maupun PTS nggak ada beda. Artinya, baik negeri maupun swasta biaya kuliahnya relatif sama. Jadi mohon maaf, sekarang ini kampus memang bukan tempat buat orang miskin.
Sejak kebijakan otonomi PTN, biaya di PTN nggak beda dengan PTS. Dalam buku
Sekolah Bukan Pasar karya St. Kartono terbitan Kompas, Juni 2009, disebutkan biaya sekolah diserahkan kepada pasar. PTN mencari dana seluas-luasnya dari masyarakat, sebab otonomi PTN berlaku. Masyarakat di sini boleh diterjemahkan sebagai kalangan
the have.
Beberapa waktu lalu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) sempat melakukan kritik sistem pembiayaan Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Inti kritik itu apa lagi kalo bukan soal biaya kuliah di PTN, khususnya di UI. Wajar sih, biaya di UI hampir nggak beda jauh kayak PTS. Terakhir ke UI, gw lebih melihat kampus ini nggak cocok banget buat orang miskin, tapi lebih cocok buat kaum
the have atawa borjuis.
Kampus yang dulu penuh dengan pohon yang rindang, hampir sebagian besar mahasiswa yang jalan kaki melewati pepohonan karet, eh sekarang justru sebaliknya. Parkir mobil diperbanyak, karena jumlah mahasiwa kaya semakin banyak. Kalo gw ke UI sekarang, kayak nggak ke “rumah” gw yang dahulu kala. Terlalu asing. Nilai kampus perjuangannya udah nggak terasa. Sekarang ini lebih cocok kalo disebut sebagai kampus
the have. Buat mereka yang miskin, better nggak usah kuliah, deh! Nikmati aja hidup ini dengan penuh kesabaran.
Anyway, kritik BEM tadi langsung ditanggapi oleh Rektor UI Gumilar Rusliwa Soemantri. Menurutnya (Kompas, Sabtu 22/8/09), dari sekitar 40.000 mahasiswa UI, sekitar 40% mendapat beasiswa dan keringanan membayar biaya pendidikan. Kontribusi program Strata 1 terhadap penyelenggaraan pendidikan sangat kecil, sehingga UI melakukan subsidi silang.
Gumilar menambahkan, kebijakan BOP dengan rentang Rp 100.000 sampai Rp 7,5 juta disesuaikan dengan kemampuan orangtua mahasiswa. “Kalau semua mahasiswa minta keringanan dan cuma membayar Rp 100.000, jelas tidak mungkin,” ujarnya. Baiklah. Masalahnya sekarang, siapa yang mendapatkan Rp 100.000 dan siapa yang wajib membayar Rp Rp 7,5 jt per semester? Siapa lembaga yang mengontrol sehingga komposisinya
fair enough?
Menurut buku Sekolah Bukan Pasar, yang sering muncul ke permukaan, banyak kasus calon mahasiswa menggugurkan niatnya masuk ke PTN terkemuka setelah dirinya dinyatakan lulus tes hanya karena tidak punya uang buat masuk PTN itu. Menyedihkan bukan?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya