Friday, November 6, 2009

KETIKA IMPIAN BERBUAH MENJADI MANIS

Sungguh beruntung mereka yang berpunya. Ketika ingin mewujudkan keinginannya untuk naik haji, mereka yang berpunya ini dengan mudah segara terbang ke Mekkah. Mereka pun tidak perlu pergi berlama-lama di tanah suci. Cukup ambil paket VIP, mereka bisa cepat pulang dan pergi berhaji.

Namun nasib tidak mudah jika yang punya keinginan berhaji adalah seorang wanita tua yang hidupnya miskin. Namun impiannya untuk menunaikkan kewajiban Rukun Islam ke-5 ini begitu kuat. Dan sampai di ujung kisah, wanita tua ini pun bersujud syukur, karena impiannya berbuah manis. Ia akhirnya bisa naik haji.

Begitulah cerita film Emak Ingin Naik Haji (EINH). Film yang disutradarai oleh Aditya Gumay ini diadaptasi dari cerita pendek (cerpen) karya Asma Nadia. Menurut Asma –yang penulis kutip dari blog Asma Nadia-, kisah Emak dalam cerpen ini merupakan salah satu bentuk gambaran ketimpangan umat Islam Indonesia dalam melaksankan rukun kelimanya.

"Ada orang yang susah sekali naik haji tapi ada juga orang yang berkali-kali naik haji," ujarnya.

Keresahan Asma tersebut membuahkan sebuah keinginan membuat cerita yang bertema haji. Lama keinginan itu terpendam. Pada tahun 2007, gayung pun bersambut. Majalah Nur memintanya menulis sebuah cerpen tentang haji. Permintaan itu datang sekitar satu bulan sebelum Asma benar-benar naik haji. Ia diberikan deadline lima hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut.

Sebetulnya Asma nggak melewati deadline yang ditetapkan majalah Nur. Namun, karena merasa kurang sreg dengan cerpen yang sudah diselesaikannya, Asma meminta tambahan waktu lagi. Dalam membuat revisi cerpennya itu, segala upaya ia curahkan untuk melakukan riset, tentunya riset tentang cara-cara orang naik haji. Dalam riset itu, ia menemukan realita di lapangan, bahwa ada tarif naik haji dengan pelayanan biasa saja, tetapi ada pula yang dengan tarif sangat mahal dan fasilitas yang luar biasa.

Film EINH berkisah tentang impian Emak (diperankan oleh Aty Kanser) untuk pergi naik haji. Dalam memperjuangkan impiannya, Emak dibantu oleh Zein (diperankan oleh Reza Rahardian). Beberapa tahun setelah kematian ayahnya, Zein memang menjadi tumpuan harapan bagi Emak. Di sebuah rumah gubuk berdinding papan, mereka hidup serba kekurangan. Dalam kondisi seperti itu, impian Emak begitu kuat ingin pergi ke tanah suci. Impian inilah yang kemudian diolah menjadi sebuah benang merah cerita film EINH ini.

Sebagaimana hidup, dalam mencapai impian, kita seringkali menghadapi sejumlah persoalan. Ada yang berhasil mengahadapi persoalan dan selanjutnya mencapai impian tersebut. Ada pula yang gagal. Dalam film EINH, cukup banyak persoalan yang dihadapi oleh Emak dan Zein. Mulai dari uang tabungan yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan harus diberikan untuk operasi cucunya, sampai usaha Zein yang gagal memberikan surprise pada Emaknya gara-gara ia tertabrak sebuah mobil, sehingga kupon undian naik haji yang seharusnya didapat, musnah.

Kejadian demi kejadian menjadi rangkaian konflik, sehingga impian Emak untuk naik haji jadi terlihat ruwet seperti benang kusut. Boleh jadi beberapa kejadian, sempat ditebak-tebak penonton. Maksudnya, penonton bisa mengira bahwa hasil akhir Emak bisa naik haji dengan cara menabung, memenangkan undian, atau dari uang hasil curian Zein. Nyatanya, kisah belum berakhir sampai di situ. Ketika undian didapat, Zein berlari-lari, tabrakan tak terkendali. Kupon undian pun terbang. Seketika musnahlah harapan Emak naik haji.

Aditya begitu terkesan dengan cerpen Asma yang dibuat tahun 2007 ini. Prosesnya cukup unik, yakni ketika menghadiri acara perpisahan TK Al Azhar di Taman Mini, ia mendapatkan goody bag berisi majalah-majalah lama, salah satunya majalah Nur terbitan Desember 2007. Di majalah itu, ia membaca cerpan Asma dan langsung terkesan. Hebatnya, ia sudah bisa membayangkan cerpen itu dalam sebuah film.

"Saya bahkan sudah mendapatkan passion, keharuan dan sentuhannya untuk diangkat dalam bentuk film," ujarnya. "Film ini mewakili begitu banyak impian anak yang ingin membahagiakan orang tuanya," jelasnya.

Sebelum berkenalan dengan Asma dan meminta izin untuk mengangkat cerpennya ke film, Aditya sudah membuat skenario bersama Adenin Adlan. Seperti juga film EINH, proses selanjutnya, yakni pertemuan Aditya dan Asma penuh lika-liku. Ia berusaha mencari nomor telepon Asma. Nomor didapat, namun pertemuan tetap tak terjadi. Karena Asma kehilangan handphone dan nomor yang dimiliki Aditya adalah nomor handphone Asma yang hilang. Akhirnya, mereka pun berjumpa dan mencapai kesepakatan. Asma mengizinkan cerpennya diangkat ke dalam film.

Meski tidak terlalu dekat, tetapi saya mengenal Asma sebagai seorang penulis produktif yang berkualitas. Buku-buku serta novel-novelnya penuh dengan massage yang inspiratif. Dialog-dialog yang muncul dalam novel-novelnya kritis, tajam, kontemplatif, namun tetap membumi. Agaknya dialog-dialog yang menjadi ciri Asma, juga menular pada skenario yang ditulis Aditya dan Adenin. Simak salah satu dialog Henidar Amroe dengan anaknya.

“Papa ke tanah suci kenapa Mama enggak?”

“Papa pergi haji cuma cari status.”

“Mama memang belum terpanggil oleh Allah? Kalo dipanggil Allah, namanya mati dong?”

Banyak dialog-dialog kritis yang pada akhirnya membuat penonton sekadar tersenyum, bahkan banyak pula yang sempat tertawa. Tetapi saya merasa terganggu dengan beberapa built in produk titipan sponsor yang masuk ke film EINH. Bukan cuma produk perbankan, tetap juga mini market. Saya paham sekali, produk-produk itu harus muncul di dalam scene. Namun buat saya terlalu memaksakan diri. Scene yang tidak penting, yang seharusnya bisa dihilangkan, jadi terpaksa masuk, hanya karena berkewajiban memunculkan logo sponsor atau karyawan dengan seragam sponsor yang in frame.

Kemunculan produk-produk built in ini buat mereka lumrah. Tanpa sponsor, boleh jadi production cost film ini menjadi cukup besar. Padahal saya tahu, film ini tidak menggunakan camera film, tapi digital camera. Artinya, production cost bisa ditekan sedemikan rupa. Paling-paling yang mahal biaya shooting di Mekkah dan membayar artis sekaliber Didi Petet, Nini L. Karim, maupun Ati Kanser.

Selain “gangguan” berupa built in sponsor yang harus menyusup di scene-scene, ada scene dimana diolognya di-dubbing, yakni ketika adegan seorang pengusaha yang mengundang wartawan dalam rangka merenovasi masjid. Saya tidak tahu pasti kendala teknis –barangkali atmosfir di sekitar masjid tidak memungkinkan untuk melakukan shooting dengan cara direct sound-, tetapi saya cukup terganggu. Saya seolah sedang melihat program telenovela, dimana bahasa aslinya terpakasa harus di-dubbing ke bahasa lokal.

Saya juga menilai Aditya terlalu “patuh” pada cerpennya Asma. Padahal sebuah cerita atau novel tidak berkewajiban mengadaptasi secara utuh. Richard Krevolin dalam buku Richard Krevolin, Rahasia Sukses Skenario Film-Film Box Office (buka hal 11-12) berpendapat, sebuah film adaptasi akan mengagumkan, bukan karena memiliki banyak kesamaan dengan novel aslinya, namun mampu mengangkap esensi, ruh, dan jiwa novel asli.

Mengenai teknik pengadaptasi ini, ia membuat 2 (dua) aturan, yakni (1) anda tidak berhutang apa pun pada teks asli (novel yang diadaptasi-pen); dan (2) kalau ada bagian yang akan menghasilkan cerita yang akan menghasilkan cerita yang bagus, bagian tersebut harus dipertahankan. Kalau tidak, kisahnya harus disingkirkan. Nampaknya Aditya “patut” pada cerpen tersebut, sehingga adegan-adegan yang “serba kebetulan” bisa naik Haji –antara lain kebetulan mendapat undian dan di ujung cerita kebetulan mendapat hadiah dari nazar-, bisa diseleksi lagi.

Kalau kita berkaca pada kesuksesan film Laskar Pelangi, Riri Riza dan penulis skenarionya Salman Aristo berani melakukan hal tersebut. Mereka bukan cuma menyeleksi kisah-kisah yang dramatis, mengharukan, dan lucu, justru malah menambah kisah lain yang tidak ada di novel Laskar Pelangi, misalnya adegan paduan suara anak-anak Laskar Pelangi. Lebih dari itu, Riri dan Salman juga berani menambah tokoh-tokoh baru di filmnya, yakni Pak Zulkarnaen (diperankan Slamet Rahardjo), Pak Bakri (diperankan Rifnu Wikana), dan Pak Mahmud (diperankan Tora Sudiro).

Menurut William Sloane, yang penulis kutip dari buku Meramu Kisah Dramatis: Menuju Klimaks dalam Cerita karya William Noble, fiksi adalah orang. Fiksi ditulis untuk orang, terdiri dari orang-orang, dan ditulis oleh orang. Intinya, dalam sebuah kisah, dalam konteks pengadaptasian, ada tokoh yang harus dipertahankan, ada pula yang tokoh baru agar menambah unsur dramatik dalam sebuah cerita

Film ini dibintangi oleh tiga aktor senior, yakni Didi Petet, Nini El Karim, dan tentu saja Ati Kanser. Selain itu ada Henidar Amroe, Cut Memey,dan penampilan khusus Ustadz Jeffri Al Bukhori. Saya memuji akting pendatang baru Reza Rahardian. Ia mampu mengimbangi akting para seniornya, bahkan saya justru berpendapat dialah bintang sebenarnya dibanding Didi Petet, Nini El Karim, maupun Ati Kanser.

Shooting berlangsung di beberapa tempat, yakni di Jakarta, Pelabuhan Ratu dan Mekkah. Total hari shooting memakan waktu 20 hari lebih. Dari total 20 hari, lima harinya shooting di Mekkah.

Meski secara sinematografis tidak ada sesuatu yang saya anggap luar biasa, namun sekali lagi dialog-dialog di film ini cukup cerdas. Tidak sekadar petuah-petuah “basi” yang seringkali membuat dialog yang diucapkan para pemain terkesan textbook, tetapi justru cukup membumi. Buat saya, film ini bisa menjadi alternatif tontonan di antara film-film bertema komedi seks maupun kuntilanak. Setidaknya turut bermimpi bisa naik haji sebagaimana impian Emak.


B for better Indonesia

No comments: