“Memang
tak semua orang Jerman pernah keluar negeri dan memiliki wawasan luas. Banyak
juga orang Jerman yang berwawasan sempit, sama seperti orang Indonesia.
Beberapa orang Jerman pun ada yang suka merendahkan orang asing. Banyak orang
Jerman yang mengira bahwa semua orang yang
berjilbab itu dumm alias bodoh. Padahal hasil penelitian mereka sendiri,
menyimpulkan bahwa di balik jilbab para muslim ada otak yang cerdas! Bahkan
mereka yang berjilnan itu lebih intelek, lebih memiliki motivasi, percaya diri,
dan rajin. Kesimpulan mereka yang lainnya adalah bahwa Muslim yang religius itu
lebih bertoleran.”
Itulah
curhatan Tieneke Ayuningrum saat membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) di Jerman.
Curhatan tersebut menjadi salah satu kisah menarik buku karyanya berjudul Danke,
Deutschland!. Buku ini merupakan kumpulan catatan perempuan kelahiran
Jakarta 41 tahun lalu selama tinggal di Jerman.
Selepas
kuliah program Bachelor pada 1998, Tieneke hijrah ke Jerman untuk menemani
suaminya (Sri Nugroho) yang sedang menempuh studi Master di kota Karlsruhe. Di
Karlsruhe, ia juga mengambil program paskasarjana S2 bidang Sensor System
Technology di Hochschule Karlsruhe.
Kisah Tieneke mengambil SIM merupakan satu dari sejumlah kisah menarik selama dirinya di Jerman. Ada beberapa kisah menarik lain yang bisa pembaca nikmati, mulai dari belajar lalu lintas di kepolisian Wiesbaden, merasakan naik kereta ke Frankfurt, sampai kisah mengenai pengalaman bergabung di +Dharmawanita Pengayoman di Dharma Wanita Persatuan (DWP) KJRI FFM.
Kisah Tieneke mengambil SIM merupakan satu dari sejumlah kisah menarik selama dirinya di Jerman. Ada beberapa kisah menarik lain yang bisa pembaca nikmati, mulai dari belajar lalu lintas di kepolisian Wiesbaden, merasakan naik kereta ke Frankfurt, sampai kisah mengenai pengalaman bergabung di +Dharmawanita Pengayoman di Dharma Wanita Persatuan (DWP) KJRI FFM.
Namun,
mayoritas kisah di buku Danke, Deuschland! yang diterbitkan oleh
Salsabila pada Mei 2015 ini adalah mengenai suka duka Tieneke sebagai muslimah.
Seperti yang diceritakannya di cerita SIM Jerman, bahwa banyak orang
Jerman sangat merendahkan muslimah, khususnya yang berjilbab, terlebih lagi
kaum pendatang.
“Sebagai
pendatang sekaligus Muslim, wajar jika mereka sudah memiliki kesan negatif
tentang Muslim sebelumnya (Vorunteil). Namun saat mereka mengenal kami lebih
lanjut, kebanyakan dari mereka sadar akan pandangan mereka yang salah selama
ini. Mereka juga baru mengetahui tentang propaganda anti Islam yang dibombardir
oleh media-media selama ini. Di sinilah letak tantangan bagi kaum pendatang
Muslim...”
Untuk
memperlihatkan citra Islam yang ramah dan muslimah “punya otak”, Tieneke
mencoba aktif mengikuti acara dialog antara Muslim dan Kristen. Acara yang dilakukan
tiap pekan ini atas kerjasama salah satu masjid dan gereja setempat. Kisah
tersebut terjadi pada 2004, saat keluarganya pindah dari kota Mudau ke kota
Mainz-Kastel.
Buku
ini menarik untuk dibaca, terutama bagi muslimah yang punya rencana untuk
menjadi pendatang di Jerman. Di balik kisah-kisah Tieneke, terdapat sejumlah
tip muslim, khususnya muslimah, di negara bermayoritas non-muslim. Namun,
sebetulnya kaum muslim tak perlu lagi galau untuk menjadi pendatang di Jerman. Kenapa?
Sebab, Jerman saat ini ramah terhadap muslim. Terbukti, per 2015 ini Jerman
memiliki populasi Muslim terbesar kedua di Eropa, setelah Perancis. Populasi
Muslim berkisar antara 3,8 sampai 4,3 juta atau 5 persen dari total penduduk
Jerman yang saat ini 82 juta jiwa. Di Jerman, Islam adalah agama terbesar
ketiga setelah Protestan dan Kristen Katolik. Hebatnya, negara ini menyambut 100
ribu warga Suriah yang menjadi pengungsi.
No comments:
Post a Comment