Wednesday, September 9, 2009

HARI KEMATIAN FILM INDONESIA

Entah mengapa DPR Komisi X tetap ngotot mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman menjadi Undang-Undang (UU) hari Selasa, 9 September 2009 ini. Entah untuk siapa Angelina Sondakh membela: DPR ataukah insan perfilman. Padahal sebelum menjadi anggota DPR, wanita ini kita kenal dahulu sebagai artis yang seharusnya mengerti aspirasi insan perfilman. Gokilnya lagi, Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Yenny Rahman tidak keberatan RUU disahkan menjadi UU secepatnya.

“Seharusnya kita semua bersyukur RUU ini akan menjadi UU perfilman. Saya yakin kita semua mempunyai satu etika, tujuan yang mulia DPR mensahkan UU Perfilman, untuk melindungi insan perfilman dan khususnya industri perfilman,” kata Yenny Rahman panjang lebar.

Baik Yenny maupun Angelina Sondakh ternyata bersebrangan dengan insan perfilman yang saat ini masih produktif berkarya. Sebut saja Riri Riza, Mira Lesmana, dan Nia Dinata. Aspirasi mereka seharusnya lebih diakomodir, karena mereka tahu ‘medan’ perfilman. Bukan Yenny atau Angelina yang sudah tidak berkecimpung secara langsung dalam dunia perfilman saat ini. Apakah mentang-mentang Riri, Mira, dan Nia masih muda? NO!

Di ‘generasi tua’, Slamet Rahardjo dan Christine Hakim pun tidak menyetujui RUU buru-buru disahkan menjadi UU. Memang, sepeninggal Departemen Penerangan yang dibubarkan di era Presiden Gus Dur, nggak ada UU Perfilman yang mengganti UU no 8 tahun 1992. Nggak ada UU yang menjerat insan perfilman yang melanggar, karena UU yang berlaku kadaluarsa. Namun ketidakadaan UU Perfilman ini bukan berarti mewajibkan DPR Komisi X buru-buru mensahkan RUU yang penuh kontroversi itu.

Benar-benar aneh! Insan perfilman ‘masa kini’ yang jelas-jelas berkecimpung dalam dunia film sekarang ini nggak dilibatkan, eh tahu-tahu RUU sudah jadi. Ada apakah gerangan? Ini menimbulkan kecurigaan. Disahkan pula! Benar-benar aneh! Menurut tim perumus RUU Perfilman DPR Anwar Arifin, DPR sudah melakukan konsultasi dengan banyak orang selama lebih kurang 2 tahun.

“Kami dari DPR sudah melakukan konsentrasi penuh, bahkan di hari libur,” kata Anwar. “Kami juga sudah melakukan uji publik di banyak daerah. Teman-teman di daerah punya banyak masukan”.

Siapakah teman-teman di daerah yang punya banyak masukan itu? Apakah mereka insan perfilman ‘asli’ atau cuma pengusaha daerah yang ingin memanfaatkan RUU yang sudah jadi UU ini demi kepentingan bisnis? Soal di hari libur ngurusin RUU mah memang kewajiban anggota DPR bukan? Mereka sudah kita pilih sebagai wakil dan digaji dengan uang rakyat hasil pajak pula, ya nggak?

Maaf, bukan su’udzon. Dalam RUU, terdapat aturan pada bioskop dalam 6 bulan berturut-turut harus memberikan 60% waktu putar di bioskop untuk film lokal (maksudnya film produksi daerah). Menurut alumni Fakultas Film dan Televisi tahun 1987 Denni Yuriandi, pengusaha-pengusaha daerah akan punya proyek, karena berpeluang membuat film dan DPR membantu peluang tersebut via UU Perfilman. Apa yang dikritisi oleh Denni ada di Pasal 15 ayat (3) yang intinya izin usaha produksi film diberikan pada Bupati atau Walikota.

“Aturan ini kayak model zaman dahulu,” tulis Denni dalam milis Alumni FFTTV IKJ.

Christine Hakim menilai, spirit UU Perfilman sangat jauh dari kesan reformasi. “Bagaimana kita bisa menjadi masyarakat sipil yang sehat kalo peran pemerintah di sini masih sebagai regulator, bukan sebagai fasilitator?”

Apa yang dikatakan Christine diamini oleh Mira. Menurut Produser bertangan dingin yang banyak melahirkan karya-karya komersil dan berkualitas ini, UU perfilman masih memiliki semangat mengontrol, bukan membangun dan mengembangkan film.

“Di mana kewajiban pemerintah dalam pendidikan film?” tanya Mira. “Padahal unsur utama dalam memajukan perfilman adalah pendidikan”. Selain soal pendidikan, Mira juga mengkritisi RUU Perfilman ini yang tidak menyentuh soal hak kekayaan intelektual, seperti pembajakan dan perampokan hak cipta.

“Padahal itu persoalan yang ada dan penting!”

Riri secara gamblang mengatakan tidak khawatir dengan momentum. Maksudnya, RUU harus diselesaikan segera. Menurutnya, ngapain juga buru-buru kalo UU nantinya nggak mengakomodasi keinginan mayoritas insan film. Harusnya, kata Riri, UU yang ada nantinya itu sudah komplit. Komplet apa? Komplet menjawab tantangan kita ke depan. Tantangan masyarakat yang sangat terbuka. Tantangan kebudayaan dan identitas budaya kita yang luar biasa.

”Mudah-mudahan kita tidak terjebak dalam keinginan menyelesaikan sesuatu berdasarkan target waktu,” ungkap Riri dalam acara rapat dengar pendapat di DPR pada 31 Agustus 2009 lalu. ”Target kita adalah menyusun UU yang sedapat mungkin sempurna yang akan menyelamatkan kita di masa depan.”

Seharusnya apa yang diresahkan Riri dan insan perfilman yang masih produktif lainnya ini patut ditanggapi dengan serius. Kenapa begitu? Tanpa mereka, produktivitas film nasional nggak segokil sekarang. Tanpa kesuksesan Petualangan Sherina tahun 2000, produksi film nasional bisa jadi akan terus melempem.

Data saya dari buku 100 Tahun Bioskop Indonesia (1900-2000) karya HM Johan Tjasmadi menunjukan terjadi penurunan produksi film. Pada tahun 1990, produksi film mencapai 120 judul yang memasok 2.314 gedung bioskop dengan 3.048 layar. Namun setahun berikut, produksi film anjlog menjadi 78 judul film, dan melorot lagi pada tahun 1992 menjadi 41 judul saja.

Pada periode tahun 2000 hingga 2004, produksi film tinggal 36 judul. Berkat kesuksesan Petualangan Sherina, jumlah produksi film. Bahkan ada beberapa film yang mencoba peruntungan dengan meniru konsep film musikal ala Petualangan Sherina. Meski dianggap ’meniru’, toh jumlah film meningkat. Ini terasa mulai terjadi pada tahun 2005, dimana film sudah mencapai sekitar 29 judul, dan tiap tahun jumlah produksi film selalu bertambah. Hingga akhirnya di tahun 2008, jumlah produksi film mencapai lebih dari 150 judul. Oleh beberapa orang, khususnya oleh insan perfilman, keadaan film sekarang ini dinilai sedang memasuki masa keemasan sebagaimana booming era 80-an.

Namun booming ini sepertinya nggak ditanggapi serius oleh kalangan DPR. RUU yang nggak banyak mengakomodir insan perfilman ’masa kini’ tetap disahkan. You know what apa yang dikatakan anggota DPR kita yang tercinta Angelina Sondakh setelah mendengar pernyataan-pernyataan Christine Hakim, Mira Lesmana, Riri Riza, dan insan perfilman lain di rapat dengar pendapat di DPR pada 31 Agustus 2009 lalu?

”Harus ada penghubung supaya tidak ada ’salah komunikasi’."

Halah! Basi! Nasi pun sudah menjadi bubur. RUU pun akhirnya sudah disahkan menjadi UU Perfilman. Nggak heran, tepat tanggal 8 September 2008, Riri Riza, Nia Dinata, Jajang C. Noer, Rima Melati, Slamet Rahardjo, dan puluhan kawan-kawan lain mengirim bunga duka cita ke DPR. Mereka sepakat mengatakan: HARI INI ADALAH HARI KEMATIAN FILM INDONESIA.

Naratama, teman saya yang menggagas milis NaratamaTV, mengusulkan anggota milisnya agar bersama-sama menunduk kepala sejenak, dan berduka cita atas disahkannya RUU Perfilman yang sangat kontroversial itu.

“Mudah-mudahan film Indonesia tidak mati, karena film-film ini justru tumbuh tanpa ada UU Perfilman,” tulis Naratama di milisnya.

Ajakan teman saya yang tinggal di Washinton DC ini nggak berlebihan. Meski saya bukan insan perfilman, tapi saya merasakan kepedihan yang dirasakan Riri, Mira, Nia, dan insan-insan perfilman lain yang masih terus akan berkarya. Dari gagasan Naratama itu, saya bahkan mengusulkan bukan cuma menundukan kepala, tapi mulai besok kita yang mengaku concern pada perfilman nasional memasang bendera setengah tiang di rumah kita.

“Kalo nggak ada bendera merah putih?”

“Pake bendera kuning juga nggak apa-apa!”

4 comments:

Iklan Gratis said...

negara kita memang negara hukum...
peraturan dubuat untuk dipatuhi dan ditaati...

tetapi dengan disahkannya RUU perfilman ini..
para sineas muda kita semakin terkekang saja dalam berkreasi.
ini merupakan musibah yang akan membelenggu para sinea muda untuk menciptakan dan menelurkan karya2 mereka...

sehingga mereka tidak leluasa dalam berkarya..
lantas untuk apa LSi (lembaga sensor indonesia) ?
sedangkan UU nya saja sudah sangat berat dan sangat mengekang...
bisa2 nanti karya anak bangsa semakin terpuruk dan jauh dari nilai bagus...

semoga saja UU ini bisa dikaji ulang dan bisa saling menguntungkan.
agar para sineas kita bersemangat untuk menciptakan karya2 yang bagus2.
maju terus perfilman indonesia....
Mengembalikan Jati Diri Bangsa

diary si tukang gowes said...

Iya, moga2 bisa dikaji ulang.

Anonymous said...

maaf permisi mas.. saya mang lagi kbetulan lagi pingin taw pendapat2 org lain ttg ruu perfilman..tp mang bru hari ini saya carinya..

saya 100% setuju dgn pendapatnya..
saya bru taw jga angelina sondakh bgitu orangnya..
paling kesel klo dengerin pejabat pake kata2 "kamus" dan g langsung 2 d point.. sama aja kayak si jero wacik.. yenny rachman apalagi.. saya g bsa koment bnyk ttg dia tapi coba mari kta pikirkan darimana parfi tu punya gedung dan org2 didalamnya dpt gaji.. usaha diluar? g mungkin bgt..
ya pasti dr pemerintah lah..
dia jga pasti ngerasa dikianati temennya slamet rahardjo yg g setuju dgn ruu itu..

saat saya post comment ini.. ffi2009 baru aj lewat.. panitianya dibentuk oleh jero wacik..
dan hasilnya adalah.. Dahsyat!
maksudnya gak ad bedanya acara dahsyat ma acara ffi kmarin tu..
ada anak2 alay ga penting dan band2 melayu yg g pernah samaskali ad hub.nya ma film.. orang ga ngerti cara menghargai budaya,seni,film gak pantes ngomongin film.. apalagi sampai bikin ruu-nya..

diary si tukang gowes said...

FFI tahun 2009 lalu memang gak 'sesakral' sepuluh bahkan duapuluh tahun lalu. Sebab bagi 'generasi baru' FFI bkn lg ajang yg 'wah'. Knp 'generasi baru'? sebab mereka lah yang saat ini menggerakkan ekonomi perfilman nasional. Sedangkan 'generasi lama' tdk produktif lagi. Antara 'generasi baru' dan 'lama' ada gap.