Monday, October 12, 2009

FESTIVAL KESENIAN DI TENGAH KEPRIHATINAN

Selama duapuluh hari ini, Taman Ismail Marzuki dipenuhi oleh para Seniman. Nggak cuma Seniman dari ibukota Jakarta, tapi juga dari kota Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, Bali, dan kota yang tengah mengalami musibah: Padang. Sejak tanggal 5 sampai 24 Oktober 2009 ini, mereka turut memeriahkan sebuah festival seni yang pada tahun 2009 ini sudah memasuki usia ke-6, yakni Festival Kesenian Indonesia.

Dalam Festival ini, terdapat beberapa agenda kesenian tentunya. Agenda dibuka dengan karnaval kebudayaan yang berlangsung Selasa, 6 Oktober lalu di halaman depan Taman Ismail Marzuki (TIM), jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Oleh karena berlangsung di TIM, maka yang menjadi “Tuan Rumah” adalah sekolah seni di Jakarta, which is Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Meski begitu, venue yang menjadi lokasi berlangsungnya festival ini nggak melulu di IKJ, tapi di lingkungan TIM.

Ketika Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta menampilkan orkes simfoni malam ini (07/10) dan kolaborasi tari kontemporer dan musik (08/10), pertunjukan tersebut berlangsung di Graha Bhakti Budaya. Pameran Seni Rupa, Desain, dan Fotografi berlangsung di Galeri Cipta 3. Selebihnya, di Teater Kecil berlangsung Festival Film International (Selasa-Minggu, 6-11 Oktober, pkl 16.00-18.00 wib dan 19.00-21.00 wib); Pentas tari hasil lokakarya “Why Do I Become A Dancer?” di Teater Luwes (08/10) pukul 17.00 wib; Lokakarya Animasi Eksperimental di Gedung Rektorat lt 3 (Minggu-Rabu, 4-7 Oktober 2009); dan melukis mural di halaman IKJ (Senin-Kamis, 5-8 Oktober 2009).

Tentu festival ini begitu penting bagi para Seniman dan penggila seni, begitu pula buat ‘Seniman kampus’. Mengapa saya mengistilahkan ‘Seniman kampus’? Karena undangan Festival ini lebih khusus ditujukan kepada praktisi atau seniman yang berlatarbelakang perguruan tinggi seni di Indonesia, seperti IKJ, ISI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatika (STKW). Lebih dari itu, saya mengutip tulisan Rektor IKJ Wagiono tentang festival ini dan seniman dari perguruan tinggi. Ia menilai, bahwa Seniman generasi sekarang percaya perguruan tinggi seni itu penting (Kompas Minggu, 4 Oktober 2009). Praktek saja nggak cukup tanpa teori, atau sebaliknya. Ini terlepas dari masalah sistem pendidikan seni yang masih belum ideal.

Ideal ataupun tidak ideal sistem yang dimaksud, festival ini tetap berlangsung, sayangnya dalam suasana keprihatinan. Setidaknya ada dua keprihatinan yang saya maksudkan ini. Pertama soal gempa yang melanda di kota Padang berkekuatan 7,6 skala Richter yang terjadi Rabu (30/10) lalu. Gempa ini tak hanya menghancurkan fasilitas serta harta benda penduduk di Sumatera Barat, tapi menelan ratusan korban. Bahkan LSM luar negeri memperkirakan jumlah korban mencapai ribuan orang.

Keprihatinan yang kedua, soal skorsing 14 mahasiswa IKJ yang baru-baru terjadi. Mereka nggak diizinkan kuliah selama 2 sampai 3 semester. Artinya, mereka nggak kuliah sekitar 1 sampai 1,5 tahun, cong! Mereka yang kena skor adalah Irin Emeralda Panjaitan (Televisi), Martua Raymon Gidion (Film), Reza (Televisi); Firly Natasya (Film), Nesia Widyaningtyas (Televisi), Mardina (Televisi), Imam Santoso Mulio (Televisi); Andi Maulana (Footografi), Novel Evelyn (Televisi), Mohammad Ibnu Cipta N. (Televisi), Janivan Prapta (Televisi), Abdul Aziz (Televisi), dan Bona (Senirupa).

Menurut salah seorang anggota DPO Ikatan Alumni FFTV Dudung A. Yuliarso yang saya kutip tulisannya di mailing list Alumni FFTV IKJ, skorsing terhadap ke-14 mahasiswa IKJ itu nggak masuk akal. SK Rektor IKJ no 154/ A/ 39/ R/ IX/ 2009 menunjukan arogansi seorang Rektor. Lebih dari itu, Dudung nilai, peristiwa itu merupakan indikator seorang Rektor yang tak pantas menjadi Pimpinan sebuah perguruan tinggi.

"SK itu mempertontonkan kekuasaan, arogansi dan paranoid para birokrat IKJ," tulis Dudung di milis tersebut. "Mereka telah menempatkan mahasiswa sebagai musuh yang harus dibasmi. Mereka mencabut hak mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang baik.Hal ini menunjukkan pengelolaan pendidikan yang sungguh tidak pofesional".

Skorsing berawal dari keinginan mahasiswa membuat Apresiasi Seni 2009. Nama tersebut sebenarnya buat mengganti istilah ospek atau mapram. Tahu dong apa saja kegiatan yang dilakukan selama Ospek? Buat kebanyakan mantan mahasiswa, ospek dianggap tak lebih sebagai ajang "balas dendam” yang dilakukan Senior pada Junior. Oleh panitia, ospek dianggap sebagai bekal buat mendidik mentalitas mahasiswa dan masa depan. Buat saya, tujuan ospek kayak begitu terlalu dibuat-buat. Terus terang dan beberapa teman saya setuju, ospek sama sekali tidak berpengaruh pada mentalitas atau buat bekal masa depan. Hal tersebut dua hal yang berbeda. Ospek ya ospek, mendidik mental ya lain lagi.

Meski sudah dilarang menyelenggarakan Apresiasi Seni oleh Rektor, namun panitia tersebut tetap nekad menjalanannya. Maklum, mahasiwa, cong! Penuh dengan semangat 45 dan tidak mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan kelak kalo tetap ngotot melakukan aktivitas yang jelas-jelas sudah dilarang. Dan benar saja! Kelar Apresiasi Seni 2009, Rektor mengeluarkan SK Rektor IKJ no 154/ A/ 39/ R/ IX/ 2009, yang berisi skorsing ke-14 mahasiwa.

Entahlah apa saya salah mengerti, tapi kalimat terakhir yang ditulis Dudung soal skorsing itu: "menunjukan pengelolaan pendidikan yang sungguh tidak profesional". Menurut saya agak berlebihan, terlalu emosional, dan juga nggak nyambung dengan konteks skorsing mahasiswa. Antara skorsing dengan profesional adalah dua hal berbeda. Apakah karena mahasiswa diskorsing lantas sebuah lembaga pendidikan atau Rektor dianggap tidak profesional? Bukankah sebelumnya sudah ada prosedur, bahwa mahasiswa sudah diperingatkan agar tidak membuat Ospek atau Apresiasi Seni dan kemudian dilanggar?

Terus terang barangkali saya terlalu tolol untuk mengerti dan memahami "politik" yang terjadi di dalam kampus IKJ. Selama ini saya kurang care dengan masalah-masalah seperti itu, karena mungkin saya terlalu rindu pada "kedamaian". Hidup tanpa "perang". Maklum, menurut buku karya Florence Littauer berjudul Personality Plus, saya masuk golongan phlegmatis yang cinta damai. Bukan golongan koleris atau sanguinis. Lebih dari itu, saya cuma mencari ilmu seni, jadi Sarjana seni, dapat ijazah, dan cari kerja buat menghidupi anak-istri. That's it!

Kasus skorsing itulah yang saya sebut sebagai keprihatinan yang terjadi di tengah-tengah Festival Kesenian. Satu pihak mencoba menjalankan hak dan ternyata dianggap menjadi Pimpinan otoriter, karena kurang akomodatif pada mahasiswa, di pihak lain merasa diri paling benar sedunia. Ujung-ujungnya, emosi meninggi dan ruang-ruang komunikasi menyempit. Terjadilah kebuntuan antara pihak kampus -dalam hal ini Rektor- dan mahasiswa.

Namun saya yakin, baik Rektor maupun mahasiswa punya satu keinginan yang sama, yakni berkesenian. Cara berkesenian Rektor melalui pengajaran teori dan praktek lewat kampus, yang bertujuan mencetak Seniman-Seniman 'kampus' yang profesional dan kaliber internasional (tanpa harus melewati ospek atau menggunakan narkoba). Pihak lain, yakni mahasiswa -termasuk 14 mahasiswa yang diskorsing maupun mahasiswa baru- ingin tumbuh dalam lingkungan kampus yang bebas berkreasi, sehingga mampu berkompetisi dengan 'Seniman-seniman kampus' lain (juga tanpa harus melewati ospek atau menggunakan narkoba).

3 comments:

Anonymous said...

maaf, cuma mau memperjelas sedikit..
acara itu belum pernah ada,,
dan kepanitian yg belum di legalkan sudah bubar sebelum surat itu diturunkan.
dan sepertinya Mas Dudung tidak berlebihan kok..
thx...

_Firly_

diary si tukang gowes said...

O begitu ya? Baiklah!

Sibolga New Generations said...

Wah dua idealisme dalam keenian nih.....