Friday, October 2, 2009

KAPITALISME KEURUNGKONG

Ukuran sebenarnya tidak sebesar kepiting. Panjangnya paling-paling sekitar 4 cm. Namun, binatang ini bisa berlari dengan kencang. Gara-gara punya kelebihan itu, anak-anak orang orang dewasa sering memanfaatkannya untuk kejar-kejaran. Itu dilakukan buat have fun, seru-seruan.

Namun ada satu hal yang menjadi ciri khas binatang yang masuk kategori binatang amphibi ini, yakni sebuah sifat, dimana sifat tersebut mirip dengan sifat manusia di zaman kapitalis seperti sekarang ini. Sifat yang dimaksud adalah (1) binatang ini cuma diberikan nafsu, tanpa pikiran waras; (2) jika mencoba mengganggu ketentramannya, ia dengan serta merta akan menyelamatkan diri, dengan cara masuk ke ‘rumah’ miliknya, yakni sebuah lubang yang digalinya sendiri, dan (3) ia tak segang-segang membantai bintang lain.

Binatang yang saya uraikan di atas tadi bernama keurungkong. Kalo Anda pernah ke Aceh dan berkesempatan tamasya di pantai, seperti pantai Lhoknga dan pantai Ujung Batee di Banda Aceh; pantai Kuala Raja di Bireuen, Aceh Utara; pantai Pasi Rawa di Pidie; atau pantai Kuala Beukah dan pantai Peureulak di Aceh Timur, di pingir pantai-pantai itu biasanya kita akan menemukan keurungkong.

Dengan kekuasaan yang dimiliki -dalam hal ini tubuhnya yang relatif besar, tapi belum sebesar kepiting-, keurungkong menghabisi musuh-musuhnya sampai mati. Musuh utamanya adalah sipot bui, semacam berkicot. Tak ada belas kasihan yan ditanamkan oleh keurungkong, meski sipot bui memohon agar jangan dibunuh. Lebih dari itu, yang membuat keurungkong dianggap binatang kejam, begitu sipot bui sudah konfirm mati, harta bendanya diambilnya, yakni sebuah karangka perangkat kulit lunak yang sebelumnya dimiliki sipot bui. Keurungkong tidak malu memakai harta sipot bui itu.

Sadis dan tamak. Sifat keurungkong ini mirip apa yang digambarkan oleh Max Weber. Sebagaimana Karl Marx, Weber memiliki pemikiran yang luar biasa mengenai kapitalisme. Pemikiran Weber ini dituangkan dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958). Dalam karyanya ini ia mengatakan pertumbuhan kapitalisme sebagai sistem ekonomi adalah pertumbuhan kapitalisme sebagai suatu sistem moral, mirip keurungkong tadi. Bahwa (1) memperlakukan motif ‘serakah’ lebih dari sekadar ‘kegilaan’ pribadi; (2) menghilangkan ketergantungan akan bentuk-bentuk pemenuhan ekonomi yang tradisionil dan menggantikannya dengan perhitungan secara rasional dimana semua keuntungan yang diperoleh dari penanaman atau investasi sejumlah pekerja dan moral (lihat R.P. Cuzzort dan E.W. King, 20th Century Social Thought, New York, 1980, hal 81).

Marx lebih sadis lagi menggambarkan kapitalisme. Seperti keurungkong yang mengambil harta sipot bui, manusia bersaing dengan manusia lain untuk memperbanyak harta milik pribadinya. Sebab, pola pikir kaum kapitalis selalu menganggap, dengan memiliki banyak harta, maka akan lebih berkuasa, dan memiliki kekuasaan, kaum kapitalis bisa melakukan apa saja. Kekuasaan secara ekonomis, maupun politis. Penggambaran yang dikemukakan Marx jelas, sistem kapitalisme membentuk diri kita menjadi manusia-manusia serakah.

Lanjut Marx, sistem kapitalisme menjadikan manusia seperti srigala terhadap manusia lainnya. Menusia menjadi makin terasing dari sesamanya, makin menyendiri dan makin terputus hubungannya dari sesama manusia lainnya. Hubungan yang lebih manusiawi (gemeinschaft) berganti menjadi hubungan yang lebih bersifat bisnis (gesselshaft). Mengenai hal tersebut, saya jadi ingat istilah: “Ada uang, abang sayang. Nggak ada uang, abang tinggal”. Sungguh sadis bukan?

Anda pasti sudah merasakan hubungan saat ini dengan orang-orang di sekitar Anda begitu pamrih. Saya pun sudah terkena dampak kapitalisme, dimana berjumpa dengan orang cuma buat kepentingan bisnis. Menjalin komunikasi dengan perangkat canggih, cuma cari proyek. Hubungan yang saya lakukan semacam ini sungguh sangat tolol, dan Anda jangan pernah melakukannya.

Ukuran orang membantu orang lain sudah berupa materi atau kapital atau duit. Kalo ada duit, dengan segala upaya, kita akan menolong teman kita, saudara kita, maupun tetangga kita. Jarang ada, bahkan boleh dikata tak ada lagi, hal-hal yang sifatnya tanpa pamrih. Saya, Anda, dan kita pasti sepakat perubahan hubungan yang dikatakan gemeinschaft menjadi gesselschaft itu, karena kita tak ingin menghabiskan waktu kita ‘percuma’ untuk sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Padahal kata ‘percuma’ di sini cuma anggapan kita saja, belum tentu segala bentuk pertolongan tanpa pamrih adalah ‘percuma’. Tapi itulah sifat yang ditularkan di kapitalisme ini.

‘Percuma’ menghabiskan waktu tanpa pamrih, tanpa proyek, tanpa mendapatkan apa-apa, padahal seringkali mendapatkan sesuatu tanpa kita sadari di masa mendatang. Entah dalam bentuk pertemanan jangka panjang, pertolongan tetangga pada saat kita kesusahan, atau waktu kita dianggap ‘percuma’ akan digantikan dengan waktu lain.

Sebaliknya, justru kalo kita pamrih, berhubungan dengan manusia lain cuma kalo ada ‘maunya’, justru bisa kontrapoduktif atau menimbulkan dampak yang kurang baik. Teman yang sebelumnya ‘a real friend’, tapi begitu kita berhubungan lagi cuma sebatas bisnis, kemudian berubah menjadi musuh, karena bisnis yang mereka jalani mengalami krisis. Tragis, bukan? Kita jadi kehilangan teman. Coba bayangkan kalo ini kita lakukan ke beberapa orang teman, maka satu per satu teman kita tumbang alias tidak tertarik berteman lagi dengan kita dalam konteks hubungan murni sebagai ‘a real friend’.

Tragedi permusuhan antarteman, karena sifat kapitalisme ini juga dialami oleh keurungkong. Binatang ini boleh punya jiwa membunuh dan mampu membunuh lawan kecilnya, yakni sipot bui. Namun, ia adalah binatang yang dicari-cari oleh manusia untuk menangkap kepiting, yakni sebagai mangsa. Oleh karena diburu manusia, maka hidup keurungkong pun tetap tidak tenang. Kerakusannya tidak abadi. Di tangan manusia, hidup keurungkong tidak ada apa-apanya. Inilah yang seharusnya sebagai manusia kita sadar, tidak selamanya harta menjadi kekal. Toh, kita akan ‘dimatikan’ oleh sang Pencipta, dan tidak akan membawa harta apa-apa.

No comments: