Saturday, October 3, 2009

MENJADI CONTOH NEGARA-NEGARA ASIA

Iseng-iseng saya membuka lemari berisi buku-buku koleksi saya. Terus terang saya masih gatal untuk membaca kumpulan cerita dan prosa karya Dewi Lestari berjudul Filosofi Kopi yang belum sempat saya baca sampai habis. Padahal buku terbitan Truedee Books dan Gagas Media sudah ‘bahuela’, wong diterbitkan tahun 2006, kok. Ya begitulah saya. Setiap kali beli buku baru, tak selalu langsung kelar dibaca. Saya selalu membaca secara ‘mencicil’. Tak heran kalo buku yang berhasil menjadi ‘Karya Sastra Terbaik 2006’ versi majalah Tempo ini ingin saya kelarkan pagi ini.

Namun entah mengapa, begitu melihat rak buku, bukan mengambil buku Filosofi Kopi-nya Dee, eh justru ke buku lain. Saya justru secara random mencari buku di katalog politik. Walhasil, pilihan jatuh pada buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams.

Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia ini sebenarnya bukan buku milik saya, tapi warisan dari mertua yang kebetulan memang tergila-gila dengan Bung Karno. Di buku itu ada tanda tangan mertua saya, plus tanggal pembelian buku ini, yakni 12 Maret 1978. Artinya, buku ini umurnya sudah 31 tahun, tak beda jauh dengan usia saya kini yang ‘relatif’ tua. Namun berkat mertua saya, buku ini tetap terawat dengan baik, meski faktor ‘U’ alias ‘Usia’ tetap nggak bisa bohong. Kertas yang ada di halaman seluruh buku ini sudah berubah warna, agak kecokelat-cokelatan. Meski begitu, tulisannya masih jelas terbaca dengan ejaan lama.

Barangkali Anda sudah pernah membaca buku terbitan tahun 1966 ini, bahkan ada yang sudah khatam dan berkali-kali membacanya lagi. Wah, selamat ya! Pasti Anda pencinta Presiden RI kita yang pertama itu. Memang, buku otobiografi ini berisi pemikiran-pemikiran Bung Karno mengenai bangsa Indonesia, perjuangannya, manusia, persahabatan, agama, cinta, dan tentu saja kehidupan pribadi beliau.

Menurut saya, buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia ini menarik dan cukup objektif. Mengapa objektif? Sebab yang menyusun buku ini adalah wartawan wanita asal Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Di lembaran-lembaran awal buku ini, ada beberapa tokoh luar negeri yang memberikan komentar mengenai buku otobiografi yang diterbitkan dalam rangka hari ulang tahun Bung Karno ke-65 pada 6 Juni 1966 ini.

Otobiografi ini amat penting oleh karena sesungguhnja Indonesia adalah suatu lambang dari persoalan-persoalan jang menjangkau daerah Asia Tenggara. Buku otobiografi Bung Karno ini sungguh-sungguh berkesan. Ia merupakan gambaran jang paling tjotjok dari suatu negara jang banjak dibitjarakan di surat-surat kabar dewasa ini. Buku ini wadjib dibatja.” (Virginia Kirkus Service, November 1965).

Dipandang dari segi politik, buku ini adalah suatu studi jang menarik dari seorang tokoh jang watak dan tudjuan hidupnja disempurnakan dengan pengalaman selama 13 tahun di pendjara atau dibuang oleh karena pendirianja. Setjara pribadi, isi buku ini sangat berterus terang, bahkan suatu pengungkapan jang begitu djudjur mengenai kesukaan Presiden Soekarno kepada wanita dan keindahan dan kebentjian beliau apabila dikritik.” (Publisher’s Weekly, 22 November 1965).

Dalam buku ini, Bung Karno memang cukup jujur, terutama soal pengalaman pribadinya. Ia tak hanya mengungkapkan suatu kisah dramatis masa kanak-kanak yang miskin hingga duduk di singgasana sebagai Presiden sebuah negara yang saat itu lima terbesar di dunia dalam segi jumlah penduduk. Bung Karno tak segan-segan menceritakan sifatnya yang egois dan selalu mengejutkan banyak orang. Tak lupa juga menceritakan dosa-dosa pribadinya dan yang paling menarik, kisah drama percintaan dengan beberapa wanita.

Presiden Indonesia tersebut membentangkan riwajat hidup beliau dengan terus terang kepada para pembatjanja, mulai dari tjiumannja jang pertama untuk seorang gadis Belanda sampai pengalaman-pengalaman jang menyedihkan dalam hidup perkawinan beliau dikisahkan setjara pandjang lebar dan diuraikan seketjil-ketjilnya.” (Gezet van Antwerpen, Holland, 23 November 1965).

Mengenai percintaan, tentu cukup menarik. Namun ada dua point yang menurut saya lebih menarik buat dikaji. Yang pertama soal ideologi Bung Karno sesungguhnya. Kita tahu, ia selalu ingin mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri berbagai aliran. Nah, gara-gara tak pernah memihak satu partai dengan partai lain, termasuk dekat dengan partai komunis, Bung Karno seringkali dituding beraliran komunis. Padahal di buku ini ia terus terang mengungkapkan ideologinya, yakni seorang sosialis kiri.

Aku seorang Sosialis kiri dan bukan Komunis. Begitupun aku bukan seorang Komunis jang berkedok. Aku tak mungkin mendjadi seorang Komunis”.

NASAKOM adalah djiwa jang berisi ketiga kekuatan di atas mana kami berdiri tegak: NAS adalah orang-orang nasionalis jang bukan komunis, A orang agama jang anti-Komunis dan KOM orang jang beraliran komunis. Aku memulai NASAKOM dengan NAS, bukan dengan KOM.” (lihat halaman 433).

Point kedua yang menarik di buku ini soal kemajuan yang sudah dilakukan Bung Karno. Meski di tahun 1966, Indonesia masih ‘miskin’, namun berbagai kemajuan sudah dihasilkan oleh Presiden RI kita yang pertama ini, yang membuat Indonesia sangat diperhitungkan khususnya di Asia Tenggara.

Di bidang militer, Angkatan Bersendjata kami adalah jang terbesar di Asia Tenggara. Dalam kemadjuan pendidikan kami memegang nomor satu. Tjoba lihat sekolah-sekolah menengah. Mulanja kami tjuma mempunjai 32 buah. Tapi kini sudah mendjadi 2000. Ini menundjukan kemadjuan jan 60 kali lipat. Rentjana pendidikan kami sedemikian madjunja, sehingga mendjadi tjontoh bagi negara-negara Asia lainnja.” (lihat halaman 454).

Terus terang membaca halaman 454, saya sebagai warga negara Indonesia berpikir lagi: apakah negara kita benar-benar sudah maju? Atau justru sebaliknya jalan di tempat? Ingat! Apa yang diutaran Bung Karno di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu terjadi tahun 1966, lho. Artinya sudah 43 tahun yang lalu. Seharusnya kalo kita menghitung dari 43 tahun lalu, kemajuan-kemajuan yang diutaran Bung Karno ini jauh lebih dahsyat di tahun 2009 ini. Baiklah kalo armada militer Indonesia masih menggunakan persenjataan ‘bahuela’, tapi yang terpenting soal pendidikan. Kalo di tahun 1966 saja kita sudah menjadi contoh bagi negara-negara Asia, harusnya nggak ada lagi para orangtua kaya raya yang kuliah di luar negeri, sehingga menyebabkan capital flight –uang berbentuk dolar yang seharusnya bisa menjadi devisa negara, terpaksa ‘terbang’ ke negara tempat kuliah anak-anak orang kaya itu-.

Buat saya, pendidikan nomor satu. Tanpa pendidikan yang luar biasa, nonsense kita bisa mencetak anak-anak bangsa ini menjadi jiwa ‘petarung’. Mereka yang memiliki mental kompetitif, enterpreneurship yang yahud punya, dan nasionalis sejati. Namun realitanya justru berbeda. Kemajuan yang sudah dipondasikan oleh Bung Karno sejak 43 tahun tak banyak berubah, bahkan cenderung relatif stuck. Pendidikan kita konon jauh di banding dengan negara-negara tetangga di Asia, bahkan setingkat Asia Tenggara saja sudah jauh tertinggal.

Kemenangan tim fisika atau matematika di luar negeri bukan merupakan indikator kemajuan pendidikan di Indonesia. ‘Kebetulan’ para pemenang punya otak encer dan diasuh oleh Pendidik yang punya komitmen pada ilmu pengetahuan, yakni Yohanes Surya. Kemenangan mereka bukan melalui sebuah sistem pendidikan formal yang diajarkan di sekolah-sekolah. Seandainya sistem pendidikan kita luar biasa, tidak berubah-rubah sesuai kebijakan Menteri yang menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan, saya yakin 100%, murid-murid dimana pun akan menjadi pemenang dalam berbagai kompetisi internasional.

Menurut Emile Durkheim dalam buku Moral Education (1961), The Eavulation of Educational Though (1977), dan Eductioan and Sociology (1956) yang penulis kutip dari buku Prof. DR. Zainuddin Maliki, M.Si. berjudul Sosiologi Pendidikan (Gadjah Mada University Press, 2008), pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai moral yang menjadi landasan bagi tumbuh berkembangnya masyarakat. Jadi kalo nilai-nilai moral yang terjadi sekarang ini masih menyimpang -korupsi masih gila-gilaan, manipulasi dianggap wajar, dan tingkat disiplin yang rendah- itu tak lain akibat sistem pendidikan belum benar.

Lihatlah sekarang ini! Gara-gara sistem pendidikan yang carut marut, nilai-nilai moral yang seharusnya muncul sebagaimana dikatakan Durkheim di atas tadi, tidak muncul. Lihatlah, komisiyang seharusnya menjadi satu-satunya badan yang bisa kita percayai untuk mengikis KKN, malah ikut-ikutan melakukan KKN. Ironis!

Prof Dr. Liek Wilardjo menambahkan, sejak dulu Indonesia tertinggal, sekarang masih tertinggal, dan besok masih akan tertinggal. Untuk memajukan Indonesia, salah satu dari hal-hal (nasionalisme, civil duty) yang harus ditingkatkan adalah pendidikan (lihat Kompas Minggu, 4 Oktober 2009, hal 12). Menurut dosen paskasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah ini, pendidikan di Indonesia tanpa standar. Malaysia, Thailand, dan Singapura sudah menerapkan standar.

"Mutu doktor lulusan Indonesia ka jadi masalah. Di tingkat ini saya bersikap apa adanya. Kalau lulus, ya lulus. Kalau jelek, ya dibilang jelek. Tidak usah main-main, wong calon doktor, ya tetap tidak lulus," kata pria yang banyak menyabet penghargaan ini, salah satunya Doktor Honoris Causa bidang Sains dari Vrije Universitet, Amsterdam, Balanda (1990).

"Sikap saya soal pemberian gelar profesor juga begitu. Di Indonesia gelar profesor mudah sekali diberikan. Itu dagelan. Jumlah profesor banyak sekali," tambah suami dr. Mariani Wilaedjo, MS. ini. "Kita tiru saja seniman. Biarkan masyarakat yang menilai. Kontribusi kita ada apa tidak. Seperti seniman dikasih gelar maestro. Si seniman kan tidak pernah minta. Affandi maestro dalam seni lukis, itu kan penilaian masyarakat. Rudy Hartono maestro bulu tangkis, itu kan dari masyarakat."

Berkaca dengan realita yang ada di tahun 2009 ini, setujukan Anda bahwa pendidikan kita semakin maju dari 43 tahun lalu dan masih menjadi contoh negara-negara Asia sebagaimana yang dikatakan Bung Karno? Atau malah justru sebaliknya? Kalo jawaban Anda adalah yang kedua, sungguh sangat memalukan sekali bangsa ini, khususnya dalam bidang pendidikan.

No comments: